NovelToon NovelToon

Teka-teki Forensik

Bayangan di Rel Kereta

Suasana senja menyelimuti taman bermain kecil itu. Cahaya matahari sore memantul dari ayunan yang kosong, menciptakan pantulan-pantulan emas yang bergoyang perlahan. Aroma tanah basah dan rerumputan segar memenuhi udara. Arthur duduk di bangku taman, mengamati sepasang sepatu kets putih mungil yang berlarian di antara kumpulan anak-anak. Sepatu itu tampak begitu familiar.

Gadis kecil itu, dengan rambut hitam yang tergerai dan tawa yang renyah, berlari mengejar bola berwarna merah menyala. Ia berlari dengan lincah, tanpa beban, kegembiraannya meluap-luap. Arthur tersenyum, menarik napas dalam-dalam, mencoba mengingat detail-detail kecil yang terasa sangat nyata. Bola merah itu melenting, mengarah ke dekat rel kereta api yang berada tak jauh dari taman bermain.

"Jangan berlari terlalu cepat, Athena!" suara itu terdengar begitu dekat, namun juga agak sayup. Arthur merasakan sebuah kegelisahan yang mulai tumbuh dalam dirinya.

Gadis itu, Athena, menoleh sesaat, lalu melanjutkan larinya, tawanya menggema di antara pohon-pohon rindang. Wajahnya ceria, namun Arthur bisa melihat bola merah itu sudah sangat dekat dengan rel kereta.

"Athena!" Arthur berteriak, suaranya lebih keras kali ini, namun masih terasa sayup.

Athena, terlalu asyik mengejar bola, tidak mendengar seruan Arthur. Ia terus berlari, menuju arah rel kereta. Bola merah itu berhenti tepat di dekat rel. Athena menunduk untuk mengambilnya.

Deru kuat menyeruak. Arthur menoleh. Sebuah kereta api mengarung cepat menuju arah Athena yang masih membungkuk di dekat rel. Suara deru yang menakutkan semakin dekat, menciptakan getaran yang menyeramkan di udara. Arthur berteriak, namun suaranya tersangkut di tenggorokannya. Ia ingin berlari, menarik Athena, menyelamatkannya. Namun tubuhnya terasa berat, tak berdaya. Ia hanya bisa menyaksikan semua itu terjadi dengan tatapan yang dipenuhi ketakutan dan penyesalan.

Sebuah ledakan kuat. Sebuah rasa sakit menghantam tubuhnya. Arthur merasa semua sesuatu berputar. Gelap.

Arthur terbangun, keringat dingin membasahi dahinya. Detak jantungnya berpacu kencang. Ia masih bisa merasakan aroma tanah basah dan rumput segar, dan gema tawa Athena yang kini berubah menjadi jeritan. Ia mengepalkan tangannya, mencoba untuk mengumpulkan potongan-potongan kenangan itu. Kenangan... atau mimpi? Ia masih belum pasti.

Mimpi itu bukanlah mimpi biasa. Itu lebih seperti sebuah kenangan yang terpotong-potong, fragmen-fragmen yang terus berulang di benaknya selama beberapa tahun terakhir. Sepatu kets putih mungil itu, tawa Athena, bola merah yang mengarah ke rel kereta. Gambar-gambar itu selalu muncul secara tiba-tiba, menyertai suara deru kereta dan rasa bersalah yang mendalam.

Ia meraba kepala, merasa seakan-akan ada luka yang membekas di pelipisnya. Luka yang memudar namun selalu muncul kembali ketika ia mengingat mimpi itu. Ia tahu ada sesuatu yang salah, sesuatu yang ia hilangkan. Sesuatu yang ia harus ingat.

