Udara pagi di Istana Naga Agung masih dibalut embun tipis ketika Raja Zhang Fu duduk di singgasana emasnya, matanya menyapu ke arah langit-langit yang dihiasi ukiran naga giok. Suara burung terdengar berkicau pelan, bersaing dengan gemericik air kolam di halaman dalam. Namun, raja tak menikmati keindahan pagi itu. Keningnya berkerut karena tidak melihat putranya yang seharusnya ikut bersamanya menyambut kedatangan Tetua Sekte Kunlun.
“Di mana Zhang Jian?” tanya Raja Zhang Fu, suaranya tenang tetapi dingin seperti angin musim gugur.
Sima Qian, Kepala Kasim Kerajaan Naga Agung, segera menunduk dalam sembari menghela nafas panjang.
“Hamba mohon ampun, Yang Mulia,” sahutnya dengan suara pelan tapi jelas. “Pangeran Zhang Jian, seperti biasanya sedang melakukan pencitraan di desa barat. Padahal aku sudah mengatakan tidak ada gunanya tebar pesona pada penduduk miskin itu, tetapi ia mengabaikan seruanku.”
Mata sang raja menyipit, bibirnya mengatup rapat. Dia menggelengkan kepala perlahan, seolah melihat bayang kesia-siaan di masa depan.
“Anak sialan itu! Seharusnya hari ini ia berada di pelataran istana luar. Tetua dari Sekte Kunlun telah tiba, seharusnya ia tebar pesona pada Tetua itu bukan pada rakyat jelata, mana tahu Tetua itu bisa membuatnya menjadi murid inti salah satu Puncak Sekte Kunlun.” Raja menghela nafas panjang. “Apa sih gunanya berpura-pura menjadi pahlawan rakyat. Cepat atau lambat Kerajaan ini akan ….”
“Apa maksud Anda, Yang Mulia!” sahut Sima Qian khawatir.
Raja Zhang Fu melambaikan tangan. “Lupakan saja, cepat suruh Zhang Jian kembali!”
“Baik Yang Mulia, hamba akan memanggilnya,” sahut Sima Qian sembari menangkupkan tinju untuk menunjukkan rasa hormat, kemudian meninggalkan Raja Zhang Jian yang mulai melamun di singgasana emasnya.
...***...
Sementara itu, di sisi barat ibu kota Kerajaan Naga Agung, di tengah deretan rumah-rumah reyot dan jalanan becek, Pangeran Zhang Jian berdiri dengan senyum lebarnya yang terkenal. Anak-anak berlari kecil mengelilinginya, pakaian mereka lusuh, kaki-kaki mereka tak beralas. Di tangan Zhang Jian ada sebuah boneka kayu kecil yang ia ukir sendiri malam tadi.
“Ini untukmu, Xiao Mei,” katanya sambil menyerahkan boneka itu kepada seorang gadis kecil yang matanya berbinar. “Kalau kamu menjaganya baik-baik, nanti aku akan buatkan yang bisa bergerak!”
Anak-anak bersorak riang. Seorang pria tua penjual bakpao lewat, dan seperti biasanya, Zhang Jian memanggilnya.
“Paman! Bakpao daging dan kacang manis seperti biasa, ya. Untuk semua orang!”
Penjual itu mengangguk sembari tersenyum lebar dan mulai membagikan dagangannya. Namun, saat Zhang Jian hendak merogoh kantong penyimpanannya yang biasa diikat di pinggang, ia mendadak terdiam. Tangannya menyentuh udara kosong.
Wajah sang pangeran tak berubah, hanya senyum lebar cengengesan muncul seolah tak terjadi apa-apa.
Dia menoleh ke dua pengawal yang berdiri tak jauh darinya—keduanya berperawakan tinggi, bersenjata tombak dengan wajah lelah yang sudah tak asing dengan kelakuan junjungannya.
“Senyum itu lagi,” gumam salah satu dari mereka.
Yang satunya hanya menghela napas dan mulai mengeluarkan beberapa uang Koin dari kantong pribadinya. “Kita patungan lagi, uangku hanya tersisa segini saja.”
“Sial! Uang makan siangku hilang, semoga saja Bibi Liu membolehkan aku berhutang makan siang lagi. Hutang dua hari yang lalu belum kubayar karena Pangeran tak kunjung membayar hutangnya pada Kita,” sahut yang pertama sambil menjulurkan uang pada pedagang bakpao. “Nasib jadi Prajurit, sudah gaji kita kecil, tapi malah digerogoti oleh Pangeran yang suka pencitraan,” keluhnya.
Mereka menyerahkan pembayaran dengan berat hati, sementara sang pangeran sibuk bercanda dengan anak-anak. Namun di balik senyum cerahnya, Zhang Jian tahu persis apa yang sedang ia lakukan.
Zhang Jian bukan hanya sekedar anak muda berhati baik yang ingin menghapus kemiskinan. Dia adalah seorang pangeran yang sadar bahwa stabilitas negeri ini sangat rapuh. Rakyat miskin yang lapar adalah lahan subur bagi pemberontakan. Dan para klan besar; klan Zhou, klan Huyan, klan Bai selalu mencari celah untuk merebut kekuasaan dengan dalih membela rakyat.
Itulah sebabnya, Pangeran Zhang Jian hadir dengan senyumnya. Dengan boneka kayunya yang dibagikan kepada anak-anak sambil mengumbar janji-janji manis yang disulam rapi.
Tujuannya bukan semata-mata cinta pada rakyat, melainkan memastikan rakyat itu mencintainya kembali. Jika rakyat percaya padanya, mereka tak akan mudah dirayu untuk mengangkat senjata melawan istana.
“Pangeran Zhang Jian, harapan negeri ini ... ia berbeda dari bangsawan lain, hanya beliau yang peduli pada kita rakyat miskin,” bisik para penduduk, sambil menatapnya dengan mata penuh keyakinan.
Padahal sang pangeran tahu betul, harapan mereka adalah alat baginya untuk meredam gejolak dari dalam.
Namun, segala bentuk harapan itu kini terancam bukan hanya oleh kemiskinan. Dalam beberapa bulan terakhir, angka kriminalitas meningkat pesat. Perampokan di jalan utama ibu kota merajalela, pembunuhan diam-diam di pelabuhan selatan, bahkan konon pencuri sudah mulai menyasar kaum bangsawan.
Zhang Jian sendiri sudah lebih dari lima kali menjadi korban pencopetan, dan selalu tak sadar sampai prajuritnya menyadari kantongnya hilang.
...***...
Tawa anak-anak menggema seperti gemericik air sungai ketika Zhang Jian menceritakan kisah tentang burung phoenix yang menolak menjadi naga karena lebih suka terbang bebas.
“Phoenix itu seperti kalian!” katanya sambil mengangkat boneka kayu phoenix ke udara. “Mungkin kalian kecil dan tak punya kekuatan sekarang. Akan tetapi suatu hari nanti, kalian akan membumbung tinggi!”
Anak-anak bersorak, salah satu dari mereka bahkan mencoba melompat setinggi-tingginya, nyaris menyentuh kepala pengawal.
Namun, kebahagiaan kecil itu terputus ketika salah satu pengawal membungkuk pelan dan berbisik di telinga sang pangeran.
“Pangeran Jian, Raja menyuruh Anda kembali ke istana sekarang!”
Zhang Jian menoleh ke arah Prajurit itu, wajahnya masih tersenyum, tapi matanya tak bisa menyembunyikan sedikit rasa jengkel.
Dia menepuk lembut kepala salah satu anak kecil. “Aku harus kembali ke istana, tapi tak perlu khawatir. Aku akan kembali lagi ke sini sambil membawa beras dan buah-buahan! Bahkan mungkin membawa mainan kayu berbentuk Naga seperti lambang Kerajaan Kita.”
Anak-anak bersorak lagi, memeluknya erat sebelum Zhang Jian perlahan berdiri dan mulai berjalan pergi.
Salah satu pengawalnya menggelengkan kepala. “Janji manis lagi.”
“Dia mengumbar janji begitu di desa selatan bulan lalu,” sambung yang satunya. “Dan di desa timur sebelumnya.”
“Aku khawatir saat Pangeran berkunjung lagi ke desa-desa itu ia akan dilempar telur busuk karena mengingkari janjinya.”
“Palingan ia bersilat lidah lagi dengan mengumbar janji manis baru. Tapi lucu juga membayangkan bila Pangeran memang dilempari telur busuk.”
