NovelToon NovelToon

Dinikahi Nenek 60 Tahun

surat wasiat aneh

Hujan deras mengguyur kota saat Danu pulang dari kampus menuju kontrakannya yang sempit di pinggiran kota. Hawa dingin menusuk, dan tubuhnya yang lelah makin terasa berat setelah seharian mengerjakan tugas serta shift jaga di kafe tempatnya bekerja paruh waktu. Tak disangka, malam itu hidupnya berubah.

Di depan pintu rumah, ia melihat amplop cokelat tua, basah terkena cipratan air hujan. Tertulis di sana dengan tinta hitam yang sedikit luntur:

"Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian."

Awalnya Danu mengira itu dari dosen atau senior yang suka iseng, tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Ia masuk, mengeringkan diri, lalu duduk di lantai karpet tipis ruang tengah sembari membuka amplop itu perlahan. Di dalamnya terdapat sebuah surat beraroma melati, ditulis tangan dengan huruf sambung yang rapi.

“Kepada Danu, Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu. Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini. Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat, meski kamu mungkin tidak mengingatnya.

Hormatku, Nyai Laras.“

Jantung Danu berdetak lebih cepat. Apa ini semacam lelucon? Ia tak pernah menikah, bahkan tidak sedang dalam hubungan dengan siapa pun. Tapi keesokan harinya, dunia makin kacau.

Seorang pria datang ke kontrakannya, mengenalkan diri sebagai notaris. Ia menunjukkan surat warisan lengkap dengan cap hukum dan akta pernikahan. Semuanya menyebut Danu sebagai suami dari Nyai Laras, usia 60 tahun. Danu nyaris tertawa melihatnya, tapi wajah serius sang notaris membuatnya sadar, ini bukan lelucon! Semua dokumen sah!

Dengan rasa bingung dan penasaran, Danu memutuskan untuk mengikuti alamat dalam surat. Desa Pagarjati terletak sekitar tujuh jam perjalanan dari kota, tersembunyi di balik bukit dan perkebunan teh.

Saat ia tiba, suasana desa seperti terjebak di masa lampau. Rumah-rumah kuno, jalan setapak dari batu, dan penduduk yang semuanya menyambut Danu dengan senyum aneh.

"Itu dia, suaminya Nyai Laras..."

"Masih muda... tapi katanya memang sudah dijodohkan sejak lama..."

Bisik-bisik menyertai setiap langkahnya. Sampai pada akhirnya Danu tiba di sebuah rumah besar berarsitektur Jawa kuno. Angin sore meniup harum bunga melati dari halaman depan.

Pintu terbuka sendiri.

Rumah itu seolah telah menantinya.

Langkah Danu terasa berat saat memasuki rumah besar itu. Lantainya dari kayu jati yang berderit pelan di bawah tapak sepatunya yang basah. Aroma kayu tua dan dupa samar menyambutnya, bercampur dengan wangi melati yang lebih kuat dibanding dari luar. Seolah rumah itu masih hidup, dan sedang menghela napas.

"Selamat datang, Mas Danu..."

Sebuah suara lembut tapi dalam menyambutnya dari ujung lorong. Di sana berdiri seorang perempuan tua dengan rambut disanggul rapi, mengenakan kebaya cokelat muda dan kain batik. Usianya sekitar enam puluh, tapi ada sesuatu dari sorot matanya yang tajam, seolah ia mengenal Danu jauh lebih dalam dari sekadar nama.

Danu terdiam. Dadanya sesak oleh pertanyaan yang berjejeran

"Bu... Ibu siapa?" tanyanya, mencoba sopan meski nada gugup tak bisa disembunyikan.

"Aku... istrimu. Laras," jawabnya sambil tersenyum. "Kita sudah menikah, dan sekarang kamu pulang. Ini rumahmu juga."

Danu nyaris tertawa jika saja tubuhnya tidak terasa kaku. Otaknya menolak menerima kalimat itu mentah-mentah. Tapi matanya tak bisa menghindari kenyataan. Perempuan ini bicara dengan keyakinan penuh, dan segala hal sejak surat itu datang... terasa terlalu nyata.

"Ibu, saya rasa ini ada kesalahan. Saya belum pernah menikah. Saya masih kuliah... saya—"

"Aku tahu kamu tidak ingat, Mas Danu. Tapi tak apa. Ingatan bisa kembali. Atau tidak. Yang jelas, kamu sudah di sini. Dan kamu akan tinggal di sini."

Senyumnya tetap tenang. Tapi ini justru menyeramkan dimata Danu karena tenangnya itu... seperti sudah memprediksi setiap kata yang akan Danu ucapkan.

Tiba-tiba langkah kaki cepat terdengar dari dalam rumah. Seorang wanita paruh baya, mungkin sekitar empat puluh lima tahun, muncul sambil membawa nampan teh dan kue kering.

"Silakan duduk dulu, Mas. Saya Sarti. Bantu-bantu di sini sejak lama," ucapnya ramah, meski tatapannya tak kalah tajam dari Nyai Laras.

Dengan bingung dan tubuh lelah, Danu duduk di kursi kayu ukir besar yang terasa asing, terlalu megah baginya. Tatapannya menyapu seisi ruangan. Banyak lukisan tua, foto hitam putih, dan hiasan antik. Di salah satu lukisan, tampak sosok perempuan muda, mirip Nyai Laras, tapi jauh lebih muda dan cantik. Berdiri di samping seorang pria muda yang... membuat napas Danu tercekat.

Itu wajahnya.

Atau seseorang yang sangat mirip dengannya.

Ia bangkit dan mendekat. Kain lukisan mulai mengelupas, tapi bentuk wajah pria muda itu... seperti melihat dirinya sendiri, dengan sedikit gaya potongan rambut tahun 80-an.

"Itu siapa?" tanyanya Danu cepat, berusaha terdengar biasa.

Nyai Laras mendekat. "Itu kamu. Dulu."

"Tapi ini... lukisan lama, bukan?"

"Iya. Sudah lama sekali."

Danu berusaha tertawa, tapi tidak ada suara keluar. Tenggorokannya terasa kering.

Tak lama dari itu, Laras menunjukan jalan menuju sebuah ruangan asing yang tak jauh dari posisi mereka. Danu tidak banyak pertanyaan dan memilih untuk mengikuti langkah Laras.

Sampai pada akhirnya keduanya tiba disebuah kamar. Tempat itu bersih, tertata, tapi sangat kaku. Tak ada kesan hangat. Hanya satu jendela kecil yang menghadap ke kebun belakang, dan sebuah lemari besar yang terkunci.

Di atas ranjang, ada sebuah baju lurik dan celana kain, terlihat seperti pakaian zaman dulu. Satu kertas terlipat diletakkan di atasnya, dengan tulisan tangan yang sama dari surat sebelumnya:

“Malam ini kita tidur bersama. Jangan takut. Aku sudah lama menunggumu pulang.“

—Laras.

Danu berdiri terpaku. Di luar, hujan mulai turun lagi. Hujan yang sama... seperti malam saat surat itu tiba.

Dan di kejauhan, dari arah lorong gelap, terdengar alunan tembang Jawa... pelan, mendayu. Seolah rumah itu sedang bernyanyi untuk menyambut sang pengantin baru.

*****

Keesokan harinya,

Matahari pagi menyelinap masuk lewat celah jendela kamar, menimpa wajah Danu yang tertidur dengan posisi setengah duduk di kursi. Ia tak pernah sempat menyentuh ranjang semalam. Bayangan surat dan lukisan itu masih menempel di kepalanya. Ia tertidur dengan pikiran penuh tanda tanya.

Sampai sebuah suara ketukan halus membangunkannya.

"Mas Danu... sudah pagi. Sarapan sudah siap," kata suara lembut dari balik pintu.

Danu mendiamkannya beberapa detik sebelum menjawab, "Iya... sebentar."

Ia mencuci muka di kamar mandi kecil yang menempel di kamar. Cermin tua di dalamnya merefleksikan wajahnya yang pucat. Tapi ada yang janggal. Di sudut bawah cermin, tertempel foto usang yang sepertinya sudah lama disana.

Foto hitam-putih. Seorang wanita muda, mengenakan kebaya, tersenyum... berdiri di samping seorang pria yang lagi-lagi sangat mirip dirinya.

"Siapa sebenarnya orang ini?" gumamnya.

Danu hendak membuka foto itu, tapi lemnya terlalu kuat. Seolah memang tak diizinkan untuk dilepas.

Beralih ke sisi lain, tepatnya di meja makan, Nyai Laras sudah duduk rapi mengenakan kebaya biru tua. Sarti berdiri di samping, menuangkan teh dan meletakkan sepiring nasi liwet lengkap dengan lauk khas desa.

"Selamat pagi, suamiku," ucap Nyai Laras dengan nada lembut.

Danu mengangguk ragu-ragu. "Pagi, Bu… eh, Ibu Laras.”

"Panggil aku Laras saja," katanya sambil tersenyum. "Kita bukan orang asing, Danu. Kita sudah terikat."

Sarti melirik Danu sekilas, lalu pergi tanpa berkata apa-apa.

"Bu—eh, La-Laras. Aku masih belum mengerti semua ini. Semua ini terlalu cepat... Aku merasa seperti dijebak."

"Aku mengerti," jawab Laras pelan. "Tapi semua yang terjadi ini bukan jebakan. Hanya sesuatu yang sudah waktunya terulang."

"Terulang?" Danu mengerutkan dahi.

Laras tersenyum tipis. "Kamu tidak perlu mengerti sekarang. Tapi tinggal di sini sebentar. Rasakan rumah ini. Lihat sendiri. Tak perlu lari."

Danu menarik napas. Ia ingin lari, memang. Tapi sesuatu dari cara Laras bicara... seolah membuatnya ragu. Ada misteri, tapi bukan ancaman. Ada keanehan, tapi bukan horor. Seperti teka-teki masa lalu yang harus dipecahkan.

Setelah sarapan, Danu memutuskan untuk keluar rumah. Udara desa di pagi hari terasa sejuk dan sedikit berkabut. Langkahnya pelan, menyusuri pekarangan rumah yang dipenuhi bunga-bunga tua berwarna kusam. Kakinya menapaki jalan setapak yang tertutup dedaunan kering. Suara ayam jantan dan embusan angin menjadi salah satu suara yang menemaninya.

Danu mulai berkeliling desa. Ia berbicara dengan warga, mencoba mencari tahu siapa sebenarnya Nyai Laras. Banyak yang menjawab dengan hormat, tapi nada bicara mereka menggantung.

"Nyai Laras itu wanita sakti, Mas. Tapi baik... selama tidak dilukai," kata seorang kakek tua di warung.

"Dulu sempat menikah, tapi suaminya hilang misterius. Katanya, jiwa lelaki itu terjebak di masa lain... entahlah," ujar seorang ibu penjual jamu.

Dan yang paling membuat Danu makin bingung adalah pernyataan kepala desa saat dia iseng bertanya soal legalitas rumah dan surat warisan.

"Kalau kau memang Danu Setyawan, berarti memang hakmu, Nak. Nyai Laras sudah menunggu mu bertahun-tahun."

"Menunggu siapa?"

Kepala desa hanya tersenyum. "Dirimu. Atau... seseorang yang dulu pernah menjadi kamu."

Setelah mengatakan hal itu, kepala desa lalu masuk ke rumahnya tanpa menambahkan penjelasan lebih lanjut, meninggalkan Danu dalam kebingungan yang makin dalam.

Ia akhirnya memutuskan kembali ke rumah Nyai Laras. Langkahnya pelan, sedikit gontai. Kepalanya penuh pertanyaan, namun justru tak membawa satu jawaban pun pulang.

