Teman Mbak Mia

Nekad menerobos hujan lebat. Alhasil, sekujur tubuh Sandi dari kepala hingga kaki basah kuyup.

Dia menyandarkan punggungnya pada pintu kamarnya. Dadanya naik turun, dia terengah-engah karena berlari menaiki tangga menuju lantai tiga.

Seseorang yang dulu pernah membuatnya berdebar, tadi muncul di hadapannya. Apa mungkin dirinya salah lihat?

Tapi itu mustahil, karena jarak mereka hanya terhalang meja warung kopi. Penglihatannya tak mungkin salah, dia melihat sosok itu.

Laki-laki yang tiga tahun lalu memberikan buket bunga di acara resepsi pernikahan mantan rekan kerjanya. Laki-laki yang membuat tidurnya tak nyenyak selama tiga hari. Sosok yang terlalu takut dia gapai atau sekedar cari tau.

Sandi cukup sadar diri, dia bukanlah perempuan cantik dan menarik. Pernah dua kali ada laki-laki yang meninggalkannya demi perempuan lain. Pun soal alasan perpindahannya ke ibu kota, salah satunya karena hal tersebut.

Lamunannya buyar, karena tempatnya bersandar diketuk dengan keras. Sandi membuka pintu dan mendapati tetangga kamar sebelah.

"Lo yang bikin basah lantai, kan?" Tanya perempuan yang mengenakan crop top dan short pants berwarna hitam.

Sandi melirik ke arah lantai depan pintu kamar arah tangga.

Perempuan itu menjentikkan jarinya. "Malah bengong! Pel nggak? Hampir aja tadi gue kepleset. Tanggung jawab Lo!" nada suaranya meninggi.

"Iyya ... Mbakkk ..." Sandi tergugu.

"Gue bukan mbak Lo!" lagi perempuan itu ngegas. "Pel sekarang, awas aja kalau sampai nggak." Matanya melotot.

Sandi bergegas mengambil alat pel, yang biasa tersedia di dekat dapur yang berada di ujung dekat tangga.

"Mau kemana Lo?" Lagi perempuan itu meninggikan suaranya sambil melipat tangan di dada.

Sandi sempat melangkah beberapa kali dari pintu kamarnya. Dia berbalik menatap bingung tetangga kamarnya. "Saya mau ngepel, kan tadi kamu suruh saya tanggung jawab." Sahutnya.

"Lo mau ngepel dengan baju basah kuyup gitu? Sama aja bego! Ganti baju dulu sana, nggak pake lama. Abis itu baru Lo ngepel semua lantai, yang tadi Lo lalui." Perempuan itu menunjuk ke arahnya dari atas ke bawah dengan jari lentik berhiaskan nail art.

Sandi menunduk untuk menatap penampilannya sendiri, bajunya basah kuyup. Dengan cepat dia memasuki kamarnya dan menutup pintunya pelan.

Astaga, selain memiliki wajah tak ramah. Tetangga kamarnya, cukup galak. Sandi pikir, orang daerahnya cukup kasar ketika berbicara. Tapi nyatanya, orang Jakarta lebih kasar.

***

Sambil menggerutu pelan, Sandi mengepel dari lantai tiga menuju lantai satu. Rasanya lelah sekali.

Seharian harus berkunjung ke pabrik padahal akhir pekan, kehujanan dan kena omel tetangga kamarnya. Rasanya ingin sekali kembali saja ke pabrik dan tinggal di mes yang damai.

Penyesalan selalu datang belakangan, ingin rasanya dia mengulang waktu dan tak terburu-buru mengajukan pindah ke kantor pusat. Lebih baik tinggal di Surabaya, walau gajinya lebih rendah tapi Sandi tak perlu menghadapi kerasnya ibu kota.

Benar kata sebagian orang, Jakarta hanya untuk orang bermental baja. Tidak seperti dirinya, yang memilih lari dari pada menghadapi kenyataan.

Tak terasa, bulir bening mengalir di pipi. Baru beberapa hari saja, sudah seberat ini. Bagaimana nanti kedepannya? Apa mungkin dia bisa bertahan di ibu kota yang lebih kejam dari ibu tiri?

Suara berat, membuatnya yang sedang mengepel tangga terakhir. Menoleh, namun detik berikutnya matanya kembali melebar.

"Kamu saya panggil-panggil malah lari." Lelaki yang mengenakan kaus putih dan celana pendek selutut itu menyodorkan uang receh ke arahnya. "Kamu tadi makan mi rebus, air jeruk hangat dan gorengan dua kan?" Tanyanya. "Kembaliannya jadi dua puluh enam ribu."

