•Manis pahit•

"Aku menyukai kopi, karena di dalamnya aku melihat ibarat kehidupan, merasakan manis setelah pahit."

...-Bintang Alana swissa-...

Diantara sekian banyak manusia yang diciptakan Tuhan, mungkin Raven termasuk beruntung.

Kedua orangtuanya masih lengkap dan bekerja dengan penghasilan besar. Dia anak tunggal yang selalu cukup perhatian.

Tapi, kenapa dia malah menghancurkan semua itu dan membuatnya sia-sia?

Itulah pertanyaan pertama gue.

Bukannya kalau dibandingkan dengan kehidupan kecil gue ini dia harusnya merasa cukup dan puas? Apalagi yang kurang?!

Alana menggenggam gelas kopi kertas di tangannya.

"Kak, gue minta maaf. Karena gue...kakak jadi diberhentikan." Ucapan itu keluar dari mulut Raven dengan tulus.

Dia menyesal seribu kali, ternyata karena perbuatan brengseknya Alana harus berhenti mengajarinya Les.

Itu artinya Alana tidak punya penghasilan lagi.

Bukannya ia tak tahu, Raven sudah lama berteman dengan Alana sebagai adik kelas.

Dulu kan ia sendiri juga yang memaksa ibunya mempekerjakan Alana sebagai guru private. Itu karena Raven tahu kehidupan Alana yang susah.

Tapi sekarang dia pula yang menghancurkan harapan Alana, membuatnya putus harapan.

"Kak-"

"Iya, gue paham. Lo salah Raven. Dan gue juga salah sebagai guru Lo. Mungkin ibu Lo takut gue mempengaruhin Lo jadi buruk, dan itu wajar karena gue juga manusia yang bisa salah. Tapi, pertanyaan gue, kenapa Lo pake coba minum alkohol segala?" Dahi Alana mengernyit.

Keadaan ini berkali-kali membuat Raven menelan ludah. Sebenarnya ia juga tak tahu pasti alasannya.

"Gue....cuma sekedar mau coba aja kak. Temen gue soalnya pada ngelakuin itu..jadi.."

Alana mendengus, membuat Raven bungkam.

"Rav, berapa kali gue bilang? Gue paham Lo masih remaja yang sulit mengendalikan diri sendiri. Tapi, kan Lo bisa gak usah ngelakuin sesuatu yang bikin Lo ragu. Pasti awalnya Lo bimbang kan?"

Alana menatapnya serius.

Dia sudah menganggap Raven adiknya selama ini, jadi, kabar itu juga membuat ia sesak.

"Kak, Raven janji gak bakal ulangin ini semua. Tapi, kakak bisa ngajar gue lagi ga? Gue mohon."

Ekspresi Raven membuat Alana ingin mengusap kepalanya. Tapi apa boleh buat, dia sendiri masih terpuruk setelah kehilangan harapan.

Usia Raven selisih dua tahun dibawah Alana, jadi Alana masih menganggapnya anak kecil.

"Raven, tahun depan Lo masuk SMA kan? Lo tetep bisa ketemu gue kok. Tapi untuk ngajar, gue rasa..gak bisa lagi."

"Maaf kak, gue bisa kok bantu kakak cari kerjaan baru."

Alana menggeleng tegas.

"Gak, Raven, tugas Lo belajar buat masa depan Lo nanti."

"Raven, gue maafin Lo kali ini dan gue yakin ortu Lo masih menaruh harapan. Jadi, Lo harus bisa bahagiain mereka. Itu aja sih dari gue. Makasih kopinya ya."

Terakhir, Alana mengacak rambut halus Raven sambil tersenyum meyakinkan.

"Kalo Lo butuh sesuatu, bilang aja ya."

Sebelum sempat berdiri, Raven tiba-tiba menahan ujung ranselnya.

"Kak..., bisa gak setiap pulang sekolah kakak mampir kesini sebentar? Gue ada perlu."

"Oke deh."

Karena buru-buru, Alana asal mengiyakan. Ditambah ia makin gelisah memikirkan adik-adiknya di rumah.

Apalagi ia tidak langsung pulang dari sekolah karena Raven mengajaknya bertemu di taman ini.

Alana berlari menjauh. Meninggalkan Raven yang masih duduk di bangku taman, menunduk dalam-dalam.

"Hoi!!"

'plak!'

"Eh, Ola? Lo ng-ngapain disini?"

"Apaansih, aku kan mau pulang ke rumah. Emang sengaja lewat sini biar Deket ke kompleknya."

Dua orang itu saling pandang. Sama-sama curiga.

Nathan sudah tidak bisa beralasan lagi, jelas-jelas ia kelihatan sekali baru saja mengintipi Alana dan Raven dari balik pohon besar.

