NovelToon NovelToon

Menikah Dengan Sahabat

Chapter 1

Nina duduk di balik jendela kamar, menatap hujan yang turun sangat deras. Setiap tetesan yang jatuh dari langit terasa seperti pukulan keras yang menghantam jiwanya, seolah dunia ini ikut merasakannya. Di luar, kota Jakarta yang biasanya ramai kini terasa hening, hanya suara hujan yang terdengar, meresap dalam kesendiriannya.

Bukan hanya hujan yang membuatnya merasa beku. Ada sesuatu hal yang lebih dalam—sesuatu yang menghancurkan dinding pertahanannya. Ia baru saja mengetahui kenyataan yang membuatnya terjatuh dalam jurang ketidakpastian– Arvin, tunangannya, pria yang telah ia cintai sejak bertahun-tahun, ternyata berselingkuh. Dengan sahabatnya sendiri, seorang perempuan yang tak pernah ia duga.

Nina menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, mencoba menahan tangis yang seakan tak mau berhenti. Hatinya terasa terkoyak, dunia terasa berbalik. Di usia yang sudah matang, ia harus menerima kenyataan pahit bahwa pria yang seharusnya menjadi pendamping hidupnya, mengkhianatinya begitu saja.

"Kenapa harus seperti ini?" Ucapnya lirih, hampir tak terdengar.

"Arvin brengsek!!! Arvin bajingan!!! Tiara setan!" Maki Nina sambil memukul-mukul bantal guling yang ada di dalam pelukannya, seolah bantal itu dua orang yang sudah mengkhianatinya itu.

"Kalian setan!!! Aku benci kalian berdua!!!" Teriak Nina lagi, sungguh hatinya campur aduk, rasa kecewa terlalu mendalam di dalam dirinya.

Tok Tok Tok

Pintu kamarnya diketuk perlahan, dan suara lembut itu langsung dikenalnya.

“Nina, ini gue, Devan.”

Nina menghapus air matanya perlahan, meskipun perasaan sakit hati itu tak bisa ditahan. Tapi dia tahu, sahabatnya itu akan selalu datang untuknya. Devan, pria yang sudah ada sejak ia masih kecil. Dan Devan pria yang selalu menemaninya di saat senang dan susah, yang selalu ada untuk menenangkan hatinya yang rapuh. Devan, yang selalu menjadi pelabuhan bagi jiwa yang lelah.

Nina tidak menjawab, namun pintu kamar itu terbuka dengan perlahan. Devan masuk tanpa kata-kata, ia berjalan dan langsung duduk di sebelah Nina.

Keheningan menguasai ruangan kamar itu, hanya terdengar suara hujan yang semakin deras. Devan tau, saat-saat seperti ini, kata-kata bukanlah solusi. Nina membutuhkan waktu. Waktu untuk merasakan segala rasa sakit, dan waktu untuk menerima kenyataan pahit itu.

“Nina...” suara Devan terdengar lembut, namun penuh kekuatan. “Gue di sini.” Katanya dengan nada lembut penuh perhatian.

Nina menoleh, dan untuk pertama kalinya, ia melihat Devan tidak hanya sebagai sahabat, tapi sebagai sosok yang mungkin lebih dari itu. Matanya yang biasa teduh, kini tampak penuh perhatian, bahkan sedikit cemas. Devan selalu begitu, tak pernah terputus memberikan perhatian tanpa diminta. Ia tak pernah lelah menjadi pendengar yang setia, meskipun terkadang, Nina tahu, hatinya juga penuh dengan kepedihan yang tak ia ungkapkan.

“Gue nggak tahu harus gimana, Van...” Nina bergumam, suaranya serak. “Gue... gue merasa hancur. Semua ini... karena Arvin, dia... dia berselingkuh. Dan gue... gue nggak akan bisa terima kenyataan ini.” Kata Nina sambil menangis, air matanya mengucur dengan deras saat mengingat kejadian pahit yang menimpanya itu.

"Arvin bajingan!!! Tiara kutu kupret!! Rasanya kalau gue ketemu mereka, gue mau hajar tuh dua orang!!!" Kata Nina menggebu-gebu.

Devan meraih tangan Nina, lalu menggenggam tangan itu dengan lembut. Tanpa mengatakan apapun, ia hanya membiarkan Nina menangis. Di saat seperti ini, kadang kebersamaan adalah obat terbaik. Dan Devan tau, ia adalah satu-satunya yang bisa menemani Nina melewati malam yang kelam ini.

