Paginya.
Tidak ada lagi ucapan good morning dari Nadia seperti biasanya. Tidak ada juga sarapan yang biasa disiapkannya dengan penuh cinta. Yang ada hanya Nadia yang santai duduk di ruang tengah sambil menonton televisi.
Semalam pun, setelah kejadian rencana gagal berujung memalukan yang sengaja dipertontonkan Nufus, ia sempat penasaran. Diam-diam Nufus berinisiatif mengintip ke kamar Nadia. Dalam pikirannya, mungkin saja Nadia hanya pura-pura tegar di depan hanya karena demi membalas perbuatannya selama ini, dan saat sendirian ia akan menangis tersedu-sedu, menangisi cintanya yang pilu.
Namun waktu itu yang Nufus lihat justru sebaliknya. Nadia sedang tengkurap di tempat tidur, asyik membaca komik dan tertawa lepas seperti tidak ada beban.
Nufus hanya bisa menghela napas sekarang.
Ya bagus. Bukannya ini yang lu mau, Fus? katanya dalam hati.
Tapi entah mengapa, ada rasa tidak nyaman yang menggelayuti dadanya. Rasa ingin tahu yang tiba-tiba tumbuh, tentang apa sebenarnya yang terjadi dengan Nadia. Apalagi wanita itu tampak pintar sekarang.
"Nggak masak?" tanya Nufus akhirnya.
Nadia tidak menoleh. Tapi dia bangkit dari rebahannya, mendekat ke toples camilan yang ada di meja. Ia mengangkat toples itu lalu mengajaknya bicara. "Apakah dirimu yang bertanya padaku barusan?" ucap Nadia ke toples.
Nufus berdecak.
"Aku yang bertanya, Nadia. Kamu tidak masak sarapan?"
Kali ini Nadia menoleh. Bibirnya membentuk huruf "O" sebelum menjawab, "Aku masak, tapi cuma buat aku sendiri. Soalnya kamu tidak pernah makan kalau aku yang masak. Sayang kan kalau dibuang."
Nufus tidak menjawab, diam-diam ia tersenyum tipis.
"Kalau aku bilang sekarang ingin makan masakan buatanmu, kamu masih bersedia masak untukku?" tanya Nufus sambil menatap wajah Nadia.
"Tentu tidak. Sudah jam berapa sekarang? Tidak ada waktu lagi untuk masak sarapan buatmu."
"Cuma roti tawar dioles selai pun cukup," kata Nufus mencoba bernegosiasi.
"Selainya sudah habis. Yang ada cuma bahan-bahan mentah yang butuh dimasak. Rotinya juga sudah aku makan tadi."
Nufus sempat berpikir. Iya juga, selai itu memang sudah habis dari kemarin. Dia baru ingat.
"Kalau gitu, pilih aja bahan yang bisa dimasak cepat. Aku tunggu."
"Sepertinya tidak bisa juga. Kalau aku masak untukmu, bisa butuh waktu lama. Bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun."
"Kenapa begitu?"
"Karena aku masaknya harus pakai cinta. Sudahlah, pakai yang simpel aja. Beli sarapan. Nih, aku kasih uangnya." Ia menyodorkan uang seratus ribu sambil nyengir.
Nufus menarik napas panjang, lalu berkata pelan, "Simpan aja. Aku masih punya uang sendiri."
"Oke," sahut Nadia singkat lalu menyelipkan kembali uangnya ke dompet. Senanglah dia uangnya tidak jadi berkurang.
Saat Nufus berbalik dan melangkah berangkat mencari nafkah, Nadia mengekor di belakang. Begitu pria itu sampai di ambang pintu, Nadia mengangkat tangannya, melambai hus hus seperti sedang mengusir ayam.
Lelaki itu menoleh, untungnya Nadia sudah kembali bersikap biasa.
"Aku berangkat."
Biasanya kalau Nufus bilang begitu, Nadia yang dulu selalu menyambut dengan kata-kata manis. Atau bahkan kadang-kadang nufus pun suka lupa berpamitan.
"Iya." Satu kata itu saja yang dilontarkan Nadia. Tidak ucapan hati-hati di jalan yang disematkan.
Pergi juga dia.
Nadia lekas menutup pintu. Ada rasa lega yang menyelinap di dadanya. Akhirnya jam kepura-puraan sudah tiba. Hari ini, dia sudah menyusun daftar kegiatan, salah satunya melanjutkan aktivitas dari hasil jalan-jalan kemarin. Saat itu, sebelum kejadian Nufus membawa wanita ke rumah, Nadia sempat keluar rumah dan menemukan sesuatu yang entah bagaimana menyulut sisi mata-mata dalam dirinya keluar.
Sejak saat itu, ia mengisi harinya dengan semangat baru. Menyelidik, mengamati, atau bisa saja ikut terlibat.
Sementara itu,
Nufus baru saja beberapa langkah hendak memasuki mobil ketika ponselnya berdering. Ia segera mengangkatnya, ternyata dari bosnya. Dengan nada tergesa, bos meminta Nufus segera datang ke kantor. Hari ini, sang bos ada urusan di luar dan ingin Nufus mengambil alih penuh segala urusan di kantor.
...****...
Di tempat pemancingan.
Nadia datang membawa peralatan pancing lengkap. Di tengah kerumunan para pria, kehadirannya jelas menarik perhatian. Seorang perempuan mancing sendirian? Sudah pasti jadi sorotan. Beberapa ada yang iseng ingin menggoda, tapi yang kenal Nadia, langsung mengurungkan niat karena takut kena semprot si Nufus. Ada juga yang heran, tumben Nadia mancing. Bukannya cewek itu biasanya feminin banget?
Tidak lama, Xadewa muncul. Penampilannya santai, bahkan terkesan asal-asalan. Sandal jepit, topi lusuh, kaus belel, dan ember plastik kecil berisi alat pancing murahan. Dengan pongah, ia berjalan mendahului Nadia menuju spot terbidik yang sejak awal sudah diincar Nadia.
Melihat tempat incarannya diserobot, Nadia tidak tinggal diam. Dia ikut duduk di samping Xadewa, menunjukkan kalau dia juga menginginkan tempat itu.
Xadewa, yang sedang sibuk menggulung lumut di kail, refleks menoleh saat merasakan kehadiran orang di sampingnya. Pandangannya terhalang. Wajah Nadia belum terlihat jelas karena dia juga sedang sibuk memasang umpan.
“Heh, ungu.” panggil Xadewa, melihat warna baju Nadia.
Nadia menoleh. Saat wajahnya terlihat, Xadewa terdiam. Ada sesuatu yang familiar.
Ini cewek yang gua nikahin sama Nufus bukan si? gumamnya dalam hati. Tapi dia ragu. Terlalu banyak urusan membuat ingatannya akan hal-hal kecil jadi samar.
"Kenapa, Bang?" tanya Nadia datar.
Kayaknya bukan. Istrinya Nufus nggak kayak gini orangnya. Kelihatannya dia juga nggak kenal gua. Tapi kok mirip ya? Ah, tau ah. Lupa!
Xadewa menghela napas. Lalu dia mengeluarkan uang dari sakunya.
"Tolong pindah ya. Ini kompensasi buat nyari tempat lain."
"Ih, gak mau lah, Bang. Bagi-bagi tempat ya. Saya juga mau di sini."
Xadewa jengkel setengah mati. Biasanya orang langsung minggir kalau dia yang bicara. Tapi kali ini? Dilawan! Namun ia menahan diri, takut misinya gagal.
"Yaudah, tapi jangan banyak gerak ya, kepalanya diem. Biar fokus."
Baru mau jawab perintah Xadewa yang aneh kenapa dia tidak boleh banyak bergerak, Nadia lebih dulu matanya bertemu dengan kail Xadewa. Ini kolam ikan lele tapi umpan nya lumut. Astagaa...
"Bang, yaelaaah. Kayaknya abang deh yang salah tempat. Duduk di sana tuh, kalau mau pakai lumut. Di kolam mujaer. Lele mana makan begituan. Dia itu umpannya cacing, jangkrik."
Xadewa natap kailnya. Lah iya bener kenapa dia masangnya lumut. Mungkin ia terlalu fokus membidik target.
Tidak mau debat lagi karena takut jadi pusat perhatian soal salah umpan, Xadewa langsung ganti. Tapi detik kemudian dia langsung bangkit karena targetnya telah pergi. Xadewa terburu-buru pergi dari sana sambil ngomel-ngomel dalam hati. Merutuki kenapa dia harus bertemu Nadia.
Nadia yang lagi bicara, "Bisa juga pakai ko'ot bang, tau gak ko'ot? " Eh menengok, Xadewa ternyata sudah tidak ada. Dan Nadia lihat ke targetnya pun sudah tidak ada ditempat.
Ya ampuun, jadi hilang kan. Gara-gara si abang tadi nih. Nadia pun ikutan pergi sambil ngomel-ngomel dalam hati.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
nowitsrain
Lagi ngincer apaan si lu beduaaaaa
2025-06-25
2
nowitsrain
Oh ini yang katanya ada urusan di luar?? Ya betul sih betul, tapi sungguh di luar nurul
2025-06-25
2
nowitsrain
Bikin sendirian ah, jangan manja
2025-06-25
1