Matahari telah terbit.
Perlahan merayap dari balik punggung Gunung Kelud, menebar cahaya keemasan yang menyusup di antara pepohonan dan atap rumah-rumah di desa Wonosari. Satu per satu bayang-bayang malam surut tergantikan terang. Gelap tersingkir. Pagi disambut dengan tenang.
Kokok ayam mereda, digantikan oleh kicau burung-burung yang riang bertengger di dahan pohon mahoni tua di tepi jalan desa. Dari kejauhan, Sungai Brantas mengalir tenang, membelah hamparan sawah yang masih basah oleh embun. Tanggul kokoh berdiri di kanan-kirinya, menjaga desa dari luapan musim hujan yang tak menentu.
Di atas jembatan yang membujur dari timur ke barat, aktivitas pagi mulai menggeliat. Deru motor bersahutan. Anak-anak berseragam merah putih, putih biru, putih abu-abu, melintas satu per satu—membawa ransel, harapan, dan semangat baru. Di antara mereka, tampak seorang gadis melaju pelan di atas motor matic berwarna biru muda. Asmarawati.
Namanya seindah sinar pagi. Gadis sinden muda, lembut tutur katanya, dan sejuk tatap matanya. Di bawah langit cerah, ia melintasi jembatan dengan anggun. Rambutnya terkibas angin pagi. Ada sorot mata yang jernih. Sejernih embun di atas daun keladi, di tepi kali.
Dua ekor merpati putih tiba-tiba terbang melintas, mengiringi laju motornya dari atas kabel listrik yang melintang. Mereka seolah-olah membawa pesan dari langit:
“Semoga kelak kau diberi sayap…”
“…agar bisa terbang tinggi melintasi awan, lalu bernyanyi di atas birunya langit.”
Asmarawati tersenyum kecil, seolah mengerti isyarat itu. Hari baru telah dimulai. Dan seperti pagi yang tak pernah menolak mentari, ia pun melaju perlahan menuju sekolahannya.
****
Di sudut lain desa, saat matahari pagi mulai menghangatkan tanah yang masih lembab oleh embun, tampak seorang pria duduk bersila di bawah pohon jambu air. Kepalanya dibalut blangkon hitam, tubuhnya bersarung lurik, tangan kanan memegang kuas kecil, tangan kiri menahan selembar wayang kulit mentah yang belum jadi.
Namanya Sukarmin, seorang juru sungging—seniman pewarna wayang kulit, profesi langka yang kini makin ditelan arus zaman.
Di hadapannya, berjajar beberapa wayang-wayang kulit yang tengah dijemur di bawah sinar matahari. Bayangannya jatuh memanjang ke tanah, membentuk siluet tokoh-tokoh pewayangan yang diam, tapi terasa hidup.
Tangannya menari luwes, menggores warna merah dan emas di atas permukaan kulit kerbau yang kaku. Setiap garis digores dengan sabar, tiap titik ditaruh dengan teliti. Seperti sedang merawat ingatan akan masa lalu yang mulai dilupakan.
Dari kejauhan, dua orang pria bersarung mendekat. Yang satu membawa buku catatan, satunya lagi menjinjing tas kecil.
“Assalamualaikum?” sapa mereka sopan.
“Waalaikumsalam.” Sukarmin menoleh, lalu tersenyum ramah.
“Nuwun sewu, Mas. Mengganggu sebentar, ndak apa-apa nggih?” tanya salah satu dari mereka.
“Oh, nggih. Monggo, monggo.” jawab Sukarmin, sambil mengangguk dan menyilakan mereka duduk di amben yang ditutupi tikar anyaman pandan.
Mereka memandangi deretan wayang yang dijemur.
“Kalau boleh tahu, Mas, wayang-wayang ini mau diapakan?”
Sukarmin menjawab sambil tetap menggoreskan kuasnya. “Ini sedang disungging, Mas.”
“Sungging itu apa ya, Mas?” tanya yang satunya, terlihat benar-benar awam soal dunia perwayangan.
Sukarmin tersenyum kecil. “Sungging itu proses pewarnaan wayang, Mas. Setelah diukir oleh empu pembuatnya, wayang harus diwarnai. Diberi jiwa. Dikasih rupa. Nah, itulah pekerjaan saya.”
Keduanya mengangguk-angguk. Salah satunya kembali bertanya, “Kalau menyungging wayang seperti ini, kira-kira penghasilannya berapa, Mas, sehari?”
