...•••...
Mereka adalah dua manusia yang seharusnya tidak melanggar batas-batas yang ada.
Tindakan ini tidak bermoral.
Namun, salah satu di antara mereka kini terperangkap dalam sebuah dilema yang memalukan. Sebuah zat yang terkandung dalam minumannya menghangatkan tubuhnya, membangkitkan keinginan yang semakin sulit untuk dibendung.
"Ahhh... Ben..."
Suara Hayaning terlepas begitu saja, meluncur lembut di antara hembusan napas yang terengah. Dalam keheningan kamar hotel, ada perasaan yang begitu kuat dan tak dapat dihindari, seiring tubuhnya bergerak dengan tubuh bodyguard nya.
"Maafkan saya, Nona," ujar Ben dengan suara serak, penuh penyesalan. "Saya tidak bermaksud untuk melanggar batasan ini, apalagi mengambil sesuatu yang begitu berarti bagi Nona."
Haya menggeleng perlahan, suaranya hampir tak terdengar di tengah desahan napas yang semakin berat. "Tidak, ini salahku... aku yang memintanya... aku yang membawa kita ke sini."
Ben berusaha untuk menghentikan semuanya, ingin menarik diri dari situasi yang semakin sulit dikendalikan. Namun, tubuhnya tidak bisa memungkiri nikmatnya peraduan dengan Nona nya ini.
Setiap gerakan, setiap kedekatan, membawa sensasi yang begitu luar biasa, begitu intens dan menggetarkan.
Meski kamar hotel ini jauh dari kemewahan, Ben memastikan kebersihan dan keamanannya sebelum membawa Haya ke sini. Namun, di balik semua itu, pikiran mereka tak bisa sepenuhnya lepas dari kenyataan akan ada penyesalan yang harus dihadapi saat semuanya usai.
Kesalahan ini tidak dapat dihapus, dan keduanya tahu bahwa hubungan yang telah terjalin malam ini akan mengubah cara pandang mereka setelahnya. Tetapi... Mungkin saja hanya bagi Haya.
"Euhhh..."
Haya tenggelam dalam gelombang perasaan yang mengaliri seluruh dirinya, napasnya bergetar seiring sensasi yang menyapu inti miliknya tanpa ampun di bawah sana.
"Ahh..."
Tangan Ben membimbingnya dengan lembut, membuat posisinya berubah kebelakang, dan seketika segalanya terasa lebih intens. Sensasi itu melanda dirinya tanpa henti, menelusup hingga ke sudut-sudut pikirannya yang perlahan kabur, larut dalam keterikatan yang sulit dijelaskan.
Haya menggigit bibir, mencoba meredam suara yang hampir lolos begitu kedua benda kenyal miliknya di remas tangan kekar Ben.
Sensasi ini—hangat, menggetarkan—membuatnya semakin tenggelam, semakin ingin didekap, semakin mendambakan keintiman yang terasa begitu nyata.
“Benji…” Suaranya lirih, nyaris teredam, namun sarat dengan emosi yang sulit dijelaskan.
Ben sedikit tersentak mendengar panggilan itu. Alisnya terangkat meski napasnya masih berat, ia terasa senang mendengar namanya disebut seperti itu oleh Hayaning.
"A—apa boleh aku memanggilmu begitu?" tanyanya, suaranya setengah bergetar di antara keberanian dan rasa malu yang membayangi.
Ben menatap punggung Haya yang masih bergerak lembut dalam dekapannya, napas mereka berpadu dalam panas berhasrat yang memenuhi ruangan. Nama itu—Benji—terdengar asing di telinganya, namun anehnya meninggalkan jejak yang hangat di hatinya.
Haya merasakan sejenak Ben terdiam, seakan tengah mencerna ucapannya. Kegelisahan merayap dalam dirinya, takut telah melampaui batas, namun ia tak mampu menarik kembali kata-kata yang sudah terucap.
“Kalau itu yang Nona mau,” jawab Ben akhirnya, suaranya rendah, hampir seperti bisikan. “Kamu bisa memanggilku apa saja, nona Hayaning.”
Haya terdiam, senyumnya terselip di antara napas yang masih bergetar.
"Ughhh..."
"Ahh..."
Ben merengkuh pinggangnya, jemarinya menguatkan genggaman untuk menggerakkan pinggul Hayaning. “Apa pun yang terjadi malam ini, Nona, maka esok harus kita lupakan segalanya.”
Haya tercenung sesaat. Kalimat itu seperti pisau yang mengiris tipis kebahagiaan semu yang tengah ia genggam.
Namun, ia memilih untuk tetap diam, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang hanya malam ini bisa ia miliki, meski ia tahu, ketika fajar menyingsing, segalanya harus berakhir.
•••
Haya membuka matanya dengan berat. Tubuhnya terasa lelah, namun hangat yang tersisa di sampingnya membuat kesadarannya bangkit perlahan.
Ia menoleh, mendapati Ben sudah duduk di tepi ranjang, mengenakan kembali jas hitamnya yang semalam sempat tergeletak di lantai bersama dengan pakaian mereka.
Ben tidak melihat ke arahnya, hanya menatap jendela dengan sorot mata yang sulit ia baca. Dalam keheningan itu, detak jantung Haya melambat, seolah menggantikan kehangatan semalam dengan rasa canggung yang menyelinap di antara mereka.
“Ben…” Suaranya terdengar serak, memecah kebisuan yang terasa semakin menekan.
Pria itu menoleh, ekspresinya dingin sekali. “Nona Hayaning, sudah saatnya kita kembali. Saya akan memastikan tidak ada yang mengetahui ini.”
Kata-kata itu menelusup tajam ke dalam dadanya. Begitu dingin, begitu berjarak, seolah menegaskan bahwa semalam hanyalah peristiwa yang tak berarti baginya.
“Apa… semalam hanya sebuah kesalahan bagimu, Ben?”
Suara Haya bergetar, meski ia berusaha keras menyembunyikan luka yang perlahan menggerogoti hatinya.
Ia sadar, pertanyaan itu mungkin terdengar bodoh, tapi ia tak bisa menahannya. Keberanian yang ia kumpulkan terasa rapuh, seperti kaca yang hampir retak. Bagaimanapun, semua ini berawal dari permintaannya sendiri—sebuah permohonan yang lahir dari keputusasaan.
Obat yang secara licik dimasukkan ke dalam minumannya oleh calon suaminya, telah membuatnya kehilangan kendali atas tubuhnya.
Pria yang seharusnya menjadi pendamping hidupnya ternyata berhati lebih busuk dari yang pernah ia bayangkan. Haya masih mengingat dengan jelas bagaimana ia memergoki calon suaminya bermalam dengan seorang perempuan dari kalangan selebriti.
Tanpa rasa malu atau penyesalan, pria itu terus memainkan intrik perjodohan mereka dengan begitu rapi. Dan kini, seolah belum cukup menghancurkan kepercayaannya, ia bahkan berusaha merenggut harga dirinya.
Mata Haya menatap Ben, mencari sesuatu—penyesalan, rasa bersalah, atau mungkin secuil perasaan yang sama seperti yang ia rasakan. Namun, pria itu hanya berdiri di sana, ekspresinya tetap tak terbaca, begitu dingin dan jauh.
“Semalam,” Ben akhirnya berkata, suaranya rendah dan tegas, “adalah sesuatu yang terjadi karena keadaan memaksa. Saya tidak pernah berniat melangkahi batas dengan Nona.”
Hayaning menggigit bibirnya, berusaha menahan perasaan yang bergemuruh di dadanya. Ia tahu Ben tidak salah. Pria itu hanya menjalankan tugasnya—melindunginya. Apa yang terjadi semalam hanyalah konsekuensi dari situasi yang tak diinginkan. Tapi mengapa rasanya seperti ada sesuatu yang direnggut paksa dari hatinya?
Perlahan, Haya bangkit, menarik selimut untuk menyelimuti tubuhnya. “Kalau begitu, aku minta maaf,” ucapnya akhirnya, suaranya berusaha terdengar kuat meski ada sedikit getaran. “Aku tidak seharusnya melibatkanmu dalam kekacauan hidupku.”
Ben menatapnya dalam diam, sebelum akhirnya berkata dengan nada pelan, hampir seperti bisikan, “Nona tidak perlu meminta maaf. Saya hanya berharap Nona dapat melupakan kejadian malam tadi. Saya berjanji, kejadian semalam tidak akan memengaruhi hubungan kita sebagai atasan dan bawahan."
"Ya kamu benar Ben. Terimakasih atas bantuannya semalam."
Ia hendak bangkit dari ranjang kasur, namun tubuhnya terasa begitu lemas dan kedua kakinya terasa sakit, serta hampir seluruh badannya merasakan pegal yang luar biasa.
Ia mencoba menutupi ketidaknyamanannya dengan mengalihkan pandangan, tidak ingin terlihat rapuh di hadapan Ben.
Ben memperhatikannya. Ada keraguan dalam matanya sebelum akhirnya ia mendekat, menawarkan lengannya sebagai tumpuan. “Nona, izinkan saya membantu.”
Haya menatapnya, ada sedikit rasa segan yang tergambar jelas di matanya. Namun, ia sadar bahwa dalam kondisi seperti ini, ia tidak bisa memaksakan diri.
“Terima kasih, Ben,” gumamnya pelan, menerima bantuan itu dengan tangan sedikit gemetar.
Dengan gerakan yang tegas namun tetap hati-hati, Ben menggendongnya ala bridal style menuju kamar mandi. Haya tetap menggenggam erat selimut yang menyelimuti tubuhnya, sementara lantai dingin menyentuh ujung kakinya saat ia diturunkan dengan lembut.
"Tunggu sebentar, Ben," ucap Haya tiba-tiba, berbalik dan melepaskan selimut yang membungkus tubuhnya.
Ben sempat terpaku sejenak sebelum buru-buru mengalihkan pandangan. Namun, matanya sempat menangkap ruam-ruam kemerahan di tengkuk Haya—jejak dari kendalinya yang terlepas semalam.
"Ah, ya." Dengan cepat, Ben membalikkan badannya, rahangnya mengeras saat ia menatap lantai kamar mandi yang dingin.
"Maaf," ujar Haya, menyerahkan selimut kepadanya. "Aku akan membersihkan diri dengan cepat."
Ben menerimanya tanpa banyak bicara. “Saya akan menunggu di luar, Nona,” ucapnya singkat sebelum melangkah mundur, menutup pintu dengan hati-hati.
•••
Ketika Haya selesai dengan ritual mandinya. Ia segera membuka pintu kamar mandi, dan ia mendapati kamar itu kosong. Ben sudah tidak ada di sana, tetapi sebuah catatan kecil tertinggal di atas nakas. Haya segera mengambil kertas itu dan membacanya.
Hubungi saya ketika Nona sudah siap. Saya akan menunggu di lobby untuk memastikan semuanya aman. -Ben.
Haya segera mengenakan pakaian semalam. Ia merapikan rambutnya, mencoba menutupi segala jejak dari malam yang baru saja berlalu. Namun, bayangan jelas tentang adegan malam tadi menyapa kembali di kepalanya.
"Oh… Meresahkan, stop Hayaning." Gumam nya frustasi, sembari memukul pelan kepalanya.
Lantas Hayaning menghela nafas panjang. Ia harus kembali pada kenyataan.
Maka, dengan langkah yang agak ragu, Haya keluar dari kamar hotel untuk menuju lobby. Di sana, Ben duduk di sofa dengan postur tegap, matanya tertuju pada layar ponselnya.
Menyadari Haya datang, Ben mengangkat pandangannya, memasukkan ponselnya kedalam saku jasnya dan segera mengambil sikap berdiri.
“Nona, sudah siap?” tanyanya.
Haya mengangguk pelan. “Iya, Ben. Terima kasih.”
Ben mempersilahkan Nona nya untuk jalan lebih dulu. Sampai di parkiran, ia membukakan pintu mobil untuknya dan ia masuk ke pintu kemudi.
Ben merogoh sesuatu dari sakunya dan menyerahkannya pada Haya—sebuah pil dalam kemasan kecil.
“Maaf, Nona. Semalam kita tidak cukup hati-hati. Ini… hanya tindakan pencegahan. Saya sudah mampir ke apotek tadi.”
Haya menatap pil pencegah kehamilan itu sejenak dengan getir, sebelum akhirnya mengambilnya.
“Terima kasih, Ben,” ucapnya, ia pun menelan obat itu dengan cepat lalu menegak air mineral untuk membantu menelan nya.
Saat mobil mulai melaju, Haya menatap keluar jendela dengan perasaan sedih tak karuan, air mata pun lolos di wajah ayu rupawan nya.
Ben yang melihat pada kaca spion tidak mengatakan apa-apa. Dia tetap fokus pada jalan, memberi ruang pada Nona nya untuk menyelesaikan emosi nya.
Dalam pikirannya, Ben menganggap Haya pasti merasa kecewa sekali sebab sudah dikhianati oleh calon suaminya. Sebatas itu saja, dan Ben tidak menyadari bahwa sebenarnya, Haya bersedih karena dirinya. Karena menaruh perasaan kepada orang yang tak akan pernah bisa Hayaning miliki.
...•••...
...•••...
“Benjamin, ini adalah putri saya, Hayaning Bstari Dewi Adhijokso."
Suara seorang pria terhormat, Ketua Jaksa Agung, Brata Adhijokso, terdengar tegas namun penuh kebanggaan saat memperkenalkan putrinya.
"Hayaning, pria ini adalah bodyguard pribadi yang Papa rekrut dari salah satu perusahaan jasa keamanan terbaik. Namanya, Benjamin Zachary Graham."
Haya memandang pria di hadapannya, berparas mix, tubuh tinggi dan tegap dengan aura maskulin yang tak bisa diabaikan. Matanya tajam berwarna cokelat, seolah mampu menembus lapisan luar siapa pun yang dilihatnya. Ia mengangguk sopan, meski ada sedikit rasa canggung dalam sikapnya.
“Senang bertemu dengan Nona Hayaning,” ujar Benjamin dengan suara rendah, menyelipkan penghormatan dalam nada bicaranya. Ia memberikan anggukan kecil, memperlihatkan profesionalitasnya.
“Ben,” Brata melanjutkan, menatap pria dihadapannya dengan serius. "Lindungi Haya dengan nyawamu jika perlu. Saya tidak ingin menerima kegagalan.”
Benjamin mengangguk tanpa ragu. “Saya mengerti, Pak. Saya akan memastikan Nona Hayaning selalu aman.”
Haya menelan ludah, merasa canggung sekaligus tak tahu harus bereaksi seperti apa. Kehadiran Benjamin terasa begitu berbeda dibandingkan bodyguard yang lalu-lalu.
Sebelumnya, ia dijaga oleh seorang pria paruh baya yang penuh wibawa, galak, dan tegas. Setiap gerak-geriknya selalu diawasi dengan tatapan tajam dan peringatan keras yang kerap membuatnya merasa seperti tahanan.
Namun, Benjamin jelas bukan pria tua yang sama. Tubuhnya tegap, wajahnya muda namun memancarkan ketegasan, dan sorot matanya dingin seperti pisau yang bisa menembus siapa saja.
Meski tidak ada tanda-tanda sikap galak seperti pendahulunya, tatapan pria ini seolah berjanji bahwa ia akan menjaga Haya dengan cara yang tak kalah serius.
Haya hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, bagaimana ia harus beradaptasi dengan bodyguard yang kali ini begitu berbeda?
Haya sepertinya, akan menjadi amat canggung sebab baru pertama kali ia merasakan rasa aneh seperti ini ketika bertemu dengan bodyguard barunya.
"Hayaning," suara Pak Brata memecah lamunannya.
"Papa hampir lupa dengan usia putri bungsu Papa. Maaf, ya, Papa makin tua, dan pekerjaan Papa semakin menyita perhatian." Ia tersenyum tipis, mencoba melunakkan suasana.
Lalu Brata melanjutkan. “Di umurmu yang dua puluh lima ini, Papa ingin memberikanmu kebebasan untuk mengeksplorasi dunia luar.” Tatapannya melembut.
"Tapi ingat, kebebasan itu datang dengan tanggung jawab. Dan Ben ada di sini untuk memastikan semuanya tetap terkendali.”
Haya menoleh pada Benjamin sejenak, lalu kembali menatap ayahnya. Kebebasan? Dunia luar?
Kata-kata itu terasa begitu asing baginya, seorang gadis yang hampir sepanjang hidupnya dikurung oleh batasan demi batasan yang ditetapkan ayahnya. Kini, ia diberi kesempatan untuk melangkah keluar—dengan pengawal barunya ini yang akan selalu mengawasinya.
"Alasannya apa, Pa?" Haya bertanya dengan nada penasaran, meski ada keraguan di balik sorot matanya.
Pak Brata menghela napas panjang, matanya sedikit melembut saat menatap putri bungsunya. "Papa berpikir keras sepanjang waktu, Nak. Dan... atas pesan lembut mendiang Mama, Papa ingin meminta maaf karena selama ini sudah terlalu membatasi ruang gerakmu."
Haya tertegun, tidak menyangka mendengar pengakuan itu dari ayahnya yang selalu terlihat kokoh dan tegas.
"Namun, jujur saja, ini adalah keputusan yang berat," lanjutnya. "Papa tidak pernah benar-benar tenang memikirkan keselamatanmu. Tapi sekarang, Papa ingin memberikan kesempatan dan kepercayaan padamu. Karena itu, Ben akan menemani setiap langkahmu."
Haya kembali melirik Ben, aneh melingkupi ruang hatinya ketika ia amat senang melihat paras bodyguard barunya ini.
Rasa normal seorang perempuan dewasa yang timbul ketika menyukai dan apik hatinya melihat rupawan sempurna tanpa celah seperti bodyguard barunya itu.
Sementara itu, langkah kaki terdengar mendekat, seorang pria berpakaian formal dengan setelah jas berwarna hitam dan kacamata min bertengkar di hidung kokohnya mendekati mereka.
"Pak Brata, ada telepon dari kantor." Ucap Djiwa, Sekretaris Brata yang memberitahukan informasi penting itu.
Brata mengangguk paham pada Djiwa, lalu kembali menatap putrinya dengan ekspresi lembut. "Kalau begitu, Papa harus pergi sekarang. Ingat, Hayaning, manfaatkan kesempatan ini dengan bijak. Jangan buat Papa menyesali keputusan ini."
Haya hanya mengangguk pelan. Sebelum pergi, Brata menepuk pundak Ben sejenak. "Jaga dia baik-baik, Ben. Saya percayakan semuanya padamu."
"Baik, Pak." Jawab Benjamin dengan tegas.
Setelah Brata dan sekretaris nya pergi, Haya mendapati dirinya berdiri sendirian bersama bodyguard barunya. Rasa canggung perlahan menyeruak, namun entah kenapa, ada percikan rasa penasaran yang tak bisa ia abaikan.
Ben menoleh ke arahnya, menatapnya dengan sorot mata dingin. "Nona Hayaning, ada yang perlu anda lakukan sekarang, atau saya harus mengatur jadwal Anda?"
"Sepertinya... tidak ada. Kita bisa santai dulu, kan?" tanyanya, mencoba mencairkan suasana.
"Jadwal Anda adalah prioritas saya, Nona. Apa pun keinginan Anda, saya akan menyesuaikan," jawab Ben tanpa ragu.
Haya merasa gemas dengan sikap Ben yang begitu formal. "Just calm, Ben," ujarnya, mencoba memulai percakapan lebih santai. "Tidak usah pakai kata formal seperti menyebutku dengan 'anda', aku tidak menyukainya."
Ben mengerti, "baiklah, seperti yang saya bilang, saya akan menyesuaikan diri."
Hari itu menjadi momen yang tak terlupakan bagi Haya—hari pertama ia bertemu dan diperkenalkan dengan Benjamin.
Kilasan pertemuan indah itu terus terngiang di benaknya, seperti potongan memori yang terlalu berharga untuk dilepaskan. Dua bulan telah berlalu sejak saat itu, dan perlahan tapi pasti, Haya menyadari bahwa ia benar-benar menyukai bodyguard-nya sendiri.
Selama dua bulan ini, Ben telah mengajarkan banyak hal padanya. Latihan menembak rutin dan bela diri yang ia lakukan di bawah bimbingan Ben, bukan hanya membuatnya lebih tangguh, tetapi juga semakin dekat dengan pria itu.
Setiap hari yang mereka habiskan bersama, setiap perhatian kecil yang Ben tunjukkan, menjadi pupuk bagi benih-benih perasaan yang tumbuh semakin kuat di hati Hayaning.
Namun, ia tahu, perasaan itu hanyalah miliknya sendiri—rahasia yang tak mungkin ia ungkapkan. Meski begitu, Haya tak bisa menahan dirinya untuk terus menikmati setiap momen yang mereka habiskan bersama, seolah takut semuanya akan berakhir terlalu cepat.
•••
Air mengalir deras di atas kepala Benjamin, membasuh sisa-sisa keringat yang melekat setelah sesi latihan fisik rutin di malam hari. Suara pancuran memenuhi ruang mandi, menciptakan irama monoton yang kontras dengan kekacauan pikirannya.
Tato naga yang menjalar di bahu tegapnya terlihat jelas di bawah aliran air.
Otot-ototnya mengencang saat ia menyeka wajah dengan tangan yang kokoh, mencoba mengusir kelelahan yang sebenarnya tak sebanding dengan beban yang menghantui benaknya.
Bayangan Haya muncul tanpa diundang, mengusik fokusnya. Ekspresi perempuan itu, sorot matanya.
Benjamin menghela napas berat, membiarkan air dingin itu semakin membasuh pikirannya yang mulai keruh.
"F*ck! What's wrong with me?" gumamnya kesal kala bayangan Hayaning terus merenteti isi kepalanya seolah menghabiskan ruang untuk memikirkan hal lain.
Ia menunduk, menatap lantai kamar mandi dengan rahang mengeras.
"Sialan, kenapa harus bangun?!" Kesalnya, pada barang miliknya yang sudah berdiri.
Ben menarik napas dalam, jemarinya mengepal di sisi tubuh. Ada bara di dalam dirinya yang tak kunjung padam, semakin menyala seiring pikirannya yang tak mampu lepas dari sosok perempuan itu.
"Shhh..." Ia mengembuskan napas berat, membiarkan pikirannya tenggelam dalam fant*si yang tak bisa ia hentikan. Tanpa disadari, keinginannya mengambil alih, dan Hayaning tetap menjadi pusat dari pikirannya yang semakin li*r.
"Ughhh..."
"Hah... Hayaning!
Ben tak mengerti, mengapa bayangan malam kemarin begitu sulit dihapus dari pikirannya? sementara selama ini, ia selalu bisa melakukannya dengan mudah bersama yang lain.
"Berengsek!" desisnya, frustrasi.
Hayaning bukan perempuan yang bisa ia samakan dengan siapa pun dari masa lalunya—bukan seseorang yang hadir hanya untuk sekadar memenuhi kehampaannya atas tindak-tanduk keruh nya.
"Sialan kamu, Ben!" Ia menghardik dirinya sendiri, berusaha menepis kekacauan yang semakin memenuhi kepalanya.
Dering ponsel memekak keras dalam kamar, Ben segera memakai handuk dan melilitnya dengan asal.
Ia mengangkat panggilan itu dengan berdecak. "Oh Shit, Sean! Apa kamu bisa menganggu ku seenak jidat mu hah?"
Sean dari balik telepon mengerutkan keningnya ketika untuk pertama kali, adiknya tak sopan seperti ini bicara padanya.
"Bicara apa kamu Ben?!" Suara beratnya yang dalam membuat Ben tersadar, ia sudah kurang ajar.
"Sorry Mas, what's wrong?"
"Eyang Kakung meminta mu datang kerumah utama, apa kamu ada waktu?"
"Sayangnya jadwalku padat Mas, tapi jika tentang Eyang Kakung, aku akan usahakan."
"Ya, sepertinya Eyang Kakung ingin berbicara serius denganmu Ben. So, bagaimana dengan pekerjaan mu menjaga putri bungsu Pak Brata selama dua bulan ini?"
Ben mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri dan menyembunyikan emosi yang berkecamuk.
"Semua berjalan lancar, Mas. Tidak ada masalah besar sejauh ini. Hayaning aman di bawah pengawasanku."
Sean terdiam sejenak di balik telepon, suaranya berubah sedikit lebih serius. "Well, aku percaya padamu little boy, kalau begitu aku tutup teleponnya."
"Ya Mas."
Ben menarik napas panjang setelah panggilan berakhir. "Little boy?" gumam Ben dengan nada kesal. Ia selalu tidak menyukai panggilan itu, meskipun ia tahu itu hanya kebiasaan Sean untuk menggoda dirinya.
Belum reda kesalnya Ben, ketika ia yang tengah berpakaian diganggu oleh ketukan pintu. Awalnya, ia berniat menghardik siapa pun yang mengganggunya, tetapi niat itu segera surut ketika suara lembut nan familiar merayap masuk ke telinganya, membuatnya tertegun sejenak.
"Benji,"
Ben segera membuka pintu ketika ia selesai berpakaian.
"Nona?"
Tak pernah Hayaning menyambangi kawasan Paviliun yang ditempati Ben walaupun tak begitu jauh dari rumah utama, sebab Ben tetap harus menjaga Haya dari jarak dekat walaupun tidak dalam satu properti rumah yang sama.
Namun ada apa gerangan mendatanginya malam-malam begini pula?
Haya berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun putih sederhana yang memancarkan pesona feminin yang dapat memikat siapapun. Wajahnya dipoles dengan makeup tipis, sementara lipstik berwarna merah muda glossy memberikan sentuhan manis pada penampilannya.
Tatapannya tampak sedikit canggung, namun senyum tipis perlahan menyelinap di wajahnya, menciptakan aura lembut yang sulit untuk diabaikan.
"Apa aku mengganggumu?" tanyanya dengan nada pelan, seolah takut menyela sesuatu yang penting.
"Tidak, Nona. Silakan masuk," ujar Ben sambil membuka pintu lebih lebar, memperlihatkan keramahan sekaligus rasa hormatnya.
Namun, Haya menggeleng pelan, menolak dengan sopan. "Tidak, terima kasih, Ben. Aku hanya ingin meminta bantuan darimu. Lagipula, tidak enak jika ada yang melihat."
Ben menatapnya dengan penuh perhatian, mencoba menangkap maksud di balik kata-kata itu. "Tentu saja, Nona. Apa yang bisa saya bantu?"
Haya menggigit bibir bawahnya, ragu sejenak sebelum akhirnya berkata dengan suara pelan, "Benji... maukah kamu menemaniku melihat bintang di rooftop rumah utama?"
Keputusan itu bukan tanpa alasan. Hayaning tahu betapa nekatnya permintaan ini, tetapi hatinya mendesak untuk mencari celah mendekat pada Ben.
Meski ia sadar, cintanya hanyalah rahasia yang ia simpan sendiri, Haya tetap ingin menikmati momen kebersamaan bersama bodyguard pribadinya.
Mungkin, sebelum badai perjodohan dengan Adipta, pria yang tak pernah ia pilih mengikatnya dalam belenggu tak terhindarkan sebab Adipta terlalu pandai memanipulasi. Karena itu, Haya ingin mencuri sedikit kebahagiaan bersama pria yang sudah memenuhi ruang hatinya.
"Tentu saja Nona, saya akan menemani nona melihat bintang di rooftop," jawab Ben dengan nada sopan, tanpa sedikit pun menyadari gejolak perasaan yang tersembunyi di balik permintaan sederhana Hayaning.
Haya tersenyum tipis, meskipun hatinya berdebar keras. Ia tahu, Ben menjawab itu sebagai pelayan yang setia, bukan sebagai seorang pria yang mungkin memendam perasaan yang sama. Namun, itu sudah cukup untuknya.
Mereka Keluar dari lift lalu berjalan bersama menuju rooftop, melewati lorong-lorong sepi rumah utama.
Haya sesekali melirik Ben yang berjalan di sampingnya, menyukai keheningan di antara mereka. Saat pintu rooftop terbuka, angin malam yang sejuk menyambut mereka, bersama taburan bintang di langit yang terlihat begitu dekat.
Haya melangkah ke depan, berdiri di tepi pagar, memandang ke atas. "Indah sekali, ya?" Ucapnya pelan.
Ben mengangguk kecil, berdiri beberapa langkah di belakangnya. "Langit seperti ini selalu mengingatkan saya pada betapa kecilnya kita di hadapan alam semesta."
Haya menoleh, memandang Ben dengan mata berbinar. "Pernahkah kamu berpikir... bahwa di tengah luasnya alam semesta, ada seseorang yang mungkin diam-diam mendoakan mu, tanpa kamu tahu?"
Ben terdiam, sedikit bingung dengan pertanyaan itu. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Haya kembali memandang ke langit, berbisik lirih dengan suara sayup-sayup.
"Aku hanya berharap, setidaknya sekali dalam hidupku, aku bisa menjadi bagian kecil dari duniamu."
Ben mengerutkan kening, namun seperti biasa, ia menahan diri untuk tidak terlalu jauh menafsirkan maksud nona nya ini.
"Terima kasih sudah menemani," kata Haya akhirnya, berusaha menyembunyikan air mata yang nyaris jatuh. Sebab ia tahu, momen seperti ini tidak mungkin akan berulang dengan ditemani oleh orang yang sama. Orang yang dapat ia percaya.
...•••...
Angin menghembus kencang, membuat kulit lembut Hayaning merasakan sentuhan dingin.
Rambut hitam panjangnya berayun, mengikuti arah angin, sementara jemari lentiknya sibuk merapikan helai-helai yang menutupi wajah.
"Kenakan ini, Nona," ujar Ben dengan nada datar, meski ada kehangatan tersirat dalam sikapnya.
Haya menoleh, menatapnya dengan mata yang sedikit membesar. "Ben, aku tidak apa-apa. Kamu tidak perlu—"
"Jangan menolak, Nona," potong Ben, tatapannya tegas. "Tugas saya memastikan Anda tetap nyaman, apa pun situasinya."
Haya akhirnya menyerah, tangannya perlahan menarik jaket itu lebih rapat di tubuhnya. Aroma khas Ben yang melekat di jaket itu seolah memberikan rasa nyaman yang menenangkan.
"Terima kasih, Ben," ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.
Rona merah masih terasa panas di wajahnya saat Haya mencoba mengalihkan perhatian ke langit malam. Namun, rasa gugup membuatnya salah tingkah. Ketika ia berusaha membalikkan badannya, kakinya kehilangan keseimbangan, dan tubuhnya hampir terjatuh.
"Ah!" serunya pelan, tangannya terulur mencoba mencari pegangan.
Refleks, Ben menangkap tubuhnya dengan sigap. Tangannya yang kokoh memegang lengan Haya, sementara tubuhnya sedikit condong untuk menahan gadis itu agar tidak benar-benar jatuh.
"Pelan-pelan, Nona," ujar Ben dengan nada tenang namun tegas. Matanya menatap Haya, memastikan bahwa dia baik-baik saja.
Haya mematung sejenak, wajahnya semakin memerah karena jarak mereka yang begitu dekat. Jantungnya berdetak kencang, bukan hanya karena nyaris terjatuh, tetapi juga karena sentuhan tangan Ben yang terasa hangat di kulitnya.
"Maaf... aku tidak hati-hati," gumam Haya, mencoba melepaskan diri dengan canggung.
"Tidak apa-apa," balas Ben sambil melepas pegangannya, memastikan Haya kembali berdiri tegak. "Sebaiknya kita turun Nona, udara malam semakin dingin, tidak baik untuk kesehatan Nona."
Haya mengangguk kecil, "ya, kamu benar Ben. Mari kita turun."
Haya lebih dulu berjalan sementara sang bodyguard akan mengawalnya dari belakang.
Haya menghentikan langkahnya sejenak, menoleh ke arah Ben yang selalu menjaga jarak dengan sikap profesionalnya. Ia menyadari betapa kaku posisi Ben, selalu berjalan beberapa langkah di belakang, seolah menjaga batas yang tak kasat mata.
"Ben, bisakah kamu jalan berdampingan denganku?" tanyanya, suaranya begitu lembut.
"Maaf, Nona. Saya harus memastikan keamanan Anda dari posisi ini."
Haya tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Aku mengerti, tapi kita hanya sedang berjalan di dalam rumah. Tidak akan ada bahaya di sini, kan? Lagipula, aku merasa lebih nyaman kalau kamu di sampingku."
Ben terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-kata Haya. Akhirnya, ia mengalah. "Baiklah, Nona," jawabnya, melangkah maju hingga berada di sisi Haya.
"Begini lebih baik," ucap Haya, senyumnya melebar. "Aku tidak suka merasa seperti sedang dikawal sepanjang waktu. Aku ingin kita lebih... santai, setidaknya saat di rumah."
Ben hanya mengangguk, menjaga sikapnya tetap tenang sebagaimana memang dirinya yang seperti ini. Tidak begitu peduli dengan perasaan orang lain dan condong lebih berpikir dengan logika tanpa pernah memusingkan hal yang berbau perasaan. Ia hanya menjalankan tugas pekerjaannya dan itu cukup baginya.
"Santai atau tidak, tugas saya tetap sama, Nona," jawab Ben akhirnya, suaranya terdengar netral namun maknanya tegas.
Haya meliriknya sekilas, seolah mencoba membaca pikiran Ben. Ia tahu bodyguard-nya itu bukan tipe orang yang mudah ditembus secara emosional. "Kamu terlalu serius, Ben," gumamnya pelan, setengah bergurau.
"Dan Nona terlalu ceroboh," balas Ben singkat, tanpa nada humor sedikit pun. "Saya harus serius untuk memastikan Anda aman."
Haya menghela napas, separuh kesal namun tidak bisa membantahnya. "Ya, ya... aku tahu. Tapi, sesekali, kamu bisa lebih santai, kan?"
Ben tidak menjawab. Langkah-langkahnya tetap mantap, seperti tidak ada yang bisa menggoyahkan prinsipnya.
Baginya, menjaga jarak itu perlu. Tidak boleh ada ruang untuk kelemahan, bahkan jika kelemahan itu datang dalam bentuk senyum hangat seorang Hayaning. Pantang bagi Ben jatuh dua kali kedalam lubang yang sama.
Ben turut mengantarkan Haya sampai perempuan itu berada di depan pintu kamarnya.
"Selamat beristirahat, Nona Hayaning," ucap Ben, tangannya sedikit memberi isyarat hormat sebelum bersiap untuk pergi.
Haya mengangguk kecil, namun langkah Ben yang mulai menjauh membuatnya merasa sedikit aneh. Ia tidak ingin malam itu berakhir begitu saja. "Ben, tunggu," panggilnya.
Ben menghentikan langkahnya, berbalik menghadap Haya dengan alis sedikit terangkat. "Ada yang bisa saya bantu, Nona?"
Haya menggigit bibir bawahnya, terlihat ragu. Namun, akhirnya ia berkata, "Terima kasih untuk malam ini... dan untuk jaketnya. Besok akan aku kembalikan." Suaranya lembut, hampir seperti bisikan, tetapi cukup jelas untuk didengar Ben.
Ben mengangguk sekali lagi, menjaga sikapnya tetap tenang. "Itu adalah tugas saya, Nona."
"Tugas, tugas, tugas," gumam Haya membatin lelah. Namun ia tersenyum kecil, lalu menambahkan, "Kalau begitu, semoga kamu juga bisa beristirahat dengan baik, Ben. Selamat malam."
Ben menatap Haya beberapa detik lebih lama dari yang diperlukan, namun segera mengalihkan pandangannya. "Terima kasih, Nona. Selamat malam."
Tanpa menunggu respons selanjutnya, Ben berbalik dan melangkah pergi. Haya menatap punggungnya yang semakin menjauh, rasa hangat bercampur dengan sedikit kecewa memenuhi hatinya.
Ia tahu, Ben bukanlah pria yang mudah ditembus emosinya, tetapi entah kenapa, ia tetap berharap bisa melihat sisi yang berbeda dari bodyguard pribadinya itu.
"Aish! Kamu kenapa sih Hayaning! Ngga usah sok kegeeran gitu dong!" Gumamnya sembari menoyor jidatnya sendiri.
Haya segera masuk kedalam kamar dan lekas mengunci pintu. Ia menghempaskan tub*hnya ke atas ranjang dengan hati yang berbunga-bunga.
Jaket Ben masih melekat di tubuhnya, ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan aroma khas yang melekat di jaket itu memenuhi indera penciumannya.
“Kenapa aku jadi seperti ini?” gumamnya, separuh malu pada dirinya sendiri.
Ia menatap langit-langit kamar, senyumnya tidak kunjung hilang. Harum itu mengingatkannya pada bagaimana Ben selalu ada di dekatnya—tenang, kokoh, dan selalu membantunya menerangkan tentang apa yang ia tak takhu dengan sabar.
Haya menggulungkan dirinya ke dalam jaket itu, seolah mencari perlindungan yang hanya bisa ia temukan dari Ben.
"Aish, Hayaning... kamu sudah gila, tahu ngga?" ucapnya pelan sambil menutupi wajah dengan tangan. Tapi meskipun ia mencoba menyangkal perasaannya, hatinya tak bisa berbohong.
Di sisi lain, Ben yang sudah kembali ke paviliunnya duduk di kursi, meluruskan kakinya. Ia mulai membuka ponselnya untuk memeriksa laporan-laporan yang masuk padanya dari para anak buahnya.
Namun perhatiannya lebih dulu tertuju pada pesan dari teman lamanya.
"Ben aku hanya ingin memberitahu. Dia direkrut sebagai bodyguard seorang pelukis terkenal di Indonesia. Aku dengar, esok hari pelukis itu akan memamerkan karyanya di museum nasional. Kalau kamu tertarik, datang saja. Mungkin kamu bisa bertemu dengannya lagi."
Ia membaca pesan itu dengan serius. Seseorang yang disebutkan temannya tadi langsung memancing ingatan yang tidak ingin ia buka. Sosok yang dulu pernah menjadi bagian dari masa lalunya, seseorang yang sudah berhasil membuat nya membenci perasaan romansa, kini kembali mencuat begitu saja melalui pesan yang dikirimkan temannya.
Ben menghela nafas berat, menutup ponselnya sejenak. Tangannya terangkat untuk mengusap wajahnya yang terasa lelah.
"CK. Perempuan itu!"
•••
Entah kebetulan apa namanya ini, tetapi Hayaning memang sudah memiliki tiket untuk pergi ke museum nasional demi melihat pameran salah satu seniman favoritnya.
"Apa kamu menyukai karya seni, Ben?" tanya Hayaning, memecah keheningan di dalam mobil. Ia menoleh ke arah bodyguard nya yang sedang fokus menyetir.
Ben melirik Haya sekilas dari sudut matanya sebelum kembali memusatkan perhatian pada jalan. "Ya, saya menyukainya."
"Benarkah? Ah, aku lupa, Belanda memiliki banyak karya seni yang terkenal, ya," ucap Hayaning, matanya berbinar penuh semangat. "Rembrandt, Van Gogh, dan banyak lainnya. Apa kamu sering mengunjungi museum di sana?"
Ben mengangguk ringan, bibirnya membentuk senyum tipis. "Saya pernah mengunjungi beberapa museum ketika memiliki waktu luang. Ya, saya sangat menyukai karya Van Gogh. Saya suka bagaimana ia merepresentasi emosi melalui warna dan tekstur dalam setiap goresan kuasnya."
Hayaning tertegun, tidak menyangka Ben bisa memberikan jawaban yang begitu mendalam.
"Van Gogh? Itu pilihan yang menarik. Aku juga suka karyanya! 'Starry Night' adalah salah satu favoritku. Ada sesuatu yang magis dalam lukisan itu, seperti... kebebasan yang liar tapi menenangkan."
Ben mengangguk, seolah setuju. "Dia memiliki cara untuk menggambarkan keindahan dari rasa sakit. Itu yang membuat karyanya begitu kuat."
Hayaning tersenyum lebar, matanya berbinar. "Aku tidak menyangka kita bisa sepemikiran soal ini, Ben. Aku kira kamu hanya tertarik pada hal-hal seperti strategi bela diri saja."
"Ya, saya lebih terobsesi menjadi pria yang senang berlatih fisik, strategi dan pertahanan," jawab Ben singkat dengan kekehan kecil. "Namun saya juga pria yang gila akan keindahan sebuah karya seni." Ucapnya melanjutkan.
Hayaning tersenyum kecil, menatap keluar jendela mobil. Percakapan ini membuatnya merasa ada kedekatan yang perlahan terbangun di antara mereka, meskipun Ben tetap menjaga batasan sebagai seorang bodyguard.
•••
Ketika mereka sampai di museum, Hayaning segera menyerahkan tiketnya kepada petugas di pintu masuk. Senyum sumringah terlihat di wajahnya, penuh semangat seperti anak kecil yang akan memasuki taman bermain.
Ben, yang mengikuti di belakang, juga memberikan tiketnya tanpa banyak bicara. Tiket itu memang sudah dipesan Haya jauh-jauh hari, khusus agar Ben bisa masuk bersamanya.
"Jangan hanya berdiri di belakangku terus, Ben. Kita masuk bersama," ujar Haya, menoleh ke arah Ben yang tetap menjaga jarak.
Ben mengangguk singkat, langkahnya tetap tenang dan terukur. "Tugas saya memastikan Anda aman, Nona. Saya akan mengikuti di mana pun Anda berada."
Hayaning mendengus kecil, namun senyumnya tidak surut. "Ben, kali ini anggap saja kita sedang berjalan-jalan sebagai teman. Tidak perlu terlalu formal, oke?"
Ben tidak langsung menjawab, hanya mengangguk tipis lagi. Ia tahu, apa pun yang diminta Haya, pada akhirnya dia tetap harus siaga.
Mereka melangkah memasuki aula utama museum, yang penuh dengan pengunjung. Lukisan-lukisan berbingkai indah menghiasi dinding, sementara aroma khas cat minyak dan kayu menyeruak di udara.
Mata Hayaning berbinar saat ia melihat salah satu karya favoritnya tergantung di tengah ruangan.
"Ben, lihat itu! Karya seni lukisan yang selalu ingin kulihat langsung!" seru Haya, nyaris melompat kegirangan.
Ben hanya menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangan ke lukisan itu.
Kerumunan di museum mulai bergerak ke tengah ruangan ketika suara pelan dari pengeras suara mengumumkan bahwa pameran akan segera dimulai..
Hayaning yang berdiri di barisan depan tidak bisa menyembunyikan rasa antusiasnya. Matanya terus mengamati setiap sudut, berharap bisa melihat sosok pelukis yang karyanya begitu ia kagumi.
Dari arah belakang, pintu khusus terbuka. Seorang perempuan dengan penampilan sederhana dan tenang masuk, didampingi oleh seorang perempuan berambut pirang dan berparas bule yang tampak berwibawa, yang mengenakan setelan formal hitam, gerakannya sigap, dan tatapan matanya tajam, seperti seorang penjaga yang sudah terbiasa menghadapi situasi tak terduga.
Haya menahan napas, nyaris tidak percaya. "Itu dia!" bisiknya penuh semangat kepada Ben. "Itu pelukisnya!"
Ben hanya melirik sekilas ke arah sang pelukis dan perempuan bule dibelakangnya. Matanya menyipit, menilai dengan cepat postur dan gerak-geriknya.
Perempuan itu, tetap sama seperti dulu.
Sang pelukis naik ke panggung kecil di tengah ruangan. Dengan senyum tenang, ia mengangguk sopan kepada hadirin sebelum mulai berbicara.
Sementara itu, bodyguard-nya tetap berdiri tidak jauh darinya, matanya tak lepas dari setiap sudut ruangan, termasuk mengamati teman lamanya, Ben, dan seorang perempuan yang sepertinya sedang dilindungi Ben.
Hayaning yang ingin melihat ekspresi wajah Ben akhirnya menoleh ke arahnya, namun yang ia dapati adalah sorot mata Ben yang terarah pada objek lain.
Dengan rasa penasaran, Haya mengikuti arah pandangan itu dan mendapati satu hal yang sedang menjadi pusat perhatian Ben—bodyguard si pelukis.
Entah mengapa, Haya merasakan ketidaknyamanan saat melihat bodyguard si pelukis itu tersenyum tipis ke arah Ben. Yang membuatnya semakin terganggu, Ben tampak tak lepas memandanginya, seolah ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka.
Apa mereka saling mengenal? pikir Haya, hatinya mulai terusik sebab ia tahu bahwa tipe Benjamin adalah perempuan yang sama-sama menyukai aktivitas fisik dan pandai bela diri, tidak lemah dan mampu menjaga dirinya. Pria ini pernah mengatakannya ketika mereka tengah berlatih menembak.
Benar. Tatapan Ben dan perempuan itu saling tak lepas, seperti ada percakapan tanpa suara yang hanya mereka pahami. Haya menggigit bibir bawahnya, berusaha menenangkan rasa gelisah yang mendadak muncul di dadanya.
Kenapa aku jadi peduli? gumamnya dalam hati, mencoba membungkam perasaan asing yang perlahan merayap. Namun, matanya tetap tertuju pada keduanya, mengamati setiap gerak dan isyarat kecil yang membuat pikirannya semakin liar.
Menghela nafas panjang, akhirnya Haya mengalihkan pandangannya ke lantai, mencoba mengendalikan gejolak yang tak bisa ia jelaskan.
"Bolehkah aku merasa cemburu?" gumamnya membatin, sedikit getir. Ia tahu, perasaan ini tidak seharusnya muncul. Ben adalah bodyguard-nya, pria yang tugasnya hanya melindunginya. Namun kesal, hati-nya tak pernah tunduk pada logika.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!