Sesampainya di halaman rumah, Sarti terlihat menyapu teras. Ia menoleh sekilas, lalu melanjutkan pekerjaannya tanpa menyapa.

"Dari mana saja, Mas Danu?" tiba-tiba suara Nyai Laras bersambut dari dalam rumah, suaranya terdengar samar tapi jelas. Ia berdiri di balik pintu terbuka, mengenakan kebaya hitam dan selendang ungu tua. Seolah sudah tahu Danu akan pulang dengan tangan hampa.

"Keliling. Cari tahu," jawab Danu singkat. "Tapi semua orang seperti... menutupi sesuatu."

"Karena kebenaran tidak selalu bisa diceritakan dengan kata-kata," jawab Laras tenang. "Ada yang harus dirasakan. Ada yang harus diingat."

Danu menghela napas. "Kau terus bicara tentang masa lalu. Tentang aku yang dulu. Tapi aku bahkan tak tahu siapa kau sebenarnya. Apa hubungan kita. Dan kenapa... semuanya terasa seperti déjà vu."

Laras melangkah perlahan ke dekatnya. Mata mereka bertemu. Dalam tatapan wanita itu, ada kesedihan yang nyaris abadi.

"Semua akan terjawab seiring berjalannya waktu, Mas Danu. Tak perlu memaksa ingatan untuk terbuka dalam semalam. Biarkan segalanya datang pada waktunya."

Danu menunduk pelan. Hatinya masih bergejolak, namun tatapan Laras begitu tenang, seakan menyimpan kedalaman samudra yang tak mampu ia jangkau.

Malam kembali turun, menyelimuti desa dengan sunyi yang lebih pekat dari biasanya. Danu terbaring di ranjang, namun rasa kantuknya tidak juga datang. Sampai pada akhirnya, ingatannya tiba-tiba tertuju pada alunan tembang jawa yang sempat ia dengar saat pertama kali datang.

Dan kini, suara itu terdengar lagi.

Lembut, mengalun dari ujung lorong gelap rumah. Tembang yang tidak jelas artinya, namun mampu menusuk kalbu. Suara perempuan yang menyanyi dengan kesedihan terpendam, seperti meratapi sesuatu yang hilang.

Danu bangkit, perlahan membuka pintu kamarnya. Suara tembang itu kian jelas, mengalun dari balik sebuah ruangan di ujung koridor, ruangan yang sejak awal tidak pernah terbuka bahkan sekedar untuk dikenalkan pada Danu.

Langkahnya pelan tapi pasti. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa ditarik... seperti magnet yang tak kasat mata. Jantungnya berdetak lebih cepat. Tangannya terulur, hendak membuka pintu itu—

Tap.

Belum sempat Danu meraih gagang pintu, tiba-tiba sebuah tangan menepuk bahunya dari belakang, lembut tapi tegas. Danu menoleh. Laras berdiri di sana, mengenakan selendang tipis dan kain batik panjang. Wajahnya tetap tenang, namun sorot matanya mengandung peringatan.

"Maaf, Mas Danu," ucap Laras dengan suara halus. "Tapi tidak semua pintu boleh dibuka sebelum waktunya."

Danu menatapnya bingung. "Aku hanya ingin tahu. Suara itu… tembang itu…"

Laras tersenyum pelan, menundukkan wajahnya sejenak sebelum menatapnya kembali.

"Ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan dengan logika, Mas. Apalagi bila menyangkut waktu, ingatan, dan rasa yang belum utuh."

Ia menarik napas perlahan. "Aku mengerti rasa penasaran, Mas Danu. Tapi ketergesaan kadang bisa mengaburkan kebenaran, bahkan menyakitkan bagi jiwa yang belum siap menerimanya."

"Jadi… aku tidak boleh tahu?" suara Danu terdengar berat.

"Kamu pasti akan tahu," jawab Laras dengan lembut. "Tapi bukan malam ini. Biarkan tembang itu tetap mengalun sebagai pengantar. Bukan sebagai penuntun."

Laras kemudian tersenyum hangat dan menarik tangan Danu menjauh dari tempat itu.

Suara tembang pun perlahan menghilang seiring langkah mereka pergi.

hidup di dunia lain

Pagi kedua di rumah Nyai Laras. Danu duduk di beranda, mengenakan jaket almamater yang sudah mulai pudar warnanya. Tangan kirinya memegang gelas teh panas, sementara tangan kanan memegang ponsel. Jari-jarinya ragu-ragu mengetik pesan.

“Pak Dosen, saya izin tidak hadir kelas minggu ini karena ada urusan keluarga di luar kota. Terima kasih.”

Dikirim.

Ia menghela napas panjang. Ini sudah hari kedua ia membolos. Padahal minggu depan ada kuis Matematika Diskrit, dan tugas kelompok yang belum ia kontribusikan.

Tak memerlukan waktu lama, Danu kembali mengotak-atik ponsel nya, dan kini tujuan nya untuk menelepon sahabatnya di kota, Bayu.

“Bay, lu percaya enggak... kalau gua tiba-tiba dikasih rumah gede dan dibilang udah nikah sama janda umur 60?”

Di ujung telepon, Bayu tertawa terbahak. “Bro, lu lagi mabuk kopi? Atau kelelahan skripsi?”

“Gua serius, Bay. Gua di desa antah-berantah. Semua orang yakin gua suaminya janda itu. Bahkan dokumen hukum pun begitu. Dan... ada yang lebih aneh, Bay. Gua liat Lukisan jaman dulu yang wajahnya sama persis seperti gua"

“Lu harus pulang, Nu. Biar gua jemput. Kalau perlu bareng anak-anak. Lu butuh realita.”

Danu terdiam.

“Iya... gua juga mikir gitu“

Bayu menghela napas di seberang. “Hati-hati, Bro. Jangan lama-lama di tempat aneh. Mending sekarang lo Share lock ada dimana, Gua susul!”

Tut.

Panggilan diputus sepihak.

Danu memandangi layar ponselnya yang menampilkan panggilan berakhir. Ia ragu sejenak, lalu mulai mengetik lokasi.

Namun, saat hendak menekan tombol kirim, sinyal ponselnya tiba-tiba hilang. Tak ada jaringan.

Ia mengangkat ponsel tinggi-tinggi, melangkah ke ujung beranda, bahkan menjulurkan tangannya melewati pagar kayu tua, tapi tetap nihil. Layar hanya menampilkan tulisan: No service.

"Ah, sial…" gumamnya. "Perasaan tadi sinyal nya aman-aman aja, masih bisa nelpon…”

"Sedang mencari sinyal, Mas?"

Danu menoleh cepat. Laras berdiri di ambang pintu, wajahnya tenang seperti biasa, seolah tak terganggu oleh urusan dunia modern.

"Iya. Barusan sinyal hilang. Padahal baru mau kirim sharelock ke teman kampus.”

Laras tersenyum kecil, langkahnya ringan saat menghampiri. "Memang begitu di sini, Mas. Sinyal kadang datang, kadang menghilang tanpa aba-aba. Seperti kenangan... kadang muncul, kadang enggan kembali."

Danu hanya mengangguk kecil. Ia tidak tahu harus menanggapi bagaimana.

Laras kemudian duduk di bangku panjang berseberangan dengannya. Ia menggenggam cangkir kecil berisi wedang jahe yang baru saja dibawakan oleh salah satu pembantu rumah.

"Mas Danu masih merasa ini semua tidak masuk akal, ya?"

Danu mengangguk pelan. “Sejujurnya iya. Saya… saya enggak tahu harus percaya apa. Semua orang di sini seolah mengenal saya, Bahkan Anda pun, seakan tahu banyak tentang saya. Tapi saya sendiri bingung… saya bahkan enggak tahu saya siapa di mata kalian.”

Laras menatapnya lama, sorot matanya teduh namun menyimpan sesuatu yang sulit dibaca. Ia tidak langsung menjawab, hanya menghela napas sejenak.

"Ketika seseorang berada di tempat asing, ada dua kemungkinan. ia tersesat, atau… ia dipanggil pulang."

Danu menatapnya, bingung.

Laras melanjutkan dengan suara yang lembut namun mengandung kekuatan, "Panjenengan tidak sedang tersesat, Mas. Tapi jiwa panjenengan sedang diajak pulang… untuk menyempurnakan sesuatu yang pernah tertinggal."

"Dan itu maksudnya apa?"

Laras tidak menjawab. Ia hanya mengalihkan pandangan ke halaman yang masih diselimuti embun pagi.

"Ada tamu yang akan datang hari ini," ujarnya tiba-tiba. "Mungkin setelah bertemu beliau, hati panjenengan akan sedikit lebih tenang."

"Siapa?"

Laras kembali menatap Danu, kali ini dengan senyum samar. "Seseorang dari masa lalu yang tidak pernah benar-benar pergi."

Lalu ia berdiri dengan anggun.

"Mas Danu bisa beristirahat dulu. Nanti saat beliau tiba, saya panggil."

Sambil melangkah masuk, Laras sempat menoleh sebentar.

"Dan mengenai sinyal itu… mungkin semesta memang sedang tidak ingin panjenengan pergi dulu."

Danu hanya bisa memandangi punggung Laras yang menghilang di balik pintu. Di dalam dadanya, pertanyaan justru semakin banyak. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan bisa sembarangan keluar dari rumah ini. Bukan karena terkunci secara fisik... tapi seolah ada sesuatu yang menahannya.

*****

Beberapa jam berlalu,

Sore itu, langit berwarna jingga pucat. Suara burung gereja bersahutan di pohon mangga di belakang rumah, dan angin semilir membawa harum wangi melati yang samar-samar menyusup dari pekarangan depan. Di dalam kamar yang berjendela lebar, Danu masih terlelap di atas dipan kayu. Nafasnya teratur, jaket almamaternya terlipat di ujung ranjang.

Perlahan, terdengar ketukan halus di pintu kamar. Disusul suara lembut, nyaris seperti bisikan.

"Mas Danu… bangun, sudah sore. Sebaiknya mandi lah lebih dulu, lalu bergegas ke teras depan…”

Danu mengerjap pelan, kelopak matanya berat. Suara itu… Laras. Ia perlahan membuka mata dan menoleh ke arah pintu yang setengah terbuka.

"Hmm… ada apa?” tanyanya, suaranya masih serak.

Laras berdiri tenang di ambang pintu. Senyumnya lembut, dan rambutnya diikat rapi ke belakang.

"Tamu yang aku ceritakan tadi akan segera datang. Beliau sudah perjalanan ke sini"

Danu terduduk perlahan. "Siapa?"

Laras menunduk sedikit. "Nanti kamu akan tahu sendiri. Beliau sudah cukup sepuh, tapi masih kuat berjalan kaki dari lereng ke sini."

Danu hanya bisa mengangguk pelan, lalu bergegas berjalan kearah sumur belakang, membersihkan diri, mengganti kausnya, lalu menuju ke beranda tempatnya duduk tadi pagi.

Kali ini, udara terasa lebih hangat, dan cahaya senja menyusup lembut melalui sela pohon sawo di halaman samping.

Tak lama, dari kejauhan, langkah-langkah pelan terdengar mendekat. Suara tongkat kayu mengetuk tanah. Danu menoleh.

Seorang kakek berjalan perlahan diiringi dua pemuda desa. Jubah lurik tua membalut tubuhnya yang ringkih, dan rambut putihnya digelung sederhana. Tapi yang membuat Danu tercengang bukan penampilannya…

Wajahnya...

Danu terpaku.

Itu Pak Raga! Dosen filsafat Timur di kampusnya. Bedanya, pria ini tampak jauh lebih tua, seperti versi Pak Raga yang sudah menua 30 tahun. Tapi mata itu, cara berjalan, garis wajahnya… semuanya terlalu mirip untuk disebut kebetulan.

Laras berdiri di sisi kanan Danu, diam dengan tatapan tenang. Sementara Danu langsung berdiri dan masih memandangi si tamu dengan alis mengernyit.

"Pak Raga? Bapak disini juga?"

Pria tua itu berhenti di hadapan Danu. Pandangannya teduh, dalam, seolah bisa melihat isi hati seseorang hanya dari sorot mata. Ia tersenyum samar, lalu memiringkan kepala sedikit ke kanan, heran.

"Raga?" ulangnya pelan. "Kau memanggil ku pak Raga?"

Danu mengerutkan dahi. "Iya, ini Pak Raga, kan? Dosen filsafat di Universitas Antares?”

Si kakek tertawa kecil. Suaranya ringan, tapi terasa asing di telinga Danu.

"Dosen? Universitas? Saya tak tahu itu apa, nak. Aku ini… hanya seorang pertapa tua yang hidup di atas gunung, jauh dari hiruk-pikuk kota." Ia menatap Laras sekilas, lalu menoleh kembali pada Danu. "Aku ini guru pertama mu"

Danu mengerutkan alis semakin dalam. "Guru pertapa...? Maaf, saya rasa kakek keliru. Saya bukan murid pertapa. Saya bukan siapa-siapa. Saya ini Danu, mahasiswa biasa, dan bela diri saja baru belajar waktu SMA. Itu pun karena paksaan guru olahraga."

"Karate…" gumam si kakek, seperti mencoba mengingat. "Nama baru untuk ilmu bertarung, barangkali. Tapi bukan itu yang aku maksud. Ilmu yang kamu pelajari bukan hanya gerak tubuh, tapi juga gerak jiwa. Kau pernah menjadi muridku, di waktu yang tak lagi dicatat kalender."

Danu menatap pria itu, berusaha menyeimbangkan logikanya yang mulai retak. Hatinya yakin benar, pria ini, entah bagaimana sangat mirip dengan dosennya. Terlalu mirip untuk disebut kebetulan. Tapi tutur katanya, pengetahuannya… seolah dari dunia yang berbeda.

"Mas Danu, duduklah dulu…"

Disela rasa kebingungan, suara Laras terucap tenang namun mengandung ajakan tulus. "Kakek ini cuma ingin bersilaturahmi ke rumah kita. Sudah lama sekali beliau tidak mampir.”

Danu menatap Laras sejenak. "Tapi… Dia—dia ini mirip dengan dosenku. Sangat mirip. Aku tidak berbohong. Namanya Pak Raga. Cara duduknya, sorot matanya, bahkan cara senyumnya juga…"

Laras tersenyum kecil. "Mirip, ya? Tapi beliau bukan orang yang kamu maksud. Percayalah, kakek ini tidak kenal siapa-siapa dari kota. Namanya… Mbah Rawi. Dulu beliau sering mengunjungi rumah kita ini."

"Mbah Rawi…" Danu mengulang, suaranya pelan, seperti ingin meyakinkan diri sendiri.

"Duduklah, nak. Sore ini belum waktunya menjawab semua pertanyaan. Tapi izinkan aku mengenal kembali wajah muridku dalam dirimu."

Mbah Rawi tersenyum tipis. Ia lalu melangkah perlahan ke arah kursi kayu di sisi beranda, duduk dengan tenang, lalu menepuk bangku kosong di sampingnya.

Danu berdiri diam di tempat. Kebingungan menggantung di dadanya, antara ingin mendengar atau melarikan diri.

"Aku sungguh tidak tahu siapa itu Pak Raga. Tapi aku tahu siapa kamu. Meski kamu tampak berbeda sekarang, cahaya dalam jiwamu masih sama.”

Kakek tua itu menoleh pada Danu. Tatapannya teduh, tapi ada gurat kebingungan kecil di sudut matanya.

Danu menghela napas. Ia akhirnya menarik bangku kayu yang agak berdebu di samping Mbah Rawi, lalu duduk. Perlahan. Hati-hati. Ia tetap menjaga jarak, tapi cukup dekat untuk bisa melihat lebih jelas.

"Aku bingung, tolong jelaskan padaku. Semua orang di sini bilang aku ini ‘dulu pernah begini’, ‘pernah belajar itu’… Tapi aku sendiri tidak pernah merasa begitu. Aku cuma mahasiswa. Hidup di kota. Baru tahu tempat ini kemarin."

Mbah Rawi tersenyum, seperti orang tua yang menyaksikan cucunya mengeluh soal tugas sekolah.

"Kita semua memang hidup dalam garis waktu, Danu. Tapi tidak semua kenangan ikut dalam ransel kita saat berjalan."

"Kenangan?" Danu menyipitkan mata. "Mbah ini ngomong kayak—"

"—kayak dongeng?" potong Mbah Rawi. "Mungkin begitu. Tapi siapa tahu, dongeng yang dulu kamu anggap cuma cerita, sebenarnya adalah bagian dari hidupmu yang sempat kamu lupakan."

Danu tertawa kecil, sinis. "Mbah… saya ini bukan murid petapa. Saya bukan pendekar. Dan saya tidak sakti"

"Tapi kamu tetap belajar untuk bertahan, bukan?" ucap Mbah Rawi, pelan. "Dan itu sudah cukup membuatmu bertahan sampai sini."

Sore makin merambat. Burung-burung mulai kembali ke sarang. Di pekarangan, angin mengayun ranting jambu yang merunduk rendah.

Laras masih duduk di depan mereka, diam, membiarkan suasana mengalir apa adanya. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Danu, lalu tersenyum tipis saat melihat lelaki itu tak langsung pergi.

"Kalau mas Danu mau pulang dulu ke kota, silakan," ucap Laras pada akhirnya, suara nya pelan namun terdengar hangat di telinga. "Tapi… aku minta, mas kembali ke sini lagi. Selesaikan yang dulu sempat mas mulai pada Nyai Laras."

Danu menoleh cepat. "Nyai Laras? Maksudmu kamu?"

Laras tidak menjawab. Ia hanya menunduk pelan, sambil menepuk celananya yang terkena debu dari ambang pintu.

Sedangkan Danu terlihat memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang. Dadanya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang ingin keluar namun belum punya bentuk.

"Aku pulang besok," katanya akhirnya.

Laras mengangguk pelan, matanya menatap Mbah Rawi yang balas menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan, antara lega dan haru yang ditahan.

"Tapi…" lanjut Danu, menatap keduanya, "aku janji akan kembali. Tapi Jangan senang dulu, aku kembali bukan untuk mengakui jika aku ini orang yang kalian maksud selama ini. Tapi sebaliknya, aku kembali karena aku akan buktikan jika aku adalah Danu. Manusia lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan kalian"

Mbah Rawi tersenyum, kali ini lebih lebar. "Itu saja sudah cukup untuk hari ini, nak. Terima kasih."

pasukan baru

Hari masih gelap saat bus terakhir tiba di terminal kota. Danu turun dengan langkah pelan, menatap sekeliling sejenak. Suara kendaraan, asap, dan lampu jalanan menyambutnya seperti biasa. Tapi ada sesuatu yang tidak terasa sama.

Danu memanggil ojek online dan duduk di boncengan sambil menatap jalanan kota yang dulu ia kenal baik. Hatinya kosong. Kota ini ramai, tapi terasa sunyi. Ia bahkan tak sadar saat sudah tiba di depan indekos kecil bercat putih pudar.

"Sudah sampai, Mas," kata sang pengemudi.

Danu mengangguk, membayar, lalu masuk ke dalam. Kunci kamarnya masih tergantung di bawah rak sandal, seperti biasa. Tidak ada yang berubah di sini. Tapi Danu yang masuk kini bukan Danu yang sama saat pergi beberapa hari lalu.

Ia membuka pintu kamarnya. Bau lembap dan sedikit debu menyambut. Meja belajar masih penuh buku. Korden jendela menggantung miring. Ia meletakkan tas tanpa niat membongkar isinya, lalu langsung rebah di atas kasur tipis yang terasa dingin.

Matanya memandang langit-langit.

Dan untuk pertama kalinya…

Ia merasa tidak tahu sedang ada di mana.

Pagi datang begitu cepat. Danu mengenakan hoodie abu-abu dan celana jeans seadanya. Langkahnya menuju kampus terasa asing. Ia tidak terburu-buru seperti biasanya. Ia berjalan pelan, seperti seseorang yang sedang mencari sesuatu di tengah keramaian.

Sesampainya di kampus, keramaian mahasiswa yang lalu lalang membuatnya sedikit pusing. Ia menuju kelas, duduk di bangku dekat jendela seperti biasa. Tapi hari ini, meski berada di tempat yang sama, rasanya tidak sama. Suara teman-teman mengobrol di sekelilingnya, beberapa menyapa dengan lambaian tangan, tapi Danu hanya membalas dengan anggukan kecil.

"Bro, lo dari mana aja? beberapa hari hilang kayak jin!"

Itu suara Galang, teman sebangkunya. Ia menjatuhkan diri ke kursi di samping Danu sambil mengunyah permen karet.

Danu menoleh pelan. "Balik ke desa… ada urusan keluarga."

Gino mengangguk-angguk. "Desa? Wah, cocok lo jadi dukun," cengirnya.

Danu tersenyum tipis, tapi tidak menanggapi lebih jauh. Suasana kelas mulai terisi. Dosen masuk, membawa materi yang entah kenapa terasa terlalu berat untuk dicerna hari ini. Selama kuliah berlangsung, pikiran Danu melayang-layang, bukan ke pelajaran, tapi ke beranda rumah kayu yang sepi, suara nyai Laras, dan tatapan lembut Mbah Rawi.

Saat jam kuliah selesai, Danu keluar terakhir. Galang memanggil-manggil, tapi ia pura-pura tak dengar. Langkahnya membawanya ke taman kecil di belakang gedung kampus. Ia duduk di bangku batu, menatap kolam ikan yang permukaannya tenang, tapi penuh bayangan awan.

Ia mengeluarkan ponsel, membuka galeri. Di sana ada satu foto, kabur, gelap, tapi ada bayangan siluet rumah yang ia ambil diam-diam dari kejauhan. Rumah Laras, janda tua yang kemarin ia temui. Danu menatap foto itu lama, lalu menutup ponselnya kembali.

*****

Sore hari, Danu kembali ke kosan. Ia melepas sepatunya, masuk, dan langsung menghempaskan diri ke kasur. Hening. Tidak ada suara apapun kecuali dengung kipas angin tua di sudut kamar.

Ia memejamkan mata. Namun tiba-tiba sebuah suara terngiang lembut, "…aku minta, mas Danu kembali ke sini lagi."

Danu membuka matanya cepat. Napasnya berat. Ia terduduk, menggenggam ponselnya erat.

"Kenapa kau harus hadir begitu nyata…" bisiknya sendiri.

Ia bangkit. Membuka laptop. Mengetik satu kata di kolom pencarian “Desa Pagarjati.“ Tapi yang muncul hanya sedikit informasi. Foto kabur dari blog tahun 2009, satu berita soal proyek jalan yang gagal, dan satu entri pendek di Wikipedia yang tidak menyebutkan apapun tentang rumah tua atau tokoh bernama Nyai Laras.

Danu menghela napas. Ia membuka aplikasi catatan, lalu mulai mengetik. Satu kalimat:

"Apa yang kulihat di sana… nyata. Tapi kenapa dunia menolaknya?"

*****

Tiga hari berikutnya, Danu mulai berubah. Ia tetap kuliah, tetap berbaur, tapi jadi lebih sering menyendiri. Beberapa teman akhirnya mulai menangkap perubahan dari sikap Danu.

Suatu malam, Galang datang ke kosan Danu, membawa kopi dan gorengan.

"Lo kayak abis liat hantu, Nu. Ngaku, lo nemu apa di desa?"

Danu tidak langsung menjawab. Ia memilih duduk bersandar pada dinding, dan memejamkan mata sesaat. Suara kipas angin berderit pelan, dan aroma kopi dari gelas plastik di tangannya seperti membawa kembali ke sore hari di beranda rumah tua itu. Ia membuka mata, menatap Galang dalam-dalam.

"Bukan hantu," katanya lirih, "tapi… ada sesuatu di sana. Sesuatu yang gak bisa gue jelasin."

Galang tertawa kecil, tapi rautnya mulai berubah saat melihat keseriusan di wajah Danu. Ia menyerahkan kopi dalam gelas plastik ke tangan Danu. "Cerita, lah. Siapa tahu gue bisa bantu mikir."

Danu menyesap kopi itu perlahan. Hangatnya tidak mengusir dingin yang bersarang di dadanya.

"Ada hal yang belum gue ceritain ke siapa-siapa," ujarnya pelan. "Disana gue bertamu ke sebuah rumah tua, di ujung desa. Penghuninya cuma seorang janda, Namanya Nyai Laras. Tapi… dia bukan janda biasa, Lang"

Galang menahan komentar. Ia mengunyah gorengannya pelan, matanya tak lepas dari Danu.

"Gue kira awalnya dia cuma perempuan tua yang kesepian," lanjut Danu. "Tapi pertama kali gue dateng, dia udah manggil gue dengan nama... Mas. Panggilan yang cukup dekat layak nya hubungan khusus. Lalu dia bilang… dia sudah lama menunggu gue. Bertahun-tahun. Dan saat gue tanya kenapa, dia jawab dengan kalimat paling gila yang pernah gue dengar."

Galang mencondongkan tubuh. "Apa katanya?"

Danu menarik napas dalam. "Dia bilang… aku ini suaminya."

Galang membeku. Tangannya menggenggam plastik gorengan yang mendadak terasa dingin. "Gila…"

"Gue ketawa waktu itu. Jelas gue kira dia udah pikun atau halu," kata Danu, lirih. "Tapi dia serius, Lang. Matanya gak goyah sedikit pun. Dia bilang dia mengenali jiwa gue… meskipun tubuh gue bukan tubuh yang dulu."

Galang tertawa kecil, tapi tak ada nada mengejek. "Lo yakin lo gak kecapean atau kurang tidur, Nu?"

"Gue sempet mikir begitu. Tapi gue nginep di rumahnya. Gue makan masakannya. Gue tidur di kamarnya. Semua nyata. Terlalu nyata."

Galang mulai diam. Ia menatap sahabatnya lama, lalu bertanya, "Lo mau balik lagi ke sana?"

Danu mengangguk pelan. "Tapi kali ini, gue harus siap. Gue gak mau cuma jadi pengunjung yang numpang singgah. Gue mau tahu… kenapa gue. Kenapa dia bilang gue penting. Dan kenapa tempat itu seperti tak pernah tercatat dalam dunia nyata."

Galang membuang napas pelan. Ia membuka plastik gorengan, mengambil satu tahu isi dan menggigitnya sebelum berkata, "Oke. Tapi kalau lo butuh temen… gue ikut. Serius. Jangan jalan sendiri."

Danu menarik napas ringan l. Kopinya tinggal separuh, sudah mulai dingin. Lalu ia menatap Galang yang masih menunggu jawaban.

"Gue belum tahu kapan. Tapi kalau waktunya datang… lo orang pertama yang gue ajak."

Galang mengangguk pelan. Tapi matanya belum lepas dari wajah Danu. Ia tahu, sahabatnya ini sedang berada di tengah sesuatu yang tidak biasa. Dan ia tahu juga, kalau Danu bilang itu nyata, maka mungkin memang ada yang harus mereka selami lebih dalam.

Lalu, Galang berkata pelan, "Gimana kalau lusa?"

Danu mengangkat alis. "Lusa?"

"Iya. Mumpung jadwal kuliah kita longgar, dan dosen-dosen juga banyak yang pada ke luar kota buat seminar itu, kan?"

Danu terdiam sebentar, lalu mengangguk pelan.

Galang melanjutkan, "Lagipula, kalau lo beneran niat nyelam lebih dalam, lo butuh tim, Nu. Kita ajak dua temen lagi. Gue kepikiran Bima, dia bisa bantu bawa mobil, dan satu lagi, Naya."

"Naya?" Danu tampak agak kaget.

Galang tertawa kecil. "Iya. Lo pikir cuma cowok yang suka cerita misteri kayak gini? Naya malah pernah bilang dia pengen banget nyari ‘tempat yang gak tercatat dalam peta’. Kayaknya dia bakal seneng denger kisah lo."

Danu mendengus pelan, lalu mengangguk. "Oke. Tapi kita harus jaga cerita ini. Jangan sampe kayak mau wisata horor. Gue gak mau ganggu tempat itu dengan energi sembarangan."

"Tenang. Gue yang atur. Bima dan Naya bisa jaga omongan. Kita jalan santai aja, tiga hari dua malam cukup. Lo bisa ngarahin kita ke rumah Nyai Laras itu?"

Danu mengangguk. "Ya. Gue masih inget jalannya."

*****

Dua hari setelahnya.

Kos Galang mendadak jadi markas kecil. Di lantai berserakan peta, catatan kecil, charger, senter, dan tas carrier yang belum sepenuhnya dikemas. Galang duduk sambil mengecek ulang daftar perlengkapan, sementara Danu sibuk di laptop memantau rute menuju desa.

Bima duduk selonjoran di dekat pintu, menggulung sleeping bag. "Lo yakin tempatnya bisa dicapai pake mobil gue, Nu?"

"Bagian awalnya bisa. Sisanya kita jalan kaki," jawab Banu tanpa menoleh.

Naya datang terakhir, membawa dua dus makanan ringan dan dua botol besar air mineral. "Gue udah siap. Tapi serius, ini ekspedisi misteri atau wisata dadakan?"

"Dua-duanya," sahut Danu pelan. "Tapi gue minta satu hal dari kalian. Jangan terlalu banyak bertanya kalau kita udah sampai sana. Rasain aja. Tempat itu... beda."

Mereka semua menatap Danu sejenak, lalu mengangguk.

Akhirnya setelah segala persiapan mereka selesai, dan hari masih terbilang cukup pagi, mereka memutuskan segera berangkat dengan mobil Bima—SUV tua warna silver yang sudah pernah menjelajah gunung dan pantai. Tas carrier, tikar, peralatan masak kecil, dan barang-barang pribadi mereka sudah tersusun di bagasi.

Perjalanan dimulai dari kota. Di awal, semuanya masih ramai bercanda. Bima memutar playlist rock klasik, dan Naya tertawa saat Galang menyanyi fals. Tapi makin jauh mereka keluar dari jalan utama, suasana mulai berubah.

Pohon-pohon besar muncul di sisi jalan. Rumah-rumah makin jarang. Jalanan berubah jadi berbatu. Bahkan sinyal ponsel mulai menghilang sedikit demi sedikit.

Setelah hampir tujuh jam berkendara, Danu meminta Bima berhenti.

"Di sini. Kita lanjut jalan kaki," katanya, sambil menunjuk jalan setapak di sisi kiri yang hampir tertutup rumput liar.

Naya turun lebih dulu, memandangi sekitar. "Gila... ini udah kayak setting film horor."

Galang memasang tasnya. "Gue mulai percaya sama kata-kata lo, Nu. Tempat ini kayak... terperangkap waktu."

Danu mengangguk pelan. "Kalau kalian mulai ngerasa aneh, bilang ya. Jangan dipendam sendiri."

Langit mulai meredup saat mereka berjalan melewati pohon-pohon randu tinggi yang menjulang seperti gerbang tak kasat mata. Jalan setapak itu sunyi, tapi tidak sepenuhnya sepi. Ada desir, bisik-bisik samar, entah dari mana.

Lalu, jembatan kayu itu muncul.

Tua. Rapuh. Tapi tetap kokoh berdiri di atas sungai kecil yang airnya tenang tapi gelap.

Danu berdiri di ujung jembatan, menatap ke seberang.

"Lewat sini," katanya pelan. "Setelah ini... kita bukan cuma tamu."

Dan saat mereka melangkah satu per satu di atas kayu jembatan itu, udara seperti menebal. Angin berubah arah. Dan suara-suara hutan mulai terdengar seperti nyanyian lama yang mengantar mereka menuju rumah Nyai Laras.

Begitu mereka melewati jembatan kayu, suasana langsung berubah. Seolah desa yang mereka tuju berdiri di dimensi waktu yang berbeda. Tanahnya lembab, rerumputan tumbuh liar namun rapi, dan di kejauhan terdengar suara aliran air dan serangga malam, padahal ini masih menjelang sore.

"Gue ngerasa kayak masuk film periodik," celetuk Naya, menatap rumah-rumah joglo yang mulai tampak di kejauhan.

Desa itu tampak sepi. Tapi bukan sepi yang mati. Lebih seperti... tenang. Terlalu tenang. Rumah-rumah kuno berdiri anggun di sepanjang jalan tanah yang tak beraspal. Beberapa perempuan tua terlihat duduk di beranda sambil menenun atau menumbuk sesuatu, menoleh sebentar ke arah mereka, lalu kembali diam.

"Lo yakin ini desa beneran, Nu?" tanya Bima sambil menyipitkan mata. "Ini tempat gak ada di Google Maps."

Danu hanya mengangguk. "Karena desa ini memang gak butuh ditemukan. Dia yang milih siapa yang boleh datang."

Mereka berjalan perlahan, menyusuri jalan setapak dengan hati-hati. Udara terasa lebih segar, tapi juga lebih berat, seolah penuh cerita yang belum pernah diceritakan.

Galang menunjuk ke sebuah bangunan tua berdinding kayu yang nyaris tertutup tanaman rambat. "Itu... kayak sekolah tua, ya?"

Danu mengangguk pelan. "Itu bekas sanggar. Kata warga yang sempat gue ajak bicara, dulu Nyai Laras sering mengajar anak-anak desa menari di situ."

"Gue bisa ngerasain auranya," bisik Naya. "Tenang tapi... misterius."

Mereka melanjutkan perjalanan ke sisi lain desa. Ada ladang kosong yang penuh bunga liar bermekaran, seperti karpet warna-warni alami. Angin bertiup lembut di sana, membawa aroma pandan dan kayu manis.

Mereka kemudian memutuskan duduk di sebuah bale-bale bambu di dekat ladang tersebut. Matahari mulai merunduk, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Suara burung malam dan gesekan bambu mulai menggantikan suara siang.

Galang membuka sebotol air minum, lalu berkata, "Lo belum jawab pertanyaan gue waktu di kos, Nu."

"Apa?"

"Kalau desa ini bukan di peta, terus siapa yang kasih tau lo?"

Danu menunduk sejenak. "Nyai Laras... dalam surat yang dia kirim"

Keheningan jatuh seperti selimut.

"Ya ampun," bisik Naya. "Gue makin penasaran siapa sebenernya dia."

Danu menatap ke arah timur, di mana pepohonan saling berbisik di balik cahaya senja. "Kalau kalian siap… kita ke rumahnya besok pagi."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!