Sukarmin menghentikan gerakan tangannya sebentar. Ia menatap mereka, lalu menghela napas pendek. “Penghasilan? Yah, tergantung. Tergantung ukuran, jenis wayangnya, tingkat kerumitannya... dan tentunya jumlah pesanan. Kadang bisa dapat lumayan, tapi lebih sering ya seadanya.”
Ia kembali menari-narikan kuasnya di atas kulit tokoh Rahwana.
“Menjadi juru sungging di zaman sekarang bukan pekerjaan yang menjanjikan, Mas.” lanjutnya, suara pelan tapi tegas.
“Sekarang ini, masyarakat yang suka wayang semakin sedikit. Anak-anak lebih kenal superhero ketimbang Werkudara. Lebih akrab Iron Man ketimbang Arjuna. Dan para dalang pun—maaf saja—banyak yang sudah melupakan kami.”
Kedua tamunya menyimak dengan seksama.
“Banyak dalang yang kini bisa menyungging wayangnya sendiri. Mereka punya alat, punya bahan, dan merasa tak perlu lagi jasa juru sungging. Padahal, secara tradisi... dalang itu tidak boleh nyungging wayang sendiri.”
“Loh, memangnya kenapa, Mas? Kok dalang nggak boleh nyungging sendiri?” tanya lelaki bersarung yang membawa buku catatan, dengan nada polos dan tulus ingin tahu.
Sukarmin tak langsung menjawab. Ia terus menggoreskan kuas kecil di permukaan kulit tokoh Rahwana, dengan warna merah darah di bagian mata. Setelah itu barulah ia membuka suara, perlahan tapi mantap.
“Kalau kata orang tua zaman dulu, dalang itu dilarang nyungging wayangnya sendiri. Ra elok, Mas. Nggak baik. Katanya ada pamali-nya. Tapi dalang-dalang sekarang ya... ya beda. Seolah nggak peduli sama aturan itu.”
Tangannya tetap bergerak, tapi nadanya mulai mengandung nada getir.
“Dalam logika ekonomi orang zaman dulu, pembagian kerja itu penting. Supaya semua bisa kebagian rezeki. 'Mangan ora mangan, sing penting tetep bebrayan.' Berat ringan ditopang bersama. Ada empu pembuat wayang. Ada juru sungging. Ada dalang. Ada tukang gamelan. Semua saling menghidupi. Tapi sekarang?”
Ia berhenti sejenak. Mengangkat kuas. Menatap kedua tamunya dengan mata teduh tapi dalam.
“Sekarang, siapa yang bisa ngerjain semuanya sendiri, ya dia kerjain sendiri. Alasannya simpel: biar hemat. Bahasa Dwarawati-nya... why not?”
Kedua lelaki itu tersenyum kecil, mencoba memahami arah maksudnya.
“Akhirnya ya begitu. Juru sungging seperti saya ini makin lama makin dilupakan.” lanjut Sukarmin. “Dulu, misalnya, Ki Dalang Ratmoyo—wayangnya selalu disunggingin ke saya. Tapi setelah dia belajar nyungging juga, malah saya sendiri yang ngajari... ya sudahlah. Sejak bisa sendiri, tak pernah lagi dia datang kesini.”
Ia menghela napas. Menghisap rokok kreteknya dalam-dalam. Asapnya mengepul tipis ke udara pagi.“Ya saya ngerti, Mas. Dia pikir lumayan bisa ngirit ongkos. Daripada nyungging ke saya, mending dipakai buat kebutuhan lain. Mungkin buat beli bensin. Atau buat bayar sekolah anaknya. Saya maklum... tapi ya itu tadi, wong cilik seperti saya ini makin hari makin disisihkan.”
“Tapi meskipun pesanan sepi, saya tetap nyungging. Karena ini bukan sekadar kerja. Ini warisan dari almarhum Bapak saya. Darah dan jiwa saya ada di dalam tiap goresan kuas ini.” Lanjut Sukarmin.
“Wah, luar biasa, Mas. Jadi sampean tiap hari kerjanya menyungging wayang terus?” tanya yang satunya lagi.
Sukarmin terkekeh pelan. “Ora mesti. Kadang sepi. Kadang ramai. Kalau nggak ada pesanan, ya saya jadi tukang cukur di seberang pasar legi. Nggunting rambut orang, motong poni bocah, ya lumayan buat ngisi dapur.”
Kedua tamunya mengangguk-angguk. Lalu salah satu dari mereka merogoh tas kecilnya, dan berkata dengan nada lembut tapi penuh maksud:
“Nuwun sewu, Mas Karmin. Sebenarnya maksud kedatangan kami ini, ya... mau minta sumbangan seikhlasnya. Untuk pembangunan masjid di pesantren kami.”
“Kami sudah izin ke Pak Lurah dan koordinasi juga dengan Mas Arifin, menantunya Pak Haji Mispan. Ya... hitung-hitung biar rezekinya panjenengan makin lancar, Mas.”
Sukarmin diam sebentar. Tak banyak kata. Ia hanya tersenyum lelah, lalu merogoh kantong celananya. Uang yang ada hanya lima belas ribu rupiah. Ia keluarkan selembar sepuluh ribu, dan menyodorkannya kepada lelaki itu.
“Mboten napa, Mas.” ucapnya pelan.
“Wah, matur nuwun sanget, Mas. Matur nuwun. Semoga berkah.” kata mereka bersamaan.
Sukarmin hanya mengangguk kecil, lalu kembali ke pekerjaannya. Kedua tamu itu berpamitan dan pergi, meninggalkan halaman rumah bambu itu dengan langkah ringan.
“Pak, berangkat dulu... sangu-nya mana?”
Tiba-tiba terdengar suara bocah dari belakang. Seorang anak laki-laki berseragam SD, rambutnya sedikit berantakan, tasnya tergantung di satu pundak. Wajahnya cemberut penuh harap.
Sukarmin menoleh. Ia hanya bisa merogoh saku yang tinggal berisi lima ribu rupiah. Sisa dari yang tadi ia berikan pada tamu bersarung itu.
“Ini, Le... uang jajannya.” katanya sambil menyodorkan uang itu.
Anaknya menerima, menatap selembar uang lusuh itu.
“Cuma ini?” tanyanya lirih, sedikit merajuk.
“Hari ini Bapak cuma punya itu, Le... Sudah, berangkat dulu ya. Besok kalau Bapak sudah dapat uang, Bapak kasih lebih. Janji!”
Anaknya hanya mendesah. “Owalah... ya sudah.” gumamnya, pasrah. Lalu ia menendang kaleng cat yang menggelinding ke pinggir tikar, dan lari tunggang-langgang meninggalkan halaman rumah kecil itu menuju sekolahnya.
Sukarmin mendesis kesal. “Kampret...”
“Jo!” teriaknya. “Tolong ambilkan cat warna merah di rak belakang. Tumpah ini!”
Tejo, adiknya, segera keluar dari dapur. Tejo memang tinggal satu atap bersama kakaknya Sukarmin dan keponakannya. Mereka menempati rumah warisan orangtua yang kini tinggal kenangan. Ayah dan ibu mereka sudah lama meninggal dunia. Kini mereka bertiga menjalani hidup dengan seadanya. Sukarmin menyambung hidup sebagai juru sungging dan tukang cukur, sementara Tejo lebih memilih jalan berbeda.
Tejo tak tertarik menyungging. Menurutnya, pekerjaan itu sia-sia. Terlalu rumit, hasil tak seberapa, dan—paling ia benci—berkutat dengan dunia yang sudah nyaris ditinggalkan zaman. Maka sejak lulus SMK, ia memilih ikut mengelola bengkel milik pamannya bersama si Untung, teman lamanya.
Tejo menyerahkan kaleng cat warna merah.
“Ini, Mas.” katanya sambil meletakkannya di meja kayu lapuk yang dipenuhi bercak-bercak warna dan aroma minyak kayu.
Setelah itu, ia melipir ke teras, meraih jaket lusuh dan men-starter motor CB-nya yang bersuara kasar.
“Aku berangkat kerja dulu, Mas.” ucapnya singkat.
“Ya, hati-hati.” sahut Sukarmin tanpa menoleh, matanya kembali tertuju ke kulit Rahwana yang belum selesai disungging.
Dari kejauhan, suara motor CB meraung perlahan menjauh, menyisakan keheningan dan sisa bau cat yang menyengat.
Di dalam hatinya, Sukarmin menarik napas dalam-dalam. Hatinya perih—tapi tetap diam. Ia sadar hidup ini memang tak bisa ditawar. Sejak Murtiningsih, istrinya, memutuskan merantau jadi TKW di Taiwan, ia sudah siap menanggung semuanya. Dua tahun sudah ia menanggung rindu dan tanggung jawab sebagai ayah sekaligus ibu.
Dulu, Murtiningsih juga seorang pesindhen. Suaranya indah, lembut, merdu memanggil malam dalam pentas wayang. Tapi karena semakin jarang ada tanggapan, dan karena dapur tak bisa diisi dengan nada-nada sindenan, ia memilih pergi. Mengabdi pada Tuan Han.
Ia pergi demi masa depan. Demi anak mereka. Demi harapan.
Dan Sukarmin tetap duduk, tetap menyungging. Karena ia percaya: meski zaman melupakannya, seni tak akan pernah mati. Ia akan terus hidup dalam tiap goresan. Dalam tiap warna yang ia letakkan di tubuh wayang-wayang kulit. Dan dalam tiap doa yang ia bisikkan diam-diam, untuk istri yang jauh.
********
Di atas jembatan Kali Brantas, Tejo mendapati Wiji tengah duduk di atas sepeda motornya. Wajah Wiji masih tampak lebam-lebam.
"Woi, cungkring!" teriak Wiji dari seberang jembatan sambil melambaikan tangan.
"Kukira kamu sudah mati," celetuk Tejo sambil nyengir, nada suaranya setengah mengejek seperti biasa. Kata-kata Tejo memang sering menjengkelkan, tapi entah kenapa kadang justru bikin ngakak.
"Pathakmu krewak! Aku masih hidup, Jo."
"Salahmu sendiri, kemarin aku ajak cabut ndak mau. Akhirnya ketahuan Bapakmu, kan?"
Wiji hanya mendengus pendek, lalu mengalihkan pembicaraan. "Sudahlah, sudah. Sekarang kamu mau ke mana?"
"Ke tempat kerja. Si Untung sudah nungguin."
"Ya sudah, aku ikut. Sekalian mau nongkrong di bengkel Paklik-mu. Rem motorku juga minta disetel ulang juga nih!"
"Oke, ayok!"
Mereka pun meluncur bersama. Seperti biasa, kebut-kebutan jadi bagian dari gaya hidup mereka. Salip-menyalip, blayer-blayer gas, menyalakan knalpot bising tanpa rasa bersalah di sepanjang jalan.
Namun kali ini ada yang kurang. Tak ada Untung si "badan gorila" yang biasanya ikut konvoi sambil misuh-misuh dengan kata andalannya: "Munyuk!"—kata itu ia warisi dari Emaknya Yu Kastun.
Meski tanpa Untung, mereka tetap menikmati perjalanan itu. Motor-motor mereka melesat, membelah jalanan desa yang mulai ramai.
Di tepi trotoar, seorang ibu-ibu yang nyaris tersambar teriakan knalpot Wiji langsung mengumpat:
"Asu! Ndak punya aturan!"
Tapi keduanya sudah melesat jauh. Ucapan itu hanya jadi gema di belakang, bercampur dengan deru mesin dan tawa nakal mereka yang tak pernah peduli.
Sesampainya di bengkel, Untung sudah menanti mereka. Ia duduk jigrang di atas lincak reyot yang terletak di depan bengkel, sambil mengisap sebatang kretek. Asap mengepul dari mulutnya, membentuk lingkar-lingkar samar sebelum lenyap tertiup angin pagi. Sesekali ia membuang pandang ke arah jalanan, menanti Tejo yang memang tak pernah tepat waktu.
Bengkel itu milik Darsono, paman Tejo. Ia membangun usaha ini lima tahun silam dari nol. Awalnya dikerjakan sendirian, siang malam berkutat dengan oli dan mesin. Tapi hidup membawanya pada rasa iba—terutama saat melihat Tejo, keponakannya, anak yatim piatu yang makin hari makin tak tentu arah. Daripada membiarkannya luntang-lantung di jalanan bersama Wiji, ia pun menarik Tejo untuk ikut bekerja di bengkelnya.
Tak lama berselang, Untung juga diajak bergabung. Darsono tak tega melihat bocah itu terlunta-lunta tanpa arah. Sejak kecil, hidup Untung sudah remuk redam. Orang tuanya bercerai saat ia masih SD. Bapaknya menikah lagi dengan perempuan lain. Tapi itu bukan awal dari kebahagiaan baru—melainkan awal dari luka-luka baru. Sejak itu, Bapaknya jarang menengok. Kalaupun datang, yang terjadi selalu keributan. Pertengkaran tak berkesudahan antara Ayah dan Ibu kandungnya.
Bahkan saat Untung mencoba mendatangi rumah sang Ayah, pertengkaran kembali pecah—kali ini antara bapaknya dan ibu tirinya. Seolah tak ada tempat yang bisa ia sebut rumah. Tak ada satu ruang pun yang terasa aman.
Untung cuma bisa membatin, sambil menatap ujung rokoknya yang memerah pelan:
"Andai saja tak ada perceraian... mungkin takkan lahir anak-anak sial seperti diriku. Asu."
Sementara itu, ibunya Untung—yang akrab dipanggil Yu Kastun oleh para tetangga—hanyalah seorang perempuan sederhana yang mengandalkan hidup dari warung angkringan kecil di pinggir jalan persawahan, tak jauh dari jembatan Kali Brantas. Warung itu berdiri seadanya, beratap seng dan berdinding triplek, tapi selalu ramai dikunjungi petani, tukang ojek, dan sopir-sopir truk yang butuh segelas kopi panas atau sepotong tempe goreng sebelum melanjutkan perjalanan.
Sejak berpisah dengan suaminya, Yu Kastun memutuskan untuk tidak menikah lagi. Ia memilih menjalani hidupnya sebagai janda, meski sepi kadang datang menggerogoti malam-malamnya. Sudah berkali-kali laki-laki datang, membawa niat baik, melamar dirinya dengan segala janji dan rayuan. Tapi semuanya selalu berakhir dengan penolakan halus atau tegas.
Bukan karena ia merasa cukup sendiri, tapi karena hatinya sudah terlanjur luka dirundung rasa trauma. Ia masih trauma—terutama pada bayang-bayang lelaki yang dulu ia panggil suami. Dan lebih dari itu, ia takut kalau suami barunya tidak baik sama anaknya si Untung.
"Bapak kandungnya sendiri saja tidak baik... apalagi bapak tiri?" begitu pikirnya setiap kali pria datang melamar.
"Munyuk?" Kata-kata khas itu langsung meluncur dari mulut Untung begitu melihat dua temannya datang. Suaranya keras, penuh semangat, seperti gong pembuka kekonyolan yang sudah mereka rindukan.
"Eh, Jo. Kok kamu bisa barengan sama si munyuk satu ini?" lanjutnya sambil melirik Wiji dengan senyum menyeringai.
"Ketemu di jembatan tadi," jawab Tejo santai. "Kukira habis digebukin Bapaknya semalam dia udah sekarat. Ternyata masih bisa jalan juga."
Tejo tergelak. Gaya bicaranya memang selalu seenaknya.
"Lambemu!" sahut Wiji, cemberut. "Ngomong kok kaya nggak punya saringan."
"Eh tapi serius, Ji... Kamu ndak apa-apa, to?" tanya Untung, nadanya sedikit lebih lembut, meski tetap sok cuek. "Itu wajahmu masih biru-biru kayak terong bakar."
"Aman! ndak usah khawatir." Wiji menjawab pendek, matanya menghindari tatapan.
"Besok diulangin aja sekalian. Biar tambah hancur sekalian mukamu. Nanti diganti topeng munyuk!" celetuk Tejo, disambut tawa ngakak mereka bertiga.
Di antara mereka, Tejo memang yang paling sering jadi pelawak. Kata-katanya selalu bisa mencairkan suasana, meskipun sering juga bikin jengkel. Untung lain lagi—kemana-mana gayanya selalu sok jagoan, mengandalkan badan besarnya yang kayak gorila, lengkap dengan suara baritonnya yang sering bikin orang segan melihatnya.
Sedangkan Wiji, dialah si otak genius. Kalau ada ontran-ontran, biasanya dialah dalangnya. Ia cepat berpikir, cerdik menyusun rencana, dan tahu kapan harus mundur. Tapi meskipun lihai mengatur segalanya, tetap saja ada satu orang yang bisa bikin dia tak berkutik: bapaknya sendiri, Mispan.
Tejo—meski kelihatan urakan—sebenarnya punya sisi bijak. Ia sering menasihati, meski caranya ngeselin: dibalut canda, atau sindiran sarkas. Tapi justru karena itu, nasihatnya sering lebih mudah diterima.
Tiga orang dengan karakter yang sangat berbeda. Namun, sejauh ini mereka belum pernah benar-benar bertengkar. Kalaupun adu mulut, hanya sebatas guyon. Persahabatan mereka bukan persahabatan biasa—mereka saling menutup celah, saling menjaga, dan tak segan berdiri satu barisan kalau ada yang berani mengusik salah satu dari mereka.
Ya, mereka dikenal sebagai brandalan kampung. Kerap meresahkan. Tapi di antara kebisingan knalpot dan kenakalan yang mereka buat, ada persahabatan yang tulus dan kokoh—lebih kuat dari baja, lebih keras dari batu.
******
Pukul dua siang. Matahari masih garang membakar aspal jalan. Panas menyengat memantul dari permukaan hitam yang nyaris meleleh. Jalanan lengang, tak satu pun kendaraan melintas. Hening. Hanya suara cicit-cicit serangga dan desir angin yang menggoda dedaunan.
Di ujung jembatan Kali Brantas, Asmarawati berdiri mematung di samping motor maticnya yang mogok. Ia sudah mencoba menyalakan starter tangan berulang-ulang—namun tak ada reaksi. Mesin tetap mati. Ia mendesah. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Tak tampak seorang pun. Hanya silau matahari yang membakar kulit wajahnya.
Ia mencoba mengangkat standar tengah motor, namun tenaganya tak cukup. Terlalu berat. Tubuhnya yang mungil tampak kepayahan. Wajahnya memerah, peluh mengucur deras dari pelipis hingga dagu. Napasnya memburu. Sesekali ia mengepalkan tangan, menahan kesal. Namun tetap berusaha bersikap tenang.
Dan saat itu, dari arah timur, muncul suara knalpot berderu. Sebuah motor CB klasik meluncur dengan gaya ugal-ugalan. Asap tipis mengepul dari knalpotnya. Rem mendadak berbunyi nyaring, nyaris saja terlewat. Untung remnya baru diperbaiki di bengkel pamannya, Tejo.
“Kenapa, Dhek?” tanya Wiji itu tanpa basa-basi. Suaranya datar tapi bergetar lembut.
Asmarawati menoleh cepat. “Ndak tahu, Mas. Tadi aku cuma berhenti sebentar buat benerin ransel. Eh, pas mau jalan lagi, motor malah mati. Starter-nya ndak berfungsi.” ucapnya sambil mengusap keringat di dahinya.
Wiji turun dari motornya tanpa banyak bicara. Ia mendekat, matanya menyapu tubuh Asmarawati yang tampak lelah, hampir kehilangan harapan. Ia kemudian mengangkat motor itu, dengan satu gerakan pasti menancapkan standar tengah, lalu menginjak pedal starter.
Brmmm... suara mesin akhirnya menyala.
“Nih, sudah hidup lagi,” katanya singkat, lalu menyerahkan kembali motor itu.
Asmarawati tergesa meraih setang. Tapi tanpa sengaja, tangannya menggenggam tangan Wiji yang masih melekat di grip kanan. Sejenak mereka terdiam. Saling pandang. Tak ada suara. Angin pun seolah berhenti bertiup, memberi ruang untuk sesuatu yang belum bernama. Hanya dedaunan mahoni kering yang melayang perlahan, satu di antaranya jatuh tepat di sisi kaki kiri Wiji.
Seolah bertanya—kapan kisah ini dimulai?
Tiba-tiba dari seberang jembatan terdengar teriakan riang:
“Eeeee, hyaaaaaa! Eeeeee, hyaaaaaa!”
Sekelompok anak-anak kecil bermain kuda lumping di pinggir jalan, tepat di depan warung angkringan Yu Kastun. Suara mereka membuyarkan keheningan. Membuyarkan momen yang mendebarkan itu.
Wiji cepat-cepat menarik tangannya. Sementara Asmarawati hanya bisa terpaku. Matanya masih tersisa sorot bingung, seperti baru saja terseret dalam pusaran rasa yang tak ia pahami.
“Iya sudah, lekas pulang,” ujar Wiji datar tapi lirih.
“Iya, Mas. Terima kasih ya, Mas...” sahut Asmarawati pelan. Lalu ia menaiki motornya dan meluncur pelan menjauh, membelah jalan sepi yang terasa lebih sunyi setelah adegan itu.
Wiji masih berdiri. Ia menunduk, memungut daun mahoni yang tadi jatuh di dekat kakinya. Tangannya menggenggamnya sejenak, lalu bergumam pelan, “Kisah ini belum dimulai...”
Ia melemparkan daun itu ke bawah jembatan. Melayang-layang sebelum akhirnya jatuh di permukaan Kali Brantas yang keruh, di antara serpihan sampah dan riak air yang tak pernah jernih. Sesekali potongan-potongan tai melintasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments