Bab 2: Jatuh Cinta di Usia 10 Tahun

Ketika itu, aku masih berusia sepuluh tahun...

"Kenapa nilai kamu masih seperti ini, Ra?" Ayahku menggeleng-gelengkan kepalanya dengan gusar sambil kedua matanya yang berbingkai kacamata cukup tebal memperhatikan nilai-nilaiku yang tertera di buku rapot yang baru saja ku terima.

Aku hanya bisa menunduk merasa bersalah. "Maaf, Yah," cicitku tak berani melihat ke arahnya.

"Bagaimana kamu bisa mengikuti jejak Ayah dan ibu untuk terjun di dunia pendidikan? Ibumu sekarang sedang berada di Kuala Lumpur, mengejar gelar S3nya. Ayah juga sedang menyusun disertasi. Ayah membimbing mahasiswa, memberikan seminar, melakukan banyak penelitian. Ayah dan Ibu punya nilai yang baik sejak seusia kamu. Tapi kenapa nilai-nilaimu malah seperti ini? Sudah cukup, mulai tahun ajaran baru, kamu harus ikut les privat."

"Tapi, aku 'kan sudah ikut bimbel, Yah?"

"Bimbel gak cocok sama kamu. Kita akan panggil guru privat saja ke rumah. Liburan kali ini, tidak ada pergi piknik atau apapun itu. Kamu harus belajar dengan rajin. Nilai kamu harus meningkat. Paham?"

Aku tak berani membantah, aku pun mengangguk patuh dengan air mata yang menggenang di pelupuk mataku. Aku kesal pada diriku sendiri, ayah dan ibuku sangat pintar. Mereka adalah dosen di universitas ternama. Sedangkan aku? Peringkatku di kelas saja tak pernah memasuki sepuluh besar. Setelah berjuang sangat keras, mengikuti bimbingan belajar setiap hari setelah pulang sekolah, tak bisa membuat nilaiku meningkat secara signifikan. Wajar jika ayahku kecewa padaku.

Tiba-tiba bel rumah terdengar berbunyi. Ayahku segera beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Aku pun segera menyeka air mataku dan berniat kembali ke kamar. Seperti yang dikatakan oleh ayahku barusan, aku tidak diizinkan untuk berlibur. Aku harus belajar meskipun sekarang liburan kenaikan kelas baru saja di mulai. Aku tak ingin membuat ayahku lebih kecewa dari ini.

"Ra, Rara," panggil ayahku saat aku akan menaiki tangga.

Aku pun urung menaiki tangga dan berbalik menuruni tangga dan memasuki ruang tamu. Aku melihat ada pria seusia ayahku berdiri di teras rumah kami, menghadap ke arah ayahku, sedangkan di sampingnya berdiri seorang anak laki-laki yang sepertinya seusia denganku.

Saat itu aku langsung tertegun. Kedua mata anak laki-laki itu menangkap kehadiranku dan saat itu seakan oksigen di sekitarku menghilang.

'ganteng...' lirihku dalam hati.

Jantungku berdetak kencang tiba-tiba. Belum pernah aku merasakan seperti ini sebelumnya.

Ayahku menyadari keberadaanku dan kemudian memintaku mendekat padanya. Aku pun melangkah dengan buku rapot yang aku peluk erat di dadaku untuk menahan gugupku.

"Kenalkan, Her. Ini anakku, namanya Gaga," ujar pria itu memperkenalkan putranya.

"Kenalkan juga, ini Rara, anakku. Ayo, Ra, kenalan sama Gaga," balas ayahku memperkenalkanku juga.

Gaga.

Matanya tajam dan tangannya mengulur kepadaku, dan tangan kami pun saling menjabat sesaat. Ia tidak tersenyum. Wajahnya judes sekali. Tapi entah bagaimana ia begitu menghipnotis.

"Ra, ini Om Haikal. Temen kuliah Ayah dulu. Rumah kosong di seberang ternyata di beli sama Om Haikal ini," terang ayahku.

Aku mengangguk dan menyalami tangan Om Haikal sambil berusaha menguasai diriku untuk tidak terlalu fokus pada Gaga.

"Jadi berdua aja di rumah depan, Kal?" tanya Ayahku. Aku dan Gaga hanya terdiam mendampingi orang tua kami.

"Iya Her. Setelah cerai, aku dapetin hak asuk Gaga. Jadi yah, berdua aja sekarang. Kamu masih sekarang ngajar di Universitas Ekadanta?"

Oh, jadi Om Haikal ini baru bercerai dari istrinya, pikirku. Sedikit ku merasa iba pada Gaga karena itu artinya ia tidak akan tinggal bersama dengan ibunya lagi.

"Masih, Kal. Maya juga masih, cuma dia lagi S3 dulu di KL sekarang. Jadi LDR-an dulu sekitar dua tahun ini. Kamu gimana, masih di pertambangan?"

"Udah gak akan balik ke sana lagi kayaknya, Her. Kasihan Gaga juga kalau aku balik ke Papua. Alhamdulillah sekarang aku udah dapat kerja di sini. Di pabrik cabang dari perusahaan yang sama dengan yang di Papua tempat kerja aku dulu. Cuma ya gajinya gak sebesar yang di sana. Yang penting bisa menghidupi aku sama Gaga."

"Jadi mulai dari awal ya semuanya. Semangat kalau gitu, Kal. Kalau ada apa-apa kamu ngomong aja. Kita tetanggaan sekarang. Jadi jangan sungkan."

Setelah itu tak lama Om Haikal dan Gaga pulang ke rumahnya. Aku pun pergi ke kamarku. Dari jendela kamar rumahku, aku bisa melihat ke arah rumah Gaga dengan sangat jelas. Aku juga melihat ia menempati kamar di lantai 2. Terlihat ia berlalu lalang di kamarnya yang belum dipasangi gorden.

Begitulah, siang itu, bukannya belajar, aku malah sibuk menatap ke arah rumah cinta pertamaku. Sepertinya liburan yang aku pikir akan menekanku dan akan membuatku bosan tidak akan terjadi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!