Gue khawatir, dan gue baru tahu Tentang Raven. Dia tahu juga ya Alana suka kopi?

Nathan tersenyum memaksa. Keringat dingin, malu.

"Santai Nat. Aku kesini juga karena khawatir kok. He-he, soalnya aku tahu Alana lagi ada problem." Ola terkekeh demi melihat wajah Nathan memerah.

Tck, sial malu banget gue. Untung Ola ga Cepu. Dan tujuan kita sama.

Nathan meregangkan ekspresi wajahnya.

Entah apalagi musibah yang menerjang Alana, tapi baru kali ini dia menunjukkan jelas rasa keputusasaan.

"Btw, La, Alana emang sedeket itu ya sama dia?" Tanya Nathan.

"Dia siapa? Raven?"

Nathan mengangguk.

Iya.

"Alana gak pernah cerita sih. Tapi kayaknya iya. Emang kenapa?"

"Ng-nggak...nanya aja." Nathan menggeleng kaku.

Tapi Ola tidak peduli dengan reaksinya. Dia sedikit cemas karena Alana dan berusaha menghubungi nomornya.

"Ha~ah, gak diangkat. Aneh. Biasanya sesibuk apapun dia kalau aku yang telfon pasti diangkat kok."

Suasana tadi emang agak aneh. Gue gak tahu dia ada masalah apa sama bocah tadi, tapi mukanya Alana kelihatan sedih banget. Dia gak pinter nyembunyiin ya. Pfft...

Batin Nathan sambil tersenyum kecil.

...***...

Sampai di rumah, Alana terkejut.

Dua adiknya, Arga dan Aysa tidak ada di mana-mana.

Yang jelas tadi siang mereka sudah pulang sekolah karena tasnya ada di ruang tamu. Tapi saat Alana keliling di rumah, mereka sama sekali tidak kelihatan.

Dalam keadaan kacau ini, Alana panik menelpon Ola dan minta tolong bantuannya mencari Arga dan Aysa. Mungkin saja mereka main di sekitar kompleknya.

Sedangkan ia sendiri sudah menelusuri sekitar rumah dan tempat-tempat yang biasa mereka datangi. Bahkan sampai matahari mulai tenggelam.

Alana lelah, seragam sekolah saja belum ia ganti.

Tuhan, tolong bantu gue. Gue gak bisa kehilangan semuanya begini.

Baru saja Alana memanjatkan doa, tiba-tiba ia dapat telfon dari satgas lalulintas dan mendapat kabar buruk.

Alana segera berlari sekuat tenaga ke lokasi, tidak peduli seberapa hebat air matanya mengalir di pipinya. Gadis itu mulai merasakan tekanan hebat, seakan dunia runtuh.

Tuhan, apa salah gue? Kenapa musibah yang engkau berikan seberat ini? Apa gue yang lemah ini bisa bertahan?!

Gue sendirian, gak punya siapapun buat jadi pelampiasan.

Itulah, tepat di depan matanya, Alana harus menyaksikan dua mayat anak kecil.

Arga dan Aysa mati dihantam mobil yang langsung mengebut begitu lampu hijau menyala, dua bocah itu terlalu lama berjalan diatas zebra cross.

Mereka takut kakak mereka ada masalah dan ingin menyusul. Sayangnya, takdir berkata lain. Mereka sendiri malah yang mengalami kecelakaan maut.

Walaupun sopir mobil tadi memberi Alana sejumlah uang, hatinya tetap terasa sesak seakan ingin meledak. Melihat dua adik yang disayanginya tewas akibat dirinya sendiri.

Alana harus menanggung dua kesedihan dalam hari yang sama.

Ola cuma bisa menyemangatinya lewat telepon karena dia pergi ke rumah neneknya sepulang sekolah tadi.

Untuk kedua kali, Alana harus kehilangan. Tidak, bahkan tiga kali.

Ayah dan ibu yang tidak bertanggung jawab, nenek yang meninggal dan sekarang dua adiknya ikut menyusul.

Gadis itu langsung tertidur karena lelah menangis dan lelah batin, di rumah ia mengeluarkan segala kesedihan dengan menangis selama mungkin.

Selesai sudah. Tidak ada lagi yang bisa ia harapkan. Tidak ada juga motivasi untuk tetap hidup.

Rumah ini kosong, Alana hanya sendirian.

Tidak ada yang tahu seandainya ia mati atau menghilang dari bumi sekalipun, tidak ada yang peduli.

Dalam keadaan seperti ini, Alana tidak tahu harus menghubungi siapa. Gadis itu putus asa, marah, sedih.

Dia melirik segelas kopi hangat diatas meja.

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!