Bab 3: Impian Masa SMP

Setelah itu liburan yang aku rasa akan membosankan karena harus berdiam diri di kamar dan belajar, berubah menjadi begitu menyenangkan. Alasannya karena aku bisa melihat Gaga. Dia sering kali bermain di balkon lantai 2 rumahnya. Atau kadang ia berada di lantai satu mencuci sepedanya, membantu ayahnya membetulkan mobil, dan bermain bola. Mungkin karena Gaga baru di sini, ia jadi jarang main keluar rumah karena ia belum mengenal siapapun.

Hingga tahun ajaran baru pun dimulai. Aku baru naik ke kelas 5 saat itu dan sebelum pelajaran dimulai, wali kelasku mengumumkan bahwa kami kedatangan murid baru.

"Hari ini kita kedatangan murid baru, sini, Nak, perkenalkan diri kamu."

Gaga pun menatap ke arah kami dan memperkenalkan dirinya, "nama aku, Sagara Zayn El-haikal. Salam kenal semuanya." Perkenalannya singkat, khas seorang Gaga yang irit bicara.

Seketika aku melonjak bahagia. Tidak hanya di rumah, itu artinya di sekolah pun aku akan sering bertemu dengannya.

Berlanjut saat aku di kelas 9 SMP...

"Eh, bentar, kita duduk di bangku itu dulu, yuk! Lihat Sagara lagi main bola," seru seorang temanku.

Kami yang baru saja dari kantin membeli makanan saat waktu istirahat, sontak duduk di bangku di tepi lapangan upacara yang difungsikan juga sebagai lapangan futsal dan basket. Tiba-tiba saja di tepi lapangan itu dipenuhi oleh siswi-siswi yang ingin melihat kemahiran Gaga menggiring si kulit bundar. Saat Gaga berhasil memasukkan bola ke gawang, semua siswi bersorak gembira. Padahal ini bukanlah pertandingan, hanya keisengan Gaga dan teman-temannya saja untuk mengisi waktu istirahatnya.

Aku dan Gaga tak pernah lagi sekelas di bangku SMP. Aku pun semakin jarang melihatnya. Tidak seperti waktu aku masih SD. Dua tahun aku selalu satu kelas dengannya. Bahkan karena ingin selalu melihat Gaga, aku berusaha keras untuk bisa masuk ke SMP yang akan Gaga masuki, SMP itu adalah SMP terfavorit di kotaku. Tapi setelah masuk ke SMP yang sama rasanya Gaga malah semakin jauh.

Dunia Gaga dan duniaku terasa berbeda. Aku dan dia seakan hidup di dimensi yang berbeda. Aku hidup di tempat yang sama dengannya, namun kami seakan tak pernah saling bersinggungan.

Aku dan Gaga tak pernah saling sapa sekalipun. Jika kami bertemu di depan rumah, atau di mana pun dia akan berpura-pura tidak melihatku. Entah bagaimana, anak itu tumbuh menjadi semakin dingin saja setiap harinya. Tak pernah aku melihat dia tersenyum. Kalau harus bersikap ramah, ia akan menyunggingkan bibirnya sedikit saja. Seakan pipinya akan terasa sakit jika ia tersenyum terlalu lebar.

Bertahun-tahun menyukai Gaga, rasanya tak ada satu hal pun yang aku ketahui tentangnya selain, populernya dia di kalangan para siswi, hobi olahraganya dan pintarnya dia yang selalu membawanya ke peringkat sepuluh besar. Walaupun kami kenal bertahun-tahun tak pernah kami mengobrol sekalipun. Bahkan aku lebih sering bertegur sapa dengan ayahnya, Om Haikal.

Kalau tak sengaja bertemu di depan rumah, Om Haikal akan menyapaku dengan ramah. "Rara, baru pulang?"

"Iya, Om. Om juga?" tanyaku sopan.

"Iya, nih. Gimana sekolahnya?"

"Alhamdulillah lancar sih, Om."

"Syukur kalau gitu. Suka ketemu Gaga gak di sekolah?"

"Jarang, Om," jujurku. Untuk melihatnya mungkin ya, aku sering melihatnya karena setiap hari aku selalu mencari di mana keberadaannya. Tapi untuk bertemu di mana membuat ia menyadari keberadaanku? Tidak, jarang sekali.

Kemudian ayahku keluar dari rumah, "Eh, Kal."

"Tumben ada di rumah, Her?" tanya Om Haikal.

"Iya, baru pulang dari KL kemarin. Nengok Maya. Ini aku bawain oleh-oleh, sekalian ini ada masakan juga. Rara yang bikin tadi pagi, cuma kebanyakan. Buat kamu sama Gaga," ujar Ayahku.

"Wah, makasih banyak. Jadi ngerepotin," ujar Om Haikal tak enak seraya menerima paper bag yang ayahku berikan. "Serius ini Rara yang masak?"

"Iya, Om," ujarku malu-malu.

"Masih SMP loh padahal tapi udah bisa masak," puji Om Haikal.

"Gimana lagi, Kal. Maya seudah ngambil S3 waktu itu ditawarin buat jadi dosen di KL, aku sama Rara gak mungkin ikut pindah ke sana. Jadi di rumah Rara yang bantu aku masak dan beresin rumah. Udah kebiasa aja sekarang, setiap hari Rara yang masak."

"Pinter banget. Nanti kamu pasti jadi istri yang baik kalau udah besar. Bisa masak dan ngurus rumah," puji Om Haikal lagi.

"Iya dong, anak perempuan harus bisa segalanya. Masak, beresin rumah, sekalipun nanti Rara akan bekerja, tetep dia harus bisa dasar-dasar kewajiban seorang istri," ujar ayahku bangga.

Begitulah ayahku, masih saja memaksakan tentang hidupku. Aku setuju seorang anak perempuan harus bisa memasak dan mengurus rumah. Tapi bekerja? Aku tidak tahu. Sebenarnya aku lebih ingin menjadi seorang istri yang mengurus anak dan suami di rumah dibandingkan harus bekerja.

Itulah impian masa SMPku, tidak muluk-muluk, sederhana saja, dan mungkin terdengar payah bagi sebagian orang. Tapi menjadi istri dan ibu yang baik bagi suami dan anak-anakku kelak, memang sudah menjadi impianku.

Terpopuler

Comments

Dewi Anggya

Dewi Anggya

mencintai secara diam² Rara

2025-06-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!