Di sebuah rumah kecil yang mulai kusam dimakan usia, di salah satu sudut kota metropolitan yang tak pernah benar-benar tidur, tinggal keluarga sederhana, ayah, ibu, dan seorang putri berusia tujuh belas tahun.
Pagi itu mendung menggantung rendah, seolah langit pun enggan membuka harinya. Di teras rumah yang catnya mulai mengelupas, duduk seorang pria berusia 45 tahun dengan kaus dalam lusuh dan celana pendek yang warnanya sudah pudar. Di tangannya, sebuah ponsel tua berlayar retak terus-menerus ditekan, digeser, lalu digertakkan lagi.
"Astaga! Bodoh!" makinya, keras dan kasar, hingga burung-burung di atas kabel listrik beterbangan.
Ia memukul pahanya sendiri, geram. Suara dari ponsel berbunyi nyaring, pertanda kekalahan. Lagi.
Istrinya yang sejak tadi mencuci piring di dapur langsung menghentikan aktivitasnya. Ia memejamkan mata sejenak, mengatur napas.
"Pak, sudah pagi. Tolong jangan berteriak, anak kita baru tidur jam tiga tadi," ujarnya dari balik jendela yang terbuka setengah.
Pria itu tak menjawab. Hanya mendengus dan membanting ponselnya ke atas meja kayu kecil di samping kursi. Ponsel itu berguling pelan dan berhenti tepat di tepi, nyaris jatuh.
Terdengar derit pelan dari pintu. Seorang gadis dengan rambut acak-acakan dan mata masih setengah tertutup melangkah ke luar. Bajunya kaus lusuh kebesaran dengan tulisan band asing yang sudah pudar, dan celana pendek yang terlalu panjang untuk ukuran tubuhnya.
"Ayah main judi lagi?" tanyanya pelan, tanpa basa-basi.
Pria itu menoleh, tatapannya tajam namun kehilangan taring. Ia menatap anak perempuannya, mata yang dulu bersinar bangga kini hanya menyisakan bayangan ketakutan dan cemas.
"Urus saja dirimu sendiri, Nadra," jawabnya pendek.
Nadra menghela napas. "Aku cuma bilang, Ayah. Bukan marah. Tapi Ibu capek, dan aku juga."
"Apa? Kamu juga mulai ceramah sekarang?" bentaknya, suaranya naik lagi.
Ibu keluar, tergesa. "Pak, sudah! Jangan ke anak sendiri!"
Nadra menunduk, tak ingin membalas. Tapi luka di hatinya makin dalam tiap kali suara ayahnya meledak. Ia berbalik, kembali masuk ke dalam rumah. Pintu kamar ditutupnya pelan, tapi cukup tegas.
Pria itu masih duduk diam, matanya kosong. Sekali lagi ia mengambil ponsel, menyalakannya, dan membuka aplikasi yang sama.
Sang istri hanya bisa berdiri mematung. Ingin berkata, ingin menjerit, tapi lidahnya kelu. Ia hanya menatap suaminya yang makin hari makin tenggelam, dan anak perempuannya yang semakin jauh dari pelukan yang dulu hangat.
Tak sabar, suara ibu berganti dengan suara yang mulai meninggi.
"Main terus dari pagi! Kerja, Pak! Kerja!" serunya, suara tinggi namun terdengar lebih sebagai ratapan ketimbang amarah.
"Nadra aja, anak kita, baru lulus udah banting tulang kerja di kafe. Masa ayahnya cuma duduk, main judi, berharap menang mimpi kosong terus?"
Pria itu, duduk membisu sejak kalah tadi, mendadak bangkit berdiri. Kursi reyot di teras berderit keras, hampir roboh. Langkahnya berat dan cepat, mendekati istrinya yang berada di ambang pintu.
Dengan satu jari telunjuk yang gemetar karena emosi, ia menunjuk wajah perempuan yang telah menemaninya lebih dari dua puluh tahun.
"Jangan sok ngatur, ya!" desisnya tajam. Nafasnya berat, wajahnya memerah. "Kalau aku menang, kalau aku menang nanti! Kamu gak perlu lagi capek-capek jadi babu orang! Ngerti?!"
Istrinya terdiam, meski tubuhnya tampak menggigil. Tapi matanya tak berkedip, tak ada air mata. Hanya sepasang bola mata yang sudah terlalu sering melihat kekalahan dan janji-janji kosong yang sama.
Belum puas, pria itu melangkah mundur, kini suaranya lebih lantang mengarah ke kamar anak mereka.
"Dan Nadra! Jangan sok suci kamu, ya! Baru juga kerja jadi pelayan kafe, uda belagak! Hah?! Mentang-mentang bisa bawa duit sendiri, kamu jadi ngerasa lebih hebat dari ayahmu?!"
Di balik dinding tipis kamar, suara itu menembus masuk seperti peluru yang menampar udara tenang.
Nadra menutup telinganya dengan bantal, menekan sekuat mungkin agar suaranya meredam. Matanya yang berat masih menyisakan kantuk dan rasa lelah dari shift malam yang baru selesai dini hari tadi.
Tubuhnya ingin istirahat, tapi pikirannya berisik. Rasa ingin marah, menangis, dan kabur bercampur menjadi satu. Tapi ia tahu, tak ada gunanya bicara. Suara Ayah selalu menang. Selalu paling keras. Selalu paling benar menurutnya sendiri.
Ia menghembus napas panjang, mencoba menarik diri dari kenyataan yang terasa semakin pengap.
"Aku cuma mau tidur, tolonglah," bisiknya lirih, entah pada siapa. Mungkin pada langit, mungkin pada dirinya sendiri.
Pelan-pelan, matanya terpejam, membiarkan kepenatan menenggelamkannya dalam keheningan palsu. Dalam mimpi, ia berharap ada rumah yang lebih tenang, lebih hangat. Rumah yang tak retak oleh suara teriakan.
Di luar kamar, pria itu masih menggerutu. Tapi kini lebih pelan, suaranya kehilangan kekuatan. Istrinya masuk ke dapur, kembali mencuci piring dengan air dingin dan tangan gemetar.
***
Langkah kakinya menghentak aspal jalan kecil yang berdebu. Pria itu, ayah berjalan dengan sorot mata penuh amarah dan bibir yang tak henti menggerutu.
"Sok pintar semua, dasar anak kurang ajar, istri cerewet," gumamnya, seraya menyepak batu kecil yang tergeletak di jalan.
Batu itu meluncur, mengenai kaleng kosong menimbulkan dentingan yang memantul ke sekeliling. Ia tak peduli.
Langkahnya terus membawanya ke arah warung kopi di pojokan kampung, tak jauh dari gang sempit tempat ia tinggal. Warung itu sederhana, berdinding triplek dan atap seng yang berderak diterpa angin, tapi selalu ramai. Terutama oleh mereka yang tak punya cukup alasan untuk pulang cepat.
Di balik meja kayu panjang yang dilapisi taplak plastik bermotif bunga pudar, berdiri seorang wanita bertubuh gemuk, tapi seksi, pemilik warung. Janda. Bibirnya tak banyak tersenyum, tapi matanya selalu sigap membaca gelagat pelanggan.
"Datang juga, Pak Sugeng," sapa si pemilik warung, suaranya datar, tapi cukup ramah.
"Bikin kopi. Yang pahit. Seperti nasib," balasnya, separuh bercanda, separuh menyindir hidupnya sendiri.
Di warung itu sudah berkumpul beberapa pria. Ada yang bermain game di ponsel dengan suara musik berdentum dari speaker mini, ada pula yang matanya fokus di layar, jari-jarinya lincah bertaruh chip demi chip.
***
Matahari belum tinggi, dan udara masih mengandung sisa dingin malam. Di dapur rumah kecil itu, aroma bawang tumis mulai menguar. Nadra dan ibunya sibuk menyiapkan sarapan seadanya: nasi sisa semalam, telur yang dibagi dua, dan teh hangat yang lebih banyak air daripada gula.
Tiba-tiba, terdengar suara berat memanggil dari luar pagar.
"Pak Sugeng! Keluar lo! Jangan pura-pura tidur!"
Nadra dan ibunya saling berpandangan. Wajah ibu Nadra langsung pucat. Sementara Nadra mengerutkan alis, merasa suara itu asing, dan ancaman yang terselip di dalamnya membuat bulu kuduknya berdiri.
Mereka segera melangkah ke ruang depan. Nadra membuka pintu, dan saat itulah napasnya tertahan.
Tiga pria bertubuh besar berdiri di depan pagar. Salah satunya memegang buku besar lusuh, tampak seperti catatan utang. Wajah mereka keras, tak tersenyum, dan tak ada keraguan dalam tatapan tajam mereka.
"Ibu?" bisik Nadra, nyaris tak terdengar.
Ibu Nadra melangkah maju, berdiri di depan putrinya. Suaranya bergetar saat bertanya, "Ada perlu apa ya, Pak?"
Pria bertubuh paling besar mendekat. "Kami anak buahnya Pak Herman. Pak Sugeng, punya hutang sama kami. Tiga juta. Sudah sebulan gak dibayar. Kami capek sabar, Bu."
Nadra menoleh cepat, matanya membelalak. "Tiga juta?!"
Ibunya membeku. "Maaf, kami, kami nggak tahu. Dan kami juga belum punya uang."
"Tahu atau enggak, urusan belakangan," sahut pria yang lain. "Kami nggak dibayar buat dengerin alasan. Kami dibayar buat ngambil jaminan."
Tanpa menunggu izin, dua pria langsung menerobos masuk rumah.
"Eh! Jangan! Jangan main masuk begitu aja! Ini rumah kami!" seru Nadra, mencoba menghalangi.
Tapi dorongan pelan dari salah satu pria itu cukup membuat Nadra terhuyung.
"Nadra!" teriak ibunya, memegang lengan putrinya.
Pria bertubuh kekar menunjuk barang-barang dalam rumah. "Ambil kulkas, sofa, TV itu sepeda listrik juga, angkut aja. Lumayan."
"Jangan! Tolong, jangan ambil itu! Kami butuh itu buat hidup!" suara ibu Nadra nyaris menangis.
Tapi mereka tak peduli. Dengan cepat, kulkas ditarik keluar, sofa diseret meski membuat lantai keramik retak, dan televisi yang dibungkus kain pun dibawa serta. Sepeda listrik ibunya diangkat tanpa ampun.
Nadra mencoba merebut sepeda, "Itu milik Ibu! Jangan bawa itu!"
Namun salah satu dari mereka menggerakkan bahu dan mendorongnya keras ke belakang.
"NADRA!" jerit ibunya lagi, menahan tubuh anaknya yang hampir jatuh.
Mereka tak berkata apa-apa lagi. Setelah semua barang terkumpul, ketiganya keluar begitu saja. Tak ada permintaan maaf. Tak ada penjelasan tambahan. Hanya sisa aroma keringat dan amarah yang menggantung di udara.
Pintu rumah dibiarkan terbuka, menyisakan ruang kosong yang dulu menjadi tempat berkumpul, kini tinggal dinding dingin dan karpet tipis tanpa makna.
Nadra terduduk di lantai. Matanya memerah, dadaknya sesak. Tangannya masih gemetar saat menyentuh lantai tempat sepeda ibunya tadi berdiri.
Ibunya berdiri di sampingnya, wajahnya hampa. Matanya menatap ke arah pintu yang terbuka lebar, seolah tak percaya rumah mereka kini terasa asing.
...Bersambung......
...Hai, aku kembali membawa cerita baru. Mohon dukungannya, jangan lupa berikan bunga mawar, iklan, untuk menghiasi hari-hariku menulis....
Sore itu , langit kota tampak murung meski tak hujan. Di balik jendela kafe kecil yang selalu ramai, Nadra berdiri di balik meja kasir. Baju kausnya menempel di tubuh, basah oleh keringat. Rambut hitam panjangnya lepek, sebagian menempel di leher, sebagian lainnya ia jepit asal-asalan dengan pensil.
Napasnya belum sepenuhnya teratur. Matanya sembab, tapi hanya yang jeli yang bisa melihat jejak tangis yang sudah dikeringkan angin sepanjang perjalanan.
Kafe sedang sepi. Hanya ada dua meja yang terisi. Seorang pelanggan sibuk mengetik di laptop, dan satu lagi tampak asyik menonton video lewat ponsel.
Dari arah dapur, seorang pemuda muncul dengan celemek tergantung di pinggang. Ia mengelap tangannya dengan serbet kecil, lalu berjalan mendekat.
"Dra," sapanya pelan.
Nadra menoleh cepat, seolah terkejut. Senyumnya muncul sekejap, tipis sekali.
"Hai, Arven."
Pemuda itu menatapnya sebentar. Pandangan matanya menyapu dari ujung rambut hingga ke kaus yang lembab.
"Kamu lari maraton tadi?" tanyanya setengah bercanda, meski nada khawatir tak bisa disembunyikan.
Nadra menyeka keningnya, tersenyum kaku. "Enggak, tadi jalannya ngebut aja."
"Kenapa nggak naik sepeda listrik? Biasanya kamu datang bareng dengan sepeda kesayanganmu itu."
Nadra terdiam sepersekian detik. Sorot matanya sempat berubah tajam tapi kosong. Tapi ia cepat-cepat mengangkat bahu, pura-pura santai.
"Rusak. Remnya blong. Jadi ya jalan kaki deh."
Jawabannya cepat, terlalu cepat. Dan Arven menyadarinya.
"Oh," gumamnya singkat. Lalu tak bertanya lebih jauh. Tapi tatapannya masih tertinggal di wajah Nadra. Ada gurat lelah yang tak biasa. Dan mata itu seolah menahan banjir yang hanya menunggu waktu.
"Aku ke kamar mandi dulu, ya. Ganti baju," ucap Nadra cepat, nyaris menghindar.
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah ke arah belakang kafe. Bahunya agak turun, langkahnya berat. Arven hanya memandang punggung itu sampai menghilang di balik pintu kecil menuju ruang ganti.
Nadra keluar dari kamar mandi dengan seragam berwarna krem yang kini tampak lebih rapi di tubuhnya. Rambut panjangnya sudah dikuncir tinggi, meski beberapa helai tetap membingkai wajahnya yang sedikit pucat karena kelelahan. Namun senyum tetap ia pasang, walau hanya sekadar menyembunyikan getir.
Ia melangkah menuju meja racikan, tempat Arven tengah menyusun gelas-gelas bersih.
"Ven, Bos udah datang?"
Arven mengangkat wajah, matanya langsung menyapu Nadra dari atas ke bawah. Ia menggeleng pelan. "Belum. Kayaknya baru jalan dari rumah."
Nadra mengangguk. "Kalau gitu ada yang bisa aku bantu?"
Alih-alih langsung menjawab, Arven mengambil satu gelas berisi sisa jus jeruk dari kulkas. Ia menyodorkannya pada Nadra. Embun dingin masih menempel di permukaan gelas.
"Nih, minum dulu. Istirahat sebentar aja. Pelanggan juga masih sepi."
Nadra menatap gelas itu sejenak, lalu menatap Arven. "Aku enggak apa-apa, beneran. Tangan juga uda gatal pengen kerja."
"Tapi wajahmu udah kayak orang mau tumbang," sahut Arven pelan, matanya tetap lembut. "Bentar aja. Lima menit. Habis itu kalau kamu tetap mau bantu, silakan."
Akhirnya Nadra mengangguk. Ia duduk di bangku kecil di bawah meja racikan, tempat biasanya staff mengambil napas sejenak saat tidak banyak pesanan.
Baru dua tegukan jus menyentuh bibirnya, suara sepatu hak menghentak lantai terdengar mendekat. Cynthia, salah satu barista lain di kafe itu, muncul dari balik lorong dapur dengan dandanan rapi. Wajahnya dipoles ringan dengan makeup peach yang membuatnya tampak selalu siap selfie. Rambutnya dicatok lurus, dan parfum manis menguar saat ia lewat.
Ia berhenti tak jauh dari tempat Nadra duduk.
"Hmm," suaranya sengaja dibuat nyaring dan tajam. "Bau asam apa ini ya di dapur?"
Nadra refleks menoleh. Hidungnya mengecap baju sendiri, seolah memastikan.
Arven berdiri tegak. "Mungkin bau bahan makanan yang baru datang, Cyn. Tadi sempat ada kotak yang isinya-"
"Bukan," potong Cynthia cepat. Ia menatap Nadra seolah sedang melihat noda di permukaan kaca. "Ini jelas bau ketiak. Kalian berdua sih, siapa yang belum mandi?"
Nadra meletakkan gelas di atas meja. Ia berdiri perlahan, matanya tidak menantang, tapi tak juga menunduk.
"Mungkin aku," jawabnya pelan tapi jujur. "Tapi aku mandi, kok. Cuma tadi ke sini jalan kaki. Jadi ya, keringatan."
Cynthia melipat tangan di dada, wajahnya mencibir. Tapi sebelum ia sempat menambah sindiran lain, Arven menyela.
"Cyn. Kita kerja di sini buat urus pesanan pelanggan, bukan buat adu wangi-wangian. Kalau ada masalah, simpen buat nanti. Sekarang mending kita urus bagian kita masing-masing."
Nada suara Arven tenang, tapi ada ketegasan yang tak biasa di dalamnya. Sejenak Cynthia terdiam. Ia melirik Arven, entah lebih karena malu, atau kesal karena dibela tidak seperti yang ia harapkan.
Tanpa berkata lagi, Cynthia berbalik, melenggang pergi dengan langkah cepat dan wajah cemberut.
Suasana kembali sunyi. Nadra menatap gelas jus yang tadi belum sempat habis ia minum.
"Maaf ya, gara-gara aku, kamu jadi-"
"Enggak usah minta maaf," potong Arven. "Kamu cuma jujur. Dan jujur itu kadang bikin orang nggak nyaman. Tapi bukan berarti kamu salah."
Nadra tersenyum tipis, kali ini benar-benar tulus meski lelah masih tersimpan di balik matanya. "Makasih, Ven."
√√√
Waktu berjalan, jam dinding di atas pintu menunjukkan pukul delapan malam. Suasana kafe berubah menjadi lebih hidup. Tawa pelanggan, dering bel pintu yang terus berbunyi setiap kali seseorang masuk, serta suara blender dan mesin espresso bergantian memenuhi udara.
Aroma kopi dan keju dari oven memenuhi ruangan, mengaduk perut siapa pun yang lewat. Nadra nyaris tak berhenti bergerak sejak pukul lima sore. Langkahnya cepat namun teratur. Baki di tangannya selalu penuh: kopi latte, es cokelat, sandwich tuna, kentang goreng, sampai waffle dengan saus maple.
Dari balik ruang kaca di sudut kafe, sang pemilik, Pak Dion, duduk dengan dagu bertumpu pada tangan. Matanya mengamati seluruh sudut ruangan, namun lebih lama berhenti pada satu titik, Nadra. Gadis itu tak banyak bicara, tapi tangannya cekatan, senyumnya tulus, dan tak sekali pun mengeluh meski wajahnya basah oleh keringat.
"Anak ini kerja kerasnya asli, bukan pura-pura," gumam Pak Dion pelan.
Sementara itu, di dapur belakang, Nadra bersandar di dinding. Napasnya masih naik-turun. Ia membuka likat rambutnya, membiarkan udara menyentuh tengkuknya yang basah. Satu tangan sibuk menyeka keringat dengan tisu, satu lagi menyangga pinggang.
Tak lama, Arven muncul. Tangannya memegang botol minuman dingin yang sedikit berkeringat, dan sepiring kentang goreng hangat.
"Nih," katanya sambil menyodorkan. "Belum makan, kan?"
Nadra menoleh, sempat ragu. Tapi lapar memang sudah menguasai.
"Makasih banget," katanya pelan, lalu menerima. Ia duduk di bangku kecil dekat rak bumbu, mengunyah perlahan, meski wajahnya menunjukkan rasa puas yang jujur.
"Enak?"
"Enak banget. Aku bahkan lupa terakhir makan nasi jam berapa."
Arven hanya tersenyum kecil, lalu duduk di dekatnya, mengambil satu kentang dan ikut mengunyah. Tidak banyak kata keluar. Tapi di antara mereka, diam bukan berarti canggung, melainkan nyaman.
Namun di meja barista, seseorang memperhatikan mereka. Cynthia. Dari balik mesin kopi yang mulai lengang, matanya mengawasi keduanya dengan sorot tak suka. Lipstik merah mudanya sedikit tergigit karena giginya menekan bibir bawah.
"Oh, sekarang udah bagi-bagi makanan ya? Padahal katanya istirahat cuma lima menit," gumamnya sinis, nyaris tak terdengar.
Ia menyak meja dengan lap kering, lebih keras dari seharusnya. Seolah meja itu adalah Nadra. Dari tempatnya, Cynthia bisa melihat cara Arven memandang Nadra. Lembut. Peduli. Pandangan yang selama ini ia harapkan ditujukan padanya.