Mereka tertawa pelan, lalu mengikutinya dari belakang.
Dan begitu langkah kaki Pangeran Zhang Jian menjauh dari desa itu, senyum tipis tetap terpahat di wajahnya. Namun, sebenarnya pikirannya sedang sibuk merancang skenario selanjutnya, bagaimana menaklukkan hati rakyat, sebelum musuh-musuh dalam istana menaklukkan segalanya lebih dulu.
Langit di atas Kerajaan Naga Agung mendadak menjadi pusat perhatian. Awan terbelah pelan ketika sebuah kapal raksasa meluncur turun dengan anggun. Kapal itu bukan kapal biasa—panjangnya serupa dua menara istana, dengan layar-layar besar yang terbentang seperti sayap naga. Tak ada tiang dayung ataupun roda penunjuk arah. Kapal itu melayang di udara, tak bersuara, digerakkan oleh aliran Qi murni dan dikendalikan dengan Elemen Angin tingkat tinggi.
Belasan sosok berdiri di dek utama kapal, jubah mereka berkibar, wajah mereka penuh wibawa dan ketegasan. Di tengah barisan itu, berdiri seorang pria tua dengan rambut putih perak dan sorot mata seperti ujung pedang—dingin, tajam, dan mengintimidasi. Dialah Tetua Yan Xu, salah satu penatua puncak dari Sekte Kunlun, sekte bela diri paling legendaris di Dataran Tengah.
Kapal itu perlahan mendarat di pelataran utama Istana Naga Agung, membuat seluruh halaman bergetar pelan. Para pengawal kerajaan berjajar dengan sikap hormat ketika Raja Zhang Fu sendiri turun tangan menyambut.
"Salam hormat, Tetua Yan Xu. Kehadiran Anda dan murid-murid Sekte Kunlun adalah kehormatan besar bagi kami," ujar Raja Zhang Fu sambil membungkuk dalam.
Tetua Yan Xu hanya menatapnya dengan sorot mata datar. “Hmm ….”
Satu huruf. Satu dengusan pendek. Namun, cukup untuk menunjukkan bahwa ia tidak menganggap perlu basa-basi dengan manusia fana. Baginya, para raja dan bangsawan hanyalah bayangan dari kekuasaan semu. Yang sejati adalah Kultivasi, jalan untuk melampaui kematian dan menyatu dengan Tao Langit.
Namun sebagai bentuk penghormatan diplomatik, Raja Zhang Fu tetap mempersilahkannya duduk di singgasana kehormatan. Raja sendiri duduk di sisi yang lebih rendah. Setelah memberi aba-aba kepada kasim, sebuah kotak berukir naga dibawa dan diserahkan langsung kepada Yan Xu.
“Hadiah kecil dari kami,” kata Raja Zhang Fu. “Herbal berusia seratus dua puluh tahun, tumbuh di puncak Gunung Seribu Kabut.”
Sorot mata Yan Xu yang dingin berubah. Dia membuka kotak itu perlahan, aroma tajam spiritual langsung menyeruak dari dalam. Matanya menyipit, kemudian senyum tipis tapi penuh makna muncul di wajah tuanya.
“Dengan herbal ini, basis kultivasiku bisa menembus setengah langkah menuju tahap Hua Shen (Tingkat Transformasi Dewa).” Dia memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali. “Katakan, Raja Zhang Fu. Apa yang kau inginkan sebagai balasannya?”
Raja Zhang Fu tersenyum tipis. “Aku tidak berani meminta terlalu banyak. Tapi, jika Pangeran Zhang Jian tidak bisa menjadi murid inti Sekte Kunlun, setidaknya ... dapatkah ia diterima di salah satu puncak utama sekte?”
Yan Xu mengangguk. “Menjadi murid inti tidak bisa dipaksakan. Namun, aku bisa pastikan Zhang Jian mendapatkan pembinaan terbaik jika ia memiliki Akar Spiritual. Bahkan, mungkin ia bisa mendapatkan salinan salah satu seni bela diri terbaik puncak Kunlun.”
Mata Raja Zhang Fu berbinar. “Terima kasih, Tetua. Itu lebih dari cukup.”
Yan Xu mengangguk kecil, lalu dengan nada lebih serius ia berkata, “Tapi ada hal yang harus kau ketahui. Sekte Kunlun juga seperti sekte-sekte besar lainnya, saat ini membuka seleksi murid baru besar-besaran bukan tanpa sebab.”
Dia mencondongkan tubuh, menurunkan suara.
“Di wilayah utara telah muncul aliran bela diri misterius. Mereka menyebut diri mereka sebagai Sekte Demon.”
Raja Zhang Fu terkejut mendengarnya.
“Mereka telah menyerang banyak sekte di wilayah utara. Siapapun yang menolak menjadi bagian dari mereka, dimusnahkan. Tidak ada belas kasih. Bahkan beberapa sekte besar di Utara telah runtuh.”
Raja menghela napas. “Tak heran beberapa bulan terakhir, kami kehilangan komunikasi dengan kerajaan di perbatasan utara. Dan…”
Dia berhenti sejenak, ekspresinya menjadi gelap.
“Beberapa warga melaporkan kemunculan pendekar berjubah hitam dengan lambang tengkorak. Mereka menculik anak-anak dari pemukiman miskin. Prajurit kami tidak bisa mengalahkan mereka, gerakan mereka aneh, dan kekuatan mereka jauh melampaui manusia biasa.”
Ekspresi Yan Xu mengeras. “Mereka pasti murid-murid Sekte Demon. Murid Kunlun kami pun beberapa kali bentrok dengan mereka. Kebanyakan terluka parah, beberapa bahkan tak bisa kembali.”
Hening sejenak menyelimuti ruangan itu.
“Karena itulah,” lanjut Yan Xu, “semua sekte besar di Dataran Tengah sepakat mengubah cara rekrutmen. Kami tak lagi hanya menerima mereka yang punya Akar Spiritual tingkat tinggi. Akar Spritual rendah dan menengah juga akan diterima. Target kami dalam sepuluh tahun menciptakan puluhan ribu Kultivator Ranah Jin Dan (Tingkat Inti Emas). Itu setara sepuluh ribu prajurit kerajaan. Baru dengan itu kita bisa melawan Sekte Demon.”
Raja Zhang Fu menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk. “Kerajaan Naga Agung akan meningkatkan pelatihan prajurit. Kami tak ingin hanya bergantung pada para kultivator.”
Yan Xu tersenyum tipis, lalu berdiri. “Tenang saja, Kerajaanmu cukup jauh dari wilayah utara. Sekte Pedang Abadi akan menjadi tameng utama sebelum mereka bisa mencaplok kerajaan ini.”
“Sekte Pedang Abadi … nama yang melegenda,” kata Raja Zhang Fu. “Semoga mereka bisa bertahan jika Sekte Demon memasuki dataran tengah.” Karena Sekte Pedang Abadilah yang paling dekat ke wilayah utara.
...***...
Yan Xu kemudian melangkah maju ke tengah aula istana. Dengan satu gerakan tangan, Qi di sekitarnya bergetar. Dia mengangkat telapak tangan. “Perhatikan baik-baik, Raja Zhang Fu. Ini adalah teknik rahasia Sekte Kunlun yang akan menemukan bibit Kultivator dari Naga Agungmu.”
Dalam sekejap, Qi dari tubuhnya memancar menjadi ribuan garis cahaya, lalu berubah menjadi kupu-kupu warna-warni yang tampak hidup. Mereka beterbangan dengan anggun, menyebar ke segala penjuru.
“Kupu-kupu ini akan mencari siapa pun di bawah usia 18 tahun yang memiliki Akar Spiritual.”
Raja Zhang Fu berdiri terkesima. “Luar biasa, semoga saja Zhang Jian juga memiliki Akar Spritual.”
Namun wajahnya sedikit tegang. Dia sadar, Jika Zhang Jian tak memiliki Akar Spiritual, maka semua upayanya ini akan sia-sia.
Yan Xu menjentikkan jari, memunculkan puluhan benang Qi yang bergerak lincah.
“Hmm …,” gumamnya. “Hanya sedikit anak di negeri ini yang memiliki Akar Spiritual. Dan kebanyakan hanya Akar Spritual level rendah.”
Nada suaranya datar, tapi cukup menusuk hati sang raja.
Raja Zhang Fu menunduk, kecewa. “Padahal aku berharap ribuan calon Kultivator akan muncul di Naga Agung dan membantu anakku kelak.”
...***...
Di luar istana, Zhang Jian dalam perjalanan kembali dari desa barat sambil menunggang kuda bersama para pengawalnya. Angin menyapu rambut panjangnya yang terikat, dan ia menikmati keheningan singkat sebelum kembali ke rutinitas istana.
Namun, mendadak puluhan kupu-kupu berwarna-warni melesat dari langit, mengejar mereka seperti badai pelangi. Zhang Jian terperanjat. Salah satu kupu-kupu itu menembus tubuhnya—langsung ke perutnya.
“Eh?”
Dia menatap tubuhnya sendiri, bingung. Tak ada luka. Tak ada rasa sakit.
“Aku baru saja ditembus sesuatu, tapi kenapa aku masih hidup?”
Tiba-tiba, terdengar teriakan dari atas.
“PANGERAN! DI ATASMU!”
Para pengawal menoleh ke langit. Sebuah kapal terbang kuno melayang megah. Dari atasnya, seorang murid Sekte Kunlun melompat turun.
Booooommmmmm!
Tanah tempat ia mendarat retak berkeping-keping, seolah dihantam meteor.
Zhang Jian melongo, tak bisa berkata-kata.
Pemuda berseragam Sekte Kunlun berwajah dingin tanpa ekspresi melangkah ke arah Zhang Jian, lalu menarik kerah bajunya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Hei … hei … tunggu sebentar—”
Sebelum sempat memprotes, tubuh Zhang Jian sudah dibawa melompat ke atas—langsung ke dek kapal terbang.
Para pengawal menjerit.
“PANGERAN DICULIK!”
Mereka menarik pedang dan berteriak ke arah langit, tapi kapal itu sudah mulai naik tinggi, membawa Pangeran mereka menuju nasib yang belum diketahui.
“Apa-apaan ini? Kau menarikku naik seperti karung gandum! Setidaknya perkenalkan dirimu atau beri penjelasan!” bentak Zhang Jian, merapikan pakaiannya yang kusut karena baru saja diseret ke atas kapal terbang Sekte Kunlun.
Murid Sekte Kunlun itu hanya menoleh sekilas. Tatapannya dingin seperti dinding es abadi di utara.
“Duduk diam,” katanya tanpa emosi. “Kalau kau terus mengoceh, aku tak segan melemparmu dari atas sini. Tak peduli kau pangeran atau anak kaisar langit sekalipun.”
Zhang Jian tertegun. Dia mengepalkan tangan, berusaha menahan diri. Darah bangsawan mendidih dalam tubuhnya, tetapi akalnya segera menenangkan.
“Tak ada gunanya membuat keributan dengan murid Sekte Kunlun. Aku akan segera jadi murid juga,” pikirnya, lalu memilih duduk di sudut dek kapal dengan wajah masam. Kalau ia melawan, mungkin mereka akan menyimpan dendam padanya dan akan terus merundungnya di Sekte Kunlun.
Kapal terus melaju di langit. Angin melolong di sisi layar, namun dalam diam itulah, kapal berhenti perlahan di atas sebuah bangunan mewah bertingkat tiga, kediaman Klan Zhou.
Tiga murid Sekte Kunlun, termasuk si pemuda yang menarik Zhang Jian tadi, melompat turun. Mereka lenyap dalam satu gerakan.
Zhang Jian menonton dari pinggir kapal dengan mata menyipit, rasa ingin tahunya tumbuh. Tak lama kemudian, ketiganya kembali—kini membawa Zhou Fan, Zhou Lian, dan Zhou Yuan, masing-masing masih terguncang dan kebingungan.
“Apa-apaan ini? Kami bahkan belum sempat berpamitan!” keluh Zhou Fan.
“Bekalku masih di kamar!” tambah Zhou Lian.
“Kita ... kita dibawa pergi begitu saja?” kata Zhou Yuan dengan nada panik.
Zhang Jian melangkah mendekat sambil menyunggingkan senyum hangat.
“Tenang saja! Kalian berada di kapal yang tepat. Aku akan pastikan tak seorang pun yang berani menyentuh kalian saat kita sampai di Sekte Kunlun. Selama aku di sini, tak ada yang perlu kalian takutkan!”
Namun alih-alih lega, ketiganya justru menatapnya dengan kening berkerut masam.
