Malam menjelang tenang, namun di kamar bernuansa pink milik Zoe, suasana terasa seperti ruang hampa yang menyesakkan. Tirai tipis bergoyang pelan diterpa angin malam, dan lampu meja menyala lembut, menerangi sebagian wajah Zoe yang sedang duduk di sofa kecil dekat jendela.
Tiba-tiba terdengar ketukan pelan dari arah pintu.
Tok!
Tok!
Zoe menoleh. “Masuk,” ucapnya datar namun tidak bernada galak.
Perlahan, pintu terbuka. Seorang pelayan tua, pria berusia sekitar lima puluhan dengan tubuh agak membungkuk, masuk dengan membawa nampan perak berisi makan malam lengkap, sup, lauk, dan segelas susu hangat. Tangannya bergetar ringan saat berjalan masuk.
Zoe memperhatikan gerak-geriknya. Pria itu menunduk dalam-dalam, tanpa berani menatap wajahnya.
“Silakan diletakkan di meja,” ujar Zoe.
Pelayan itu berjalan cepat dan meletakkan nampan dengan hati-hati di meja kecil dekat tempat tidur, lalu mundur pelan. Bahkan sebelum Zoe sempat berkata apa-apa lagi, pria itu hendak berpaling dan melangkah pergi.
Zoe mengernyit. “Tunggu.”
Pelayan itu berhenti di tempat, tubuhnya sedikit gemetar.
Zoe berdiri dari sofa, mendekat perlahan sambil memandangi wajah prajurit rumah itu dengan tatapan serius.
“Apa aku semenakutkan itu, ya?” tanyanya tiba-tiba.
Pelayan itu terdiam, wajahnya makin tertunduk. “B—bukan begitu, Nona .…”
Zoe menatapnya. “Apa aku pernah berbuat salah padamu?”
Pelayan itu tampak gelisah. Butuh beberapa detik baginya untuk menjawab, dan saat akhirnya dia menggeleng pelan, Zoe melihat jelas rasa takut yang dalam di wajahnya.
“Tidak, Nona. Saya … saya hanya menjalankan tugas.” Tentu pelayan itu berbohong, karena Zoe asli memang sangat jahat bahkan tak segan memecat atau memaki pelayan yang tidak dia sukai.
Zoe menarik napas panjang. Ia menatap tangan pelayan itu yang gemetar, dan tiba-tiba merasa perutnya mual bukan karena lapar, tapi karena rasa tidak nyaman yang muncul dari dalam dirinya sendiri.
“Sejahat itu, ya … Zoe Aldenia di dunia ini,” gumamnya lirih, lebih pada diri sendiri.
Pelayan itu tak menjawab, hanya berdiri mematung.
Zoe menatapnya sekali lagi, kali ini tatapannya lembut dan lelah. “Kau boleh pergi.”
Pria tua itu menunduk dalam, lalu segera keluar dari kamar tanpa suara.
Saat pintu tertutup kembali, Zoe duduk di tepi tempat tidur, memandangi nampan makanannya yang masih utuh. Ia tak tersentuh selera sedikit pun.
“Jadi begini rasanya … masuk ke dalam hidup seseorang yang dibenci semua orang. Ucapan Reva benar-benar menjadi kenyataan.”
Ia menatap pantulan dirinya di cermin besar di seberang kamar, lalu tersenyum miris.
“Zoe Aldenia … kau meninggalkan warisan yang luar biasa. Dendam, luka, dan ketakutan.”
Ia menyandarkan tubuh ke sandaran ranjang, menatap langit-langit.
“Tapi mulai malam ini, aku yang akan mengambil alih cerita hidupmu. Dan akan kuluruskan semuanya dengan caraku sendiri.”
****
Pagi itu, sinar matahari menerobos lembut ke dalam dapur mewah rumah keluarga Wiratmaja. Suara sayatan pisau yang ritmis terdengar dari meja dapur, disertai aroma harum dari tumisan sayur dan nasi hangat.
Zoe Aldenia, dengan rambut diikat sederhana dan masih mengenakan seragam sekolah putih abu-abu rapi, tampak sibuk memindahkan lauk ke dalam kotak bekal makanannya sendiri. Potongan sayuran tertata apik, sepotong dada ayam panggang tanpa minyak, dan sebutir telur rebus. Rapi. Sederhana. Bersih.
Wajahnya tetap tenang, fokus dan datar seperti biasanya.
Tiba-tiba, terdengar langkah kaki dari arah tangga.
“Heh?! Lihat deh,” suara Arya terdengar duluan, penuh nada mengejek.
“Dia balik lagi ke mode gadis rumah tangga, nih, mode caper,” tambah Arvan, si kembar lainnya, sambil tertawa kecil.
“Lagi masakin bekal buat kita, ya?” Arya menyikut bahu saudaranya dan terkekeh, berdiri di ambang pintu dapur mengenakan seragam SMA.
Zoe tidak menjawab. Ia hanya menutup rapat kotak makanannya, lalu mengambil tali pengikat untuk mengamankannya.
“Zoe ... berapa kali sih kami harus bilang?” kata Arvan sambil berjalan mendekat. “Makanan buatanmu itu najis. Kami gak akan sentuh, apalagi makan.”
“Mau kamu kasih racun juga di dalamnya? Supaya kamu bisa jadi anak satu-satunya di rumah ini?” tambah Arya sambil bersandar di dinding, tertawa puas dengan ejekannya sendiri.
Jesper, yang baru turun dengan kaos dan jaket santai khas mahasiswa, melihat bekal itu di atas meja dan dengan santainya menjulurkan tangan ingin mengambilnya.
“Kalau gak buat mereka, mungkin buat anjing jalanan aja, ya? Lumayan, siapa tahu hari ini lo berubah jadi sedikit berguna.”
Namun sebelum jemarinya menyentuh kotak makan, Zoe berbicara tanpa menoleh.
“Sayangnya ....” suaranya dingin, tajam, penuh ketegasan. “gue gak masak buat kalian.”
Jesper terhenti, menatap Zoe yang kini berdiri dan menatap mereka dengan wajah datar.
“Bekal ini buat diri gue sendiri.” Zoe mengambil kotak makan itu dari meja dengan satu tangan. “Gak ada racun, gak ada drama, cuma makanan sehat yang gak bakal pernah kalian hargai.”
Ia menatap mereka bertiga satu per satu, matanya tajam dan penuh peringatan.
“Sampai sini ... paham? Kalau gak paham berarti kalian gak paham bahasa manusia.”
Arya dan Arvan terdiam, jelas tak menyangka Zoe bisa bicara sekeras itu.
Jesper hanya mendecak. “Gaya lo berubah, tapi tetap aja lo—”
Zoe langsung melangkah pergi, melewati mereka tanpa menggubris sisa kalimatnya.
Sambil berjalan menuju pintu, ia menambahkan pelan namun menusuk. “Daripada terus ngemis validasi, mending kalian belajar masak sendiri. Daripada terus hina makanan orang.”
Dan Zoe pun keluar dari dapur, meninggalkan ketiga pria itu berdiri terdiam. Tak satu pun dari mereka bisa membalas dengan ejekan seperti biasa.
Mereka benar-benar terkejut melihat Zoe berbicara tajam pada mereka. Biasanya Zoe akan bersikap lemah lembut yang menjijikan menurut mereka.
***
Meja makan pagi itu lebih ramai dari biasanya. Semua anggota keluarga Wiratmaja sudah berkumpul dengan pakaian rapi, sarapan terhidang mewah, dan percakapan kecil yang mengalir.
Namun satu hal terasa ganjil.
Zoe Aldenia, gadis yang biasanya penuh drama dan sering mencari perhatian dengan membujuk, memaksa, atau menawarkan makanan buatan sendiri kini hanya duduk tenang di kursinya. Wajahnya datar. Ia makan dengan gerakan pelan dan sopan, tak bersuara, tak menyapa.
Tangannya mengambil roti gandum dan sayuran rebus dari piringnya, lalu mengunyah perlahan sambil membaca sekilas pesan di ponselnya.
