Prang!
Suara pecahan vas bunga menggema, membelah keheningan rumah reyot yang dingin dan sunyi. Benda porselen itu menghantam lantai dengan keras, berhamburan menjadi kepingan kecil yang memantulkan cahaya matahari yang menembus celah-celah jendela reyot, menciptakan serpihan-serpihan cahaya yang terasa lebih tajam dari luka itu sendiri.
"Dasar anak bodoh!" Bentakan tajam itu meledak dengan suara penuh amarah, meluncur dari bibir seorang wanita paruh baya yang berdiri di sana, napas terengah-engah, wajah merah padam dipenuhi kekesalan yang hampir memecah jiwa.
Di hadapannya, seorang gadis kecil berlutut di lantai, tubuhnya gemetar. Tangannya yang kecil dan penuh luka lecet perlahan mengumpulkan pecahan kaca satu per satu, matanya yang kosong hanya menatap ke tanah. Bibirnya bergetar, suaranya hampir tak terdengar, seperti seseorang yang sudah terlalu lama terbiasa untuk tidak didengar. Bajunya yang lusuh dan sobek di beberapa bagian tampak seperti sisa-sisa kain yang sudah lama terlupakan oleh dunia. Tubuhnya kurus, jauh lebih kecil dari anak seusianya. Pada usia 15 tahun, ia tampak seperti anak berusia 10 tahun yang terlupakan, hanya ada di antara bayang-bayang kehidupan yang keras.
"Aku… aku minta maaf, Ibu," suaranya tercekat di tenggorokan, lemah dan terputus-putus, seolah setiap kata yang keluar terasa seperti pisau yang menusuk hatinya.
Sejak ia bisa mengingat, panggilannya hanya satu: Anak Sial.
Wanita itu bukan ibu kandungnya. Ia adalah ibu angkat—yang dulu, saat ia sakit, menyuapinya dengan penuh kasih, menyanyikan lagu pengantar tidur dengan lembut, dan menggenggam tangannya saat ia ketakutan pada petir yang mengguntur. Namun, semua itu berubah setelah sang ayah angkat meninggal. Cinta itu lenyap, digantikan kebencian yang tak ia mengerti, dendam yang bahkan ia tak tahu asal-usulnya.
Gadis kecil itu dipukuli tanpa ampun jika melakukan kesalahan sekecil apa pun—terlambat mencuci piring, menumpahkan air, bahkan hanya karena napasnya terdengar terlalu keras. Ia tak diberi makan berhari-hari. Luka-luka mencabik tubuhnya, namun ia tetap bertahan, percaya bahwa itu adalah bentuk cinta, meskipun kasar. Ia ingin percaya… karena itu satu-satunya bentuk "kasih sayang" yang ia kenal.
Hari-harinya dipenuhi kerja keras, membantu orang lain di ladang hanya untuk mendapatkan sedikit uang. Kadang-kadang, ia merasa kasihan pada dirinya sendiri, namun lebih sering ia merasa terasing dari dunia. Namun ada satu sosok yang berbeda. Seseorang yang masih melihatnya, meskipun dalam kesulitan.
"enn, kau tidak perlu bekerja keras seperti itu. Makanlah dulu, aku tahu ibumu tidak memberikanmu makanan yang layak. Anak seumuranmu seharusnya pergi ke sekolah, bukan bekerja di ladang seperti ini," ucap Bibi Violet dengan penuh keprihatinan, matanya yang lembut menatapnya penuh kasihan, seolah melihat sebuah nasib buruk yang tak seharusnya dialami seorang anak.
Vivienne, atau yang lebih sering dipanggil Enn, hanya tersenyum polos, matanya yang terlihat sedikit kosong, namun penuh tekad. Ia menggigit potongan makanan yang diberikan Bibi Violet, berusaha mengabaikan rasa lapar yang hampir tak tertahankan.
"Bibi Violet, aku bekerja ini bukan hanya untuk bertahan hidup, bersekolah hanya akan membuang-buang waktu. Lebih baik aku bekerja dan mendapatkan uang untuk makan," jawab Enn dengan suara pelan, namun tegas, sembari melanjutkan menyantap makanan yang ada di depannya.
Bibi Violet menggelengkan kepalanya, sebuah senyum penuh kesedihan menghiasi wajahnya. "Sudahlah, makan saja dulu. Aku akan pergi menanam tanaman di kebun," ucapnya dengan lembut, merasakan beban di hati Enn yang tak terungkapkan.
Enn hanya mengangguk, menerima nasihat itu dengan kebisuan yang lebih dalam dari sebelumnya. Matanya menatap piringnya, namun pikirannya melayang, terperangkap di dalam kenyataan yang tak bisa ia hindari.
Malam menjelang dengan angin dingin yang menusuk tulang, membelai rerumputan kering dan membuat jendela reyot berderit pelan. Langit muram, hanya dihiasi rembulan yang separuh tertutup awan gelap. Vivienne—atau yang biasa dipanggil Enn—baru saja pulang dari ladang dengan kaki lelah dan tangan menggenggam bungkusan kain berisi sisa makanan dari Bibi Violet.
Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara bentakan kasar dari kejauhan.
"Aku bosan dengan janji-janji kosongmu, Perempuan!"
Enn menajamkan pandangannya ke arah rumah. Di bawah cahaya remang lampu minyak yang menggantung di tiang kayu, ia melihat sosok ibunya—atau lebih tepatnya ibu angkat—dengan tubuh gemetar, sedang dipojokkan oleh seorang pria bertubuh besar berbalut mantel lusuh. Wajah pria itu merah padam, urat-urat di lehernya menegang.
"Utangmu makin menumpuk! Kau pikir aku ini badan amal?!"
Sebelum Enn bisa bereaksi, tangan besar pria itu mengayun, mendorong ibu angkatnya hingga tersungkur ke tanah dengan suara "duk!" yang memekakkan hati. Tubuh rapuh wanita itu terbanting ke tanah berbatu, rambutnya tergerai acak-acakan menutupi sebagian wajah.
"Ibu!" teriak Enn spontan, melepaskan bawaannya dan berlari secepat mungkin. Langkahnya menimbulkan gemeretak di atas kerikil. Tanpa pikir panjang, ia segera berlutut di samping ibu angkatnya, memapah tubuh kurus itu yang hanya mampu mengerang pelan.
"Ibu, bangun… kau tidak apa-apa?"
Wanita itu tak menjawab. Dengan susah payah, ia mengangkat wajahnya yang pucat dan berkata terbata-bata pada pria tadi, "T-Tuan… saya mohon… beri saya waktu… lusa. Hanya sampai lusa. Saya akan bayar semua hutang saya… demi Tuhan…"
Pria itu menatap dengan tatapan tajam bagai belati. Ia mendekat, lalu mencengkeram kerah bajunya sendiri seolah ingin menahan amarah yang hampir meledak.
"Baik," gumamnya akhirnya, suaranya dingin. "Lusa. Jika sampai lewat dari itu, jangan salahkan aku kalau kau kehilangan lebih dari sekadar rumah bobrok ini."
Matanya sempat melirik Enn sekilas—mata yang kelam dan penuh perhitungan. Kemudian ia berbalik dan berjalan menjauh, sepatu botnya menghentak tanah dengan berat.
Suasana kembali hening, hanya tersisa suara napas tersengal ibu angkatnya dan detak jantung Enn yang memburu. Gadis itu menggenggam erat tangan ibunya, yang terasa dingin dan bergetar.
Rumah reyot itu kembali sunyi. Setelah pria penagih utang pergi, ibu angkat Enn hanya duduk termenung di pojok ruangan. Tatapannya kosong menembus dinding kayu, dan sesekali ia menahan batuk yang dalam. Enn duduk tak jauh darinya, mengompres luka di pelipis sang ibu dengan kain basah seadanya.
"Ibu… aku bisa bekerja lebih banyak," gumam Enn dengan nada lembut. "Kalau aku pergi ke ladang lebih pagi, dan ambil kerja tambahan di kebun milik Pak Toma, mungkin kita bisa bayar sedikit demi sedikit…"
Ibu angkatnya hanya diam. Tatapannya jatuh ke lantai, ke arah bungkusan nasi yang tadi diberikan Bibi Violet.
Tanpa mengucap sepatah kata pun, malam itu ibu angkatnya masuk kamar dan menutup pintu. Tak lama, terdengar suara pelan—percakapan samar di balik tembok, diselingi suara uang yang dihitung dan sesuatu yang ditandatangani. Tapi Enn terlalu lelah dan mengira itu hanya suara angin malam. Ia meringkuk di sudut ruangan, memeluk lututnya, dan tertidur dalam kelaparan seperti malam-malam sebelumnya.
Keesokan paginya…
Suara derap kaki kuda dan derit roda kayu membangunkan Enn dari tidurnya. Ia membuka mata perlahan, mengucek matanya, lalu mengintip dari balik jendela kecil.
Di depan rumah... berdiri sebuah kereta kuda hitam. Bersih, mengilap, dan asing—sangat kontras dengan rumah tua yang nyaris runtuh itu. Seorang pria berpakaian rapi turun dari kereta, membuka pintu dengan sikap sopan namun tegas. Di belakangnya, berdiri dua orang penjaga berpakaian serba hitam dengan wajah tanpa ekspresi.
"Ibu… siapa mereka?" tanya Enn lirih, jantungnya mulai berdebar. Tapi ibunya tak menjawab.
Perempuan itu berjalan pelan ke arah Enn dan menggenggam tangannya. Ada yang aneh dari caranya menatap gadis itu kali ini—bukan kemarahan, bukan kebencian. Tapi… rasa bersalah.
"Enn… kamu gadis yang kuat. Hidupmu akan lebih baik dari rumah ini," ucapnya pelan.
Sebelum Enn bisa bertanya apa maksudnya, dua tangan besar mencengkeram lengannya dari belakang. Ia meronta, bingung, dan panik.
"Apa ini?! Lepaskan aku!" teriaknya.
"Aku minta maaf… aku tak punya pilihan lain…" suara ibunya terdengar parau, hampir berbisik. "Mereka membayar semua utangku. Mereka akan memberimu rumah, makanan, dan masa depan."
"Tidak! Ibu—aku bukan barang dagangan!" air mata mulai membasahi pipi Enn, tubuhnya bergetar. Tapi para penjaga itu terlalu kuat. Mereka menyeretnya menuju kereta, membungkam suaranya dengan kain, lalu mendorongnya masuk ke dalam tanpa penjelasan apa pun.
Dari dalam kereta, Enn sempat melihat ibunya berdiri kaku, wajahnya tak menoleh sedikit pun. Hanya diam. Hanya membiarkan.
Dan dalam sekejap, kereta itu mulai melaju, meninggalkan desa kumuh itu bersama satu-satunya dunia yang pernah dikenalnya.
Udara di dalam gudang itu bau anyir dan lembap. Cahaya nyaris tak masuk, kecuali dari sela-sela papan kayu yang bolong. Di dalamnya, puluhan anak-anak duduk diam, sebagian menangis tertahan, sebagian hanya memeluk lutut, pasrah dalam sunyi yang menyayat.
Enn duduk menyandar pada tumpukan karung goni busuk. Di sampingnya, bocah laki-laki itu—berusia tak jauh darinya—membisu, tatapannya kosong menatap lantai.
Dia tidak pernah menyebutkan namanya. Tidak bicara, tidak meminta apa-apa. Tapi setiap kali Enn membagi jatah rotinya yang kering, bocah itu hanya mengangguk pelan, lalu memakannya dengan perlahan seakan sedang menghormati kebaikan terakhir di dunia ini.
"Kenapa kamu nggak pernah ambil jatah makananmu sendiri?" tanya Enn lirih suatu hari.
