Merelakan

Malam pun tiba, Adrian tidak bisa tidur. Adrian berjalan pelan menyusuri lorong menuju dapur Hatinya gelisah tak menentu. Banyak hal memenuhi pikirannya, termasuk bayangan wajah Violet yang muncul setiap kali ia memejamkan mata. Di dapur, Ia menemukan Eva sedang membersihkan meja makan.

“Kau sudah melakukannya?.”

Eva terkejut melihat majikannya sudah berdiri dihadapannya.

"Sesuai perintah,Tuan."

Adrian hanya menganggukkan kepalanya pelan. Ia membuka lemari es dan mengambil sebotol air putih dan menuangkannya ke dalam gelas.

"Kau bisa beristirahat. Lanjutkan pekerjaanmu besok." titah Adrian.

Eva menurut lalu meninggalkan ruang makan itu dan Adrian di sana. Tak berselang lama, Violet pun ke dapur. Tubuhnya terasa panas dan tenggorokannya terasa kering.

"Tuan, Anda di sini?" tanya Violet gugup.

Adrian sadar, obatnya mulai bekerja. Sebab, wajah Violet memerah dan Violet merasa kepanasan dan kehausan. Dalam hatinya ia merasa bersalah. Namun inilah jalan satu-satu untuk melakukan yang harusnya tidak dengan cara seperti ini.

"Sebaiknya kau kembali ke kamarmu! Ini sudah malam." titah Adrian.

Violet tertegun. Mendengar pria itu menyapanya. Matanya yang mulai berembun menatap Adrian dalam kebingungan. Tubuhnya melemah, namun ia tetap berdiri, menggenggam sisi meja untuk menopang dirinya.

“Aku... hanya ingin minum. Tubuhku... panas sekali.” ucapnya lirih , nafasnya terengah.

Adrian terdiam. Violet melangkah maju. Namun tanpa sengaja salah satu kakinya tersandung pada meja hingga membuatnya hampir saja terjatuh. Beruntung Adrian langsung menangkapnya. Hingga keduanya saling tatap. Namun,karena insiden tersebut,gelas yang dipegang oleh Adrian lolos dari genggamannya.

Violet merasakan sentuhan Adrian semakin membuat jantungnya berdebar. Dan sentuhan itu membawanya semakin ingin memeluknya. Adrian langsung saja menggendong tubuh mungil Violet menuju kamar. Ia tak ingin gadis itu terluka akibat serpihan kaca yang sudah berserakan di lantai.

"Tuan, apa yang anda lakukan ?" ucap Violet sedikit meronta. Namun Adrian tak menggubris.

Adrian membawa nya ke kamar hingga ia meletakkan gadis itu di ranjang.

"Tunggu di sini, akan aku ambilkan air untukmu." ucap Adrian.

Namun, begitu Adrian berbalik, Violet menarik tangannya. Ada sesuatu yang harus ia tuntaskan malam ini. Tubuhnya bergejolak sejak Adrian menyentuhnya. Adrian menoleh, semakin ia berusaha menghindar semakin hasrat yang mulai merasuk ke dalam tubuh Violet membuncah.

"Bisakah... "

Adrian langsung menarik tubuh Violet. Ia langsung melumat bibir Violet dengan lembut. Namun, di luar dugaan, Violet malah mendorong tubuh Adrian. Hingga keduanya saling tatap.

"Tuan... Anda? "

"Maaf"

Hanya itu yang keluar dari mulut Adrian. Namun, dengan kesadaran penuh Violet kembali menarik Adrian sebelum pria itu keluar dari kamar. Hingga malam yang sebenarnya tidak mereka inginkan itupun terjadi begitu saja. Adrian merasa ada yang berbeda saat menyentuh Violet. Rasa yang benar-benar jauh berbeda saat ia bersama Claudia.

Kini, Violet telah menyerahkan mahkotanya tanpa tahu jika pernikahan mereka hanya sebuah kebohongan yang sengaja dirancang oleh Claudia. Malam berlalu begitu lambat. Adrian benar-benar melewatkan malam panjang itu tanpa melewatkan setiap inci tubuh Violet. Entah berapa kali Adrian melampiaskan hasratnya hingga akhirnya Violet tertidur lelap.

Malam itu berlalu dalam diam. Adrian duduk di sisi ranjang, memandangi Violet yang tertidur dalam lelah. Wajah gadis itu tampak tenang, namun bekas air mata masih membekas di sudut matanya.

Adrian menunduk, meremas rambutnya sendiri, dihantui oleh rasa bersalah yang menusuk. Apa yang telah ia lakukan? Di balik setiap helaan napas Violet. Ia menyentuh dahi Violet dengan lembut.

“Maafkan aku... jika aku membuatmu percaya pada sesuatu yang salah.”

Adrian bangkit dari tempat tidur dan melangkah ke jendela. Langit masih gelap, dan angin dini hari meniup lembut tirai kamar. Ada keheningan yang mencekam—bukan keheningan damai, tapi keheningan yang dipenuhi ketidakpastian.

Sementara itu, di pikirannya, bayangan Claudia kembali mengusik. Claudia yang kini berada jauh di Kanada, menyusun rencana, mengatur segalanya seakan Violet tak lebih dari pion dalam permainan besarnya.

Adrian mengepalkan tangan. Untuk pertama kalinya, ia merasa sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya. Sesuatu yang ia cari selama ini. Kehangatan dan ketulusan yang tak pernah ia dapatkan sejak menikahi Claudia.

Saat fajar mulai menyingsing, Violet menggeliat pelan. Matanya terbuka perlahan, menatap Adrian yang kini duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur. Ia tersipu setelah mengingat kejadian malam tadi.

"Anda masih di sini? " ucap Violet gugup.

Adrian menatapnya, lalu bangkit mendekati Violet yang masih tertutup oleh selimut tebal ditubuhnya.

"Minumlah! Kau pasti lelah." Adrian memberikan sebuah pil beserta segelas air dari tangannya.

Violet terhenyak. Setelah semua yang terjadi malam tadi, tiba-tiba saja Adrian langsung berubah. Hal itu sungguh membuat Violet merasa berbinar.

"Istirahatlah ! Eva akan membawa sarapanmu." tambahnya lagi sebelum akhirnya Adrian meninggalkannya.

Violet hanya menatap punggung Adrian dengan wajah full senyum di bibirnya. Hingga akhirnya senyum itu hilang bersamaan dengan kedatangan Eva di sana.

"Selamat pagi, Nona." sapa Eva.

" Aku akan menyiapkan air untukmu."lanjut Eva sebelum berbalik ke kamar mandi.

"Tidak perlu , Aku bisa sendiri. " sahut Violet ,langsung beranjak dari kasurnya.

Eva hanya terdiam, tatapan Eva teralihkan pada ranjang yang kusut. Eva menarik selimut itu. Namun hatinya terenyuh ketika melihat noda merah menempel di seprai. Ia tahu jika malam itu, gadis polos itu telah menyerahkan mahkotanya.

"Ya Tuhan, berilah kebaikan pada gadis itu. " lirihnya.

Didalam kamar mandi, Violet merasakan nyeri luar biasa dibawah sana. Ia meringis hingga terdengar oleh Eva yang masih berada di kamar.

"Nona, kau tidak apa-apa ?" pekik Eva pelan.

"Tidak, Bu. Aku baik-baik saja." sahutnya .

Violet keluar dengan hanya di balut handuk ditubuhnya. Sesaat kemudian Eva mendekatinya. Ia menatap gadis itu lekat ,lalu menariknya membawanya duduk di depan cermin rias.

"Apakah kau terpaksa melakukannya?" ucap Eva sambil menyisir rambut Violet.

Violet mengernyit, namun ia sadar Eva mengetahuinya hingga membuat pipinya merona.

"Aku berharap kau tidak berharap terlalu banyak. Aku sudah pernah mengatakannya padamu bukan? " terang Eva.

Violet menghentikan tangan Eva, menatap pantulan Eva dari cermin.

"Kau tahu segalanya?" tanya Violet ragu.

Eva mengangguk. Eva menatap Violet lewat pantulan cermin. Matanya tak sekadar penuh iba, tapi juga penuh kekhawatiran.

“Sudah sejak awal Tapi aku bukan siapa-siapa untuk bisa mengubah apa yang sudah direncanakan oleh Claudia." jawab Eva pelan.

Violet menarik napas panjang, matanya mulai berkaca-kaca. Ia merasa tubuhnya kembali melemah—bukan karena luka fisik, melainkan luka yang jauh lebih dalam.

"Apa maksudmu, Bu?"

Namun sebelum Eva mengatakannya pada Violet. Adrian muncul di ambang pintu.

"Eva, ikut aku!" titahnya.

Terpopuler

Comments

Al Fatih

Al Fatih

Violet....,,kamu harus kuat...,, bibi Eva memang baik,, tapi sayangnya bibi Eva tidak punya kuasa utk melindungi mu dari niat jahatnya Claudia. Sedangkan tuan Adrian...,, jangankan aq,, tuan Adrian pun masih bingung harus berada d sisi mana. Apa tuan Adrian tidak tau dgn kelakuannya Claudia d luaran sana?

2025-06-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!