Teka-teki Forensik

Teka-teki Forensik

Bayangan di Rel Kereta

Suasana senja menyelimuti taman bermain kecil itu. Cahaya matahari sore memantul dari ayunan yang kosong, menciptakan pantulan-pantulan emas yang bergoyang perlahan. Aroma tanah basah dan rerumputan segar memenuhi udara. Arthur duduk di bangku taman, mengamati sepasang sepatu kets putih mungil yang berlarian di antara kumpulan anak-anak. Sepatu itu tampak begitu familiar.

Gadis kecil itu, dengan rambut hitam yang tergerai dan tawa yang renyah, berlari mengejar bola berwarna merah menyala. Ia berlari dengan lincah, tanpa beban, kegembiraannya meluap-luap. Arthur tersenyum, menarik napas dalam-dalam, mencoba mengingat detail-detail kecil yang terasa sangat nyata. Bola merah itu melenting, mengarah ke dekat rel kereta api yang berada tak jauh dari taman bermain.

"Jangan berlari terlalu cepat, Athena!" suara itu terdengar begitu dekat, namun juga agak sayup. Arthur merasakan sebuah kegelisahan yang mulai tumbuh dalam dirinya.

Gadis itu, Athena, menoleh sesaat, lalu melanjutkan larinya, tawanya menggema di antara pohon-pohon rindang. Wajahnya ceria, namun Arthur bisa melihat bola merah itu sudah sangat dekat dengan rel kereta.

"Athena!" Arthur berteriak, suaranya lebih keras kali ini, namun masih terasa sayup.

Athena, terlalu asyik mengejar bola, tidak mendengar seruan Arthur. Ia terus berlari, menuju arah rel kereta. Bola merah itu berhenti tepat di dekat rel. Athena menunduk untuk mengambilnya.

Deru kuat menyeruak. Arthur menoleh. Sebuah kereta api mengarung cepat menuju arah Athena yang masih membungkuk di dekat rel. Suara deru yang menakutkan semakin dekat, menciptakan getaran yang menyeramkan di udara. Arthur berteriak, namun suaranya tersangkut di tenggorokannya. Ia ingin berlari, menarik Athena, menyelamatkannya. Namun tubuhnya terasa berat, tak berdaya. Ia hanya bisa menyaksikan semua itu terjadi dengan tatapan yang dipenuhi ketakutan dan penyesalan.

Sebuah ledakan kuat. Sebuah rasa sakit menghantam tubuhnya. Arthur merasa semua sesuatu berputar. Gelap.

Arthur terbangun, keringat dingin membasahi dahinya. Detak jantungnya berpacu kencang. Ia masih bisa merasakan aroma tanah basah dan rumput segar, dan gema tawa Athena yang kini berubah menjadi jeritan. Ia mengepalkan tangannya, mencoba untuk mengumpulkan potongan-potongan kenangan itu. Kenangan... atau mimpi? Ia masih belum pasti.

Mimpi itu bukanlah mimpi biasa. Itu lebih seperti sebuah kenangan yang terpotong-potong, fragmen-fragmen yang terus berulang di benaknya selama beberapa tahun terakhir. Sepatu kets putih mungil itu, tawa Athena, bola merah yang mengarah ke rel kereta. Gambar-gambar itu selalu muncul secara tiba-tiba, menyertai suara deru kereta dan rasa bersalah yang mendalam.

Ia meraba kepala, merasa seakan-akan ada luka yang membekas di pelipisnya. Luka yang memudar namun selalu muncul kembali ketika ia mengingat mimpi itu. Ia tahu ada sesuatu yang salah, sesuatu yang ia hilangkan. Sesuatu yang ia harus ingat.

Sebuah erangan tertahan lolos dari bibir Arthur. Ia menggenggam rambutnya, jari-jarinya mencengkeram kulit kepala dengan kuat. Kepalanya terasa berdenyut hebat, seakan-akan akan pecah. Ia memukul-mukul pelipisnya dengan kasar, suara tumpul itu mencampur dengan erangan yang semakin keras. "Sialan, sialan… Athena, maaf, maaf, maaf," gumamnya, kata-kata itu terdengar putus-putus, diselingi oleh napas yang terengah-engah. Tubuhnya bergetar, dipenuhi oleh suatu rasa frustrasi yang tak tertahankan. Rasa bersalah itu mencengkeram hatinya dengan erat, mencekiknya hingga sesak napas. Ia merasa terjebak dalam lingkaran setan yang tak kunjung berakhir. Ia ingin menarik waktu ke belakang, mengubah segala sesuatu. Namun, ia hanya bisa menatap kekosongan, dihantui oleh kenangan yang terpotong-potong itu. Kenangan yang membuatnya merasa salah, salah, salah.

Ia jatuh lemas di lantai, tubuhnya bergetar tak terkendali. Aroma tanah basah dan rumput segar dari mimpi itu masih tertinggal, mengingatkan ia pada kenangan yang tak ingin ia lupakan, namun juga tak mampu ia hadapi. Ia hanya bisa berharap untuk menemukan sebuah jawaban, sebuah kepastian, sebelum rasa bersalah itu benar-benar menghancurkannya.

Waktu terasa berjalan lambat. Arthur terkulai di lantai, merasakan sakit yang menusuk di pelipisnya. Ia mencoba untuk bangun, namun tubuhnya terasa sangat lemah. Cahaya matahari sore menembus jendela kantornya, menciptakan bayangan yang menyeramkan di lantai. Keheningan yang mencengkam hanya diisi oleh suara napasnya yang terengah-engah.

Sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Bunyi ketukan itu terasa sangat jauh, seaakan terdengar dari dunia lain. Ia tidak berusaha untuk menjawab. Ia hanya ingin sendiri. Ia ingin melepaskan rasa bersalah yang mencekiknya.

Langkah kaki mendekat. Pintu terbuka. Seorang wanita memasuki ruangan. Rambutnya yang hitam terikat rapi, menunjukkan sikap profesionalnya. Ia mengenakan jas laboratorium putih yang bersih, menunjukkan profesinya sebagaimana profesinya. Arthur mengenalnya. Reyna. Analis forensik yang sering bekerja sama dengannya. Namun, hubungan kerja mereka hanya sebatas itu. Hubungan yang dingin dan formal.

Suasana kantor yang sepi dan gelap membuat Reyna merasa tidak nyaman. Ia ingin membahas beberapa kasus dengan Arthur, namun suasana ini terasa ganjil. Ia memandang Arthur yang masih terbaring lemas di lantai. Wajah Arthur tampak pucat, dan keringat masih membasahi dahinya. Reyna merasa khawatir. Ia hendak mendekat, namun…

"Keluar," Arthur berkata, suaranya datar, dingin, tanpa sedikitpun rasa hangat. "Aku tidak pernah menyuruhmu untuk masuk."

"Tapi ada hal—" Reyna memulai, namun kalimatnya terpotong oleh suara Arthur yang semakin dingin dan keras.

"Aku bilang keluar, sialan!" suara Arthur bukanlah teriakan, namun intonasinya cukup tajam untuk membuat Reyna tersentak. Ia langsung mundur selangkah, sebelum akhirnya menutup pintu dengan hati-hati dan meninggalkan Arthur sendirian.

Seketika itu juga, Arthur mengerang keras, kepalanya kembali berdenyut hebat. Frustasi menggelegak di dalam dirinya, membuatnya merasa ingin menghancurkan segala sesuatu. Kehadiran Reyna, walaupun hanya sebentar, menimbulka sesuatu di dalam dirinya; sebuah campuran antara ketidaknyamanan dan sesuatu yang lebih dalam. Ia tidak tahu apa itu.

"Wanita sialan itu," gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. "Wajah menyebalkannya selalu menggangguku. Kenapa aku harus bekerja sama dengan dia…" Ia memejamkan mata erat, mencoba untuk menyingkirkan gambar wajah Reyna dari pikirannya. Namun, gambar itu justru semakin jelas, mencampur dengan bayangan mimpi buruknya tadi. Bayangan Athena. Aroma tanah basah dan rumput segar kembali terasa di hidungnya, mengusik rasa bersalah yang mendalam. Ia merasa terjebak. Terjebak dalam lingkaran kenangan dan rasa bersalah yang tak kunjung berakhir. Dan kehadiran Reyna hanya membuat segalanya menjadi lebih rumit.

Sementara itu, Reyna menutup pintu ruangan Arthur perlahan, suara tumpul itu menciptakan suara yang mencolok dalam keheningan kantor. Ia kembali ke mejanya, langkah kakinya terasa berat. Ia duduk di kursi rotan tua itu, dan mengeluarkan sebuah helaan nafas panjang. Rasa kesal bercampur dengan kecemasan mengusik di dalam hatinya.

Alisnya berkerut. "Ugh, pria itu selalu seperti itu," gumamnya, suaranya hanya terdengar oleh telinganya sendiri. "Seharusnya dia dirawat di rumah sakit saja jika punya gangguan mental seperti itu… Kenapa aku harus bekerja sama dengan dia?" Ia menggerutu kesal, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan irama yang tidak teratur. Ia tahu Arthur adalah detektif yang cerdas dan berbakat, namun sikapnya yang dingin dan menghindar itu selalu membuatnya kesal. Apalagi hari ini, keadaannya tampak jauh lebih buruk. Wajah Arthur yang pucat dan tatapan matanya yang kosong masih terbayang di benaknya. Itu membuatnya khawatir.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!