Bayangan Dari Istana Timur

Kabut pagi masih menari di antara dedaunan saat sang Putri Minghua memetik daun-daun obat dengan hati-hati. Embun yang menempel di ujung jarinya dingin, tapi pikirannya... jauh lebih kacau daripada pagi-pagi biasanya.

Sanghyun masih tertidur di dalam tenda, atau pura-pura tidur, ia tak pernah benar-benar bisa ditebak. Tapi yang jelas, semalam adalah malam pertama pria itu menyentuh jarinya. Sekilas. Ringan. Tapi cukup untuk mengacaukan detak jantung Minghua semalaman.

“Padahal itu hanya sentuhan biasa tapi kenapa aku harus sampai seperti ini?” batinnya.

Suara langkah seseorang berlari terdengar dari kejauhan. Mei, pelayan setianya, berlari menuruni bukit kecil dengan wajah pucat.

“Nona!” serunya setengah teriak.

Putri Minghua langsung berdiri, dedaunan di tangannya jatuh. “Ada apa?” tanyanya dengan panik.

“Utusan dari Istana Timur… mereka mencarimu.” Nafas Mei terputus-putus. “Katanya... perintah dari Yang Mulia Kaisar. Nona... harus segera kembali.”

Minghua merasa darahnya seperti berhenti mengalir. Jantungnya menggumpal di tenggorokan.

“Kenapa? memangnya ada apa?” bisiknya.

Mei menggigit bibir. “Katanya, Putri Xiaolan sedang sakit keras. Nyawanya nggak bisa bertahan lama.”

Petir seakan menyambar di bawah matahari pagi. Putri Xiaolan. Gadis kecil polos yang dulu selalu bersembunyi di balik tirainya setiap kali badai datang. Satu-satunya keluarga yang masih memperlakukannya seperti manusia saat seluruh istana memanggilnya pembawa sial.

Tapi adiknya juga bagian dari istana itu. Istana yang sudah membuangnya, menghancurkannya dan juga menyakitinya sampai Putri Minghua asli menjadi gadis yang benar-benar lemah.

“Utusannya menunggu di kaki bukit. Mereka menolak naik.”

“Baik,” ucap Minghua pelan. “Bawa aku ke sana.”

Langkahnya menyusuri jalan setapak dengan hati yang tak karuan. Sanghyun belum juga bangun atau tidak ingin ikut campur. Ia merasa sedikit lega tapi juga hampa. Entah kenapa, sebagian dari dirinya ingin Sanghyun tahu.

Utusan itu mengenakan jubah merah emas dengan lambang naga kecil di bahu lambang keluarga kerajaan tingkat pertama. Sorot matanya tak menunduk saat melihat Putri Minghua. Justru menatap tajam, tanpa rasa hormat.

“Kami datang atas perintah langsung Yang Mulia Kaisar,” katanya dingin. “Putri Xiaolan sedang dalam keadaan kritis. Anda diperintahkan kembali ke istana secepatnya.”

“Diperintahkan?” ulang Minghua, nyaris tertawa sinis. “Lucu sekali. Aku ini dibuang seperti sampah. Tak dianggap. Tapi sekarang, ketika ada yang sakit, tiba-tiba aku penting?”

“Saya hanya menjalankan perintah,” jawab utusan itu datar. “Kalau Anda tidak kembali, nyawa adik Anda yang akan menjadi taruhannya.”

Putri Minghua langsung terdiam, dadanya seperti dihantam ribuan jarum tajam. Ia tahu, ini bukan hanya tentang Xiaolan. Ini jebakan. Pasti. Tapi bagaimana bisa dia diam saja ketika nyawa adiknya dipertaruhkan?

Hari mulai condong ke siang saat ia kembali ke tenda. Tapi Sanghyun sudah berdiri di luar. Tatapannya gelap. Diam. Tapi jelas dia tahu.

“Kau akan pergi?” katanya datar.

Putri Minghua mengangguk. Tak ada gunanya berbohong. “Adikku… sedang sekarat.”

Sanghyun tidak menjawab. Tapi rahangnya mengeras.

“Kamu tidak mempercayaiku?” tanya Minghua lirih.

“Bukan itu.” Ia menatap ke arah lain. “Aku hanya percaya… begitu kau pergi ke sana, kau tak akan kembali.”

“Kamu pikir mereka akan membunuhku?” tanya Putri Minghua dengan raut wajah yang terkejut.

“Kalau tidak membunuhmu, mereka akan mematahkanmu.” Suara itu sangat tenang, tapi seperti sungai di bawah es. Dalam dan menakutkan.

Putri Minghua melangkah mendekat. “Sanghyun… aku tahu ini bisa jadi perangkap. Tapi aku tidak bisa mengabaikan satu-satunya orang yang pernah mencintaiku tanpa syarat.”

Sanghyun menatapnya sekarang. Mata emas itu... seperti terbakar. “Dan kau juga akan mencintai siapa pun yang menyentuhmu tanpa syarat?”

Pertanyaan itu menusuk.

“Aku tidak bicara soal cinta,” balas Minghua pelan, menghembuskan nafasnya kasar. “Aku bicara soal rasa bersalah. Rasa kehilangan. Dan rasa ingin pulang, meski tahu tidak ada rumah yang menungguku.”

Hening.

Lalu Sanghyun melangkah maju, mendekat. Tangannya yang dingin tiba-tiba menggenggam pergelangan tangan Minghua.

“Jangan pergi,” katanya pelan, nyaris seperti doa. “Jangan... tinggalkan aku.”

Ntah kenapa tapi raut wajahnya seperti menandakan bahwa dia tidak ingin di tinggalkan meskipun hanya sedetik.

Kata-kata itu membuat dunia Putri Minghua runtuh sesaat.

“Aku…” suara Minghua bergetar, “Aku janji akan kembali.”

Tapi Sanghyun menggeleng perlahan. “Orang sepertiku tak bisa menunggu. Aku bisa bertarung, tapi menunggu adalah sesuatu yang membuatku takut.”

“Kenapa?” tanya Minghua, air matanya mulai menggenang.

“Karena aku tau orang yang kutunggu, mungkin tidak akan kembali dalam wujud yang sama.”

Minghua menutup matanya, lalu memeluk Sanghyun perlahan. Tubuh pria itu kaku, tapi tak menolak. “Kalau aku kembali,” bisiknya, “dan masih bisa mengenal aroma bajumu, suara langkahmu dan sorot matamu yang seperti bara tolong sambut aku meski dengan tatapan dingin sekalipun.”

Dan untuk pertama kalinya, Sanghyun membalas pelukan itu. Ringkih. Ragu. Tapi nyata.

Di kejauhan, utusan dari istana menatap mereka dengan mata penuh rasa ingin tahu dan sedikit jijik.

Mereka tak tahu bahwa yang dipeluk Putri Minghua bukan hanya siluman. Tapi seseorang yang hatinya lebih manusia daripada siapa pun yang pernah tinggal di balik tembok istana emas itu.

Hari mulai siang dan Putri Minghua sudah bersiap-siap untuk berangkat, sebelum itu ia menemui Sanghyun untun berpamitan, "Sanghyun, tunggu aku kembali ya," ucap Putri Minghua dengan membelai pipinya.

Sanghyun menatap Putri Minghua dengan mata yang sayu, kemudian mengangguk.

Putri Minghua tersenyum ke arahnya dan ketika dia membalikkan badan, tiba-tiba Sanghyun memeluknya dari belakang. Terasa hangat dan nyaman membuat Putri Minghua sedikit menangis.

Mereka memang baru mengenal tapi... rasanya mereka sudah terikat.

Putri Minghua membalikkan badannya dan menatap Sanghyun dengan tatapan yang sulit di artikan, "Tenang ya, kita akan bertemu lagi, ini hanya tugas dan jika kamu mau kembali maka kembalilah ke asalmu agar kamu tidak di incar oleh siapapun lagi."

Putri Minghua sudah tau kebenaran bahwa Sanghyun tersesat di dunia manusia karena salah mengambil jalan untuk pergi ke surga. Dan bisa jadi Sanghyun di serang oleh beberapa tentara yang berjaga di luar istana.

Tiba-tiba Sanghyun mengambil sesuatu di kantong celananya, "Berbaliklah."

Karena tidak tau apa yang akan di lakukan olehnya, Putri Minghua menurutinya tanpa mengeluarkan protes sedikitpun, dia segera berbalik dengan suka rela.

Sanghyun memasangkan sebuah kalung liontin berbentuk bulan sabit terbalik, menggantung di rantai hitam keunguan yang tampak seperti asap beku. Di tengah bulan sabit terdapat mutiara hitam yang selalu memancarkan cahaya halus ungu-abu, seolah mengintip dari balik kegelapan.

Putri Minghua memegang kalung itu dengan lembut dan rasanya seperti hangat, dingin, dan juga terasa berdenyut seperti ada detak jantung kedua di dalamnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!