Malam pun datang, senja sudah tiba di tempat balapan motor itu.. semua keluarga nya pun ikut hadir menonton balapan itu.
" ja, lihat tuh keluarga lo ikut hadir juga.. apa lagi si caca sok banget tu anak.. " kata nadira.
" benar itu, dia dan Hendra tidak tau malu banget bermesraan di depan umum. " ketus dinda.
senja sudah tidak perduli dengan mereka semua,, saat ini yang terpenting dia harus memenangkan balapan itu.
Senja menarik napas dalam-dalam, aroma bensin dan aspal panas memenuhi rongga hidungnya. Detak jantungnya berpacu kencang, campuran adrenalin dan kegugupan. Ia melirik ke arah tribun penonton, mencari sosok keluarganya di antara kerumunan. keluarga nya tidak tahu kalau diri nya ikut balapan.
Suara gemuruh mesin motor menggema, menandakan dimulainya balapan. Senja memacu motornya, melewati tikungan tajam dengan kecepatan tinggi. Ia beradu kecepatan dengan para pembalap lainnya, semuanya profesional dan handal. Persaingan sengit, adu strategi, dan keberanian menjadi satu kesatuan dalam balapan ini.
Suara Nadira dan Dinda, dua temannya yang juga ada di tribun penonton, sayup-sayup terdengar. Ia mendengar bisikan mereka tentang Caca dan Hendra, pasangan yang memang selalu menjadi pusat perhatian karena kemesraan mereka yang berlebihan. Namun, Senja memilih untuk mengabaikannya. Saat ini, fokusnya hanya pada balapan.
Ia menyalip beberapa pembalap, meningkatkan kecepatannya. Ia merasakan adrenalinnya memuncak. Tubuhnya bergetar, namun tangannya tetap stabil memegang kemudi. Ia memacu motornya dengan penuh konsentrasi, mencari celah untuk melewati lawan-lawannya.
Di tikungan terakhir, Senja berada di posisi terdepan. Ia hanya perlu mempertahankan posisinya hingga garis finish. Ia merasakan tekanan yang luar biasa, tetapi ia tidak boleh menyerah. Ia harus memenangkan balapan ini, untuk keluarganya, untuk dirinya sendiri.
Dengan sisa tenaga terakhirnya, Senja memacu motornya hingga batas maksimal. Ia melewati garis finish, menjadi pemenang balapan. Suara gemuruh penonton memenuhi arena balapan, menyambut kemenangannya. Senja mengangkat tangannya, menunjukkan kemenangannya. Ia melihat keluarganya di tribun penonton, wajah mereka berseri-seri, penuh kebahagiaan dan bangga.
Senja turun dari motornya, merasakan kelelahan yang luar biasa. Namun, rasa lelah itu sirna seketika ketika ia melihat kedua sahabat nyamenghampirinya, memeluknya erat-erat. Ia merasakan cinta dan dukungan mereka, yang menjadi sumber kekuatannya untuk terus berjuang dan meraih kemenangan. Ia tersenyum, senyum kemenangan yang terpancar dari hati yang penuh kebahagiaan. temanya yang lain pun pun menghampirinya, mengucapkan selamat. Meskipun sempat mengomentari Caca dan Hendra, mereka tetap mendukung Senja dan turut bergembira atas kemenangannya. Malam itu, Senja merasakan kepuasan yang luar biasa, bukan hanya karena kemenangannya dalam balapan, tetapi juga karena dukungan dan cinta dari keluarganya dan teman-temannya.
Setelah hiruk pikuk perayaan mereda, Senja, Nadira, dan Dinda duduk di sebuah warung kecil tak jauh dari arena balap. Aroma kopi dan gorengan hangat memenuhi udara malam.
"Gila, nja ! Penampilanmu tadi luar biasa!" seru Nadira, masih takjub dengan aksi Senja di lintasan.
"Iya, beneran. Aku sampai deg-degan nontonnya," timpal Dinda, menyesap kopinya. "Bayangin aja, pas di tikungan terakhir itu, deg jantungku kayak mau copot!"
Senja tersenyum, merasakan kelegaan setelah adrenalinnya surut. "Seru, sih. Tapi tegang juga. Apalagi pas lihat kalian di tribun, kayaknya tegangnya lebih parah dari aku yang balapan."
Nadira tertawa. "Ya iyalah! Kita kan cuma bisa nonton, nggak bisa ngapa-ngapain kalo kamu kenapa-napa. Untung aja kamu aman."
"Eh, ngomong-ngomong, tadi tuh… aku masih nggak habis pikir sama Caca dan Hendra," kata Dinda, menggerutu. "Mesra-mesraan banget, kayak nggak ada tempat lain aja."
Senja terkekeh. "Biarkan saja, Din. Mereka kan lagi dimabuk asmara. Lagian, aku juga nggak terlalu peduli. Yang penting, aku menang balapannya."
Nadira mengangguk setuju. "Bener juga. Kemenangan kamu tadi jauh lebih penting. Keren banget, Sen! Kamu bener-bener pantas menang."
"Makasih, ya. Kalian juga udah support aku banget," kata Senja, menatap kedua sahabatnya dengan penuh rasa syukur. "Nggak cuma nonton doang, tapi juga selalu menyemangati aku."
"Emang tugas kita dong, ngedukung sahabat kita yang keren kayak kamu," jawab Nadira, menepuk bahu Senja.
Dinda menambahkan, "Iya, dan kita juga selalu ada buat kamu, apapun yang terjadi. Kalo ada masalah, curhat aja sama kita."
Senja tersenyum hangat. "Makasih, ya. Kalian sahabat terbaik." Ketiga sahabat itu larut dalam obrolan ringan, menikmati suasana malam dan kebersamaan mereka. Kemenangan Senja bukan hanya miliknya sendiri, tetapi juga milik keluarga dan sahabat-sahabatnya yang selalu mendukungnya. Malam itu, rasa bahagia dan persahabatan yang tulus mewarnai percakapan mereka, lebih berharga daripada sorak sorai kemenangan di arena balap.
Senja sampai di rumah pukul dua pagi. Langkah kakinya berat, menginjak lantai keramik rumah yang sunyi. Ia baru saja pulang dari rumah nya untuk menaruh motor gedenya.Pakaian serba hitamnya, yang biasanya ia gunakan saat bekerja, menunjukkan betapa lelahnya ia saat ini. Di tangga, ia berpapasan dengan Raka yang hendak turun.
Raka tersentak melihat Senja. Ia mengerutkan dahi, khawatir. "Lo habis dari mana, Nja? Kenapa baru pulang jam segini?" tanyanya, suaranya terdengar cemas.
Senja menghela nafas panjang, rasa lelah dan amarah bercampur aduk. "Cari angin," jawabnya singkat, suaranya datar.
"Cari angin? Jam segini? Gak baik, lho, cewek pulang selarut ini. Contohnya Caca, dia nggak pernah pergi malam-malam," kata Raka, tanpa menyadari betapa menyakitkan perbandingan itu bagi Senja.
Senja mengepalkan tangannya. "Bisa nggak sih lo nggak usah ngebanding-bandingin gue sama adik kesayangan lo itu? Gue sama dia jelas beda!" suaranya meninggi, kecewa dan marah.
Raka terdiam sejenak, tampak ragu. "Gue cuma khawatir, Nja. Gue nggak mau terjadi apa-apa sama lo."
"Gue nggak butuh dikhawatirkan! Gue bisa jaga diri sendiri!" Senja membentak, air mata mengancam jatuh.
Raka menghela nafas. "Kenapa lo sekarang berubah, Nja? Mana adik gue yang dulu? Senja yang baik, murah senyum, manja sama keluarga?"
Senja tertawa getir. "Kalian yang bikin gue kayak gini! Senja yang lo maksud itu udah mati! Mati karena diabaikan, mati karena nggak pernah dianggap!"
Raka terhenyak. Senja melampiaskan semua unek-uneknya. "Sejak Caca datang, gue diabaikan sama kalian semua! Apa-apa Caca yang diutamakan! Gue dipaksa jadi bodoh, dipaksa berpenampilan culun di sekolah supaya adik kesayangan lo itu keliatan lebih bersinar!" Air mata Senja akhirnya jatuh membasahi pipinya.
Raka merasa sesak. "Maafin gue, Nja. Gue nggak pernah membela lo di depan orang tua kita, Galih, dan Radit." Suaranya penuh penyesalan.
Senja menghapus air matanya dengan kasar. "Percuma! Gue udah mati rasa sama kalian semua! Bilang sama orang tua lo, jangan pernah ikut campur lagi dalam hidup gue!"
Raka menggeleng tak percaya. "Astaghfirullah, Nja… mereka juga orang tua lo!"
Senja menatap Raka dengan tatapan tajam, suaranya dingin. "Mereka bukan orang tua gue! Sejak Caca datang, Papi nggak pernah lagi membiayai hidup gue! Gue pontang-panting kerja buat bertahan hidup! Kalau mereka orang tua gue, mereka pasti ngebantu gue! Tapi ini… sama sekali nggak ada!"
Senja berbalik dan melangkah cepat menuju kamarnya, meninggalkan Raka yang terpaku di tangga, merasa bersalah dan kehilangan. Ia menyadari betapa besar kesalahannya, betapa dalam luka yang diderita Senja. Keheningan malam terasa begitu berat, menegaskan kesendirian Senja yang terabaikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments