Hari itu sangat cerah dan tenang, namun berbeda dengan Enn.
"Apa yang terjadi denganku? Kenapa gusiku gatal sekali?!" gerutu Enn dalam hati. Ia terus-menerus menggigit jarinya sendiri, mencoba meredakan rasa tak nyaman yang muncul tiba-tiba di mulutnya.
Senna datang sambil membawa semangkuk bubur halus untuk makan siang Enn. Tapi begitu ia melihat si kecil di ranjang, ia langsung panik kecil.
“Nona Enn?!” panggil Senna saat melihat jari-jari mungil itu hampir seluruhnya masuk ke dalam mulut.
“Huekkk…” gumam Enn, kesal karena jarinya justru membuatnya mual.
Senna cepat-cepat mengangkat Enn dari ranjang dan menggendongnya.
"Ada apa, ya, dengan nona kecil kita hari ini?" tanyanya lembut sambil memeriksa mulut Enn.
“Kak Senna, kenapa mulutku seperti digelitiki? Gatal banget... rasanya aneh...” batin Enn dengan wajah cemberut, sambil tetap mencoba memasukkan jari-jarinya.
"Uguh... bleukk... weaeu..." celotehnya khas bayi terdengar lucu di telinga Senna.
Senna tertawa pelan, “Hmm… sepertinya, nona Enn akan segera tumbuh gigi, ya?”
Ia mengelus kepala Enn dengan lembut dan tersenyum, “Itu berarti nona Enn akan semakin besar.”
“Tumbuh gigi… ternyata sesulit ini, ya?” keluh Enn dalam hati, merasa hidupnya kini berubah hanya karena gigi mungil yang ingin muncul.
“Sekarang nona Enn harus makan buburnya dulu, ya… biar cepat besar, lebih besar dari Kak Senna,” goda Senna sambil menyodorkan sesendok bubur ke mulutnya.
Kabar itu langsung tersebar di seluruh penjuru Istana Everhart.
“Gigi pertama Nona Enn akan tumbuh!” — begitulah judul berita tidak resmi yang tiba-tiba heboh di antara para pelayan dan prajurit. Semua orang membicarakannya, dari dapur hingga halaman pelatihan.
Termasuk sang ayah, Duke Cedric Everhart.
Begitu mendengar kabar itu, ia langsung berlari menuju kamar Enn. Bajunya belum sempat diganti dari latihan, debu masih menempel di pelindung tangannya.
“Di mana putri ayah yang sudah tumbuh gigi?” serunya begitu membuka pintu kamar.
Matanya langsung tertumbuk pada Carolyn yang tengah menggendong Enn.
“Bagaimana giginya? Sudah keluar? Terlihat?” tanya Cedric cepat, nafasnya masih tersengal tapi postur tetap berwibawa.
Carolyn terkekeh kecil, “Hentikan, Cedric. Bertingkah seperti itu… seolah-olah sesuatu yang mendesak saja.”
“Kau berlari seperti sedang menyambut invasi kerajaan tetangga.”
Cedric menghela napas panjang dan menatap Enn dengan ekspresi dramatis, “Waktu berlalu terlalu cepat, nyonya. Putri kecil kita sudah besar…”
“Astaga.” Carolyn memutar bola matanya. “Kalau prajuritmu melihat ekspresi lebay itu, bisa pingsan mereka.”
Cedric malah makin mewek, memandang Enn dengan mata berkaca-kaca.
“Enn… jangan cepat besar, ya? Ayah ingin kau tetap seperti ini…”
Carolyn menggeleng sambil menahan tawa. Tapi reaksi Enn justru sebaliknya — wajahnya berubah murung.
“Kenapa Ayah malah menyuruhku tidak besar? Aku ingin cepat besar… biar nggak merepotkan siapa-siapa…”
Batin Enn lirih, wajahnya jadi sendu.
“Hm?” Carolyn mengerutkan dahi melihat ekspresi Enn.
“Sepertinya gusi yang gatal bikin suasana hati Enn nggak bagus, ya? Jangan ganggu dulu ya, Cedric,” kata Carolyn sambil menenangkan.
Cedric langsung panik, “Sakitkah? Haruskah Ayah panggil tabib? Atau dua? Atau…”
“Cedric.” Carolyn menatapnya datar. “Itu gigi. Anak bayi. Tumbuh. Hal biasa.”
Cedric menunduk seperti anak sekolah yang dimarahi.
“Sudahlah. Kau lebih baik kembali ke lapangan dan mandi,” tambah Carolyn, menjauh sembari memeluk Enn erat.
Cedric cemberut di ambang pintu, lalu akhirnya berbalik, “Ayah akan kembali sore nanti, jangan tumbuh dewasa dulu ya, Enn…”
“Aku hanya mau menggigit mainan, bukan tumbuh dewasa…” batin Enn sebal sambil menatap sendok bubur milik Senna yang menunggu di meja.
Hari itu, Duke Cedric memberikan perintah khusus kepada dapur istana.
“Siapkan bubur paling halus! Tanpa benjolan! Tanpa rasa! Tanpa apapun yang bisa menyakiti gusi putriku!” serunya panik.
Tapi sebelum koki sempat mengaduk panci, perintah itu dihentikan oleh satu suara tegas.
“Cedric, tidak perlu berlebihan.”
Carolyn berdiri di ambang dapur, tangan terlipat di dada.
“Ingat? Tabib sudah bilang. Justru lebih baik memberikan sesuatu yang keras tapi aman untuk digigit. Supaya gusinya terlatih.”
Cedric berdehem, tampak sedikit malu.
Ya, memang benar.
Tabib istana — yang dipanggil khusus hanya karena gumaman gumam Enn dan jejak liur di bantalnya — akhirnya datang juga hari itu. Namun seperti yang Carolyn perkirakan, tabib itu hanya memberikan beberapa nasihat ringan.
“Gusi yang gatal adalah bagian alami dari pertumbuhan. Cukup sediakan teether dari bahan lembut tapi padat. Tak perlu obat. Tak perlu ramuan.”
Begitu kata tabib dengan tenang, membuat Cedric kehilangan semangat dramatisnya.
Namun tetap saja, sang Duke belum puas.
“Kalau begitu kita buatkan mainan gigit khusus dari perak istimewa! Yang sudah diberkati!” serunya tiba-tiba.
Carolyn menatapnya datar.
“Dia bayi, Cedric. Bukan pendekar suci.”
...****************...
Sejak pagi itu, seluruh istana Everhart seperti memasuki status darurat nasional. Pasalnya, gigi pertama Baby Enn akan tumbuh, dan sang Duke telah mengeluarkan dekrit tak tertulis:
"Semua benda berbahaya menjauh dari radius dua meter dari Baby Enn, dan siapkan alat gigit terbaik di seluruh kerajaan!"
Pelayan-pelayan istana tampak sibuk berjalan mondar-mandir membawa benda aneh. Ada yang membawa boneka kain dari bahan lembut, ada yang memegang wortel rebus yang dibungkus kain linen bersih, bahkan ada satu pelayan yang menyeret potongan kayu pohon apel sambil berkata,
“Pohon apel simbol panjang umur, mungkin gigitannya juga bikin awet muda…”
Di tengah-tengah keramaian itu, Carolyn menatap semua adegan tersebut sambil memijit pelipis.
“Apa-apaan ini… siapa yang menyebarkan pengumuman ini?” gumamnya.
Salah satu pelayan menyahut dengan polos,
“Duke Cedric sendiri, Nyonya. Beliau mengatakan bahwa semua kepala harus bekerja sama demi menyelamatkan gusi kecil Baby Enn.”
Dan seakan menyahut panggilan itu, Duke Cedric muncul dengan langkah panjang dan mata berbinar.
“Nona Enn suka gigit? Baiklah. Ini!”
Ia mengeluarkan kotak perak kecil dari dalam jubahnya.
“Aku pesan khusus dari pandai perak ternama, terbuat dari campuran perak suci dan batu giok lembut. Sudah dibersihkan dengan air mata unicorn!” ucapnya penuh semangat.
Carolyn menatap benda itu.
“…Itu liontin, Cedric. Untuk digigit bayi?”
“Kenapa tidak? Sudah diuji pada anak kucing di kandang istana—”
“ASTAGA CEDRIC.” Carolyn menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Sementara itu, di ranjang kecilnya, Baby Enn masih meringkuk dengan gusinya yang terasa aneh. Ia menggigit ujung selimutnya, membuat sudutnya basah kuyup.
“Apa-apaan ini… aku cuma ingin gusi ini berhenti gatal. Kenapa semua orang malah membawa benda-benda aneh?!” batinnya.
Seketika seorang pelayan muncul membawa kain rajut berbentuk wortel besar.
“Baby Enn! Coba ini ya~ wortel lucu buat digigit!”
Enn menatapnya curiga.
Digigit…?
Ia ragu-ragu menggigit ujung wortel itu.
Lembut… ada teksturnya… tidak sakit…
“Uguuu—” gumamnya puas.
Seketika, seluruh pelayan bersorak.
“Dia suka!! Wortel menang!!”
Duke Cedric yang masih memegang liontin tampak kecewa.
“Hah… unicorn menangis sia-sia…”
Beberapa jam kemudian, suasana istana mulai tenang. Enn tertidur di pelukan Carolyn dengan ujung wortel lembut itu masih tergenggam di tangan kecilnya.
Carolyn menatap Cedric yang duduk di sisi tempat tidur mereka.
“Kau tahu… meskipun berlebihan, aku senang kau setulus itu menyambut gigi pertamanya.”
Cedric mengangguk pelan, menatap wajah putri kecil mereka.
“Karena setiap momen bersamanya… terlalu cepat berlalu. Hari ini gigi, besok mungkin sudah belajar jalan… dan lusa… mungkin sudah memutuskan menikah.”
Carolyn mendecak. “Cedric, dia baru tujuh bulan.”
Cedric menatapnya serius.
“Waktu berlalu cepat. Kita harus siap dari sekarang.”
Carolyn tertawa, lalu menyender di bahunya.
“Kau terlalu dramatis.”
Cedric hanya tersenyum tipis.
“Mungkin. Tapi lebih baik terlalu peduli, daripada tidak sempat melihat saat mereka tumbuh.”
Di tengah keributan mengenai gusi Enn yang menjadi isu nasional di Kerajaan Everhart, seseorang sedikit terabaikan dan terlupakan. Dia adalah Lionel.
Bocah kecil itu menatap jenuh orang-orang yang lalu-lalang keluar masuk kamar adiknya, Enn, sambil membawa benda-benda aneh yang entah untuk apa.
"Ada apa dengan semua orang? Bukankah itu hanya sebuah gigi kecil? Kenapa harus heboh seperti ini?" gerutu Lionel dengan kesal.
"Baguslah Nona Enn menyukai ide wortelmu. Sepertinya kau akan mendapatkan hadiah," puji salah seorang prajurit kepada koki istana yang keluar dengan senyum lebar.
"Hahaha... aku hanya teringat, setahun yang lalu cucuku juga gelisah karena gusinya. Kebetulan saat itu aku sedang memasak wortel, dan iseng-iseng kuberikan padanya. Ternyata dia menyukainya. Jadi aku pikir, mungkin saja Nona Enn juga akan menyukainya," ujar sang koki dengan nada merendah.
"Sudah-sudah, ayo kita kembali. Biarkan Nona Enn beristirahat," sahut pelayan lainnya.
Gerombolan pelayan dan prajurit pun segera meninggalkan kamar, tanpa menyadari keberadaan Lionel yang berdiri di sudut koridor.
Dengan hati-hati, Lionel mengendap-endap mendekati kamar Enn, berusaha agar tak ada yang menyadarinya. Ia sedikit melongokkan kepalanya ke dalam, ingin melihat keadaan sang adik.
Di sana, Enn tampak duduk manis di pangkuan Carolyn, menggigit wortel dengan penuh khidmat. Lionel memandangi pemandangan itu dalam diam, tanpa suara.
Lionel menatap Enn dengan tatapan polos sekaligus penasaran.
"Kenapa dengan gusimu? Apakah semenyebalkan itu saat tumbuh gigi?" tanya Lionel dengan perhatian tulus pada adiknya yang sedang menikmati wortelnya.
Enn melepaskan wortel dari mulut mungilnya. "Itu sangat sakit. Kau mungkin sudah lupa bagaimana rasanya jadi bayi, tapi aku masih mengingatnya dengan jelas. Hal paling menyakitkan adalah saat gigi mulai tumbuh. Aku tak bisa melakukan apa-apa... tubuhku terlalu kecil," keluh Enn dengan wajah serius.
"Uguhh... wayaahh... guagu... gugu... gahh... gauwaa..." celoteh Enn terdengar di telinga Lionel, berubah menjadi ocehan bayi yang tak dipahami siapa pun.
Lionel tersenyum kecil mendengar celotehan adiknya yang menggemaskan. Namun, detik berikutnya, ekspresinya berubah. Ia membuang pandangannya ke arah lain dengan wajah sebal.
"Aku masih kesal denganmu. Kau lebih memilih Ayah daripada aku," keluh Lionel, mengingat kejadian beberapa hari lalu saat mereka berada di lapangan latihan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments