NovelToon NovelToon

The Great General'S Obsession

Dia, Qi Zeyan?

Embun pagi menetes dari dedaunan, membasahi tanah lembap yang diinjaknya. Gaun hijau lembutnya terangkat sedikit oleh tangannya, menghindari ranting liar dan genangan air sisa hujan semalam.

Di atas bahunya, tergantung kantong kain tipis berisi peralatan tabib dan catatan herbal yang sebagian tulisannya sudah mulai pudar

Udara segar menusuk paru-paru, tapi Yuer menghirupnya dalam-dalam seolah ingin menyimpan ketenangan itu untuk nanti.

Ia jongkok perlahan di bawah pohon tua yang kulitnya menghitam di satu sisi, mungkin termakan usia. Matanya jeli menyusuri akar-akar basah yang menonjol dari tanah.

"Guihua... seharusnya tumbuh di sekitar sini," gumamnya pelan, setengah berbicara pada dirinya sendiri, setengah berharap semesta mendengar.

Saat tangannya hampir menyentuh daun kecil dengan ujung berwarna ungu, sebuah suara lirih seperti desahan berat terdengar di antara desiran angin. Yuer memastikan geraman binatang, suaranya mirip seseorang yang tengah menahan rasa sakit.

Jika itu memang orang yang terluka, maka Yuer harus membantunya.

Ia melangkahkan kakinya hati-hati mengikuti arah suara. Langkah Yuer semakin dekat pada sebuah pohon besar dan ia bisa melihat ujung kaki seseorang. Itu memang manusia. Semakin ia mendekat sedikit demi sedikit hingga Yuer melihatnya.

Seorang pria. Bersandar lemah di batang pohon besar, jubah luarnya robek parah dan berlumuran darah. Rambut panjangnya sedikit acak-acakan, sebagian menutupi wajahnya yang pucat dan tajam. Matanya terpejam tapi dadanya naik turun perlahan.

Yuer terpaku, pria itu tampak berbahaya meski sedang terluka, sepertinya bukan orang biasa. Mungkin pembunuh bayaran? Tetapi bordiran di jubah luarnya terlalu mewah untuk seorang pembunuh bayaran. Namun kemudian Yuer melihat darah mengalir di sisi lengan dan tangan yang menutupi bagian sisi perutnya.

Tanpa berpikir panjang, Yuer melangkah maju.

Ia berlutut di samping pria itu dan membuka kantong kainnya. Kemudian tangannya bergerak cepat mencari sumber luka, berusaha menyingkirkan tangan pria yang menutupi perutnya. Namun, tangannya yang lain mencengkramnya.

Yuer mendongak dan matanya bertemu dengan sepasang mata yang bergetar lemah namun tetap memancarkan ketajaman dibaliknya.

"Siapa kau? Apa yang kau lakukan?"

Yuer menghembuskan napas pelan, menguatkan dirinya sendiri dan menggenggam tangan yang mencengkram tangannya yang ternyata tangan pria itu terasa begitu dingin.

"Tolong, biarkan aku mengobatimu. Aku seorang tabib."

Yuer menatap matanya, dan entah memercayai kata-kata Yuer atau ketulusan di matanya, sepasang mata pria itu melunak. Begitu pula cengkraman di tangannya. Yuer tidak membuang waktu dan segera melakukan pekerjaannya. Hal pertama yang dia lakukan adalah dia harus melihat lukanya.

Saat kain robek terbuka, Yuer hampir tersentak. Ada bekas sayatan panjang yang membelah kulit dan ototnya, terlihat dalam, tapi anehnya tidak mengenai organ vital. Tangannya gemetar sesaat, lalu ia mulai bekerja. Membersihkan luka dengan air herbal, menghentikan pendarahan dengan ramuan kental beraroma pahit, dan membalut luka dengan perban seadanya yang ia bawa.

Pria itu tetap diam. Tapi ketika jarinya menyentuh kulit Yuer secara tidak sengaja, gadis itu merasa seolah disentuh oleh arus listrik dingin. Suhu tubuhnya bagai bukan milik manusia biasa.

Beberapa menit kemudian, suara langkah berat terdengar dari balik pohon.

"Jenderal!" seru dua suara bersamaan, memecah keheningan.

Yuer mendongak. Dua pria bersenjata lengkap muncul dari balik kabut, tubuh mereka tegang dan mata mereka langsung menatap tajam ke arahnya.

"Siapa kau?!" hardik salah satu dari mereka, sementara yang lain segera berlutut memeriksa keadaan pria yang dipanggil "Jenderal Qi."

Yuer terpaku. Ia ingin menjawab, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.

"Jenderal Qi, Anda terluka. Kami akan segera membawa Anda kembali," ujar salah satu lelaki dengan nada cemas. Ia menoleh ke temannya dan berbisik, cukup keras untuk didengar Yuer, "Perlu kubunuh gadis ini?"

Yuer menegang.

Tapi suara pria yang terbaring itu terdengar akhirnya. Serak, rendah, dan dalam. "Tidak perlu."

Ia membuka mata.

Sepasang mata hitam gelap seperti malam tanpa bulan menatap langsung ke mata Wen Yuer. Sekilas, hanya sekilas tapi cukup untuk membuat jantungnya berdebar tidak wajar.

"Bawa aku kembali," ucap Qi Zeyan, singkat. Kemudian matanya kembali tertutup.

Dua pengawalnya segera menuruti. Mereka mengangkat tubuh Qi Zeyan dengan hati-hati dan mulai berjalan menjauh, tanpa menoleh lagi ke arah Yuer. Hanya kabut yang tersisa. Dan bekas darah di daun-daun basah.

Yuer tetap terduduk di sana selama beberapa saat.

Ia menarik napas pelan, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Tangannya masih gemetar.

Siapa dia?

Jenderal Qi, mereka bilang? Qi Zeyan?

Itu nama yang sering disebut para jenderal di kota sebagai iblis perang. Pemimpin pemberontak, pembantai di utara. Legenda hidup yang ditakuti dan dibenci, tapi juga tidak bisa dikalahkan.

Wen Yuer kembali mengingat pakaiannya. Jubah hitam, bordiran merah gelap seperti api. Bahkan dalam keadaan sekarat, auranya begitu menekan.

Yuer menggigit bibirnya. Ia berdiri perlahan, lalu mengemasi alat-alatnya. Siapapun yang dia selamatkan tadi, Yuer hanya melakukan kewajibannya sebagai seseorang yang bertugas menyembuhkan. Selebihnya, bukan urusannya.

Saat ia berjalan kembali menuju kediaman gurunya, kabut mulai menipis. Tapi pikirannya tetap berkabut.

...

Rumah gurunya berada di pinggir kota kecil bernama Jiangbei. Sebuah kediaman sederhana beratap genteng abu-abu, dikelilingi taman herbal yang ia rawat sendiri setiap pagi. Tanaman-tanaman itu tumbuh subur berkat tangan Yuer yang telaten. Daun mint, akar peony, bunga chrysanthemum, dan lain-lain. Di tempat ini, Wen Yuer tinggal selama hampir sepuluh tahun.

Wen Yuer bukan tabib sejak lahir. Ia adalah anak dari Jenderal Wen—jenderal tertinggi kekaisaran, pria yang dihormati banyak orang karena kekuatannya memimpin perang perbatasan. Tapi tidak banyak yang tahu bahwa putri pertamanya hidup jauh dari gemerlap kediaman keluarga militer. Tidak tinggal di paviliun mewah yang dikelilingi pelayan.

Ia memilih tinggal bersama seorang tabib tua yang biasa dipanggilnya Guru Bai sejak usia dua belas tahun. Awalnya karena sakit keras yang tak bisa diobati oleh dokter manapun, lalu berlanjut menjadi kedekatan yang tak bisa dipisahkan. Guru Bai menyelamatkan hidupnya, dan sejak itu, Yuer menjadi muridnya.

Alasan lain mengapa Yuer memutuskan ikut dengan gurunya adalah karena ia tahu, sejak kecil, tak ada yang benar-benar menginginkannya di rumahnya sendiri. Bahkan ibunya meninggal saat ia masih kecil dan ayahnya menikah lagi. Ia tumbuh di antara wajah-wajah asing, kasih sayang yang dingin, dan keheningan yang tak pernah dijelaskan.

Itulah sebabnya saat seorang pelayan mendekatinya terburu-buru pagi itu, wajah Yuer berubah kaku.

"Nona Wen, ada tamu dari kediaman Jenderal. Mereka menunggu anda di aula."

Yuer mematung. "Utusan ayahku?"

"Benar. Mereka datang membawa surat perintah."

Saat ia melangkah menuju aula, gurunya berdiri di depan pintu. Mata lelaki tua itu memandangnya penuh iba, seperti tahu lebih dari yang ia katakan. Namun, tatapan guru Bai melihat kain bagian lengannya berlumuran darah.

"Yuer, kau terluka?"

Yuer menggeleng. "Ah, ini darah seseorang yang terluka di hutan. Aku mengobatinya."

Guru Bai menghela napas lega tapi kemudian bahunya kembali mengendur.

"Yuer, aku tidak tau apa yang akan ayahmu lakukan tapi..." katanya lembut. "Jika kau diminta untuk melakukan sesuatu yang berat oleh keluarga yang bahkan tak pernah memelukmu, kau tahu kau berhak menolak."

Yuer menatap lelaki itu. "Apakah Guru tahu apa maksud kedatangan mereka?"

"Aku hanya tahu, kau jauh lebih berarti dari yang mereka kira."

Yuer diam sesaat dan mengangguk. Dengan napas berat, Yuer membuka pintu aula.

Di dalam, dua pria berbaju resmi membungkuk padanya. Salah satunya membuka gulungan sutra.

"Putri Wen Yuer, atas perintah Jenderal Wen, Anda diminta kembali ke kediaman utama hari ini juga."

Yuer menggigit bibirnya pelan. Setelah bertahun-tahun, hanya surat dan satu kalimat perintah seolah Yuer bukanlah putrinya? Bukan bagian dari keluarga?

Tapi ia mengangguk. "Baik. Aku akan bersiap."

Di luar pintu, angin membawa harum tanaman yang ia tanam sendiri.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Wen Yuer akan kembali ke rumah. Rumah yang tidak pernah menganggapnya bagian dari mereka. Dan tanpa ia sadari, pertemuan tadi pagi di hutan akan menjadi awal dari benang takdir yang perlahan menjeratnya dalam konflik, rahasia, dan sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari luka yang pernah ia sembuhkan.

Rumah Bayangan

Wen Yuer berdiri di pelataran kediaman Jenderal Wen dengan tatapan kosong. Udara ibukota terasa lebih padat, lebih panas, dan entah kenapa lebih menyakitkan untuk dihirup. Rumah besar berlapis kayu mahal itu tampak sama seperti dalam ingatannya—ingin, megah, dan asing. Tidak ada kehangatan yang menyambut di balik dinding-dinding tinggi dan atap berhiaskan ukiran emas. Tidak ada yang berubah, kecuali dirinya.

Dua pelayan yang membukakan pintu hanya meliriknya sekilas sebelum menunduk dengan formalitas kosong. Tak satu pun menyebut namanya. Seolah ia hanya tamu asing, bukan darah daging dari pemilik tempat ini.

Saat ia melangkah melewati pintu utama, suara langkah tergesa terdengar dari dalam aula marmer yang berkilau.

"Kau datang juga," ucap seorang perempuan muda dengan senyum miring yang nyaris menyindir. Gaunnya berkilau lembut, rambutnya ditata rumit dengan hiasan giok, dan bibirnya merah seperti buah delima matang. Sikapnya seperti bunga mekar yang tahu ia selalu jadi pusat perhatian.

"Shuangni," jawab Yuer datar, mengangguk singkat tanpa senyum.

