chapter 5

    Senja membenamkan wajahnya di bantal, suasana senja di luar jendela seakan mencerminkan perasaannya yang suram. Kegaduhan di bawah sama sekali tak mampu menembus benteng kesunyian yang ia bangun di dalam kamarnya. Ia malas berinteraksi, malas bergaul, malas melakukan apa pun.

Tok… tok… tok… Suara ketukan pintu . Di ambang pintu berdiri Hendra, diapit oleh orang tuanya, Naomi dan Raihan.

"Selamat datang, Naomi, Raihan. Kenapa kalian nggak ngabarin kalau mau datang?" tanya Sekar, ibu Senja, dengan ramah.

Naomi tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Aku kangen sama Senja, Sekar. Anak itu sudah lama nggak pernah datang ke rumah lagi."

Hendra diam di samping ibunya, perasaannya campur aduk. Ia merindukan Senja, kehilangan sosok yang selalu mencari perhatiannya. Dua bulan terakhir, Senja berubah, dingin, dan menjaga jarak. Ia tahu penyebabnya: ulang tahun Senja yang ke-16. Hendra menyesal, sangat menyesal. Andai waktu bisa diputar, ia akan merayakan ulang tahun Senja berdua saja, dan tidak perlu menghadiri pesta ulang tahun caca waktu itu.

     "Sekar, apa boleh aku bertemu dengan Senja? Dan apa dia ada di rumah?" tanya Naomi dengan lembut, tatapannya penuh harap.

"Ya, Senja ada di kamarnya," jawab Sekar, suaranya terdengar sedikit tegang. Ia melirik Rudi, suaminya, yang mengangguk samar. "Bik Asih, suruh Senja turun. Bilang kalau Mama Naomi ingin bertemu dengannya," perintah Rudi kepada asisten rumah tangga mereka.

"Baik, Tuan," jawab Bik Asih, lalu bergegas menuju lantai atas.

Di ruang tamu, Caca, yang melihat kedatangan Hendra dan orang tuanya, langsung berbinar. Ia menghampiri Hendra dengan langkah cepat.

"Kamu datang, Hendra," ucap Caca dengan bahagia, suaranya bersemangat.

Hendra hanya menjawab singkat, "Ya, Caca," suaranya terdengar gugup. Ia takut Caca tanpa sengaja memanggilnya 'sayang' di depan orang tua Hendra. Ia masih belum bisa melupakan betapa sakit hatinya Senja saat mengetahui hubungannya dengan Caca.

Caca langsung duduk di samping Hendra, menunjukkan rasa nyaman dan akrab yang membuatnya tak menyadari ketegangan di sekitar. Ia bahkan tak berani menyapa orang tua Hendra, karena ia tahu dirinya tidak disukai oleh mereka.

"Eh, Caca! Bisa nggak kamu jangan dekat-dekat duduknya dengan anak saya? Hendra itu tunangan Senja! Tau diri dong kamu!" Naomi tiba-tiba bersuara, nada bicaranya tajam dan sinis. Ia tak bisa menyembunyikan kekesalannya.

Galih, yang tak terima Caca dibentak begitu, ingin membela, tapi Radit, kakaknya, segera menutup mulut Galih dengan tangannya, mengeleng pelan sebagai tanda agar Galih diam. Rahasia mereka—bahwa mereka telah mengabaikan Senja selama ini—harus tetap tersimpan rapat.

"Caca, kamu duduk di dekat Kak Galih saja," kata Radit, suaranya lembut namun tegas. Caca menurut dan pindah ke samping Galih. Sekar dan Rudi hanya diam, mencoba menutupi rasa bersalah mereka. Ketegangan di ruang tamu semakin terasa, menunggu kedatangan Senja yang akan menentukan jalan cerita selanjutnya..

     Tok… tok… tok…

"Non Senja, ada Nyonya Naomi di bawah, dia mau bertemu dengan Nona," panggil Bik Asih dari balik pintu.

Ceklek…

"Ya, Bik, suruh Mama tunggu sebentar," jawab Senja. Bik Asih pun pamit.

Senja menghela napas. "Ini saatnya gue membatalkan pertunangan gue dengan Hendra. Gue nggak mau punya tunangan yang nggak pernah cukup satu perempuan," gumamnya, ketetapan tergambar di wajahnya.

Ia mengganti baju tidurnya dengan pakaian yang lebih rapi, lalu mencuci muka agar terlihat segar. Ia turun bersama Raka, kakak pertamanya. Senja tak bicara apa pun pada Raka. Perdebatan mereka sebelumnya masih meninggalkan kebekuan di antara mereka.

"Mama, apa kabar?" sapa Senja begitu sampai di ruang tamu.

Naomi menyambutnya dengan hangat. "Kabar Mama baik, sayang. Sini, Mama peluk. Mama kangen sama kamu, sayang."

Senja hanya memeluk singkat. "Maaf, Mah… aku lagi sibuk," alasannya, suaranya terdengar datar.

Raihan, ayah Hendra, menawarkan pelukan. "Kamu nggak mau peluk Papa juga, Nja?"

Senja memeluk Raihan dengan erat kali ini. Ada sesuatu yang berbeda dalam pelukan ini.

"Anak Papa kuat kok… Papa dukung apa pun yang ingin kamu lakukan, sayang. Tetaplah seperti Senja yang sekarang," bisik Raihan, suaranya penuh kasih sayang.

"Terima kasih, Pa. Selalu dukung aku," balas Senja, suaranya bergetar.

Ternyata, selama ini Raihan tahu tentang kehidupan Senja, bagaimana perlakuan orang tuanya dan kakak-kakaknya. Raihanlah yang selalu ada di samping Senja, memberikan kekuatan dan dukungan. Raihan telah menganggap Senja seperti putrinya sendiri, membantu membentuk mental Senja yang kuat, dan mengajarkan banyak hal berharga lainnya. Kehadiran Raihan menjadi penyeimbang dalam kehidupan Senja yang penuh gejolak.

   Rudi dan Sekar mengamati interaksi hangat antara Senja dan orang tua Hendra. Rudi, khususnya, merasakan gelombang iri yang kuat terhadap Raihan, sahabatnya. Senja begitu nyaman di pelukan Raihan, sesuatu yang tak pernah ia rasakan. Setiap hari, Senja selalu menunjukkan sikap datar dan dingin kepadanya.

Bukan hanya orang tua Senja yang merasakan perubahan ini. Caca mengepalkan tangannya, merasakan sentakan cemburu melihat keakraban Senja dan orang tua Hendra.

“Kapan gue seperti Senja yang diterima oleh orang tuanya Hendra? Mereka sangat menyayangi si Senja yang sialan itu,” gerutu Caca dalam hati, rasa iri dan dengki memenuhi pikirannya.

Raka, kakak Senja, juga mengamati adiknya. “Kenapa senyumanmu tulus banget kepada Tante Naomi dan Om Raihan, Dek? Sedangkan dengan kami, lo nggak pernah senyum sedikit pun,” pikirnya, sedikit sesak di dada.

Radit, kakak lainnya, menambahkan dalam diam, “Setelah sekian lama, senyum itu terbit lagi, tapi bukan dengan kami, tapi dengan orang lain, Dek.”

Galih, adik termuda, hanya mampu bergumam dalam hati, “Gue kangen senyum lo, Dek.”

Mereka, keluarga Senja, baru menyadari betapa besar kehilangan yang mereka alami. Semakin mereka mengabaikan Senja, semakin Senja menjauh. Meskipun tinggal satu atap, mereka seperti orang asing. Tidak ada lagi sapaan, tidak ada lagi senyum ceria Senja yang dulu selalu menghiasi rumah mereka. Yang tersisa hanyalah kesunyian, kedinginan, dan penyesalan yang terlambat. Rumah yang dulu dipenuhi tawa dan keceriaan, kini terasa hampa dan sepi.

     "Mah, Pah… aku mau bilang kalau pertunangan aku dengan Hendra cukup sampai di sini aja. Aku dan Hendra sudah nggak cocok," ucap Senja, suaranya tegas, menghentikan semua percakapan.

Deggg…

Semua orang terkesiap, kecuali Raihan yang tampak tenang. Mereka tak menyangka Senja akan memutuskan pertunangannya tanpa kesepakatan keluarga.

"Jangan ngawur kamu, Senja! Apa alasan kamu memutuskan pertunangan ini?!" teriak Rudi, suaranya meninggi, tidak terima dengan keputusan Senja.

Senja menatap Rudi dengan tajam. "Bukannya ini yang Anda mau, Tuan Rudi? Kalau aku sudah memutuskan pertunangan ini, maka putri kesayangan Anda akan bahagia karena tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi berpacaran dengan Hendra," ucap Senja, suaranya tegas dan menusuk.

Rudi terdiam. Ia memang menginginkan Caca menjadi pacar Hendra, tapi dalam lubuk hatinya, ia tahu Senja lebih cocok untuk Hendra.

"Kenapa Anda diam, Tuan Rudi?" tanya Senja, menantang.

Naomi menoleh ke Rudi, "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya, suaranya terdengar khawatir.

"Biar Papa yang jelasin, Mah… Tapi pertunangan ini harus putus, Mah. Ternyata selama ini Hendra berpacaran dengan Caca di belakang aku," Senja menceritakan semuanya, air mata palsunua tak mampu ia bendung lagi.

Plakk… plakk…

Dua tamparan mendarat di pipi Hendra. Naomi tak menyangka putranya tega menyakiti Senja.

"Mama setuju kamu memutuskan pertunangan ini. Meskipun kamu sudah bukan tunangan Hendra, tapi kamu tetap anak Mama dan Papa," ucap Naomi, memeluk Senja erat.

Mereka pamit pulang. Naomi ingin segera sampai rumah agar suaminya menjelaskan semua yang dimaksud Senja.

Caca merasa senang. Kini ia bisa memiliki Hendra sepenuhnya. Ia merasa menang kembali atas Senja.

Namun, Senja muncul kembali, menatap Caca dengan tajam. "Lo nggak usah senang dulu, 'anak pungut'. Ini bukan awal kebahagiaan lo, tapi awal kehancuran lo. Mungkin keluarga ini menjadikan lo putri kesayangan, tapi di luar sana, lo tetap seorang anak pungut," ucap Senja, suaranya dingin dan menusuk. Lalu, ia kembali ke kamarnya, meninggalkan Caca yang terpaku dengan tatapan penuh amarah dan kekalahan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!