Bab 3 Arwah penunggu tangga Utara

Setelah kejadian di ruang musik, Kirana merasa sedikit lega. Arwah Bu Ratna kini telah tenang, dan sekolah mereka seolah mendapat energi baru.

Kegiatan seni kembali hidup, dan bahkan beberapa siswa mulai tertarik pada alat musik tradisional.

Namun, suasana damai itu hanya bertahan sebentar.

Karena minggu berikutnya, sesuatu yang lebih mengerikan muncul... dari arah tangga utara sekolah.

Awal Keganjilan pun terjadi hari itu

Tangga utara adalah tangga paling tua di sekolah kirana. Letaknya berada di belakang gedung laboratorium lama dan jarang dilalui siswa karena posisinya yang sunyi serta penerangannya yang minim.

Suatu pagi, Kirana mendengar cerita dari Wulan, siswa kelas sebelah, yang terlihat pucat saat duduk di kantin.

“Aku… aku lihat ada perempuan di atas tangga utara,” katanya pelan. “Dia duduk di anak tangga paling atas… rambutnya panjang banget… bajunya seperti baju tidur, tapi lusuh dan kotor. Dia menatapku terus.” ujar Wulan ketakutan

Wulan mengaku sempat terdiam selama hampir satu menit, tak bisa bergerak, sebelum akhirnya perempuan itu menghilang secara tiba-tiba. Tidak berlari, tidak kabur lenyap begitu saja seperti asap.

Cerita itu membuat bulu kuduk Kirana berdiri.

Malamnya, saat Kirana duduk di kamar sambil membaca buku pelajaran, jendela kamarnya tiba-tiba bergetar. Kirana tahu, ini bukan getaran biasa.

Ada sesuatu yang ingin berbicara.

Kirana memejamkan mata, mencoba membuka jalur batinya

Dalam keheningan itu, sebuah suara masuk ke dalam kepala Kita lembut, namun dipenuhi rasa sedih.

"Kiran...na ... tolong... aku di tangga utara..." bisik suara itu

Seketika tubuh Kirana merinding. kirana merasa dingin menjalari tulang punggungnya. Arwah itu... memanggilnya.

Besoknya, Kirana tidak bisa fokus belajar. Kata-kata itu terus berputar di kepala.

Kirana tahu jika ia harus menyelidiki. Maka sepulang sekolah, Kirana mengajak Diriya dan Nila serta Kezia kembali terlibat.

“Kita ke tangga utara?” tanya Diriya sambil mengerutkan dahi. “Kamu yakin?”

“Sepertinya ada yang terjebak di sana,” jawab Kirana tenang

Mereka membawa senter, air garam, dan kantong kecil berisi daun kelor kering barang-barang yang selalu kirana bawa saat menghadapi energi tak terlihat.

Ketika mereka sampai di tangga utara, udara terasa lebih berat. Langit mulai gelap, dan angin bertiup lembut tapi dingin.

Mereka baru menaiki lima anak tangga ketika senter Diriya mulai berkedip.

“Ini mulai aneh,” gumam Nila pelan.

"Cepat berdoa kita jangan sampai terpisah" ujar Kezia

mereka menatap ke atas. Di anak tangga ke-15, sosok perempuan itu muncul. Rambutnya panjang menjuntai, menutupi wajahnya. Bajunya memang seperti baju tidur, berwarna putih yang sudah berubah menjadi coklat kotor. Kakinya telanjang, dan tubuhnya seolah melayang.

“Apa kamu… Butuh bantuan?” tanya Kirana dengan suara yang berusaha tenang.

Perempuan itu tidak menjawab. Ia perlahan mengangkat wajahnya—wajahnya... rusak. Separuh dari pipinya mengelupas, dan matanya hanya satu.

Diriya menjerit kecil dan mundur dua langkah bersama Kezia sedangkan Nila menahan napas sembari berpegangan erat dengan Karina.

Namun Kirana tetap berdiri.

“Namamu siapa?” tanya Kirana pelan.

“R... rina…” jawabnya akhirnya. “Aku jatuh dari tangga ini… tiga tahun lalu…”

Akhirnya mengalirlah kisah tragis Rina

Rina mulai menjelaskan kisahnya.

Tiga tahun lalu, ia adalah siswi kelas tiga. Satu malam, ia dipaksa menemani dua temannya yang hendak mencoba uji nyali di tangga utara. Saat mencoba naik sambil menutup mata, temannya iseng mendorongnya.

Rina terpeleset, dan kepalanya membentur sudut tangga. Ia meninggal di tempat.

Namun karena semua ketakutan, tubuhnya baru ditemukan keesokan harinya, dan teman-temannya menyebut peristiwa itu sebagai “kecelakaan tak sengaja”.

Rina tidak pernah mendapat keadilan. Dan jiwanya masih tertinggal, mengitari tangga itu, penuh dendam, penuh luka.

Rina Tidak Sendiri

Tiba-tiba, Rina berteriak suara jeritannya melengking dan memekakkan telinga. Cahaya senter mereka padam seketika.

Kemudian… muncul sosok lain di belakangnya.

Sosok pria tinggi, berkepala botak, mengenakan pakaian satpam. Wajahnya gelap, matanya merah menyala.

Dia mencengkram bahu Rina dengan kasar.

“Bukan urusanmu, anak kecil!” geramnya.

Kirana tercekat. Arwah itu bukan manusia biasa ia adalah penjaga gerbang antara dunia arwah dan dunia nyata, dan ia sedang mencoba menahan Rina agar tidak bebas.

“Lepaskan dia!” teriak kirana sambil melemparkan garam ke arah makhluk itu.

Sosok satpam itu mendesis, lalu menghilang dalam asap hitam.

Rina terjatuh, menangis, tubuhnya lemah.

“Aku… tidak tahu dia mengawasi aku selama ini,” ucapnya lirih. “Aku ingin bebas, tapi... setiap kali aku mencoba, dia datang…” tangis Rina

Malam itu, Kirana dan tiga temannya melakukan doa kecil untuk Rina.

Mereka meletakkan bunga kamboja dan lilin di puncak tangga utara. Kirana ketiga temannya memanjatkan doa, meminta agar Tuhan memberi ketenangan bagi Rina, dan membuka jalannya untuk pergi.

Rina berdiri di ujung tangga, menatap kami dengan air mata yang menetes.

“Terima kasih… Aku akan pergi…” pamit Rina

Lalu tubuhnya perlahan bersinar, menghilang dalam kabut putih.

Keesokan harinya, lorong menuju tangga utara dipenuhi aroma bunga kamboja. Tangga itu kini tidak lagi terasa dingin. Bahkan Pak Seno sempat berkata,

“Entah kenapa, sekarang lorong itu terasa lebih terang, ya?” ujar pak seno

Karina dan ketiga tanya hanya tersenyum.

Satu jiwa lagi kembali ke tempatnya.

Tapi Kirana tahu, masih banyak yang menunggu bantuannya, walau terdengar tidak masuk akal. Masih banyak kisah yang belum selesai.

Dan malam berikutnya Kirana justru kembali bermimpi tentang lorong gelap di lantai tiga sekolah.

Ada sosok anak kecil... tertawa pelan... memegang boneka dengan wajah menyeramkan.

Sudah dua malam berturut-turut Kirana bermimpi tentang seorang anak kecil yang duduk di lorong gelap, tertawa pelan sambil memeluk boneka.

Bonekanya bukan boneka biasa.

Kepalanya botak sebelah, matanya hanya satu, dan pada bagian perutnya, tampak noda merah seperti darah yang sudah mengering. Setiap kali Kirana mencoba mendekat dalam mimpi itu, anak kecil itu hanya berkata:

"Main… yuk… tapi jangan pergi kalau sudah mulai berdarah."

Kata-katanya tidak pernah berubah, seolah kaset rusak yang diputar ulang terus-menerus.

Dan anehnya, setiap kali Kirana bangun, Kirana menemukan boneka kecil di lantai kamarku. Boneka yang sama seperti dalam mimpi.

Bersambung

Terpopuler

Comments

Herlina Rahman

Herlina Rahman

sama keponakan ku anak indigo dulu awal2 selalu sakit kalo hbs berinteraksi sama hantu tapi lama2 enggak sekarang sudah biasa kadang kalo ada hantu dia lebih menghinfar

2025-06-14

1

Wulan Sari

Wulan Sari

wah episod ini ngeri yak, semoga Kirana bisa mengungkapkan arwah si hocah itu kenapa bisa meninggal
lanjut Thor penasaran semangat 💪

2025-06-14

1

Wulan Sari

Wulan Sari

ibu sdh kasih kopi Thor untuk lanjut biyar jreng heee

2025-06-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!