Anak laki-laki itu hanya menoleh sejenak. "Karena aku tahu… mereka tidak akan memberiku apa-apa," gumamnya.
Hari-hari di gudang itu adalah penderitaan yang sunyi. Anak-anak kadang diambil satu-satu, dibawa keluar oleh pria-pria berbaju gelap—dan tak pernah kembali lagi.
Enn mulai mengerti. Mereka bukan ditampung. Mereka dijual. Untuk apa—Enn tidak bisa membayangkan, tapi satu yang ia tahu, tubuh mereka diperlakukan seperti benda.
Malam itu...
Langit mendung sejak siang, dan malam turun lebih cepat dari biasanya. Tapi malam ini… tidak biasa.
Tiba-tiba, teriakan pecah dari luar gudang.
> “Api! Kebakaran! Cepat keluar!!”
Anak-anak terbangun, panik, tubuh-tubuh kurus mereka saling bertubrukan dalam gelap. Asap mulai masuk dari bawah pintu. Bau terbakar dan suara kayu patah menyebar. Jeritan mulai terdengar di luar—bukan hanya orang dewasa, tapi juga anak-anak.
Enn berdiri dengan gemetar. Tangannya meraba dinding mencari jalan keluar.
“Ayo! Kita harus keluar!” serunya. Ia menoleh ke bocah laki-laki itu yang masih duduk, wajahnya pucat tertutup bayang api yang memerah dari sela dinding.
Tapi bocah itu hanya menatap Enn, lalu menggeleng pelan.
> “Enn… sudahlah… Apa yang kamu harapkan dari dunia ini?”
"Apa maksudmu?! Kita harus hidup! Ibu… ibu ingin aku hidup, dia ingin aku punya masa depan!” isak Enn, suara tangisnya pecah, mengguncang bahunya sendiri. Ia tak peduli lagi pada luka di kakinya, pada darah di siku yang pecah saat ia tersungkur sebelumnya.
> “Mereka tidak peduli pada kita, Enn. Di mata mereka… kita cuma potongan daging. Barang yang dijual. Kalau bukan api yang membakar kita, mereka yang akan menghancurkan kita. Di luar sana—tidak ada yang menunggu.”
Tapi Enn menggeleng keras. “Aku ingin hidup! Aku tidak mau mati di sini! Hiks… Ibu… Ibu…”
Tangisnya kian membuncah. Anak laki-laki itu menarik tubuhnya ke dalam pelukan, erat, seakan ingin membungkusnya dari dunia yang kejam.
> “Tenang… pejamkan matamu, Enn. Berdoalah pada Tuhan… mungkin kehidupan kita selanjutnya akan lebih baik dari ini,” ucapnya dengan suara bergetar.
Api mulai menjilat sisi-sisi gudang. Asap tebal masuk menusuk hidung, membuat napas sesak. Anak-anak lain berteriak, beberapa mencoba memanjat dinding, lainnya jatuh tersungkur dengan tubuh terbakar.
Enn memejamkan matanya. Napasnya tersengal. Air matanya bercampur debu dan asap.
> “S-sa… sakit… panas…” gumamnya, tubuhnya menggigil saat api menyentuh kakinya. Ia ingin menjerit, tapi suara tertelan oleh batuk keras dan rintih perih.
Bocah laki-laki itu masih memeluknya, tubuhnya sendiri mulai terbakar, tapi ia tak melepaskan pelukannya.
> “Tenang, Enn… ini akan segera berakhir,” bisiknya lembut, walau tubuhnya sendiri sudah tak sanggup menahan nyeri.
Enn mencoba membuka mata untuk terakhir kalinya, dan dalam pandangan kabur, ia melihat sosok bocah itu—wajahnya hangus, tapi matanya masih menatapnya dengan tenang.
Dan saat api akhirnya menyelimuti mereka berdua, kesadaran Enn perlahan memudar—dibawa pergi dalam keheningan yang hangus dan gelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Lala Kusumah
tragis
2025-09-08
0
Elisabeth Ratna Susanti
keren nih 🥰
2025-08-23
1