“Pangeran,” kata Zhou Fan sinis, “jangan terlalu membanggakan diri. Di Sekte Kunlun, darah bangsawan tidak ada harganya. Yang dihargai hanya kekuatan.”
“Jangan kira statusmu akan menyelamatkanmu di sana,” timpal Zhou Lian.
Zhou Yuan hanya mendengus pelan, memilih tidak menanggapi bualan sang pangeran yang suka blusukan untuk melakukan pencitraan di pemukiman kumuh tersebut.
Zhang Jian terkekeh kecil. “Heh, kalian cemburu, ya? Meskipun kita sejajar sebagai murid nantinya, aku masih lebih dicintai rakyatku.”
Zhou Fan hendak membalas, tetapi salah satu murid Sekte Kunlun melangkah maju, tatapannya menusuk.
“Cukup! Kalian mengganggu konsentrasi kami.”
Seketika suasana hening kembali.
Kapal kemudian bergerak ke arah barat—desa miskin tempat Zhang Jian sebelumnya membagikan bakpao.
Warga desa menjerit dan berlarian ketika melihat kapal terbang berhenti di atas mereka.
Ketakutan berubah menjadi kepanikan saat seorang gadis kecil, Xiao Mei, diangkat dari tanah dan dibawa ke atas kapal. Ibunya menangis histeris.
“Anakku! Jangan bawa anakku! Dia hanya gadis kecil! Kembalikan dia!”
Zhang Jian segera maju ke tepi kapal dan berteriak lantang, “Tenang! Xiao Mei baik-baik saja! Dia terpilih menjadi murid Sekte Kunlun! Masa depannya akan cerah!”
Suara itu menggema di langit. Warga mulai saling berbisik, perlahan berubah dari takut menjadi kagum.
“Gadis kecil itu menjadi Kultivator?”
“Xiao Mei akan jadi orang abadi?”
Beberapa mulai memberi selamat kepada orang tua Xiao Mei, menyentuh bahu mereka dengan hormat.
“Kalian akan diberkahi. Di masa depan tolong minta Xiao Mei bantu anakku juga menjadi seorang pendekar.”
Sang ibu menyeka air matanya dan membungkuk dalam ke arah Zhang Jian. “Terima kasih, Yang Mulia. Tolong jaga anak saya. Biarkan dia melayanimu. Itu kehormatan bagi kami.”
Xiao Mei berlutut dengan gemetar. “Saya akan setia pada Tuan Pangeran. Saya akan menjadi pelayanmu selamanya!”
Zhou Fan mencibir. “Bodoh! Untuk apa melayani dia? Di Sekte Kunlun status kita akan sama. Kau sebaiknya berkultivasi saja, bukan jadi pelayan.”
Zhang Jian tersenyum puas. “Hmm. Kau pasti cemburu. Sekalipun kita sama-sama murid, hatiku lebih dulu dicintai rakyat. Kau? Bahkan rakyatmu tak akan ingat wajahmu.”
Zhou Fan hendak menjawab, tapi lagi-lagi murid Sekte Kunlun menegur, kali ini lebih keras. “Diam! Atau kalian kami hajar hingga babak belur!”
...***...
Hari itu, kapal Sekte Kunlun melayang melintasi seluruh penjuru Kerajaan Naga Agung, mengumpulkan satu per satu anak-anak muda berbakat. Ketika kembali ke istana, 30 orang telah terkumpul.
Dari mereka, 20 berasal dari klan besar, 7 dari klan kecil, dan hanya 3 dari rakyat jelata.
Kapal perlahan mendarat di halaman istana. Raja Zhang Fu berdiri menanti dengan penuh harap. Matanya bersinar saat melihat Zhang Jian berdiri di antara para calon murid.
Lebih bahagia lagi ia melihat tujuh dari mereka berasal dari Klan Zhang, Klan yang berkuasa di negeri ini.
“Syukurlah,” gumamnya lega.
Tetua Yan Xu mendekat dan berkata, “Akar Spiritual Pangeran Zhang Jian adalah Akar Spritual Air level tinggi, tetapi itu Elemen paling tidak berguna.”
Raja Zhang Fu mengerutkan keningnya. “Apa maksudnya, Tetua Xu? Apakah dia masih bisa menjadi murid Sekte Kunlun?”