Setelah beberapa menit, saat tangisan Nina mulai mereda, Devan menghela napas panjang. “Lo nggak sendiri, Na. Lo nggak pernah sendiri. Gue di sini. Gue tahu ini sulit. Tapi lo harus bangkit. Jangan biarkan orang-orang yang nggak menghargai lo mengendalikan hidup lo.”

Nina mendongak, menatap sahabatnya itu, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan kehangatan yang berbeda dari Devan. Seperti ada yang tak terucap di antara mereka, sesuatu yang sudah lama terpendam, tapi tak pernah dibiarkan berkembang.

Devan menarik napas dalam-dalam. “Gue nggak bisa ngelihat lo hancur seperti ini. Dan gue tahu, lo nggak akan bisa melewati ini sendirian. Lo nggak harus memulai semuanya lagi dari awal. Gue ada di sini. Dan Gue nggak akan pernah kemana-mana.”

Nina menatapnya bingung. “Apa maksud elo?”

Devan diam sejenak. Suasana menjadi hening lagi. Ia merasakan perasaan yang selama ini ia pendam untuk Nina. Selama ini, ia hanya bisa berada di sampingnya sebagai sahabat, tapi kini, setelah melihat betapa hancurnya Nina, dan ia tidak bisa hanya duduk diam.

“Na... Gue tau ini terdengar gila, dan gue nggak pernah berniat mengganggu hati elo. Tapi gue hanya ingin elo tahu, kalau gue selalu ada untuk lo. Dan gue siap melakukan apa pun agar elo nggak jatuh terlalu dalam. Kalau elo butuh, gue akan menggantikan Arvin dan nikah sama elo.”

Deg

Nina terlonjak terkejut, tubuhnya seakan membeku mendengar kata-kata itu. “Apa?” suaranya keluar terbata-bata, mencoba memahami apa yang baru saja dikatakan oleh Devan.

"Elo nggak bercanda kan?" Nina terkekeh kecil."

Devan menggelengkan kepalanya. "Gue tahu ini bukan jawaban yang lo harapkan. Gue nggak ingin mengambil tempat Arvin. Tapi Gue nggak bisa lihat lo dihancurkan lebih lanjut. Menikah, Na, bukan karena cinta, tapi karena gue ingin melindungi elo dan keluarga elo. Kita berdua tahu betapa beratnya lo menghadapi semua orang nanti dan mungkin dunia, yang tak mengerti. Jika pernikahan ini bisa memberi ketenangan untuk elo, gue siap.”

Nina menatap Devan dengan perasaan campur aduk. “Tapi... kita sahabat, Van. Bagaimana mungkin...”

Devan mengangkat tangan Nina, memegangnya erat. “Gue tahu kita sahabat. Dan mungkin, ini bukan jalan yang sempurna. Tapi setidaknya, ini jalan yang bisa kita ambil bersama-sama. Gue nggak ingin elo merasa sendirian. Jika menikah dengan lo bisa memberikan sedikit ketenangan, maka gue akan melakukannya.”

Nina terdiam, merasakan begitu banyak emosi yang datang sekaligus. Ia bukan hanya kehilangan tunangannya, tetapi kini, sahabatnya menawarkan pernikahan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Persahabatan mereka, yang selama ini menjadi tempat aman, kini terasa seperti ujian besar. Mungkin inilah yang disebut takdir, dan mungkin inilah jalan yang Tuhan pilih untuk mereka.

“Gue nggak tahu, Van...” Nina akhirnya berbicara, suaranya pelan. “Gue masih bingung. Gue masih terluka.”

Devan menghela nafasnya kasar. “Gue tahu, Na. Tapi gue akan sabar. Gue di sini untuk elo. Tidak ada paksaan.”

"Tapi elo harus ingat, Arvin sama Tiara bakalan senang kalau mereka tau elo hancur dan sepatah ini"

Nina terdiam, meresapi apa yang baru saja Devan katakan. Kata-kata itu memang benar adanya.

Malam itu, Devan tetap di sisi Nina. Mereka berdua hanya duduk diam, mendengarkan hujan yang terus jatuh, dan dalam diam itu, Nina tahu, hidupnya akan segera berubah.