Sebuah erangan tertahan lolos dari bibir Arthur. Ia menggenggam rambutnya, jari-jarinya mencengkeram kulit kepala dengan kuat. Kepalanya terasa berdenyut hebat, seakan-akan akan pecah. Ia memukul-mukul pelipisnya dengan kasar, suara tumpul itu mencampur dengan erangan yang semakin keras. "Sialan, sialan… Athena, maaf, maaf, maaf," gumamnya, kata-kata itu terdengar putus-putus, diselingi oleh napas yang terengah-engah. Tubuhnya bergetar, dipenuhi oleh suatu rasa frustrasi yang tak tertahankan. Rasa bersalah itu mencengkeram hatinya dengan erat, mencekiknya hingga sesak napas. Ia merasa terjebak dalam lingkaran setan yang tak kunjung berakhir. Ia ingin menarik waktu ke belakang, mengubah segala sesuatu. Namun, ia hanya bisa menatap kekosongan, dihantui oleh kenangan yang terpotong-potong itu. Kenangan yang membuatnya merasa salah, salah, salah.

Ia jatuh lemas di lantai, tubuhnya bergetar tak terkendali. Aroma tanah basah dan rumput segar dari mimpi itu masih tertinggal, mengingatkan ia pada kenangan yang tak ingin ia lupakan, namun juga tak mampu ia hadapi. Ia hanya bisa berharap untuk menemukan sebuah jawaban, sebuah kepastian, sebelum rasa bersalah itu benar-benar menghancurkannya.

Waktu terasa berjalan lambat. Arthur terkulai di lantai, merasakan sakit yang menusuk di pelipisnya. Ia mencoba untuk bangun, namun tubuhnya terasa sangat lemah. Cahaya matahari sore menembus jendela kantornya, menciptakan bayangan yang menyeramkan di lantai. Keheningan yang mencengkam hanya diisi oleh suara napasnya yang terengah-engah.

Sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Bunyi ketukan itu terasa sangat jauh, seaakan terdengar dari dunia lain. Ia tidak berusaha untuk menjawab. Ia hanya ingin sendiri. Ia ingin melepaskan rasa bersalah yang mencekiknya.

Langkah kaki mendekat. Pintu terbuka. Seorang wanita memasuki ruangan. Rambutnya yang hitam terikat rapi, menunjukkan sikap profesionalnya. Ia mengenakan jas laboratorium putih yang bersih, menunjukkan profesinya sebagaimana profesinya. Arthur mengenalnya. Reyna. Analis forensik yang sering bekerja sama dengannya. Namun, hubungan kerja mereka hanya sebatas itu. Hubungan yang dingin dan formal.

Suasana kantor yang sepi dan gelap membuat Reyna merasa tidak nyaman. Ia ingin membahas beberapa kasus dengan Arthur, namun suasana ini terasa ganjil. Ia memandang Arthur yang masih terbaring lemas di lantai. Wajah Arthur tampak pucat, dan keringat masih membasahi dahinya. Reyna merasa khawatir. Ia hendak mendekat, namun…

"Keluar," Arthur berkata, suaranya datar, dingin, tanpa sedikitpun rasa hangat. "Aku tidak pernah menyuruhmu untuk masuk."

"Tapi ada hal—" Reyna memulai, namun kalimatnya terpotong oleh suara Arthur yang semakin dingin dan keras.

"Aku bilang keluar, sialan!" suara Arthur bukanlah teriakan, namun intonasinya cukup tajam untuk membuat Reyna tersentak. Ia langsung mundur selangkah, sebelum akhirnya menutup pintu dengan hati-hati dan meninggalkan Arthur sendirian.

Seketika itu juga, Arthur mengerang keras, kepalanya kembali berdenyut hebat. Frustasi menggelegak di dalam dirinya, membuatnya merasa ingin menghancurkan segala sesuatu. Kehadiran Reyna, walaupun hanya sebentar, menimbulka sesuatu di dalam dirinya; sebuah campuran antara ketidaknyamanan dan sesuatu yang lebih dalam. Ia tidak tahu apa itu.

"Wanita sialan itu," gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. "Wajah menyebalkannya selalu menggangguku. Kenapa aku harus bekerja sama dengan dia…" Ia memejamkan mata erat, mencoba untuk menyingkirkan gambar wajah Reyna dari pikirannya. Namun, gambar itu justru semakin jelas, mencampur dengan bayangan mimpi buruknya tadi. Bayangan Athena. Aroma tanah basah dan rumput segar kembali terasa di hidungnya, mengusik rasa bersalah yang mendalam. Ia merasa terjebak. Terjebak dalam lingkaran kenangan dan rasa bersalah yang tak kunjung berakhir. Dan kehadiran Reyna hanya membuat segalanya menjadi lebih rumit.

Sementara itu, Reyna menutup pintu ruangan Arthur perlahan, suara tumpul itu menciptakan suara yang mencolok dalam keheningan kantor. Ia kembali ke mejanya, langkah kakinya terasa berat. Ia duduk di kursi rotan tua itu, dan mengeluarkan sebuah helaan nafas panjang. Rasa kesal bercampur dengan kecemasan mengusik di dalam hatinya.

Alisnya berkerut. "Ugh, pria itu selalu seperti itu," gumamnya, suaranya hanya terdengar oleh telinganya sendiri. "Seharusnya dia dirawat di rumah sakit saja jika punya gangguan mental seperti itu… Kenapa aku harus bekerja sama dengan dia?" Ia menggerutu kesal, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan irama yang tidak teratur. Ia tahu Arthur adalah detektif yang cerdas dan berbakat, namun sikapnya yang dingin dan menghindar itu selalu membuatnya kesal. Apalagi hari ini, keadaannya tampak jauh lebih buruk. Wajah Arthur yang pucat dan tatapan matanya yang kosong masih terbayang di benaknya. Itu membuatnya khawatir.

Kalung Liontin

Setelah beberapa saat, Arthur perlahan bangun. Kepalanya masih terasa berdenyut, namun rasa sakitnya mulai mereda. Ia berdiri, tubuhnya masih terasa lemah, dan berjalan tertatih ke mejanya. Di atas meja yang berantakan, terletak sebuah kalung liontin kecil berwarna hijau tua, terbuat dari batu giok. Sentuhan jari-jarinya pada liontin itu memicu sebuah arus kenangan.

Cahaya matahari sore menerpa wajah mereka. Arthur dan Athena berjalan berdampingan di sebuah pameran makanan dan kerajinan tangan. Suasana ramai dan meriah mengelilingi mereka, namun Arthur hanya memusatkan perhatiannya pada sebuah toko kecil yang menjual berbagai macam perhiasan. Matanya tertuju pada sebuah liontin berwarna hijau muda, batu giok yang berkilauan indah di bawah cahaya matahari. Sungguh indah, pikirnya. Sangat cocok untuk Athena.

Athena, yang masih kecil, memperhatikan Arthur yang mengamati liontin tersebut. "Kau suka liontin itu?" tanyanya polos.

"Ya, aku suka…" Arthur menjawab, suaranya agak gemetar. "Liontin ini cantikkan?"

Athena hanya mengangguk. "Ya, itu cantik. Kamu mau membelinya?"

Arthur berpikir sesaat, tatapannya tertuju pada Athena, pada lehernya yang terlihat rapi. Ia mengambil liontin itu dan mendekati penjaga toko, membelinya tanpa banyak bicara. Beberapa saat kemudian, ia kembali ke samping Athena. "Pejamkan matamu sebentar…"

Athena bingung, namun menurut. Ia memejamkan matanya, sesekali tersenyum kecil ketika merasakan sesuatu dingin dan halus menyentuh lehernya.

"Sekarang buka matamu."

Athena membuka matanya. Liontin hijau muda itu kini melingkar di lehernya. Matanya membesar. "...Ini… ini untukku?"

Arthur mengangguk. Seketika, mata Athena berbinar. Ia langsung memeluk Arthur dengan polosnya. Pelukan yang tiba-tiba itu membuat wajah Arthur memerah. Ia gugup, namun perlahan tangannya terangkat, membalas pelukan itu.

Kenangan itu berakhir. Arthur kembali ke ruang kantornya, tangannya masih menggenggam erat liontin giok itu. Ia mencengkeramnya dengan sangat kuat, seakan-akan ingin mempertahankan kenangan itu agar tidak pernah hilang. Sebuah erangan tertahan lolos dari bibirnya. "Ah… kenapa aku seperti ini lagi…" gumamnya, suaranya penuh keputusasaan. Ia memukul kepalanya dengan pelan, mencoba mengusir bayangan-bayangan yang masih menghantuinya. Namun, kenangan itu terus berputar di benaknya, membuatnya semakin frustasi. Ia menarik napas panjang dan perlahan, mencoba untuk menenangkan dirinya.

Tiba-tiba, suara rintik hujan menembus keheningan kantor. Awalnya hanya suara yang halus, menemani keheningan yang menyelimuti ruangan. Namun perlahan, suara hujan itu semakin keras, menghujam telinganya seperti serangan yang terus-menerus. Tetesan hujan membentur jendela, menciptakan irama yang menganggu. Cahaya matahari sore yang sebelumnya masih tampak jelas, kini semakin redup, diganti oleh gelapnya awan hujan yang menyelimuti kota.

Kilatan petir menembus gelapnya awan, menciptakan cahaya yang tajam dan sementara. Seketika, ruangan terang benderang, menunjukkan betapa berantakannya meja kerja Arthur. Lalu, hanya dalam sekejap, gelap kembali menyelimuti ruangan, diikuti oleh guruh yang sangat keras. Bunyi guruh itu bergema di seluruh ruangan, bergetar hingga ke tulang sumsum Arthur. Hujan terus turun dengan derasnya, menciptakan suara deru yang menakutkan. Suasana di dalam kantor menjadi sangat menakutkan, menyerupai suasana di dalam mimpi buruknya tadi. Arthur merasa semakin takut, semakin tertekan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan dirinya, namun rasa takut itu terus mengusik di dalam hatinya, mengingatkannya pada suara deru kereta api dan teriakan Athena. Ia memejamkan mata erat, mencoba untuk menghilangkan segala sesuatu, namun tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali menunggu hujan itu berhenti, menunggu kegelapan itu berlalu.

Arthur memutuskan untuk menyimpan liontin giok itu ke dalam laci mejanya. Ia membuka laci, menarik napas dalam-dalam, dan hendak memasukkan liontin itu ke dalam kotak perhiasan kecil yang sudah disiapkannya. Tiba-tiba, kilatan petir yang sangat terang menembus jendela, disusul oleh guruh yang sangat keras. Guntur itu begitu dahsyat, menghentak seluruh tubuhnya. Namun, di dalam pikirannya, bunyi guruh itu berubah menjadi suara kereta api yang menabrak sesuatu… suara yang sangat familiar dan mengerikan.

Dunia di sekitarnya berputar. Ia merasakan diri terlempar ke dalam sebuah dunia lain. Dunia yang dipenuhi dengan suara teriakan dan aroma darah. Ia berada di taman bermain itu lagi, di dekat rel kereta api. Namun, kali ini, segalanya berbeda. Kecelakaan itu terjadi lagi. Ia melihat semuanya dengan jelas, dengan kejelasan yang menyiksa. Ia melihat Athena, tubuh kecilnya berlumuran darah, tergeletak di dekat rel kereta.

Tanpa menunggu lama, Arthur berlari menuju Athena. Ia menjangkau tubuh kecil itu, memeluknya erat, tidak peduli jika darah itu mengenai pakaiannya, bahkan wajahnya. Nafasnya tidak terkendali, dada ia sesak. Dunia seakan runtuh. Ia berteriak keras, "Athena!!!"

Orang-orang berkumpul, semua panik. Seorang pria besar, ayah Athena, datang dan mengambil tubuh Athena dari pelukan Arthur. Ia berjalan pergi, membawa Athena yang lemas. Arthur ingin mengejar, namun ia melihat sesuatu di bawah kakinya. Ia menunduk, dan melihat liontin hijau muda, yang dulu pernah ia berikan kepada Athena di pameran itu, tergeletak di tanah, dekat dengan tubuh Athena. Ia mengambilnya, kemudian berlari mengejar ayah Athena. "Paman… paman… tunggu, paman tunggu aku!" teriaknya, namun ayah Athena terus berjalan, masuk ke dalam mobil dan mobil itu pergi.

Arthur berlutut di tanah, air mata mengalir di pipinya. Isakan terdengar dari bibirnya. "Athena… Athena… Athena…" Ia terus mengulang nama itu, nama yang menyiksanya. Seorang pria mendekati Arthur. Ayahnya. Ia mengangkat tubuh Arthur yang lemas ke dalam pelukannya, membawanya pergi dari tempat kejadian itu. Dalam perjalanan pulang, Arthur kecil meronta-ronta di dalam pelukan ayahnya.

"Ayah, kumohon… kumohon kejarlah Ayah Athena, aku ingin bertemu Athena!" pinta Arthur, suaranya terdengar putus-putus di antara isakannya. Tangisnya keras, layaknya anak kecil yang kehilangan sesuatu yang ia sayangi.

Ayah Arthur mengelus rambut anaknya dengan lembut, mencoba menenangkannya. "Arthur… tenanglah, nak. Tenangkan dirimu dulu… Athena pasti akan baik-baik saja."

"Bagaimana kalau dia tidak baik-baik saja?!" Arthur kecil membentak, wajahnya merah dan berlumuran air mata. Ia menolak untuk dilepaskan dari pelukan ayahnya, mencengkeram pakaian ayahnya dengan erat.

Ayah Arthur tidak mengatakan apa pun lagi. Ia lebih khawatir Arthur mengalami trauma berat akibat kejadian itu. Di tempat parkir mobil, tanpa banyak bicara, ayah Arthur langsung menggendong Arthur ke dalam mobil dan membawanya pulang. Dalam perjalanan, hanya tangis Arthur yang memecah keheningan. Sesampainya di rumah, ayah Arthur segera menghubungi terapis anak. Ia tahu Arthur membutuhkan bantuan profesional untuk mengatasi trauma yang baru saja dialaminya. Ia berharap terapi ini bisa membantu Arthur untuk sembuh, dan juga untuk menemukan damai di dalam hatinya.

Kenangan itu tiba-tiba kabur, seperti film yang tiba-tiba dimatikan. Arthur kembali ke masa kini. Ia berada di kantornya, hujan masih turun deras di luar, menciptakan suasana yang dingin dan menyeramkan. Namun, Arthur berkeringat banyak, tubuhnya bergetar, dan napasnya tidak terkendali. Ia merasakan sebuah rasa takut yang mendalam, sebuah rasa takut yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Dengan tangan yang gemetar, ia memasukkan liontin giok itu ke dalam laci mejanya. Lalu, dengan gerak yang kasar, ia mendorong laci itu dengan keras. Bunyi “duk!” yang nyaring gema di ruangan yang hening, pasti suaranya terdengar sampai ke luar ruangan.

Hujan Giok dan Kenangan

Di luar ruangan, Reyna duduk di kursinya, menatap layar komputer yang menampilkan data-data kasus. Hujan deras membuat suasana kantor semakin sunyi dan menciptakan nuansa yang sedikit menekan. Ia sedang mencoba untuk memfokuskan diri pada pekerjaannya, namun pikirannya masih tertarik pada Arthur. Ia masih khawatir dengan keadaan Arthur tadi.

Tiba-tiba, suara “duk!” yang keras membuyarkan konsentrasinya. Suaranya tampak datang dari dalam ruangan Arthur. Reyna tersentak dari kursinya. Ia mengerutkan kening, mencoba untuk mengingat-ingat apa yang baru saja terjadi. Entah itu apa, namun suara itu terasa cukup mengganggu.

"Apa lagi yang dilakukan pria itu...?" gumamnya, suaranya bercampur antara kesal dan juga sedikit khawatir. Ia memandang pintu ruangan Arthur, ragu-ragu apakah ia harus memeriksanya atau tidak. Namun, rasa khawatirnya lebih kuat daripada rasa kesalnya. Ia menghela napas dalam-dalam, kemudian berdiri dari kursinya dan melangkah menuju pintu ruangan Arthur.

Reyna sampai di depan pintu ruangan Arthur, tangannya sudah meraih kenop pintu, hendak membukanya. Tiba-tiba, pintu terbuka dengan sendirinya, membuat Reyna tersentak dan melangkah mundur. Arthur muncul dari dalam ruangan, wajahnya masih tampak pucat dan tegang, tatapan matanya kosong. Melihat Arthur sudah di luar ruangan, Reyna mencoba untuk membahas beberapa kasus yang belum selesai. Ia memanggil Arthur.

"Arthur, bagaimana kalau kita bahas kasus—"

Kalimat Reyna terpotong lagi oleh suara Arthur yang dingin. "Jangan ganggu aku." Arthur lalu berlalu pergi, meninggalkan Reyna di depan pintu ruangannya. Ia berjalan cepat, menuju pintu keluar kantor.

Reyna semakin kesal. Ia menghentakkan kakinya ke lantai, alisnya berkerut tajam. "Ugh! Pria itu! Dia pasti mau pergi ke bar lagi…" Reyna menggerutu kesal, suaranya berbisik namun penuh kekecewaan. Ia sudah tahu kebiasaan Arthur. Arthur kecanduan alkohol. Dan hujan deras ini, entah mengapa, hanya membuat segalanya semakin buruk.

Reyna terus mengomel dan mendengus kesal di kantor yang kini terasa semakin sunyi setelah kepergian Arthur. Hujan di luar masih deras, menemani kemarahannya. Arthur sudah pergi dengan mobilnya, meninggalkan jejak ketidaknyamanan di hati Reyna. Beberapa saat setelah Arthur pergi, seorang pria paruh baya memasuki kantor. Pria itu bernama Inspektur Jenderal Jaxon, kepala divisi detektif. Ia memiliki postur tubuh yang tegap, rambut beruban yang disisir rapi, dan sepasang mata yang tajam. Ia selalu mengenakan setelan jas yang bersih dan rapi, menunjukkan sikap profesionalnya.

Inspektur Jaxon berjalan menuju sofa di ruang tunggu, duduk dengan santai sambil melepaskan jasnya. Ia lalu menatap Reyna yang masih terlihat kesal.

"Bagaimana perkembangan kasus 'Bunga Mawar Hitam'?" tanyanya, suaranya tenang namun berwibawa.

Reyna menghela napas panjang, kembali duduk di kursinya. Ia menatap layar komputernya, kemudian menjawab dengan nada sedikit kesal.

"Tidak terlalu berkembang, Pak. Bagaimana kasus ini bisa terselesaikan jika saya harus bekerja sama dengan orang kecanduan alkohol itu??"

Inspektur Jaxon terdiam sesaat, lalu terkekeh perlahan. Seolah ia mengenal Arthur dengan baik.

"Kau jangan terlalu kasar padanya, Reyna."

"Dia bersikap lebih kasar dari apa yang saya lakukan!" Reyna membalas, suaranya sedikit cemberut.

Inspektur Jaxon masih terkekeh. "Omong-omong, di mana Arthur?"

Reyna menjawab dengan nada malas dan masih dipenuhi kekesalan. "Tidak tahu, Pak. Dia pergi keluar tadi, mungkin di bar seperti biasa."

Tiba-tiba, telepon Inspektur Jaxon berdering. Ia mengangkatnya, berbicara sebentar, lalu mematikan panggilan tersebut. Ia menatap Reyna dengan ekspresi yang sedikit lebih serius.

"Reyna, kau bisa istirahat malam ini. Lanjutkan saja perkembangan kasusnya besok bersama Arthur."

Reyna hanya mengangguk, sedikit lega karena akhirnya ia bisa pulang. Ia mengamati Inspektur Jaxon yang kini memakai kembali jasnya dan bersiap untuk pergi. Setelah Inspektur Jaxon keluar dari kantor dan pergi, Reyna baru mulai membereskan barang-barangnya dan bersiap untuk pulang. Hujan deras masih menemani langkah kakinya menuju parkiran. Ia berharap besok Arthur dalam keadaan yang lebih baik dan kasus 'Bunga Mawar Hitam' bisa segera terpecahkan.

Di sisi lain, hujan deras mengguyur kota. Arthur melangkah masuk ke sebuah bar yang remang-remang, suasana yang sangat cocok untuk menghilangkan rasa sakit dan kecemasannya. Ia mencari tempat duduk di sudut yang sepi, lalu memanggil bartender untuk memesan minuman. Seperti biasa, ia memesan minuman beralkohol tinggi, sesuatu yang mampu membius pikirannya dari segala kejadian yang menyakitkan.

Beberapa teguk pertama mengusir ketegangan dan rasa takut yang menghantuinya. Namun, setelah beberapa gelas, Arthur mulai merasakan efek alkohol itu dengan kuat. Wajahnya memerah, napasnya berat, dan pandangannya mulai kabur. Ia merasa pusing, kepalanya berdenyut-denyut.

Di tengah kebingungannya, Arthur melihat sesuatu di bayangan remang-remang bar. Seorang gadis kecil, berdiri di depannya, tersenyum padanya. Itu Athena, Athena kecil yang lucu dan masih polos. Athena kecil itu menatap Arthur dengan tatapan yang penuh dengan sedikit kecewaan.

"Kenapa kau jadi seperti ini, Arthur?" tanyanya, suaranya halus dan jernih di tengah suara ribut di bar.

Arthur menatap Athena dengan mata yang sayu. Ia mengulurkan tangannya, dengan gerakan yang lambat dan goyah, untuk menyentuh wajah Athena yang kecil itu. Jari-jarinya mencoba untuk merasakan kulit halus Athena.

"Aku… aku tidak tahu," katanya, suaranya gemetar dan hampir tak terdengar.

Orang-orang di bar itu sudah biasa melihat Arthur berbicara sendiri atau berbicara dengan angin. Mereka sudah terbiasa dengan keanehan Arthur. Mereka hanya menatap Arthur dengan tatapan yang acuh tak acuh. Arthur terlalu tenggelam di dalam dunia khayalannya. Namun, senyum Athena perlahan memudar. Ekspresi kecewa berganti menjadi kesedihan yang dalam. Bayangan samar noda darah mulai terlihat di sekitar kaki Athena, menyerupai kenangan mengerikan yang terus berputar-putar di benak Arthur.

"Aku… aku kecewa padamu," bisik Athena, suaranya nyaris tak terdengar di antara suara ribut di bar. Bayangan darah itu semakin jelas, membuat Arthur tersentak. Ia mencoba untuk menjangkau Athena, namun tangannya bergetar tak terkendali.

"Tidak! Tidak! Athena!" teriak Arthur, suaranya pecah karena isakan. Ia mulai menghancurkan gelas-gelas di mejanya, pecahan kaca berserakan di lantai. Para pelanggan lainnya mulai menatap Arthur dengan tatapan heran dan khawatir. Seorang pria yang mengenali Arthur sebagai seorang detektif segera menghubungi Inspektur Jaxon melalui telepon. Kegaduhan itu semakin meningkat, menciptakan suasana kacau di dalam bar remang-remang itu.

Di tengah kekacauan itu, tiba-tiba pintu bar dibuka dan Inspektur Jaxon masuk. Ia dengan cepat mendekati Arthur dan sambil mencegah Arthur bergerak lebih agresif, memegang erat lengannya. Beberapa orang membantu Inspektur Jaxon untuk menenangkan Arthur.

Inspektur Jaxon berdiri tegap di samping Arthur, tatapannya serius namun dipenuhi empati. Suaranya tenang dan berwibawa, namun diiringi dengan nada yang penuh pengertian.

"Arthur, cukup! Tenanglah… Athena baik-baik saja di luar sana. Kau pasti bisa bertemu lagi dengannya," kata Inspektur Jaxon, suaranya mencoba untuk menembus kebingungan dan rasa sakit yang menyelimuti Arthur. Sentuhan tangan Inspektur Jaxon di lengan Arthur, meskipun tegas, menunjukkan keinginan untuk memberi Arthur rasa aman dan kontrol di tengah kekacauan yang dialaminya. Perlahan-lahan, Arthur mulai menarik napas dalam-dalam, tubuhnya bergetar namun kemarahannya mulai mereda. Bayangan Athena yang berlumuran darah mulai memudar, diganti oleh citra Athena yang ceria dan penuh dengan kehidupan. Arthur memejamkan mata, mencoba untuk menyerap kata-kata Inspektur Jaxon, mencoba untuk mempertahankan citra Athena yang bahagia itu di dalam pikirannya. Perlahan-lahan, amukannya berhenti. Ia tersentak oleh kejadian yang baru saja dialaminya, merasakan rasa malu dan penyesalan yang mendalam.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!