Wen Shuangni, adik tirinya. Putri dari istri Jenderal yang baru, Nyonya Yao, perempuan paling disanjung di kalangan istri pejabat. Mereka sama-sama perempuan, namun dunia memperlakukan mereka seperti siang dan malam. Satu disambut bak bintang pagi, satu lainnya dibungkam seperti bayangan yang tak layak disebut.

Shuangni mendekat sambil menelusuri pakaian Yuer dengan pandangan geli. "Masih mengenakan baju kasar seperti itu? Kupikir setelah bertahun-tahun, kau akan belajar menyesuaikan diri."

Yuer tidak menjawab. Tatapannya tetap lurus ke arah aula dalam, tempat suara langkah berat dan tawa rendah samar terdengar dari balik dinding ukiran naga. Ia tak tertarik beradu sindir.

"Ayah sedang bicara dengan Kak Xianzhe," lanjut Shuangni, nada suaranya ringan namun jelas. "Mereka sangat sibuk akhir-akhir ini, kau tahu... urusan negara. Tapi aku yakin kau tidak mengerti soal itu."

Yuer menghela napas pelan. Sudah biasa. Rumah ini selalu penuh dengan kata-kata yang tak perlu dibalas.

Di balik pintu aula, Jenderal Wen duduk di kursi utama, tubuhnya tegap meski usia mulai merambat di garis rambutnya. Di sisinya berdiri seorang pemuda, Wen Xianzhe, kakaknya. Laki-laki tinggi berseragam militer lengkap, dengan wajah tampan dan sorot mata tajam. Pewaris sah kedudukan ayah mereka. Semua orang menyebutnya harapan kekaisaran.

Ia menoleh saat melihat Yuer masuk, mengangguk kecil. "Yuer."

"Kakak." Yuer membalas dengan sopan.

"Kau tampak sehat," ujarnya datar. "Guru Bai rupanya melakukan tugasnya dengan baik."

Yuer menatapnya sejenak. Begitu, ya? Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, hanya itu? Tapi ia menahan diri. Percuma berharap lebih.

Jenderal Wen mengisyaratkan semua pelayan keluar. Ruangan jadi hening. Suasana berubah seperti batu yang dilempar ke danau tenang.

"Duduklah, Yuer."

Ia duduk. Punggungnya lurus, tangan di atas pangkuan. Tubuhnya tenang, tapi dalam hatinya, angin bertiup liar.

"Aku memanggilmu kembali bukan tanpa alasan," Jenderal Wen memulai, nadanya seperti biasa, tenang dan mutlak. "Negeri ini sedang dalam keadaan genting. Pemberontakan di utara semakin meluas. Kau tentu sudah dengar."

Tentu saja, konflik yang memecah kekuatan kekaisaran. Beberapa pemimpin wilayah terpecah belah, mereka yang membenci kekaisaran memilih bergabung dengan pemimpin pemberontakan—Qi Zeyan, pria yang dia obati sebelumnya.

Jenderal Wen melanjutkan, suaranya rendah namun menusuk, "Ada seseorang yang perlu ditenangkan."

Yuer menoleh, alisnya mengernyit. "Ditenangkan?"

"Negosiasi," jawabnya singkat. "Tapi tidak dengan perundingan biasa."

Keheningan turun perlahan, seperti selimut yang makin menyesakkan dada. Yuer mulai merasakan arah pembicaraan ini.

"Kami memutuskan untuk menawarkan seseorang dari pihak kami. Sebagai tanda itikad baik. Kesungguhan untuk berdamai."

Ia menunduk sejenak, lalu mendongak dengan napas yang nyaris patah menatap ayahnya tak percaya. Dia tahu maksudnya.

"Dan orang itu... aku?"

Jenderal Wen menatapnya, sorot matanya tajam. "Kau adalah pilihan yang paling tepat."

Dari balik dinding, Shuangni berdiri pura-pura mengamati lukisan, kipas di tangannya bergerak pelan. Tapi ekspresinya jelas mendengar semuanya.

Yuer tertawa kecil. Tawa pendek dan getir, bukan karena lucu, tapi karena akhirnya teka-teki itu lengkap.

"Kenapa bukan Shuangni?" tanyanya dengan nada nyaris lembut, tapi tajam. "Dia lebih cantik. Lebih lembut. Lebih... mewakili keluarga kita di mata orang lain."

Ayahnya tak menjawab. Tapi tentu saja Nyonya rumah ini tidak tinggal diam.

"Beraninya! Shuangni masih terlalu muda, lagi pula dia terlalu berharga untuk para pemberontak itu."

Yuer tertawa getir. "Kalau begitu kenapa bukan Kak Xianzhe? Nikahkan dia dengan wanita dari mereka, maka akan lebih mudah untuk mengendalikan mereka bukan?” lanjutnya. "Bukankah akan lebih menunjukkan kesungguhan kalau yang dikirim adalah pemimpin pasukan sendiri?"

Xianzhe menegang. Tapi tetap diam. Seperti biasa.

"Oh, tentu saja." Yuer mengangguk pelan. "Karena aku yang paling mudah dikorbankan. Yang paling tidak berarti."

Jenderal Wen bersuara lebih keras. "Jangan mengada-ada. Ini demi negeri."

Negeri. Alasan suci yang selalu digunakan untuk membenarkan pengorbanan. Tapi siapa yang benar-benar berkorban? Dan siapa yang hanya duduk di balik meja dan memutuskan nasib orang lain?

Yuer tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap ke luar jendela. Taman kecil dengan kolam di tengahnya. Dulu, ia tak pernah diizinkan bermain di sana. Tak boleh menyentuh apa pun yang bisa "mengotori" kesan rumah ini. Padahal taman itu, dengan bunga yang tumbuh, lebih hidup daripada seluruh keluarga ini. Ibunya yang menanam bunga-bunga disana.

Lalu, seolah waktu berjalan mundur, ia mendengar kembali suara gurunya. Lembut, sabar, menenangkan.

"Jika suatu hari kau diminta untuk menyerahkan sesuatu yang melukai hatimu, kau berhak menolak."

Yuer memejamkan mata sesaat.

Lalu membuka lagi.

Maafkan aku, guru.

Dengan suara tenang dan mantap, ia berkata.

"Baik. Aku akan pergi."

Kejutan terpancar sekejap di wajah Jenderal Wen dan Xianzhe. Bahkan Shuangni berhenti memainkan kipasnya.

"Kau tidak bertanya akan dikirim pada siapa?" tanya ayahnya.

"Tidak perlu," jawab Yuer. "Aku yakin siapapun orangnya, lebih ringan daripada tinggal di rumah ini."

Sunyi kembali turun. Tapi kali ini, bukan karena kuasa ayahnya, melainkan karena tak ada yang bisa membantahnya.

...

Malam itu, di sebuah kamar besar yang tak pernah ia kenali, Wen Yuer duduk di depan cermin tinggi dengan bingkai emas. Wajahnya terpantul dengan jelas. Tenang. Datar. Sedikit asing.

Ia mengangkat tangannya, menyentuh pipinya. Tapi perempuan yang menatap balik dari cermin, bukan lagi gadis kecil yang pernah menangis di sudut aula karena kehilangan ibunya.

Ia menghela napas. Dalam, panjang, dan berat.

"Jika aku adalah alat," gumamnya, lirih, "maka aku akan menjadi alat yang tak bisa mereka kendalikan."

Lalu ia tersenyum tipis. Bukan senyum lega, bukan pula kemenangan. Tapi senyum dari seseorang yang untuk pertama kalinya dalam hidupnya, memilih jalannya sendiri.

Dan besok, saat kereta utusan berangkat, Wen Yuer akan duduk di dalamnya bukan sebagai seseorang yang dikorbankan, tapi sebagai pion yang tahu dirinya mungkin saja bisa diuntungkan

Kabut di Utara

Udara di utara lebih dingin, bahkan pada awal musim panas. Angin dari pegunungan menyapu dataran tinggi dengan sunyi yang asing. Ini bukan keheningan yang menenangkan seperti hutan tempat Wen Yuer biasa mengumpulkan herbal, ini sunyi yang berat dan sedikit kelam. Kabut yang dulu menyelimutinya terasa ringan dibanding dingin kaku yang menyambut langkahnya saat ini.

Keretanya berhenti perlahan di depan sebuah gerbang logam tinggi yang dijaga oleh puluhan prajurit berpakaian hitam. Mereka berdiri dalam diam, tubuh tegak sempurna, sorot mata seperti batu. Tak satu pun dari mereka berbicara, namun kehadiran mereka cukup membuat udara terasa makin padat.

Wen Yuer turun dengan langkah tenang. Rambutnya ditata sederhana, setengah disanggul dan setengahnya dibiarkan tergerai, tanpa hiasan. Pakaian yang ia kenakan jauh dari mewah, tetapi bersih dan rapi.

Gaun ungu lembut membalut tubuhnya, dengan garis bordir halus di ujung lengan dan leher. Ia melepaskan semua perhiasan yang dipakaikan oleh pelayan di kediaman ayahnya. Dia tidak mau datang membawa kemewahan dari tempat yang tidak ia sukai.

"Nona Wen Yuer," sapa seorang pria yang terlihat sebaya dengannya berseragam militer dengan suara datar. Ia memberi hormat kecil. "Perkenalkan, saya Han Zichen. Saya akan mengantar Anda ke kediaman Jenderal agung."

Yuer membalas anggukan itu dengan tenang, lalu berjalan mengikutinya tanpa sepatah kata pun.

Di sini, bangunan-bangunan besar berdiri dengan batu kelabu dan atap hitam. Suara sepatu bot menghantam lantai batu menggema dari segala arah, menyatu dengan udara kering dan aroma baja yang melekat.

Langkah mereka melewati barak, gudang senjata, lapangan latihan. Wajah-wajah yang menoleh padanya tampak penasaran, tapi tidak ada yang menyambut. Tidak ada bisikan, tidak ada senyum.

Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah bangunan besar di pusat benteng. Pria bernama Han Zichen itu berhenti di depan pintu aula utama yang terbuat dari kayu gelap dan besi.

"Silahkan," katanya, lalu mundur.

Yuer menghela napas pelan sebelum membuka pintu sendiri.

Ruangan itu luas dan gelap. Tidak ada banyak perabotan, hanya meja panjang, beberapa rak, dan jendela yang dibiarkan terbuka lebar. Sinar matahari tipis masuk membentuk garis-garis tajam di lantai batu, menyoroti debu yang berputar pelan di udara. Tak ada aroma bunga. Hanya udara dingin dan aroma kayu tua.

Dan di ujung ruangan itu, duduklah pria yang menghantui pikirannya sejak hari itu di hutan.

Qi Zeyan.

Waktu seolah berhenti.

Ia duduk di kursi besar, tubuhnya tegap meski tidak mengenakan baju perang. Hanya pakaian hitam polos, dengan kain tipis melapisi dadanya. Rambut panjangnya tidak sepenuhnya terikat, sebagian jatuh di sisi wajahnya. Yuer bertanya-tanya, bagaimana keadaan lukanya? Tentu dia memiliki tabib bukan? Namun, sesuatu membuatnya terpaku.

Sorot mata itu.

Mata hitam gelap yang sama seperti malam tanpa cahaya bulan, kini menatapnya lekat.

Yuer berdiri di ambang pintu selama beberapa detik. Dadanya sesak. Sekejap, ia merasakan gemetar yang tak ingin ia tunjukkan. Tak ada yang tahu bahwa tangan yang kini menyentuh pinggir gaunnya adalah tangan yang dulu menyentuh luka pria itu, mencoba menyelamatkan nyawanya tanpa tahu siapa dia.

Qi Zeyan perlahan berdiri. Tubuhnya menjulang, tegap meski Yuer bisa pastikan dengan pengamatan seorang tabib bahwa lukanya belum sepenuhnya sembuh. Ia melangkah ke arah cahaya.

Tatapan mereka bertemu.

Yuer menahan napas.

Ia tidak pernah berpikir itu Qi Zeyan, pria yang dimaksud ayahnya. Dia sudah berpikir kemungkinan terburuk bahwa itu mungkin jenderal tua yang selalu batuk setiap menitnya, atau mungkin seorang pria dengan perut buncit yang gila wanita.

Tetapi tidak ada kepastian bahwa Qi Zeyan lebih baik dari dua kemungkinan terburuk itu.

Ada sesuatu dari caranya berdiri, cara matanya menyelaminya yang membuat tubuh Yuer terasa kecil, seakan segala harga diri yang ia susun selama perjalanan bisa runtuh hanya dengan satu kalimat.

"Wen Yuer," ucap Zeyan pelan. Suaranya dalam, serak. "Gadis yang menyelamatkan hidupku."

Yuer mengerutkan dahi, berusaha meredam detak jantungnya. "Dan kau membiarkan anak buahmu hampir membunuhku setelahnya."

Zeyan tertawa pendek, nadanya seperti kerikil bergesekan di tenggorokan. "Aku bilang pada mereka untuk tidak melakukannya."

"Setelah mereka bertanya," balas Yuer cepat.

Ia melangkah pelan ke arah Yuer. Tidak tergesa, tidak mendesak, tapi setiap gerakannya seolah mengandung tekanan. Ia berjalan seperti seseorang yang tahu dunia akan diam saat ia bicara.

"Kenapa tidak kabur saat tahu siapa aku?"

"Aku tidak tahu siapa kau saat itu," jawab Yuer.

"Dan setelah tahu?"

Yuer diam sejenak. Matanya tidak berpaling. "Aku rasa, iblis pun bisa berdarah."

Kata-kata itu membuat langkah Zeyan melambat sesaat. Senyum di wajahnya menipis. Matanya menyipit, bukan karena marah, tapi seperti seseorang yang sedang memproses sesuatu yang menarik.

"Kau berbeda dari yang kubayangkan," katanya perlahan. "Kupikir kau akan membosankan, tapi sepertinya kau cukup menyenangkan."

Yuer menahan tawa getir. Tapi bibirnya bergerak sedikit, nyaris seperti senyum. "Aku tidak datang untuk menyenangkan siapa pun."

"Tidak juga untuk perdamaian, kukira."

Ia menatapnya, tajam. "Jadi kenapa menerimaku?"

Qi Zeyan tidak menjawab segera. Ia menoleh ke jendela, menatap langit yang mulai tertutup awan. Lalu perlahan kembali duduk.

"Dan kenapa kau setuju? Apa ayahmu tidak memberitahumu kalau kau adalah hadiahku?"

"Itu bukan urusanmu, dan aku tidak ingin tahu kepada siapa aku dikirim."

Qi Zeyan tertawa kecil. "Bagaimana jika aku adalah seorang pria dengan perut besar yang bahkan kesulitan berjalan? Atau, pria tua? Apa kau masih tidak peduli dengan nasibmu?"

"Memangnya apa bedanya? Toh pria manapun sama saja. Menjadikan wanita sebagai barang untuk kesenangannya." ucap Wen Yuer mencoba terlihat kuat dan tak terpengaruh akan aura mematikan yang pria itu pancarkan.

Tiba-tiba, tatapan Qi Zeyan berubah. Ketajamannya surut perlahan dan entah mengapa, Wen Yuer merasa ada yang berbeda. Apakah itu bisa disebut melembut?

Ternyata dia salah.

Zeyan menyeringai, langkahnya membawa tubuh tinggi itu lebih dekat. Tangan pria itu terulur, mengangkat dagunya dengan gerakan santai namun tegas, memaksanya menatap langsung ke wajahnya.

"Tentu saja ada bedanya..." ucapnya pelan, senyum menyudut menghiasi bibirnya. "Setidaknya pria yang ada di hadapanmu ini enak dipandang, bukan?"

Sialnya dia benar.

Lalu tangannya melepaskan dagu Yuer dengan sedikit sentakan seolah mengejek kelembutannya sendiri sebelum ia berbalik dan mulai berjalan menjauh.