Chapter 2

Nina berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Wajahnya yang dulu selalu ceria beberapa hari kini tampak kusam, matanya sembab, dan sorot matanya kosong. Sudah hampir seminggu berlalu sejak Devan mengucapkan kalimat mengejutkan itu. Kalimat yang membuat jantung Nina berhenti berdetak sesaat.

“Kalau lo mau, gue bersedia nikah sama elo.”

Ia belum memberi jawaban. Hatinya terlalu ragu. Ia mengenal Devan seumur hidupnya, tapi pernikahan? Itu bukan sesuatu yang bisa diputuskan hanya karena ingin menutupi aib. Terlebih, bagaimana jika pernikahan itu merusak persahabatan mereka selamanya?

Namun, pagi ini, pertimbangannya semakin rumit. Ia mendengar percakapan Mama dan Papa di ruang makan.

“Kita sudah undang ratusan tamu, bahkan pejabat dan kolega penting. Apa mereka pikir kita keluarga tak punya harga diri?” Papanya menggeram marah, bahkan membanting sendok di atas piring.

Kalau sampai pernikahan ini gagal ia juga yang malu, namanya akan tercoreng.

“Nina mempermalukan kita! Batal menikah seminggu sebelum hari H? Semua orang akan bicara!”

"Tapi pa, kasihan Nina, dia juga korban" sang mama berusaha memberikan pengertian, terlebih anaknya memang korban di sini.

Sang papa berdecih sinis. "Dia bukan korban! Tapi itu karena dia terlalu bodoh! Kalau saja dia pandai memilih calon suami, kita tidak akan pernah menghadapi situasi seperti ini!" Pekik dan papa berapi-api.

"Pa, sebelumnya juga papa yang duluan suruh Nina menikah sama Arvin, kan? Papa bilang Arvin cocok, jadi kenapa–"

"Cukup ma!!! Mama selalu membela Nina. Jadi ngelunjak kan dia! Sampai dia hanya bersikap santai sementara nama papa jadi taruhannya!" Sela papanya marah. Setelah itu terdengar bangku berderit, pria itu pergi tanpa mau menghabiskan sisa makanannya.

"Aku pergi! Naik darahku lama-lama di rumah!"

Sang mama hanya menghela nafasnya kasar, mendengar ucapan sang suami.

Ucapan Papa itu menusuk dada Nina lebih tajam dari sembilu. Ia tahu papanya sangat kecewa. Tapi apa papanya tak tahu betapa hancurnya dirinya?

Nina yang hendak turun dan makan urung, ia berjalan kembali menaiki tangga hendak menuju ke kamarnya.

Tidak lama kemudian, suara ketukan lembut di pintu terdengar.

“Nina, lo sudah siap? Ada undangan reuni SMA sore ini. Gue dengar Arvin juga datang tuh sama calonnya,” suara kakaknya terdengar datar, nyaris seperti sindiran.

Nina hanya diam. Tapi entah kenapa, ia justru berdiri dan mengganti pakaian. Mungkin, ia ingin menantang dirinya sendiri. Mungkin, ia ingin menunjukkan bahwa dirinya belum kalah.

"Aku harus datang, aku harus tunjukkan kalau aku nggak kenapa-kenapa." Ucap Nina..

*

Tempat reuni itu diadakan di sebuah café semi-terbuka di daerah Kemang. Dihiasi lampu gantung dan alunan musik akustik yang hangat, tapi bagi Nina, semuanya terasa dingin dan menyesakkan.

Saat ia masuk, beberapa teman SMA langsung menghampiri, menyalaminya hangat. Tapi tatapan mereka menyiratkan sesuatu. Simpati yang terasa seperti belas kasihan. Bisik-bisik kecil yang hanya bisa didengar separuh tapi cukup untuk membuat hatinya meradang.

Dan di sudut ruangan, berdiri dua sosok yang sangat dikenalnya –Arvin dan Tiara.

Nina menahan napas. Tubuhnya menegang, tapi ia memaksa langkahnya tetap tegak.

Arvin tertawa saat melihatnya, lalu menatap Tiara yang menggandeng tangannya.

“Lihat siapa yang datang. Wah, Nina. Masih bisa jalan juga, ya? Kukira kamu akan mengurung diri seumur hidup setelah ditinggal calon suami,” kata Arvin dengan nada mengejek.