Bukannya mengambil uang yang disodorkan padanya. Sandi justru melongo menatap sosok, yang kembali membuat hatinya kebat-kebit. Jantungnya berdetak lebih kencang dan mendadak tangannya mulai dingin.

"Hei ... Kok bengong? Ini ambil kembaliannya."

"Mas Ari." Gumamnya pelan.

"Ya ..." Lelaki yang tingginya sekitar seratus tujuh puluhan itu mengernyitkan dahinya. "Kamu tau saya?" Tanyanya.

Walau belum pernah berkenalan secara resmi, tapi Sandi tau. Jika sosok laki-laki yang kini berdiri berjarak satu setengah meter darinya adalah teman dari Mia Andani.

"Apa sebelumnya kita pernah bertemu?" Tanya laki-laki bernama lengkap Ari Susilo.

"Saya ... Saya ..." Mendadak Sandi bingung harus mengatakan apa. Apa dia harus memperkenalkan namanya atau mengaku sebagai teman Mia? Andai menyebutkan namanya, Apa Ari juga tau?

"Kamu penghuni kamar 305, kan? Nama kamu Sandi?" Terka Ari. "Bang Ucup yang kasih tau saya." Sambungnya.

Sandi melebarkan matanya, namun pipinya justru terasa panas. Entah mengapa tiba-tiba ada sesuatu yang menggelitik perutnya. Laki-laki didepannya mengetahui namanya, rasanya ingin sekali dia melompat saking senangnya.

"Apa kamu menangis? Mata kamu merah, pipi dan hidung kamu juga." Ari sedikit menunduk, guna mensejajarkan wajah keduanya. "Apa ada yang membuat kamu bersedih?" Tanyanya.

Sandi menggigit bibir bawahnya, agar tak tersenyum seperti orang kurang waras di saat seperti ini.

"Hai ... Sandi!!!" Ari melambaikan tangannya.

"Eh ... Iya mas!" rasa gugup menyeruak dalam dirinya.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Ari bertanya lagi. "Sepertinya wajah kamu tak asing." Ari kembali menatap kearahnya.

"Saya ... Saya ... Temannya Mbak Mia." Akhirnya dia mengakui.

"Mia?" Ari menegakkan tubuhnya. "Mia Andani?"

Sandi mengangguk kencang, "iya mbak Mia yang Jumat kemarin baru lahiran. Mas Ari temannya mbak Mia, kan?"

"Oh ... Ya? Jadi kamu teman Mia yang mana?"

Rasanya ada sesuatu yang patah, tapi bukan ranting pohon. Melainkan hati Sandi. Rasa gugup berganti menjadi patah hati. Kenapa bisa berubah secepat ini?

"Oh ... Ya saya ingat, kamu rekan kerja Mia waktu di pabrik. Betul kan? Kalian juga satu mes." Ari menerka.

Gugup lalu patah hati dan kini Sandi merasakan kelegaan. Ari mengingatnya, hanya seperti ini saja. Dia sungguh bahagia.

"Kamu udah selesai ngepel, kan?" Tanya Ari dan Sandi mengangguk kencang sambil menarik bibirnya.

"Kamu ada waktu buat ngobrol, nggak?" Tanya Ari.

"Ada Mas ... Ada." Astaga wajahnya makin terasa panas.

"Duduk sana yuk!" Ari menunjuk sofa ruang tamu. "Oh ya, ini kembalian kamu pegang dulu. Entar saya lupa lagi." Dia menyodorkan uang pecahan satu lembar dua puluh ribu dan tiga lembar uang dua ribu.

Bukannya mengambil, Sandi justru bengong menatap tangan di depannya. Apa boleh dia menyentuh tangan itu? Bagaimana jika dirinya kembali merasakan sengatan seperti tiga tahun lalu, ketika lelaki ini memberikannya bunga?

Ari mengambil tangan Sandi dan menaruh uang kembalian itu pada telapak tangannya. "Kamu dari tadi bengong terus. Ayok ngobrol, kali aja pikiran kamu bisa ringan setelah mengungkapkan unek-unek." Dia juga menuntun Gadis yang mengenakan daster batik menuju sofa ruang tamu.

Sandi menganga tak percaya, bagaimana bisa tangannya dipegang oleh lelaki yang sempat membuatnya kesulitan tidur? Apa ini mimpi? Kalau iya, tolong jangan bangunkan dia? Mimpi ini terlalu indah. Sandi menolak untuk bangun. Dia ingin seperti ini, walau sebentar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!