“Bisa. Akan tetapi bukan murid inti. Dia masih bisa berkultivasi,” jawab Yan Xu.
Wajah Raja cerah kembali. “Syukurlah!”
Yan Xu melanjutkan, “Dia masih bisa menjadi pendekar pedang, tombak, pengguna senjata spiritual, atau penjinak binatang mistis yang hanya perlu menggunakan Qi atau energi spiritual.”
Zhang Jian mendekat dengan penasaran.
Mendadak, tatapan Yan Xu berubah. Dia menyipitkan mata ke arah Zhang Jian.
“Tunggu, Akar Spiritual-nya bukan tunggal.”
Kadang-kadang beberapa orang membangkitkan Akar Spritual Ganda atau pun lebih, tetapi pada umumnya seorang Kultivator hanya memiliki Akar Spritual Tunggal.
“Ada beberapa cabang level rendah. Salah satunya menyimpan Telur Roh Binatang Mistis.”
Raja Zhang Fu menatap bingung. “Apa itu Telur Roh Binatang Mistis?”
Yan Xu yang biasanya enggan menjelaskan tentang dunia Kultivasi pada orang awam kini bersedia memberikan penjelasan pada Raja Zhang Fu, karena ia menerima hadiah herbal langka beberapa saat yang lalu.
“Telur itu bukan fisik. Itu tertanam di Akar Spiritual. Jika Zhang Jian menyerap Qi, telur itu akan menetas. Seekor Roh Binatang Mistis akan lahir dan terikat pada jiwanya.”
“Jadi, apakah binatang itu bisa membantunya bertarung?” tanya Raja Zhang Fu penasaran.
“Lebih dari itu,” jawab Yan Xu. “Binatang itu akan berkembang bersama dengan kultivasi Zhang Jian. Jika jenisnya kupu-kupu, maka ia bisa mengubah wujudnya sendiri menjadi kupu-kupu. Namun , itu membutuhkan banyak Qi.”
“Yang paling sederhana seperti yang kulakukan tadi, aku bisa menyebarkan kupu-kupu yang terbuat dari Qi. Akan tetapi kekuatannya lebih lemah saat bertarung, versi terkuatnya adalah menyatu dengan Roh Binatang Mistis tersebut.”
“Yah, itu tidak perlu terlalu dipikirkan untuk saat ini. Nanti, para Tetua akan mengajarkan tehnik atau seni beladiri apa yang terbaik untuk kalian.”
Dia kemudian menatap ke arah Zhou Fan. “Pemuda itu memiliki Akar Spiritual tunggal level tinggi elemen Api. Bagus sekali, kamu akan langsung menjadi murid inti.”
Zhou Fan membusungkan dada dengan bangga sembari tersenyum sinis pada Zhang Jian.
Zhang Jian mengerutkan kening dan tidak menyangka Zhou Fan akan memiliki Akar Spritual level tinggi.
Raja Zhang Fu terlihat khawatir. “Mereka mungkin akan membully Zhang Jian di sana,” pikirnya.
Klan-Klan besar sangat membenci keluarga kerajaan, karena gerak-gerik mereka selalu dibatasi dan dilarang memiliki Pasukan sendiri untuk mencegah mereka memberontak.
Yan Xu mengalihkan pandangan ke arah gadis kecil lusuh di dekat Zhang Jian.
Dia melangkah maju, menatap Xiao Mei.
“Luar biasa. Akar Spiritual tunggal, tingkat menengah. Bertipe Penjinak Binatang Mistis juga.”
“Seorang rakyat jelata,” gumam Raja tak menyangka gadis kecil ini sangat beruntung sekali menjadi seorang Kultivator.
Yan Xu berkata, “Dari 30 calon murid, hanya 5 memiliki Akar Spiritual level tinggi. Tidak termasuk Zhang Jian karena elemennya tidak berguna.”
Dia menunjuk satu per satu.
Yang pertama: Zhou Fan, tuan muda Klan Zhou.
Yang kedua: Huyan Xiaoqing, putri tertua Klan Huyan.
Yang ketiga: Bai Qian, tuan muda Klan Bai.
Yang keempat: keponakan Raja sendiri, Zhang Yilan.
Yang kelima: seorang pemuda kurus dengan pakaian sederhana. Raja Zhang Fu memicingkan mata.
“Lambang itu?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!