Tiara ikut terkikik. “Ah, jangan gitu, Vin. Dia kan kuat. Katanya punya sahabat sejati yang bisa dia andalkan kapan aja, kan, Na?”

Nada suara Tiara seperti racun—manis tapi mematikan.

Nina menahan air mata. Ia ingin pergi. Tapi di saat yang sama, ia tidak ingin kalah.

“Gue memang punya sahabat sejati. Seseorang yang tidak pernah mengkhianati gue seperti kalian berdua,” jawab Nina tenang, meski dadanya bergetar.

“Ah, sahabat. Jangan bilang kamu mau nikah sama si Devan itu? Hahaha... ya ampun, desperate banget, Nina,” ejek Arvin sambil tertawa.

Nina menatap mereka dengan mata penuh kebencian, matanya sudah berkaca-kaca tapi ia memaksa diri untuk tak menunjukkan luka.

Nina tersenyum sinis. "Bangga banget kayaknya jadi perusak hubungan orang?" Kata Nina pedas membuat tawa Tiara luntur, Tiara menatap Nina sengit dan ada geraman tertahan terlebih beberapa temannya sudah mengalihkan atensi ke arah mereka.

"Ini nih jaman sekarang, nggak heran, dia yang jadi perusak hubungan orang tapi dia yang bangga, dan malah nunjukin kalau dia hebat," Nina tertawa terbahak-bahak.

Tiara melotot begitupun dengan Arvin yang terkejut dengan keberanian mantan tunangannya itu.

"Kau–" Tiara bahkan sudah ingin menampar Nina, namun Nina tidak takut sama sekali.

"Mau tampar? Yakin? Gue bahkan bisa laporin elo ke kantor polisi, dengan pasal tindakan kekerasan, dan setelahnya elo di penjara dan nggak bisa bersama sampah yang udah gue buang ini." Nina melirik ke arah Arvin. Ia benci sekali dengan pria itu, pria yang sudah berucap manis dan berjanji banyak, namun semuanya hanya bualan semata.

"Nina!!!" Marah Arvin dengan wajah merah padam, sedangkan Tiara sudah menahan tangis.

Nina mengangkat dagunya, "dan ini sampah yang memang nggak bisa di daur ulang lagi,"

"Kau–"

Saat Arvin ingin menampar Nina, Devan maju, pria tampan itu menghadangnya.

"Jangan sesekali berani menyakiti Nina, mati elo di tangan gue." Ancam Devan.

Arvin melengos, beberapa temannya sudah menyorakinya, ia langsung menggandeng tangan Tiara dan mengajaknya pergi.

Sedangkan Devan, ia menghela nafasnya kasar, ia menoleh ke arah Nina.

"Nin,"

"Gue mau pulang aja Van, gue ngantuk"

Devan mengangguk, ia tidak menahan Nina lagi. Ia tau Nina pasti sakit hati.

Sesampainya di rumah, Papa sudah menunggu di ruang tamu, wajahnya merah padam.

“Dari mana kamu?!” bentaknya.

“Dari reuni SMA,” jawab Nina lirih.

Papa muncul dari balik koran, suaranya dingin. “Apa kamu tahu apa yang orang-orang katakan? Bahwa kita keluarga gagal mendidik anak! Bahwa kamu terlalu pemilih! Bahwa kamu... tidak laku!”

"Pa sudah" sang mama menengahinya, namun suaminya tidak bisa diam saja.

Nina mengatupkan rahangnya. “Aku yang dikhianati, bukan aku yang berbuat salah.”

“Tapi kamu yang membatalkan pernikahan!” Papa menukas. “Kita sudah keluarkan uang, reputasi, kehormatan keluarga! Kamu kira itu semua bisa dibayar dengan air mata?!”

Nina tidak tahan. Ia berdiri, menatap kedua orang tuanya. “Kalian lebih peduli dengan kata orang daripada perasaan anak kalian sendiri. Kalau kalian mau, aku akan menikah. Tapi jangan salahkan aku kalau aku menikah bukan karena cinta.”

“Siapa?” tanya Papa tajam.

Nina diam sejenak, lalu menjawab, “Devan.”

Kedua orang tuanya terdiam sejenak, saling berpandangan. Lalu sang kakak tertawa sinis. “Sahabatmu itu? Ya Tuhan, kamu bercanda?”

“Tidak,” jawab Nina, tegas. “Dia pria yang lebih jujur dan lebih tulus dari siapa pun. Dan kalau kalian hanya butuh pernikahan untuk menutup malu kalian, maka aku akan menikah. Tapi jangan harap aku akan bahagia dengan paksaan ini.”

Nina berlari ke kamarnya. Air matanya mengalir deras, bukan karena ejekan Arvin atau kemarahan keluarganya, tapi karena hatinya benar-benar tak tahu lagi ke mana harus berlabuh.

Malam itu, ia duduk lagi di atas sajadahnya. Namun doanya kini berbeda.

“Ya Allah...

Jika ini jalan yang Kau pilihkan...

Maka kuatkan aku.

Kuatkan hatiku menerima seseorang yang mungkin bisa menyembuhkan luka ini.

Jika Devan adalah obatnya,

Maka izinkan aku mencintainya perlahan...”

Chapter 3

Pagi itu, langit kota Jakarta tidak lagi kelabu. Tapi di hati Nina, badai belum reda.

Setelah malam panjang yang diisi dengan tangis, kemarahan, dan doa yang lirih, akhirnya ia mengambil keputusan. Keputusan yang mungkin akan mengubah seluruh hidupnya—menikah dengan Devan. Bukan karena cinta. Bukan karena hasrat. Tapi karena luka, kehormatan, dan... ketulusan yang perlahan ia sadari telah lama tinggal dalam diri sahabatnya itu.

Dengan tangan gemetar hebat, Nina mengetik pesan.

“Gue siap, Van. Tapi jangan berharap lebih dari gue sekarang. Maaf ini mungkin tidak adil, dan terlalu menyakitkan buat lo, tapi gue mau jujur, gue nggak mau elo terlalu berharap sama gue, tapi kalau elo mau berubah pikiran, gue nggak mempermasalahkannya. Gue bahkan nggak peduli sama apapun yang bakalan terjadi ke depannya.”

Nina menghela nafasnya kasar, ia menatap sendu pesan itu.

Pesan itu terkirim pukul 08.13 pagi.

Dan hanya dua menit kemudian, balasan datang.

“Gue nggak akan paksa elo apa pun itu, termasuk perasaan. Tapi satu hal gue janji, gue akan jaga elo. Sepenuh hati gue.”

Deg

Hati Nina bergetar. Entah mengapa, ia merasa takut. Bukan takut pada pernikahan itu sendiri, tapi takut karena satu hal tentang bagaimana jika dia mulai mencintai Devan, tapi Devan tak lagi bisa menunggunya?

Apakah mungkin persahabatan mereka akan berakhir?

Keesokan harinya, keluarga Nina dan Devan bertemu dalam suasana yang tidak terlalu formal, tapi jelas ada ketegangan yang menguap di udara. Ibunya Devan adalah perempuan hangat yang terlihat menyayangi Nina sejak dulu. Ia menyambut Nina dengan pelukan tulus.

“Kalau akhirnya kamu jadi menantu Ibu… Ibu nggak akan minta lebih dari kebahagiaan kalian berdua.”

Nuna terdiam. Kalimat sederhana itu menohok-nya. Ia bahkan belum yakin bisa membahagiakan diri sendiri.

Papa Nina terlihat lebih tenang, meski nada suaranya masih tegas.

“Pernikahan ini... bukan karena paksaan. Tapi kalian berdua harus sadar tanggung jawabnya. Jangan sampai hanya karena ingin menutup aib, kalian membuat luka baru yang lebih dalam.”

Devan mengangguk mantap. “Saya akan menjaga Nina. Bukan hanya karena janji di depan keluarga, tapi karena saya sudah menganggap dia sebagai bagian dari hidup saya bahkan sebelum ini semua terjadi.”

Nina memandang Raka lekat, matanya nyaris berkaca. Lelaki itu bicara seolah semua begitu mudah, padahal di dalam dirinya sendiri ada kekosongan yang belum terisi.

Tak seperti rencana awal saat hendak menikah dengan Arvin yang melibatkan gedung mewah, vendor-vendor terbaik, dan ratusan undangan, pernikahan Nina dan Devan hanya berlangsung sederhana di rumah keluarga Devan. Hanya keluarga dekat dan tetangga sekitar yang hadir. Tidak ada gaun panjang putih gemerlap. Hanya kebaya krem sederhana, dan setangkai mawar yang disematkan di sanggul rambut Nina.

Ketika penghulu bertanya kepada Nina, “Apakah kamu siap menerima Devan sebagai suami tanpa paksaan?”

Nina menunduk sejenak. Detik-detik itu seperti melambat. Ia ingat tawa Arvin yang menghina. Ia ingat tatapan kecewa Mamanya. Ia ingat pelukan hangat Raka saat ia menangis diam-diam.

Dan ia menjawab, lirih, tapi pasti,

“Saya terima.”

Tepuk tangan bergema. Senyum mengembang di wajah para tamu. Tapi hanya Allah dan dirinya yang tahu, hatinya masih kering.

Dan setelah itu, Devan menjabat tangan papanya Nina, lalu ijab kabul pun terucap dengan lantang dan lancar. Dan semuanya mengucapkan syukur dan berdoa kepada Allah, semoga pernikahan keduanya mendapatkan kebahagiaan.

Devan tersenyum, ia mengusap wajahnya, dan tanpa mereka sadari, setetes air mata jatuh di pipi Devan, namun ia buru-buru mengusapnya, agar mereka tidak ada yang melihatnya.

'Ya Allah, aku sangat bersyukur, akhirnya aku bisa menikah dengan Nina. Dan terimakasih, ini mungkin jawaban atas semua doa yang aku ucapkan setiap hari.'

*

Malam itu, mereka berada di kamar yang sama—kamar pengantin sederhana, namun hangat. Devan duduk di tepi ranjang, sementara Nina menatap langit-langit, mengenakan piyama panjang dan duduk dengan punggung lurus, penuh canggung.

“Elo capek?” tanya Devan dengan nada lembut.

Nina mengangguk. “Iya. Banyak yang dipikirin.”

Devan tak mendesak. Ia bangkit, mengambil selimut, lalu menyampirkan-nya ke tubuh Nina.

“Kita tidur, ya. Gue tidur di sofa. Elo istirahat aja. Malam ini… kita cuma suami istri di atas kertas. Nggak lebih, kecuali elo yang mau.” Ucap Devan sambil terkekeh pelan.

Nina menoleh cepat. “Devan, lo nggak harus bersikap terlalu baik. Gue takut... Gue takut lp kecewa karena gue nggak bisa ngasih perasaan yang sama seperti yang elo kasih ke gue.”

Devan mendekat, menatapnya lembut. “Nina, gue nggak menikahi elo untuk membalas perasaan gue. Gue menikahi elo karena gue ingin elo aman. Gue rela menunggu, seberapa pun lama, sampai elo siap... atau bahkan, kalau elo tak pernah siap sekalipun.”

Nina menunduk. Bibirnya bergetar. Air mata mengalir tanpa ia sadari. Tangan Devan terjulur lalu mengusapnya perlahan.

Malam itu, mereka tidur dalam diam. Devan di sofa, Nina di ranjang. Tapi di antara mereka, ada jarak yang tak terlihat—dan juga jembatan kecil yang perlahan mulai dibangun, batu demi batu.

Hari-hari setelah pernikahan tidak langsung membaik. Nina masih sering murung, dan Devan memilih tidak memaksa. Ia tetap mengantar Nina ke tempat kerja, menjemputnya, menyiapkan sarapan, mencuci piring tanpa diminta. Semua dilakukan tanpa mengharapkan imbalan.

Namun yang paling menusuk, adalah hari ketika Nina menginap di rumah keluarga Devan, dan tanpa sengaja membuka laci di ruang kerja Devan dan menemukan satu kotak kecil berisi foto-foto masa kecil mereka. Di dalamnya, ada foto mereka berdua di ayunan taman saat usia tujuh tahun, dengan catatan tangan kecil di belakangnya:

"Kalau nanti kamu sedih, aku janji bakal jagain kamu. – Devan (1998)"

Nina terduduk, menahan napas.

Seketika, semua rasa yang ia pendam—rasa aman, rasa nyaman, rasa disayangi—menyeruak. Ia belum bisa mencintai Devan, tapi ia tahu, mungkin cinta bukan selalu soal gejolak besar yang meledak di dada. Kadang cinta adalah kehadiran yang tidak pernah pergi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!