Tak ada basa-basi. Tak ada kalimat sok manis. Tak ada celoteh “Kak Jesper, mau aku ambilin teh?” atau “Kak Varo, kamu udah makan?”
Semuanya hening dari sisi Zoe.
Alicia yang duduk di seberangnya, memperhatikan dalam diam. Alisnya mengernyit. Sesuatu terasa salah. Ini bukan Zoe yang biasa dia kenal yang biasanya akan embuat masalah dengannya.
Dengan ekspresi ragu-ragu, Alicia mengambil sup krim jamur hangat dari mangkuk besar di tengah meja. Ia menuangkannya ke mangkuk kecil, lalu dengan senyum manis berusaha menjangkau Zoe.
“Kak … ini sup favoritmu, kan?” katanya lembut. “Aku ambilin buat kakak ya. …”
Namun saat ia mengulurkan mangkuk itu tangannya terpeleset sedikit.
“Akh!”
Clossh!!
Sup panas itu tumpah langsung ke tangan Zoe, mengenai pergelangan dan sebagian lengannya. Zoe refleks menarik tangannya dan meringis pelan.
“Ssstttt .…” gumamnya, menahan rasa panas. Ekspresinya tetap tenang, meski terlihat jelas rasa sakit itu nyata.
Alicia langsung terlihat panik, matanya membulat, lalu mulai berbicara dengan suara bergetar.
“Maaf! Maafkan aku, Kak … aku gak sengaja, sungguh … aku … aku cuma mau ngasih sup. .…” Matanya langsung berkaca-kaca.
“Aku … gak niat nyakitin kakak … aku cuma pengen kita akur .…”
Zoe yang masih memegang serbet untuk membersihkan tangannya hanya menatapnya datar. Belum sempat Zoe bicara, suara lantang terdengar lebih dulu.
“Lihat, Zoe!” Jesper langsung berseru. “Dia cuma mau ngasih sup. Kamu bikin dia nangis sekarang!”
Arya mendengus, “Nangis lagi karena Zoe? Wah, dia parah banget sih, bisa bikin adiknya sendiri trauma.”
Arvan menimpali dengan nada sinis, “Masih belum cukup ya, Zoe? Kamu emang benar-benar gak berubah sama sekali ya, tetap jahat.”
Varo meletakkan sendoknya dengan keras di atas meja. Tatapannya menusuk Zoe. “Kau itu memang gak bisa berubah, ya? Gak tahu diri, selalu menyusahkan. Lihat dirimu sekarang, malah makan diam-diam kayak orang asing, tapi tetap aja bikin masalah.”
Tina, sang ibu, menghela napas berat.
“Zoe, kau selalu begini. Selalu membuat suasana rusak. Anak lain bisa duduk dan makan dengan damai, tapi kau .…” Ia menggeleng dengan kecewa. “Apa sulitnya sedikit bersikap baik? Cepat, minta maaf sama Alicia.”
Zoe perlahan menaruh sendoknya, lalu menatap Alicia yang masih menangis tersedu.
Lalu dia menatap satu per satu mereka yang menghujat dengan wajah tanpa ekspresi, namun matanya dingin menusuk.
“Kalian selesai?” Suaranya pelan tapi membuat ruangan mendadak sunyi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
MataPanda?_
𝘀𝗲𝗺𝗮𝗻𝗴𝗮𝘁 𝘁𝗲𝗿𝘂𝘀 𝗸𝗮𝗸
𝘀𝗲𝗹𝗮𝗹𝘂 𝗱𝗶 𝗯𝗲𝗿𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗲𝘀𝗲𝗵𝗮𝘁𝗮𝗻 .. 𝗯𝗶𝗮𝗿 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝘂𝗽 𝗯𝗮𝗻𝘆𝗮𝗸"😀😀
2025-07-08
1
vj'z tri
si pick me beraksi ,ehm kita liat dulu permainan mu sampai di mana .... tunggu pembalasan selanjutnya okeh 😏😏😏
2025-07-09
0
vj'z tri
ehh gak di apa apain loh nangis sendiri juga .... jangan jangan setan kerasukan setan 🤣🤣🤣🤣🤣
2025-07-09
0