"Dasar gadis miskin... Cuma karena tampang polos, langsung dikasih perhatian," desisnya pelan.
Salah satu pegawai lain sempat lewat dan mendengar sepenggal gumamannya.
"Ngomong sama siapa, Cyn?"
"Enggak. Cuma ngomong sendiri. Kebiasaan kalau lagi muak lihat orang sok akrab."
Pegawai itu hanya mengangkat bahu dan berlalu.
Cynthia masih berdiri di situ, menatap dua sosok yang kini duduk berdampingan, membagi sisa kentang dalam diam. Matanya menyipit. Hatinya panas. Cemburu, meski ia tahu ia tak punya hak untuk marah.
"Arven milikku, harusnya milikku," bisiknya dalam hati.
√√√
Malam semakin larut. Suara tawa pelanggan telah berganti menjadi keheningan. Hanya dentingan sendok dari dapur dan gesekan kursi yang disusun kembali terdengar di antara lampu temaram kafe.
Udara mulai dingin, embun tipis menempel di jendela kaca. Di luar, lampu jalanan memantulkan cahaya kekuningan ke aspal basah sisa gerimis sore tadi.
Nadra menyeka meja-meja terakhir yang tadi sempat dipakai pelanggan. Gerakannya cepat namun rapi. Di sisi lain, dua pelayan sibuk membereskan kursi dan mematikan kipas langit-langit.
Di dapur, Arven tengah menyemprot cairan pembersih ke atas meja stainless, lalu menyekanya dengan gerakan melingkar. Tangannya lincah. Bajunya sudah sedikit kusut karena seharian bekerja.
Sementara Cynthia, setelah merapikan area barista, melirik sekeliling lalu melangkah santai ke dapur. Ia menyandarkan tubuhnya di ambang pintu, lalu memanggil Arven dengan suara yang sengaja dibuat lembut.
"Ven," panggilnya, senyum manis menghias wajah. "Habis ini kamu mau ke mana?"
Arven menoleh, sekilas, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. "Nggak tahu. Belum kepikiran," jawabnya singkat.
Cynthia masih berdiri, mencoba mempertahankan senyumannya. "Kalau nggak ada acara, temenin aku duduk bentar di alun-alun, yuk? Anginnya lagi enak, kayaknya asik buat ngobrol."
Arven berhenti mengelap. Tapi bukan untuk Cynthia yang dia pandang. Pandangannya melewati bahunya, menatap seseorang yang baru saja masuk ke dapur. Nadra.
Gadis itu sudah melepas celemek dan menggulung lengan kausnya. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya tetap jernih.
"Nadra," panggil Arven tiba-tiba. "Mau aku antar pulang?"
Langkahnya terhenti. Matanya menatap Arven sekilas, lalu berpindah ke arah Cynthia. Wajah Cynthia yang sebelumnya cerah, kini mengeras. Pandangannya menusuk, meski tetap tersenyum kaku.
Suasana di dapur mendadak berbeda. Udara dingin berubah jadi tegang. Nadra menghela napas pelan, lalu tersenyum sopan.
"Enggak usah, Ven. Aku jalan kaki aja. Rumahku juga enggak jauh," ucapnya, tenang.
Tanpa menunggu reaksi, Nadra membalik badan dan keluar dari dapur. Suara langkahnya terdengar samar di lantai keramik.
Cynthia diam. Matanya masih menatap ke arah pintu dapur, seolah menunggu sesuatu yang tak pernah datang. Sementara Arven kembali menyeka meja, kali ini dengan lebih pelan.
√√√
Di ruang depan, Nadra menghampiri meja kerja Pak Dion. Lelaki berusia empat puluh tujuh tahun itu tengah menuliskan sesuatu di buku besar.
"Pak, Aku pulang dulu, ya?"
Pak Dion menoleh. "Sudah beres semua?"
"Sudah. Meja juga udah diseka. Sampah udah dibuang."
"Baik. Hati-hati di jalan, ya, Nadra. Udara malam dingin. Jangan lupa pakai jaket."
Nadra tersenyum kecil. "Iya, Pak. Terima kasih."
Ia melangkah keluar dari kafe. Pintu kaca menutup pelan di belakangnya. Angin malam menyapa wajahnya yang lembap. Jalanan mulai sepi. Langkah-langkah Nadra pelan, seperti mengikuti ritme pikirannya yang lelah. Trotoar panjang yang memisahkan jalan kota dan toko-toko sepi itu kini menjadi saksi bisu kerinduan seorang gadis akan tempat yang benar-benar bisa disebut rumah.
Sesekali Nadra menoleh ke sekeliling. Lampu jalan menyala sayu. Bayangannya sendiri tercetak di aspal. Tak ada kendaraan yang melintas. Kota ini seolah sedang tidur, menyisakan hanya suara angin malam yang menyusup di sela-sela rambutnya.
Ia menunduk, menatap sepatu kanvas tuanya yang mulai mengelupas di bagian ujung. Solnya sudah tipis. Tali sepatunya sudah pernah diganti dengan warna berbeda.
"Kayak aku, ya," gumamnya lirih. "Masih berfungsi, tapi udah nggak layak."
Ingin rasanya ia mempercepat langkah. Tapi tubuhnya menolak. Mungkin bukan tubuhnya, tapi jiwanya. Rumah tempat ia seharusnya pulang justru membuatnya enggan untuk sampai.
Akhirnya, Nadra memilih duduk. Di sudut trotoar dekat tiang lampu jalan. Ia meluruskan kedua kakinya yang pegal, menyandarkan punggungnya ke tembok rendah. Langit malam terbentang luas di atas kepalanya. Kosong. Tak satu pun bintang tampak. Tapi Nadra tetap menatapnya.
"Semoga ada satu bintang jatuh malam ini," gumamnya. "Biar aku bisa minta satu hal. Tempat pulang yang tenang. Yang nggak ribut tiap hari. Yang nggak bikin aku pengen kabur tiap buka pintu."
Ia menutup mata sejenak, lalu membuka kembali. Senyum tipis mengembang, bukan karena bahagia, tapi karena sedang berdamai dengan rasa sedih yang selalu berkunjung.
Tiba-tiba, suara deru mesin mobil terdengar pelan. Mobil hitam berhenti tak jauh dari tempatnya duduk. Seorang pria keluar. Tubuhnya tegap, berpakaian rapi. Rambutnya disisir ke belakang, namun masih tampak muda meski jelas ia tak lagi berusia dua puluhan.
Ia mendekat, menurunkan kaca mata yang sebelumnya bertengger di batang hidungnya. Sorot matanya tajam, tapi tidak menakutkan. Lebih seperti penasaran.
"Maaf," katanya sopan. "Kamu habis kecopetan, ya?"
Nadra menoleh, kaget sesaat, tapi kemudian malah tertawa kecil.
"Kenapa?" tanya pria itu, ikut tersenyum. "Lucu, ya?"
"Enggak," jawab Nadra, masih dengan sisa tawa di bibir. "Cuma aku lagi mikir, kayaknya kalau habis dicopet, aku udah nangis atau marah. Tapi aku malah duduk santai di sini. Lucu aja."
Pria itu mengangguk pelan, ikut tersenyum, meski bingung apa yang harus ditertawakan. "Mungkin kamu bukan kehilangan dompet," katanya tiba-tiba, "Tapi kehilangan arah pulang."
Nadra menoleh, tertegun. Ia tidak menjawab. Tapi tatapannya berubah. Ada sesuatu di mata pria itu yang tak menuntut. Tak menilai. Hanya sekadar hadir.
"Maaf kalau lancang," lanjut pria itu. "Tapi kalau butuh tumpangan atau sekadar ngobrol, aku bisa temani sebentar. Aku bukan orang jahat."
Nadra mengangguk pelan, lalu berkata, "Aku Nadra."
Pria itu tersenyum. "Nama yang cantik." Ia mengulurkan tangan. "Kenalkan. Aku Agra."
Setelah memperkenalkan nama, Nadra memandangi pria itu sejenak. Bukan dengan tatapan penasaran atau kekaguman, tapi lebih kepada insting yang secara otomatis menyaring niat setiap orang asing yang datang mendekat.
Kemeja putih pria itu licin, terlipat rapi. Sepatunya mengilap. Jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya tampak mahal, dan aroma parfumnya bahkan bisa menyingkirkan bau jalanan kota yang pengap. Terlalu rapi. Terlalu bersih. Terlalu asing. Dan seperti alarm otomatis, kepala Nadra mulai dipenuhi skenario-skenario buruk.
'Kota ini terlalu besar untuk percaya pada senyuman,' bisiknya dalam hati.
Tanpa berkata apa-apa, Nadra segera bangkit dari duduknya. Debu dari ujung celananya ditepuk cepat. Senyumnya tipis, tapi bukan karena nyaman, lebih ke bentuk sopan santun terakhir sebelum ia benar-benar pergi.
"Terima kasih, Mas Agra. Tapi aku harus pulang. Udah malam."
Agra sempat membuka mulut, hendak bicara, tapi Nadra sudah lebih dulu melangkah cepat. Tak memberi ruang untuk diskusi atau basa-basi tambahan.
Agra hanya bisa berdiri di tempat, pandangannya mengikuti punggung gadis itu yang perlahan menghilang di tikungan. Wajahnya diliputi heran. Ia tak bermaksud macam-macam, namun ia paham, di dunia ini, niat baik pun harus menunggu waktu yang tepat.
Sementara itu, Nadra berjalan cepat di trotoar yang mulai dingin. Lampu jalan berpendar kekuningan di atas kepalanya. Bayangannya tampak panjang di aspal. Bibirnya mulai bergumam, entah kepada dirinya sendiri atau mungkin kepada udara malam.
"Syukur aku belum diculik," bisiknya pelan. "Aku baru ingat, malam-malam begini banyak musang pandan keluyuran cari anak ayam."
...Bersambung.......
...Terima kasih atas dukungannya....
...Terima kasih juga sudah mampir....
...Untuk menambah semangatku menulis, berikan iklan, atau bunga mawar, ya 😁😃...
...Kalau kalian ingin aku juga mampir untuk saling mendukung, jangan lupa komen, ya ☺️😊...
Pagi itu, sinar matahari masuk malu-malu dari sela jendela kaca besar yang setengah terbuka. Di dalam ruangan yang lapang, dengan interior modern namun tenang, dua pria duduk menghadap satu sama lain. Aroma kopi hitam baru diseduh memenuhi udara.
Agra duduk bersandar di sofa abu lembut. Kemejanya masih rapi, tapi kancing atas sudah dibuka, memberi kesan santai. Di seberangnya, seorang pria berambut agak ikal dengan kacamata tipis tengah mengaduk kopinya sambil mengamati sahabatnya itu penuh rasa ingin tahu.
Razan menyipitkan mata, lalu mengangkat alis. "Dari tadi senyum-senyum sendiri. Apa yang lagi dipikirkan oleh seorang duda elegan berusia empat puluh tahun ini, hm?"
Agra hanya tertawa kecil. Tangannya meraih cangkir kopinya, lalu menyeruput pelan.
"Aku ketemu gadis aneh tadi malam," ucapnya akhirnya.
Razan langsung tertawa kecil, menggoda, "Jangan bilang kau menyewa seseorang lagi untuk 'menyembuhkan kesepian'? Aduh, Ga, tobatlah kau."
Agra tertawa pelan, lalu menggeleng sambil menyandarkan tubuhnya. Pandangannya mengarah ke langit-langit, seolah sedang memutar ulang memori semalam.
"Justru itu. Aku sudah tobat, Zan. Capek main-main. Capek dinilai cuma dari saldo bank dan mobil yang dipakai."
Razan menyandarkan dagunya di tangan. "Hmmm, pencerahan macam apa ini? Biasanya kamu alergi ngomong serius soal wanita."
Agra tertawa lebih lebar, tapi ada gurat kesepian yang tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan.
"Aku belajar banyak dari mantan istriku, Zan. Cantik, pintar bicara tapi isinya cuma pesta, brand mahal, dan ya, kamu tahu sisanya. Selalu ada pria lain di balik layar. Aku lelah dikhianati sambil terus membayar semuanya."
Razan terdiam. Wajahnya berubah lebih tenang. "Aku tahu. Aku lihat semua itu. Tapi sekarang kamu bilang ketemu gadis unik tadi malam? Baru ketemu sekali dan kamu udah mikir serius?"
Agra mengangkat bahu. "Nggak tahu. Tapi caranya menolak, cara dia menatapku seolah aku ini bahaya berjalan, lucu aja. Jujur. Bersih. Bukan karena penampilannya, tapi gadis itu punya kehati-hatian yang langka. Seperti seseorang yang terlalu sering dibenturkan kenyataan."
Razan menyipitkan mata, skeptis. "Tapi, Ga, mana ada gadis baik keluyuran malam-malam sendirian di pinggiran jalan kota besar? Kamu lupa ini kota metropolitan? Atau kamu mulai naif?"
Agra tertawa pelan, kali ini getir. "Mungkin justru karena dia bukan gadis baik dalam definisi dunia makanya aku tertarik. Karena aku juga bukan pria baik dalam sejarah hidupku."
Razan mendengus pelan, namun tak menertawakan. Ia mengangguk kecil, menggigit bibir bawahnya sebentar sebelum berkata, "Kalau kamu serius, pastikan bukan karena kamu lagi merasa kosong, ya. Jangan isi ruang hatimu dengan orang yang hanya kamu temui sekali dan berharap dia menyembuhkan semuanya."
Agra menatap sahabatnya, lalu mengangguk mantap. "Aku nggak butuh disembuhkan. Aku cuma ingin punya seseorang yang bisa duduk di sebelahku, tanpa perlu menjual dirinya untuk dicintai."
Razan tersenyum kecil, lalu menepuk bahu Agra. "Kalau begitu, semoga gadis aneh semalam itu, ternyata memang ditakdirkan menampar logika lamamu."
Agra mengangkat kembali cangkir kopinya. Uap hangat masih menari di bibir gelas, namun rasa pahitnya kini terasa lebih dalam, mungkin karena pikirannya sedang sibuk mencerna kata-kata Razan.
Ia menatap kosong ke arah jendela kaca yang memperlihatkan taman kecil di luar ruang kerjanya. Burung gereja berlompatan di tepi pot. Suara daun bergesekan tertiup angin pagi, seolah ikut berbicara dalam diam. Sementara itu, ponsel di meja milik Razan bergetar. Sebuah nada pendek berbunyi, dan layar menyala. Tulisan di layar: Baby 💕.
Razan melirik, tersenyum kecil. Ia bangkit sambil meraih ponselnya. "Wah, hidupku dipanggil," gumamnya, separuh bercanda.
Agra tersenyum, meletakkan cangkirnya. "Sudah jadi ayah dua anak, masih juga dipanggil 'baby'?
Razan hanya tertawa pendek. "Panggilan sayang, bukan status umur."
Sambil berjalan ke arah pintu, ia menoleh. "Jaga diri, Ga. Dan ingat jangan kejar bayangan. Kalau memang takdir, dia akan muncul tanpa harus kau paksa."
Agra mengangguk pelan. "Terima kasih, Zan. Salam buat istrimu."
Razan mengacungkan dua jari ke dahi lalu melambaikan tangan, meninggalkan ruangan kerja yang kini kembali sepi.
Agra menghembuskan napas panjang. Sunyi kembali mengisi ruang. Ia mengambil remote, mematikan musik klasik yang sejak tadi mengalun pelan dari speaker. Lalu ia berdiri, berjalan menuju jendela besar dan berdiri di sana. Dari lantai dua rumahnya, ia bisa melihat jalanan kompleks yang mulai sibuk. Orang berangkat kerja. Anak-anak berseragam sekolah.
Namun pikirannya masih tertinggal semalam. Nadra. Gadis muda dengan wajah lelah dan keringat di pelipis, yang menatapnya bukan dengan kagum, tapi waspada. Yang menolak bantuannya dengan sopan, tapi tegas. Yang memilih berjalan kaki dalam gelap daripada menerima tumpangan dari orang asing sepertinya.
Agra tersenyum tipis. "Lucu," gumamnya. "Dalam satu malam, tatapan asing bisa lebih jujur dari hubungan yang ku bangun bertahun-tahun."
Ia memejamkan mata sejenak. Membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang tak tertulis. Apakah ia akan bertemu lagi dengan gadis itu? Apakah ini hanya kebetulan? Atau petunjuk halus dari semesta?
"Kalau memang dia bukan siapa-siapa, biarlah ini jadi pelajaran," katanya pelan. "Tapi kalau dia bagian dari rencana-Mu, izinkan aku melihatnya lagi, sekali aja. Supaya aku tahu, rasa ini bukan halusinasi."
Angin pagi masuk lewat celah jendela. Membelai wajah Agra yang tampak tenang, tapi menyimpan kerinduan baru yang belum ia pahami sepenuhnya.
*****
Gedung-gedung pencakar langit tampak seperti siluet kelabu yang bersandar pada langit yang perlahan naik. Angin mulai membawa aroma aspal hangat, bercampur debu. Dari arah kejauhan, suara deru mesin terdengar membelah keheningan. Sebuah sepeda motor sport berwarna hitam pekat melaju kencang, menyalip kendaraan satu demi satu, nyaris tanpa suara selain desing kecepatan dan desiran ban menghantam aspal.
Di atas motor itu duduk seorang pria bertubuh tegap, mengenakan jaket kulit yang terbuka tanpa dikancingkan. Helm full-face menutupi sebagian besar wajahnya, namun sorot matanya tajam dan dingin, terlihat jelas dari balik kaca helm.
Nama pria itu, Nayaka. Dingin, tangguh, nyaris tak bisa dibaca. Ia tidak tersenyum, tidak marah seolah dunia ini tak mampu mengusiknya, namun juga tidak cukup berarti untuk diajak bicara.
Motor itu akhirnya berhenti di depan gerbang tinggi sebuah rumah mewah yang berdiri angkuh di tengah kawasan elit kota metropolitan. Seorang satpam membuka gerbang otomatis, memberi hormat. Dua mobil mewah terparkir rapi di pelataran yang bersih. Taman di depannya seperti diatur oleh tangan surga, bunga-bunga mekar tanpa cela, air mancur kecil memancurkan suara gemericik yang teratur.
Tanpa banyak bicara, Nayaka memarkirkan motornya di bawah kanopi berarsitektur klasik. Suara langkah sepatunya menggema pelan ketika ia menapaki teras besar, membuka pintu kayu ukir berat, dan masuk ke dalam rumah itu.
Di dalam ruang santai bernuansa krem dan emas, duduk seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahun. Namun tak ada kerutan lelah di wajahnya. Kulitnya kencang, matanya jernih, dan cara ia menyilangkan kaki menunjukkan bahwa usia tidak pernah berhasil menaklukkan keanggunannya.
Wanita itu tersenyum ketika melihat kedatangan Nayaka.
"Pagi, Ma." sapa Nayaka datar, mencopot helm dan meletakkannya di atas meja kecil. "Ada apa memanggilku ke sini?"
Wanita itu menyilakan duduk sambil menuangkan teh ke dalam cangkir porselen. "Duduk dulu, Nayaka. Mama nggak akan lama," katanya lembut namun penuh tekanan halus.
Nayaka duduk, menyandarkan tubuhnya ke sofa. Kakinya terentang, tangannya masuk ke satu jaket kulitnya. Tatapannya menunggu.
Wanita itu mengangkat cangkirnya, menyeruput sedikit teh, sebelum akhirnya berkata, "Mama ingin bicara soal masa depanmu. Tepatnya, soal perjodohan."
Nayaka mengangkat alis sebelah. "Perjodohan?"
"Iya. Anak dari sahabat arisan Mama. Cantik, lulusan luar negeri. Latar belakang keluarganya baik. Cocok buat kamu."
Nayaka bangkit berdiri, tawa kecil penuh sarkas meluncur dari bibirnya. "Ma, kau tahu aku tidak tertarik dengan proyek jual beli manusia berkedok pernikahan."
Wanita itu tetap tenang, menatapnya dengan sorot mata yang dalam. "Hanya punya dua putra. Dan di umur Mama yang sudah lebih dekat dengan kematian daripada kehidupan, kenapa belum satu pun dari kalian memberikan cucu untuk Mama?"
Nayaka menyentuh helmnya, lalu memutar tubuh setengah menghadap pintu. "Biarkan abang dulu yang menikah. Aku, menyusul entah kapan."
Ia melangkah tanpa menoleh lagi. Pintu berat itu terbuka dan tertutup dengan bunyi pelan tapi jelas. Suara langkah kaki Nayaka menghilang perlahan, berganti dengan suara motor hitam yang kembali meraung ke jalanan.
Di dalam ruangan, sang Mama masih duduk di tempatnya. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya, namun matanya menyipit perlahan. Dalam tatapannya yang penuh perhitungan.
...Bersambung.......
...Terima kasih telah mendukung karya ini.☺️...
...Terima kasih juga telah memberi hadiah.😘...
...Untuk saling support tinggalkan komen. 😉...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!