"Untuk poin kedua," lanjutnya sambil berhenti sejenak, kepala menoleh sedikit ke samping sehingga Yuer hanya bisa melihat siluet wajahnya dari balik bayangan, "aku tahu maksudmu, dan tenang saja..."

Hening sejenak sebelum suara dinginnya kembali terdengar, lebih dalam.

"Kalau aku menginginkan seseorang di tempat tidurku, aku tidak perlu cara kotor."

Wen Yuer mengernyit pelan, masih berdiri di tempatnya, menatap punggung lelaki itu yang setengah menoleh.

Suara dari tenggorokannya terdengar ragu namun tetap berani, "Lalu, kenapa kau menerimaku?"

Qi Zeyan tertawa kecil, tanpa geli, tanpa amarah. Lebih seperti seseorang yang terbiasa mendapat hal-hal yang tidak dia minta, tapi tetap menerimanya dengan sikap tak terbantahkan.

"Aku jarang menolak hadiah," katanya santai. "Terlebih jika diberikan dengan sukarela."

Yuer terdiam. Sukarela? Hatinya mencelos, karena dia semakin sadar bahwa ayahnya benar-benar membuangnya. Tapi belum sempat dia bicara, Zeyan kembali melanjutkan, kali ini dengan nada lebih datar namun tak terdengar dingin.

"Meski begitu, kau tetap akan diperlakukan sebagaimana mestinya," ucapnya sambil kembali menatap Yuer sepenuhnya. "Aku akan menyiapkan pelayan pribadimu. Kebutuhanmu akan diurus. Tidak ada yang akan menyentuhmu tanpa izinku."

Wen Yuer menatap pria itu, tak tahu apakah harus merasa lega atau justru semakin bingung. Kata-katanya tak seperti pria yang menerima hadiah. Ia terlalu tenang, terlalu terkontrol, bahkan, terlalu terhormat?

Seketika, semua gambaran buruk yang sudah dia ciptakan dalam pikirannya saat dikirim ke tempat ini terasa tidak berlaku. Dan itu, justru membuatnya lebih takut.

"Kenapa?" bisiknya. "Kenapa kau memperlakukanku seolah aku bukan—"

"Hadiah?" Zeyan menyela. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, nyaris seperti mengejek. "Karena aku tidak menilai seseorang dari bagaimana dia dikirimkan padaku."

Yuer membalas tatapannya. "Lalu aku harus tinggal di sini sebagai...?"

Ia memiringkan kepala sedikit. "Sebagai milikku."

Kata-kata itu diucapkan tanpa nafsu. Tapi juga tanpa ragu. Seperti seseorang yang membacakan hasil vonis yang tidak bisa diganggu gugat.

Yuer menatapnya. Lama.

Lalu mengangguk pelan. "Baik."

Qi Zeyan mengangkat alis, sedikit terkejut. "Tidak bertanya apakah aku akan memperlakukanmu dengan baik?"

Yuer menghela napas. "Rumahku sendiri tidak memperlakukanku dengan baik. Kurasa aku tidak perlu berharap banyak."

Ia melangkah maju, melewati garis cahaya di lantai. Mata mereka masih bertaut.

"Di mana kamarku? Aku tidak ingin tidur di aula orang asing."

Zeyan menatapnya sejenak, lalu tersenyum. Senyum yang bukan mengejek, bukan juga ramah. Tapi senyum seseorang yang menemukan sesuatu yang tak ia duga... dan memutuskan untuk tidak melepaskannya.

"Kau menarik, Wen Yuer."

Di luar jendela, angin utara bertiup lebih dingin dari biasanya, membawa awan gelap yang menggantung rendah. Tapi di dalam aula batu itu, dua orang dari dunia yang seharusnya bertarung kini berdiri di ruang yang sama. Bukan sebagai musuh, bukan juga sekutu. Melainkan dua bayangan yang mulai saling mengenal dalam keheningan.

Dan takdir baru saja berubah arah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!