**
Hari itu, kantor terasa lebih lengang dari biasanya. Beberapa rekan kerja ijin cuti, sebagian lain sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Serena duduk di kursinya, memandangi layar komputer sambil sesekali menghela napas.
Pikirannya masih terus terganggu oleh kabar tentang Vina.
Tiba-tiba, Dirga lewat di samping mejanya dan berhenti sejenak. Salah satu rekan kerja satu departemen nya seperti Hafiz.
“Serena,” ucapnya pelan.
Serena menoleh. “Iya, Mas Dirga?”
“Hmm… nanti pulang, kamu lewat mana?” tanyanya dengan nada hati-hati.
Serena tersenyum tipis. “Saya naik ojek online, Mas. Kontrakan saya nggak terlalu jauh.”
Dirga mengangguk. Ada jeda sesaat, seperti ia sedang berpikir keras untuk mengatakan sesuatu lagi, tapi urung.
“Oke… hati-hati ya,” katanya akhirnya, lalu melangkah pergi.
Serena menatap punggung Dirga yang menjauh. Ia merasa ada yang ingin disampaikan lelaki itu, tapi seperti ditahan. Ia tak terlalu dekat dengan Dirga, hanya sebatas rekan kerja biasa.
Tapi akhir-akhir ini, ia sering merasa Dirga mulai memperhatikannya lebih dari biasanya seperti Hafiz.
Sementara itu, Dirga kembali ke mejanya dengan perasaan campur aduk. Ia ingin bisa mengenal Serena lebih jauh, tapi ia tahu betul luka di mata gadis itu belum sembuh. Ia tak ingin terburu-buru. Hanya ingin menjadi orang yang tidak menyakiti. Itu saja.
Di sisi lain, Hafiz juga diam-diam memperhatikan dinamika itu. Ia belum benar-benar menyadari rasa dalam dirinya, tapi sejak Serena keluar dari rumah pamannya dan memilih hidup sendiri, ada kekaguman yang tumbuh.
Kekaguman yang pelan-pelan menyulut rasa ingin melindungi.
Tiga hati. Tiga arah. Dan satu Serena yang masih berusaha berdamai dengan masa lalunya.
.
Malam itu, hujan turun perlahan. Serena duduk di lantai kamarnya, menyandarkan punggung ke dinding kontrakan yang masih belum banyak perabot.
Hanya ada kasur tipis, meja kecil, dan satu lampu belajar yang menyala redup. Hening. Tapi pikirannya ramai.
Ia mengingat sorot mata Dirga tadi siang. Laki-laki itu tidak pernah benar-benar banyak bicara, tapi Serena cukup peka untuk menangkap perhatian yang mulai berbeda. Ia tidak membenci perhatian itu—tapi juga belum siap untuk membalas apa pun. Luka di hatinya masih segar, dan rasa percaya belum sepenuhnya pulih.
Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Hafiz:
“Hujan. Jangan lupa pakai jaket besok pagi ya. Jaga kesehatan, Serena.”
Serena terdiam membaca pesan itu. Hangat, tulus, seperti perhatian dari seseorang yang tidak menuntut balasan. Ia membalas singkat:
“Terima kasih, Mas Hafiz. Kamu juga, ya.”
Ia tidak tahu pasti bagaimana perasaan Arga terhadapnya. Tapi ia bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Begitu juga dari Dirga.
Tapi untuk saat ini, Serena hanya ingin menjalani hari demi hari, tanpa tekanan, tanpa paksaan. Ia hanya ingin sembuh… perlahan-lahan.
.
Keesokan harinya, saat jam makan siang, Serena pergi ke pantry sendirian. Ia baru saja menyeduh teh ketika Dirga tiba-tiba masuk. Ia menyapa dengan senyum kecil.
“Serena, boleh duduk bareng nggak nanti pas istirahat?” tanya Dirga pelan, tidak memaksa.
Serena menatapnya sejenak. Ia mengangguk pelan. “Boleh, Mas.”
Itu jawaban sederhana. Tapi bagi Dirga, itu cukup untuk membuat dadanya menghangat. Ia tahu Serena masih penuh batas, tapi hari ini—setidaknya ia berhasil melangkah satu langkah lebih dekat.
Di sudut lain kantor, Hafiz memperhatikan keduanya dari kejauhan. Ia bukan tipe yang mudah cemburu. Tapi melihat Serena bersama orang lain, ada rasa asing yang muncul di dadanya. Ia sadar, mungkin ia harus mulai jujur pada dirinya sendiri… dan pada Serena.
Seharian ini Serena merasa Hafiz tidak seperti biasanya, biasanya setiap pagi Hafiz akan selalu menyapanya. Tapi pagi ini tidak.
Serena berpikir, Apa karena saat Hafiz datang. dekat Serena ada Dirga yang mengajaknya bicara.
Serena menggelengkan kepalanya, kenapa ia jadi berpikir sedang didekati dua pria sekaligus.
.
Pulang kerja sore itu, Serena berdiri di halte bis sambil menatap jalanan yang mulai padat. Langit mendung, dan angin membawa aroma tanah basah. Ia mengenakan jaket tipis, memeluk tubuhnya sendiri sambil menanti ojol yang tak kunjung datang.
Tiba-tiba, seorang perempuan muda datang menghampirinya. Penampilannya rapi, wajahnya cantik dan percaya diri. Ia berdiri tepat di depan Serena dan menyapa dengan senyum tipis yang kaku.
"Kamu Serena, kan?" tanyanya.
Serena mengerutkan kening. "Iya. Maaf, kita kenal?"
"Aku Clara. Tunangannya Dirga," jawab perempuan itu cepat, tanpa basa-basi. "Aku cuma ingin bicara sebentar."
Serena terdiam. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
"Aku tahu kalian nggak dekat, belum sejauh itu. Tapi aku perhatikan akhir-akhir ini, Dirga jadi agak beda. Dan aku yakin, itu karena kamu," ucap Clara, suaranya tegas namun tertahan.
Serena menelan ludah. "Kami cuma rekan kerja, itu saja."
Clara tertawa kecil, dingin. "Itu yang selalu jadi awal dari semua hubungan, kan? Rekan kerja. Tapi aku cuma mau bilang, kami sudah bertunangan lama. Kami punya masa depan. Jadi tolong... jangan jadi pengganggu."
Serena tidak menjawab. Ia merasa seperti tertampar tanpa tahu salahnya apa. Dalam hati, ia ingin marah—tapi kepada siapa? Ia bahkan belum pernah mengizinkan siapa pun mendekat terlalu dalam. Tapi hari ini, ia kembali disudutkan oleh keadaan yang tidak ia mulai.
Ojolnya datang tepat waktu. Serena langsung melangkah naik tanpa berkata apa-apa lagi. Hatinya perih, bukan karena Dirga, tapi karena luka-luka lama yang kembali diusik oleh prasangka yang bukan miliknya.
Clara hanya menatap punggung Serena yang menjauh, sebelum akhirnya pergi dengan langkah percaya diri.
Serena duduk di belakang pengendara ojek, menatap langit yang mulai menitikkan hujan. Dalam hati ia berbisik, "Tuhan, aku tidak ingin disalahkan lagi... oleh siapa pun."
Dan di dalam hatinya, ia kembali mengunci pintu rapat-rapat.
.
Malam itu, Serena duduk di tepi tempat tidurnya, memeluk lutut. Hatinya masih terasa tak nyaman setelah kejadian di halte sore tadi. Ia mencoba mengalihkan pikiran dengan membaca buku, tapi huruf-huruf di halaman terasa kabur. Rasa sakit hati yang lama, bercampur dengan prasangka baru, membuat dadanya sesak.
Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Notifikasi pesan dari Dirga:
"Serena, besok bareng yuk berangkat ke kantor. Aku bisa jemput pagi-pagi. Sekalian kita sarapan. :)"
Serena membaca pesan itu tanpa ekspresi. Ada getar halus di dadanya, antara ingin mempercayai dan ingin mundur jauh. Ia tahu Dirga tidak pernah menyatakan apa-apa secara langsung, tapi perhatian itu nyata. Dan kini, setelah apa yang dikatakan Clara, Serena tidak ingin menjadi bagian dari masalah orang lain.
Tanpa membalas, Serena membuka kontak Dirga dan memilih opsi "Blokir". Tangannya gemetar sesaat, tapi ia mantap menekan tombol itu. Ia tahu, ia sedang menjaga dirinya sendiri dari luka yang tak perlu.
Malam semakin larut. Hujan masih turun. Dan Serena kembali tenggelam dalam diam yang ia pilih sendiri—sebagai perlindungan, bukan pelarian.
Di seberang sana, Dirga menunggu balasan pesan yang tak kunjung datang. Ia tidak tahu bahwa pintu itu telah tertutup... setidaknya untuk sementara.
.
Di sebuah apartemen di pusat kota, Hafiz duduk sendiri di ruang tengah sambil memandangi jendela. Lampu kota berkelap-kelip di kejauhan, tapi pikirannya tak tertuju ke mana-mana selain pada sosok Serena.
Sudah beberapa hari kebelakang Nama Serena mulai sering hadir dalam pikirannya. Bukan hanya karena ia rekan kerja yang tenang dan penuh batas, tapi karena Hafiz bisa melihat luka yang tersembunyi di balik sorot matanya. Luka yang membuatnya seperti tak mudah didekati, tapi juga tak bisa diabaikan.
Siang tadi, Hafiz sempat memperhatikan Dirga yang makin sering mendekati Serena. Ada nada kekhawatiran dalam hatinya. Ia tahu siapa Dirga—ramah, supel, tapi juga pandai menyembunyikan maksud. Hafiz tidak ingin Serena kembali terseret dalam hubungan yang rumit. Apalagi setelah mendengar beberapa kabar samar dari rekan kerja bahwa Dirga sudah memiliki tunangan.
Ia menghela napas panjang. "Aku harus lebih hati-hati... dan lebih jujur pada diri sendiri," gumamnya lirih.
Hafiz tak pernah menyangka akan memikirkan seseorang sejauh ini. Tapi Serena berbeda. Dan ia tahu, jika memang ingin menjaga gadis itu, maka ia harus mulai bertindak. Bukan dengan terburu-buru, tapi cukup untuk membuat Serena tahu bahwa ia tidak sendiri.
Hujan di luar jendela masih turun perlahan. Sama seperti pikirannya yang perlahan-lahan mulai menetap pada satu nama: Serena.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments