***
Pagi itu, suasana di rumah Paman Reza dan Bibi Nani tidak seperti biasanya. Biasanya rumah itu lengang dan hanya terdengar suara televisi atau dentingan sendok dari dapur.
Tapi kali ini, jeritan marah dari Bibi Nani memecah keheningan seperti sirene darurat.
"Astaghfirullah, Vina! Ini apa?!" teriak Bibi Nani dari arah kamar mandi yang berada dekat dengan kamar Vina.
Paman Reza yang sedang duduk di ruang makan langsung berdiri. "Kenapa sih pagi-pagi udah teriak-teriak?"
"Ini! Aku nemu test pack di tong sampah kamar mandi! Dan hasilnya dua garis! Dua garis, Mas Reza!”
Suasana langsung hening sesaat. Vina yang baru saja keluar dari kamarnya tampak kaget, matanya membelalak saat melihat test pack itu di tangan ibunya.
"Itu... bukan punyaku..." elaknya pelan, tapi suaranya gemetar.
Bibi Nani melotot. "Jangan bohong! Cuma kamu yang pakai kamar mandi itu semalam! Siapa laki-laki itu, hah?!"
Vina menggigit bibirnya, tubuhnya gemetar. Ia akhirnya duduk di sofa, menunduk tanpa kata.
"Jawab, Vina! Kamu hamil?" bentak Paman Reza, nadanya bergetar antara marah dan tidak percaya.
Akhirnya, Vina mengangguk pelan. "Iya... Aku hamil. Sama Rama."
"Rama?! Itu laki-laki yang usianya sepuluh tahun lebih tua dari kamu itu?!" Bibi Nani hampir menjatuhkan test pack dari tangannya.
"Kami serius... Kami mau nikah..." suara Vina nyaris tak terdengar.
"Nikah?! Kamu pikir ini main-main?" Paman Reza hampir kehilangan kendali.
Bibi Nani menatap suaminya. "Lihat, Mas... Lihat sendiri akibatnya. Anak ini selalu dibiarkan bergaul semaunya. Aku kira Serena yang akan bikin malu kita, ternyata anak sendiri yang lebih dulu."
Paman Reza hanya bisa menunduk, padahal yang sering memanjakan Vina itu Istri nya, kenapa sekarang malah menyalahkan dirinya.
Dalam hati, entah kenapa bayangan Serena muncul. Anak yang mereka perlakukan seperti tak berarti, ternyata pergi dalam diam... dan sekarang, justru anak kandung mereka sendiri yang membuat kekacauan.
Bibi Nani masih meringis geram. "Dan sekarang? Apa yang harus kita bilang ke keluarga besar? Ke tetangga? Apa kamu pikir ini bisa disembunyikan begitu saja, Vina?"
Vina menangis, tak lagi punya alasan.
Di rumah itu, pagi itu... akhirnya mereka merasakan sebuah keheningan baru. Bukan karena Serena yang pergi. Tapi karena dosa yang selama ini mereka takutkan... justru datang dari darah daging sendiri.
.
Siang itu, suasana rumah mendadak sunyi setelah ledakan emosi pagi hari. Vina masih mengurung diri di kamar. Paman Reza duduk termenung di ruang tamu, rokoknya habis satu persatu tanpa disentuh makanan sedikit pun.
Bibi Nani mondar-mandir di dapur dengan langkah berat, sesekali menyeka air mata dan mengumpat pelan.
Pikiran mereka tidak karuan. Nama Serena sempat melintas beberapa kali—terutama saat kenyataan ini terasa terlalu pahit. Mereka mengingat bagaimana mereka mencurigai Serena hanya karena pulang terlambat, mengomelinya karena hal-hal sepele, dan memfitnahnya tanpa bukti.
Namun kenyataan justru berbalik—anak kandung mereka yang mereka bela mati-matian, kini menjadi sumber malu terbesar.
Bibi Nani akhirnya masuk ke kamar Vina dan melemparkan handphone anaknya ke tempat tidur. "Telepon Rama sekarang. Suruh dia ke sini. Kita harus bicara."
Vina yang matanya masih sembab, mengangguk pelan. Ia meraih ponselnya dengan tangan gemetar, lalu mulai mengetik pesan.
Tak lama, Rama datang. Lelaki berumur tiga puluh lima tahun itu mengenakan kemeja hitam dan jeans, wajahnya tenang tapi tegang. Ia langsung dipersilakan duduk oleh Paman Reza tanpa basa-basi.
“Anak saya bilang kamu yang bertanggung jawab,” kata Paman Reza dingin. “Kamu tahu konsekuensinya?”
Rama mengangguk. “Saya sudah siap menikahi Vina, Pak. Saya serius dengan dia.”
“Kamu sadar usiamu terpaut sepuluh tahun lebih tua darinya?” sambung Bibi Nani tajam.
“Kamu pikir kami akan tinggal diam membiarkan ini terjadi begitu saja?!”
Rama menunduk. “Saya tahu ini salah. Tapi kami saling mencintai, dan saya tidak berniat main-main. Kalau Bapak dan Ibu izinkan, saya siap menikahi Vina sesegera mungkin.”
Paman Reza menghembuskan napas berat. “Orang-orang akan bicara. Apalagi Serena baru saja pergi dari rumah ini, sekarang kabar ini muncul. Kami akan dianggap keluarga rusak…”
Bibi Nani terdiam. Untuk pertama kalinya, kata-kata itu menghantam dirinya sendiri. Selama ini ia pikir Serena yang akan membawa aib. Tapi ternyata, aib datang dari arah yang tak pernah ia duga.
Diam-diam, sebuah penyesalan mulai tumbuh di hati mereka—kecil, tapi nyata.
“Ada Pekerjaan lain selain jadi Guru?” tanya Pak Reza.
Rama mengangguk, “Saya punya toko sembako Pak, walaupun tidak begitu besar tapi Alhamdulillah cukup untuk menambah isi dompet.”
Pak Reza sedikit lega, Beliau tahu Gaji seorang Guru tidak begitu besar. Makanya barusan pak Reza bertanya soal pekerjaan lain.
Rama, dia merupakan salah satu Guru di tempat Vina mengajar. Dan kedekatan mereka di mulai dari tempat kerja, Rama merupakan Duda ditinggal mati istrinya sekitar lima tahun yang lalu, Rama tidak memiliki Anak.
.
Siang itu di kantor, Serena sedang mengetik laporan di mejanya ketika notifikasi ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Bu Rukmini, tetangga sebelah rumah Paman Reza, masuk:
"Nak Serena, kamu udah dengar belum? Itu Vina, adik sepupumu, katanya hamil. Ramai loh diomongin ibu-ibu arisan."
Serena terdiam sejenak, lalu membaca ulang pesan itu untuk memastikan ia tak salah baca. Matanya melebar. Ia menarik napas dalam-dalam. Jemarinya otomatis mengetik balasan:
"Saya baru tahu, Bu. Terima kasih kabarnya."
Perasaannya campur aduk. Bukan karena ingin menertawakan nasib Vina—bukan itu. Tapi karena kenyataan bahwa kebenaran akhirnya muncul dengan sendirinya, tanpa harus Serena membela diri.
Semua perlakuan buruk Bibi Nani, semua tudingan, semua fitnah… kini seperti terjawab oleh kenyataan itu sendiri.
Di dalam hati, Serena tak bisa bohong. Ia memang merasa sedikit lega. Bukan karena penderitaan orang lain, tapi karena Tuhan akhirnya memperlihatkan mana yang benar dan mana yang salah.
Ia kembali menunduk, berusaha fokus pada pekerjaannya. Tapi pikirannya melayang, mengenang semua luka yang dulu ia telan sendirian. Luka yang perlahan-lahan sedang digantikan oleh rasa tenang... dan pembuktian tak terucap.
Tak jauh dari mejanya, Hafiz sempat melirik Serena yang tampak termenung. Tapi ia tak ingin bertanya terlalu banyak. Seperti biasa, ia hanya ingin Serena tahu bahwa ia ada… kapan pun dibutuhkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments