"Bagaimana, masih kuat digoyang?"
Suara itu menggema dari atas panggung lapangan terbuka, diiringi musik koplo yang mendentum keras. Seorang biduan dangdut menggoyang pinggulnya dengan penuh percaya diri di hadapan para penonton yang sudah mulai histeris. Lela—begitu nama panggungnya. Namanya kini cukup dikenal masyarakat, terutama di kawasan Jawa Timur, sebagai penyanyi dangdut koplo dengan goyangan-goyangan panas yang jadi andalan. Dari gaya njengking, gaya katak, sampai gaya ular kesurupan—semua sudah jadi senjatanya di atas panggung.
Padahal, Lela bukan penyanyi yang lahir dari panggung. Dulu, ia hanyalah pengisi room karaoke remang-remang di Jalan Mayor Bismo, kawasan Semampir, Kota Kediri. Suaranya pun sebenarnya pas-pasan, nyaris tak ada istimewanya. Tapi goyangannya—itulah yang bikin para penggemarnya mabuk kepayang.
Namun, tempat karaoke tempatnya mencari nafkah terpaksa tutup karena terkena obyak’an—razia aparat yang menyasar tempat-tempat hiburan malam. Sejak saat itu, Lela limbung. Tak ada tempat lagi untuk bernyanyi, apalagi menyambung hidup.
Hingga suatu malam, ia mendapat tawaran dari Cak Tumiran, salah satu mantan pelanggannya yang kini punya grup orkes dangdut koplo bernama New Safara.
"Kowe nyanyi neng panggung wae, Nduk. Gak usah mikir suaramu. Sing penting jogete. Wong-wong saiki golek hiburan, ora golek teknik."
Begitu kata Cak Tumiran saat itu. Tanpa pikir panjang, Lela pun menyanggupi. Ia butuh pekerjaan. Dan New Safara butuh penyanyi yang bisa menghidupkan panggung.
Maka sejak hari itu, mulailah kisah Lela di atas panggung-panggung rakyat. Dari hajatan desa, pasar malam, hingga pentas bersponsor bir. Dari panggung tenda plastik yang bocor sampai panggung raksasa dengan lighting kelap-kelip. Di mana ada penonton haus hiburan, di situ Lela menggoyang.
Namun siapa sangka, ternyata justru banyak orang yang menggemarinya. Dari sekadar menyanyi di hajatan kecil-kecilan, nama Lela melesat cepat. Tak butuh waktu lama baginya untuk mengibarkan popularitas lewat aksi panggung yang panas dan goyangan yang menggoda iman. Dalam tempo enam bulan saja, ketenarannya bahkan melampaui penyanyi-penyanyi senior yang sudah bertahun-tahun melanglang buana di panggung dangdut.
Lela dikenal bukan karena suaranya—yang pas-pasan itu—melainkan karena goyangan khasnya yang liar dan berani. Goyangannya menjadi viral di media sosial. Setiap videonya yang menampilkan aksi panggungnya beredar luas, dibagikan, dikomentari, bahkan dijadikan meme. Ia dijuluki netizen sebagai "pemersatu bangsa". Entah bangsa apa?, tak ada yang tahu pasti.
Selain rutin tampil di panggung dangdut hajatan, Lela juga sering tampil di konser battle sound horeg, tempat di mana suara musik bisa membuat jantung berdebar lebih kencang daripada cinta pertama. Di sanalah ia dinobatkan sebagai Ratu Goyang Hot—pemersatu para lelaki yang galau dan bapak-bapak yang mendadak lupa usia.
Popularitas Lela menginspirasi banyak penyanyi dangdut lainnya. Bahkan sindhen-sindhen campursari yang dulunya dikenal alusan, kalem, gandhes luwes, imut-imut mulai meniru gaya Lela. Terlebih para sindhen milenial—yang tak hanya piawai melagukan tembang Jawa, tapi juga jago membuat konten TikTok dengan menirukan goyangan ala Lela.
Meski banyak yang mencibir, meremehkan, bahkan mengecamnya, Lela tetap berdiri tegak di atas panggung, dengan kebanggaan yang ia ciptakan sendiri. Ia tak peduli dengan hujatan. Bagi Lela, goyangannya bukan sekadar hiburan—itu adalah cara bertahan hidup.
"Kalau kalian merasa terganggu dengan goyanganku," ujarnya dalam salah satu wawancara, "kenapa nggak kalian saja yang kasih makan anak-anakku? Biar aku nggak perlu geal-geol hanya demi sesuap nasi buat mereka."
Lela adalah seorang janda beranak dua. Hidupnya berubah drastis sejak suaminya meregang nyawa di balik jeruji besi. Lelaki yang dulu pernah ia cintai itu terjerat kasus narkoba—dan tak lama setelah dijebloskan ke penjara, ia meninggal secara misterius. Sampai hari ini, tak ada yang tahu pasti apa penyebab kematiannya. Apakah karena sakit, bunuh diri, atau justru ada permainan orang dalam?
Tak ada satu pun pihak yang berani mempertanyakan. Tak ada suara yang lantang menuntut keadilan. Hanya Lela, sendirian, yang menyimpan tanya dalam diam.
"Siapa dalang di balik semua ini? Siapa yang paling bertanggung jawab atas kematian suamiku?"
Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergema di dalam batinnya. Tapi seperti debu di tiupan angin, semuanya menghilang tak bersisa. Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang benar-benar ingin tahu. Seolah kematian suaminya hanyalah angka dalam statistik penjara yang tak penting.
Setelah kepergian suaminya, Lela harus menanggung semuanya sendiri. Dua anaknya yang masih kecil menjadi tanggungannya sepenuhnya. Ia pun nekat masuk ke dunia malam. Awalnya hanya untuk bertahan hidup. Ia menjadi LC—pemandu lagu—di salah satu tempat karaoke remang-remang di Jalan Mayor Bismo, dekat pabrik Gudang Garam.
Ia menyanyi bukan karena hobi, tapi karena lapar. Ia bergoyang bukan karena ingin, tapi karena harus.
Selama bertahun-tahun ia hidup di dunia itu—berpindah dari satu room ke room lain, dari satu pelukan ke pelukan lainnya. Bukan untuk cinta. Tapi untuk uang. Demi dua buah hatinya yang selalu menunggunya di rumah.
Namun, ketika gelombang obyak'an—razia besar-besaran dari aparat—melanda kawasan itu, tempat karaoke tempatnya bekerja ikut dirobohkan. Ia tak punya tempat lagi untuk mencari nafkah. Jalan remang-remang itu kini gelap benar-benar. Lela pun terlempar dari satu kegelapan ke kegelapan yang lain.
Dari situlah ia mulai melirik panggung terbuka. Ia mencoba-coba bergabung dengan grup orkes keliling, New Safara, atas tawaran Cak Tumiran—pelanggan lamanya yang kini banting setir jadi manajer orkes.
Dan siapa sangka? Dari panggung kecil itulah namanya meledak.
"Kowe wes lali omah ora ulih-ulihan
senengane dolan ning karaokean
gandhengi penyanyi ora cukup siji
cekelanmu botol polahe kaya wong tolol
Baliya ning omah bojomu wes ngenteni
ora papa ora bakal di seneni
penting kowe jujur ra bakal mbaleni
gek ndang mapan turu sesok esok senam pagi."
Lela tampil berani di atas panggung. Ia mengenakan gaun merah ketat yang membalut tubuhnya bak api yang menyala. Setiap lekuk geraknya memancarkan gairah. Pinggulnya bergoyang tanpa ragu—mengalun dalam irama koplo yang menghentak. Orang-orang menyebut itu gaya uget-uget—gerakan khas: putar kiri, putar kanan, naik-turun, tarik-ulur, seolah tubuhnya tak lagi dikendalikan oleh otot dan tulang, melainkan oleh irama.
Di bawah sorotan lampu beam warna-warni yang menari liar ke segala penjuru, tubuh Lela tampak gemerlap. Tangan kirinya menggenggam mikrofon dengan mantap, sementara tangan kanannya melambai-lambai di atas kepala—memamerkan kelek mulusnya dengan penuh percaya diri. Sekali-sekali, ia menyapu udara, menyambut lembaran-lembaran uang saweran yang beterbangan dari tangan para penggemar.
Pecahan uang—lima ribuan, dua puluh ribuan, hingga lima puluh ribuan—berjatuhan seperti hujan dari langit, mengendap di telapak tangannya, menggumpal, lalu diselipkan di sela-sela tubuh atau disodorkan ke kru panggung. Lela tersenyum puas.
Ia tidak malu. Tidak peduli apa kata orang. Sebab bagi Lela, panggung adalah tempat bertahan hidup. Ia menari bukan untuk dipuja. Ia bernyanyi bukan untuk dikenang. Ia hanya ingin anak-anaknya tetap makan, tetap sekolah, dan tidak tahu betapa keras dunia yang telah memperkosa kehidupannya.
"Hok'a hok'e. Enyoh.. Enyoh..
Siji.. loro.. telu.. mangku purel ning karaokean
demok pupu sampek munggah gunung Semeru.
mangku purel dudu penggawean
luwih penting mikira masa depanmu"
Operator sound horeg menaikkan volume hingga dentuman bass mengguncang dada. Lampu sorot menari liar di atas panggung, membelah kepulan asap rokok dan uap alkohol yang pekat mengambang di udara. Di bawahnya, penonton makin menggila. Ada yang memanggul temannya di pundak, berjingkrak-jingkrak tanpa kendali. Ada yang melompat-lompat seperti kesurupan irama. Sebagian lagi cukup bergoyang santai, mengikuti beat dengan gerakan malas tapi tetap larut.
Bau keringat bercampur dengan aroma menyengat dari minuman keras dan asap rokok. Hawanya panas dan pengap. Tapi di tengah kerumunan itu, Wiji, Untung, dan Tejo malah ikut berjoget. Gerakan mereka tak serapi penonton lainnya—lebih seperti orang melampiaskan sesuatu yang mengganjal di hati.
Namun, sebelum lagu selesai dinyanyikan, tiba-tiba—buk!—sebuah kepalan tangan mendarat telak di kepala Wiji. Mendadak semua jadi hening sejenak. Untung, yang melihat kejadian itu, spontan mengepalkan tangan. Tubuh besarnya diputar ke samping, seolah hendak membuka jalan atau mengayun balasan.
Kekacauan pun meledak.
Tejo buru-buru meraih pundak Wiji, mencoba menariknya keluar dari kerumunan. “Wiji, minggir dulu, ayo!”
Tapi Wiji menepis tangan itu. Wajahnya memerah. Dengan mata menyala, ia justru melangkah maju, melayangkan pukulan demi pukulan ke orang-orang di hadapannya. Tak peduli siapa yang datang, siapa yang jadi lawan—semuanya seperti musuh dalam pandangannya malam itu.
Dorong-mendorong pecah. Teriakan bersahutan. Kerumunan berubah menjadi massa liar yang saling tubruk. Tidak jelas siapa membela siapa. Tidak ada kubu. Yang ada hanya kemarahan yang meledak, menguar bersama dentuman musik yang tetap mengaum dari atas panggung.
Tawuran itu makin liar, seperti amukan badai di tengah malam. Teriakan, umpatan, dan bunyi pukulan bersahut-sahutan. Tubuh-tubuh saling dorong, saling hantam, tak peduli siapa kawan siapa lawan.
Di tengah kekacauan itu, Wiji berdiri dengan dada naik-turun, napasnya memburu. Ia mengacung-acungkan jarinya ke arah siapa saja yang mendekat, seolah menantang seluruh dunia. Matanya liar, rambutnya acak-acakan, wajahnya penuh amarah.
Namun belum sempat ia melangkah lagi, tiba-tiba—breng!—rambutnya ditarik keras dari belakang. Kepala Wiji terhempas ke belakang, dan ketika ia menoleh, wajah itu muncul seperti kilat di langit mendung.
Itu wajah bapaknya. Kaji Mispan.
Tanpa banyak bicara, Kaji Mispan langsung menyeret anaknya keluar dari tengah kerumunan. Rambut Wiji masih dijambak kuat, dan langkah kaki sang ayah tak bisa dibantah. Wiji terseret seperti hewan yang tak berguna, seperti sapi yang membandel di ladang lumpur. Suara tawuran perlahan menjauh, berganti dengan umpatan pedas dari mulut sang bapak.
“Setan kamu!” bentak Kaji Mispan, nadanya penuh murka dan kecewa. “Kamu ini nggak ada habis-habisnya bikin malu keluarga!”
Di sepanjang jalan, makian terus mengalir. Sesekali pukulan mendarat di punggung atau bahu Wiji. Tapi Wiji tak melawan. Ia hanya menunduk, memegangi rambutnya yang masih dijambak, dan membiarkan tubuhnya yang terus di seret, langkahnya terhuyung-huyung. Mungkin karena malu, mungkin karena takut. Atau mungkin karena sudah terlalu sering diperlakukan begitu.
Orang-orang yang melihat kejadian itu hanya bisa menonton dalam diam. Tak satu pun berani mendekat, apalagi membela. Semua membisu, seolah paham: di hadapan seorang ayah yang marah, tak ada tempat bagi pembelaan.
Sesampainya di rumah, Mispan tanpa ampun membanting tubuh anaknya di depan pintu. Wiji jatuh terhempas, terkapar lemas di lantai semen dingin, meringis menahan sakit. Seperti telur dadar yang baru saja disiram kecap, tubuhnya lemas dan lusuh. Rambutnya acak-acakan, wajahnya lebam. Dari lubang hidung sebelah kanan, darah masih mengalir pelan.
Ruqayah sontak menjerit kecil. Hatinya tersentak melihat kondisi anak laki-lakinya yang seperti mayat hidup. Ia berlari menghampiri Wiji, lalu dengan panik memangku kepala anaknya.
“Astagfirullah, Pak... Kenapa lagi anakmu ini, Pak?” suaranya parau, matanya berkaca-kaca.
Dengan cepat, ia menyeka darah di wajah Wiji menggunakan daster lusuh yang masih melekat di tubuhnya. Jemarinya gemetar, hatinya robek.
Namun Mispan malah membentak, ekspresinya penuh kemarahan dan kejengkelan. “Tidak perlu ditanya lagi! Kamu tahu sendiri kelakuan anakmu itu!” bentaknya sambil menunjuk-nunjuk ke arah Wiji yang terkulai.
“Dari dulu bedhes yang satu ini cuma bikin malu keluarga! Semua orang di desa ini juga sudah tahu, dia itu anak urakan! Suka bikin onar di mana-mana!” Suaranya menggema.
Sejenak, Mispan terdiam. Tarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar.
“Sudah, sekarang urus dia! Aku sudah muak!” ucapnya dingin, lalu pergi begitu saja. Tak jelas ke mana. Tak ada yang mengejarnya. Hanya jejak kemarahan yang tertinggal.
Ruqayah terisak. Ia mendekap Wiji yang terkulai di pangkuannya.
“Kenapa lagi to, Le...?” tanyanya dengan suara lirih, masih berharap ada jawaban. Tapi Wiji tetap diam. Matanya sayu, tubuhnya lunglai, mulutnya terkunci. Tak ada kata. Hanya air mata yang mengalir dari mata ibunya.
“Arif... Halimah... Sini, Nak! Tolongin adikmu!” Ruqayah berteriak memanggil putra-putrinya yang lain.
Dari dapur, Halimah dan suaminya, Arifin, langsung berlari tergopoh-gopoh. Mereka terkejut saat melihat pemandangan di depan rumah.
“Ya Allah, Mak! Ini kenapa?” tanya Halimah panik. “Kenapa Wiji bisa sampai begini?”
“Sudah... jangan banyak tanya dulu. Bantu Emak angkat badannya, bawa ke kamar!” jawab Ruqayah, suaranya pecah oleh tangis, dasternya basah oleh darah anaknya.
“Sini, Mak. Biar saya saja yang angkat.” ujar Arifin, lalu segera memapah tubuh Wiji dari pangkuan ibu mertuanya. Dengan hati-hati, ia mengangkatnya, dibantu oleh Halimah. Mereka membaringkan Wiji di atas ranjang kecil di dalam kamarnya.
Di atas ranjang, Wiji hanya bisa terbaring lemas. Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya.
Ruqayah membasuh wajah anaknya dengan air hangat yang ia ambil dari baskom kecil. Ia usap lembut lebam-lebam di wajah itu, meski hatinya jauh lebih lebam dari apa yang tampak di kulit Wiji.
Mau senakal apa pun Wiji Santoso, bagi Ruqayah dia tetaplah anaknya. Anaknya yang dulu ia lahirkan dengan jerih payah dan air mata. Anaknya yang dulu ia timang dan ia peluk setiap malam. Anaknya yang, meski dikenal sebagai pembuat onar di luar sana, tak pernah sekalipun meninggikan suara padanya, apalagi menyakitinya.
Bagi Ruqayah, Wiji adalah permata hidupnya.
Dan karena ia yang melahirkan, maka ia pula yang akan menjaga. Tak peduli dunia memusuhinya, seorang ibu akan selalu berdiri di sisinya. Sampai kapan pun.
Malam makin larut. Di dalam kamar yang remang-remang, Wiji sudah tertidur pulas. Napasnya teratur meski sesekali tubuhnya bergerak gelisah. Bekas luka di wajahnya masih tampak membiru, dan pelipisnya sedikit bengkak. Di sebelah ranjang, Ruqayah duduk diam. Matanya tak lepas dari wajah anak laki-lakinya itu. Sesekali ia mengelus rambut Wiji yang acak-acakan, seperti hendak menenangkan badai yang bergemuruh di dalam dirinya sendiri.
Sementara itu, suaminya belum juga pulang sejak meninggalkan rumah tadi—tepat setelah membanting Wiji di depan pintu.
Ruqayah menoleh ke arah jam dinding: jarum panjang hampir menyentuh angka dua belas. Hatinya makin gelisah. Ia meraih ponsel yang tergeletak di meja kecil sebelah tempat tidur. Ditekanlah nomor suaminya. Beberapa kali nada sambung terdengar, tapi tak ada jawaban. Ia mencoba mengirim pesan WhatsApp, tapi tetap nihil balasan. Kekhawatirannya kian menjadi.
Dengan hati gelisah, Ruqayah keluar dari kamar. Ia berjalan pelan menyusuri lorong rumah, lalu berhenti di ruang tamu. Dengan tangan gemetar, ia membuka tirai jendela, menatap keluar ke arah jalan kecil di depan rumah.
Gelap. Sepi. Hanya lampu jalan yang meredup dan seekor anjing kampung yang melintas pelan, ekornya bergoyang, sesekali mengendus tanah. Tidak ada tanda-tanda keberadaan suaminya. Dengan helaan napas berat, ia kembali menutup tirai, lalu bersandar di kusen jendela.
“Ya Allah... semoga tidak terjadi apa-apa,” bisiknya lirih.
Waktu terus berlalu hingga langit mulai memucat. Udara dingin menyusup lewat celah-celah dinding rumah. Lalu, dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara azan subuh berkumandang dari langgar samping rumah. Tak lama kemudian, suara knalpot motor terdengar mendekat. Ruqayah buru-buru membuka kembali tirai jendela.
Nampak dari kejauhan, sebuah motor bebek melaju pelan menuju halaman rumah. Di atasnya, Kaji Mispan duduk dengan tubuh tegap. Ia mengenakan sarung batik cap khas Tuban, jaket kulit warna hitam, dan kopiah yang sedikit miring di kepala.
Motor berhenti. Mispan menurunkan standar samping dan turun dengan gerakan tenang.
Ruqayah segera membuka pintu dan menyongsongnya di teras.
“Assalamualaikum...” ucap Mispan.
“Waalaikumsalam... Dari mana to, Pak? Kok baru pulang?” suara Ruqayah mengandung nada cemas yang tertahan sejak malam.
“Habis melekkan di rumah Kaji Umar,” jawab Mispan singkat.
Ruqayah tampak tak percaya. “Kok nggak bilang-bilang, Pak? Minimal kirim pesan. Semalam saya telepon, saya kirim WhatsApp, tapi tidak ada balasan. Panik saya itu.” keluhnya sambil memeluk sajadah dan mukena di lengannya.
“Ndak ada acara apa-apa. Cuma ngobrol-ngobrol saja,” jawab Mispan datar, sambil meletakkan helm di atas kursi bambu.
“Ngobrol-ngobrol sampai subuh? Ngobrolin apa memangnya?” tanya Ruqayah, suaranya pelan namun menuntut.
“Sudah, sudah... jangan banyak tanya. Sekarang ayo, sholat subuh dulu.” potong Mispan, menutup percakapan.
Ia segera melangkah ke langgar di samping rumah, meninggalkan Ruqayah yang masih berdiri di teras dengan berbagai tanya di kepalanya.
Mispan berwudhu, lalu berdiri memimpin sholat subuh berjamaah di langgar kecil yang sunyi. Di antara dzikir dan bacaan doa yang mengalun, tak seorang pun tahu isi hatinya. Tapi malam itu telah menyisakan luka—bukan hanya di tubuh anaknya, tetapi juga di hatinya sendiri, yang tak pernah benar-benar ia akui.
Sekitar sepuluh tahun yang lalu, langgar kecil di samping rumah itu berdiri untuk pertama kalinya. Dibangun oleh Mispan, sepulangnya dari tanah suci. Dengan dana pribadi dan tanah milik sendiri, ia mendirikan rumah ibadah itu bukan semata untuk dirinya, tapi untuk warga di sekelilingnya. Sebuah tempat sederhana namun penuh harap, agar kampung kecil itu bisa lebih dekat pada Tuhan.
Sejak resmi menyandang gelar "Haji", Mispan berubah. Ia mulai mengajak warga kampungnya untuk lebih memperhatikan nilai-nilai keagamaan. Dalam setiap kesempatan, ia menyerukan pentingnya menjaga ibadah, meninggalkan kemaksiatan, dan mengutamakan kehidupan akhirat. Kata-katanya sering terdengar seperti khutbah. Tegas dan tanpa basa-basi.
Langgar itu dibangunnya sebagai bagian dari ikhtiarnya. Tempat yang ia harapkan bisa menjadi pusat kegiatan rohani, tempat orang-orang berkumpul untuk berdzikir, mengaji, dan terutama—sholat.
Namun, dari sekian banyak warga di lingkungan itu, hanya tujuh orang yang benar-benar rutin memakmurkan langgar itu. Selain dirinya dan sang istri, ada anak perempuannya Halimah, serta menantunya Muhammad Arifin. Wiji? Anak laki-lakinya yang satu itu, sholatnya semau-maunya saja. Kadang ikut, tapi lebih sering tidaknya.
Tiga nama lainnya adalah tetangga sekitar. Bu Hartini dan suaminya, Pak Wijayanto—pasangan paruhbaya seumuran Mispan yang rajin datang setiap waktu sholat. Dan yang terakhir, Yu Kastun, seorang janda pemilik warung angkringan di dekat jembatan kali Brantas, sekaligus emak dari Untung—teman akrab Wiji.
Yang biasanya menjadi imam adalah Arifin, menantunya yang tenang dan bersahaja. Kadang juga Mispan sendiri jika sedang ingin. Sementara adzan biasanya dikumandangkan oleh Pak Wijayanto, meski sesekali Arifin juga mengambil peran itu bila Pak Wijayanto tak hadir.
Langgar itu sunyi, tapi tetap hidup. Bukan ramai oleh jumlah, melainkan oleh niat-niat tulus yang datang setiap lima waktu. Dan meski terkadang Mispan merasa kecewa—karena tak semua orang mau datang seperti harapannya—ia tetap merawat langgar itu dengan penuh cinta. Seperti seorang bapak yang merawat anaknya, meski anak itu tak selalu menurut.
Ia juga sering mengadakan pengajian rutinan setiap tahun di langgar-nya dengan mengundang dai-dai kenamaan. Saat mengadakan pengajian di langgar-nya Kaji Mispan mengajak para warga di sekitar RT-nya urunan membuatkan hidangan makanan, seperti kue-kue atau makanan yang lainnya. Warga juga di mintai sejumlah uang oleh para panitia dari puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Dari yang paling kaya sampai yang paling miskin sama. Uang itu digunakan untuk keperluan seperti sewa terob, sound sistem, dan isi amplop salam templek untuk pak Kyai atau sang Da'i yang di undangnya.
Orang-orang dari berbagai desa pun berbondong-bondong datang ke pengajian. Sebagian bukan karena ingin mendengar ceramah, melainkan hanya karena ingin mendapatkan makanan gratis, yang telah di persiapkan oleh warga. Bahkan demi itu mereka sampai rela berdesak-desakkan. Tak lupa mereka juga memotret atau memvideokan moment tersebut. Lalu memostingnya di akun media sosial mereka masing-masing. Dengan caption "Barakallah, Kaji Mispan." Layaknya Sultan, namanya seketika jadi viral. Dan di sanjung dimana-mana.
Selain membangun langgar dengan dana pribadinya, Kaji Mispan juga dikenal rajin mengadakan pengajian tahunan. Acara itu menjadi agenda rutin yang digelar dengan cukup meriah di langgar kecil miliknya. Untuk pengajian ini, ia tak tanggung-tanggung—mengundang dai-dai kenamaan dari luar kota, yang biasa tampil di televisi atau YouTube, lengkap dengan gaya ceramah yang lantang dan penuh perumpamaan.
Menjelang hari-H, warga sekitar RT sibuk bergotong royong. Atas inisiatif Mispan, mereka diminta ikut urunan, entah berupa makanan atau uang tunai. Para ibu-ibu membuat aneka kue basah, nasi kotak, dan air mineral. Sementara para bapak diminta menyumbang sejumlah uang—mulai dari puluhan hingga ratusan ribu rupiah—baik, yang kaya maupun yang miskin dikenai jumlah yang sama.
Dana itu digunakan untuk menyewa terob, membayar sound system, serta menyiapkan isi amplop salam tempel bagi sang Kyai atau da'i yang diundang. Tak jarang, biaya keseluruhan pengajian setara dengan biaya hajatan pernikahan. Tapi bagi Kaji Mispan, itu semua adalah bentuk perjuangan dakwah.
Dan benar saja—pada hari pengajian, orang-orang dari desa-desa tetangga berdatangan berbondong-bondong. Ada yang benar-benar ingin mendengar tausiah, tapi tak sedikit yang hadir hanya demi satu tujuan: makanan gratis.
Demi sebungkus nasi dan sebotol teh pucuk, mereka rela berdesakan di bawah terob, bahkan saling dorong demi mendapatkan tempat duduk terdepan. Suasana menjadi semarak, tak jarang juga kacau.
Tak ketinggalan, kamera ponsel bertebaran ke mana-mana. Setiap sudut acara dipotret, direkam, lalu diunggah ke media sosial masing-masing. Feed Instagram dan status WhatsApp dipenuhi foto-foto selfie berlatar panggung pengajian, atau momen ketika menerima nasi kotak. Caption-nya seragam:
"Barakallah, Kaji Mispan."
"Sukses selalu, Pak Kaji. Luar biasa."
"Pengajian megah di kampung kecil. Keren!"
Nama Mispan pun viral. Layaknya sultan kampung, ia disanjung di mana-mana. Wajahnya muncul di mana-mana, meski tanpa baliho. Namun pujian yang datang seringkali lebih keras dari makna pengajian itu sendiri. Nilai-nilai agama bergema, tapi yang menempel justru popularitas dan reputasi.
Dan Mispan, entah benar tulus atau sekadar menikmati sorotan, tetap tampil di barisan depan. Dengan sorban melingkar di pundak, dan senyum penuh wibawa, menyambut para tamu sambil sesekali melambaikan tangan seperti tokoh penting di acara resmi.
Dulu, Kaji Mispan juga sempat mencalonkan diri sebagai kepala desa Wonosari. Sebuah ambisi yang perlahan tumbuh setelah ia merasa cukup dikenal dan disegani di lingkungan sekitarnya—sebagai tokoh agama, pendiri langgar, dan penyelenggara pengajian besar yang rutin digelar tiap tahun.
Ia yakin, dengan reputasinya selama ini, dukungan akan mengalir deras. Maka ia pun maju sebagai calon lurah melawan Sungkowo—seorang figur yang lebih membumi, lebih "ngoko", dan sudah lama berkecimpung di lapisan sosial masyarakat bawah.
Kampanye pun dijalankan dengan cukup serius. Mispan dan tim suksesnya bergerak ke sana-sini. Poster dipasang, baliho dicetak, nasi bungkus dibagi, bahkan angpau dalam amplop ikut ditebar. Uang tak sedikit dihabiskan demi mengejar dukungan. Tapi sayangnya, simpati masyarakat tak semudah itu dibeli. Di balik segala pujian yang selama ini ia terima, ternyata banyak warga yang diam-diam tidak ingin Mispan duduk di kursi lurah.
Beberapa menganggapnya terlalu keras, terlalu menggurui. Sebagian lagi merasa ia lebih cocok jadi pemuka agama, bukan pemimpin desa yang harus siap mendengar dan melayani semua kalangan, bukan sekadar menasihati.
Ketika hari pemungutan suara tiba, harapan Mispan perlahan runtuh.
Hasil real count menunjukkan kekalahan telak. Dari total 4.367 suara sah, Sungkowo memperoleh 3.113 suara, sementara Mispan hanya meraih 1.072 suara. Sisanya adalah suara tidak sah dan pemilih yang tidak hadir alias golput.
Hasil itu menjadi pukulan berat bagi Mispan dan tim suksesnya. Tapi ia tak banyak mengeluh. Setelah hasil diumumkan, ia hanya berkata pendek, dengan senyum getir di bibirnya:
"Ora dadi lurah, ora patheken."
Tak jadi lurah tak apa-apa.
Satu kalimat sederhana itu seolah ingin menunjukkan ketegaran, meski di dalam hatinya mungkin ada bara kecewa yang belum padam sepenuhnya.
Sejak kekalahan itu, Mispan tak lagi bicara banyak soal politik. Ia kembali fokus mengurus langgar, pengajian, dan hal-hal yang lebih dekat ke urusan akhirat. Tapi ada yang berubah—semacam ketegangan halus dalam caranya memandang warga. Ia tahu, tak semua yang datang ke pengajiannya benar-benar memuliakannya. Tak semua salam dan senyum itu tulus.
Dan sejak saat itu pula, nama Sungkowo menjadi perpanjangan lidah warga, sementara Mispan perlahan kembali ke wilayahnya: bukan sebagai pemimpin desa, tapi tetap sebagai "Kaji"—tokoh yang dihormati...
*******
“Dawuhe Kanjeng Nabi,” ujar Gus Arifin, menantu Kaji Mispan, dengan suara tenang seusai memimpin salat subuh di langgar, “bersedekah tidak akan membuat seseorang miskin. Justru hartanya akan bertambah karena keberkahan.”
Suara Arifin mengalun dari pengeras suara langgar, menggema ke segala penjuru gang-gang kecil di desa Wonosari. Kata-katanya mengalir lembut, dibalut nada santun khas santri muda lulusan pesantren ternama.
Namun dari balik sekat kain putih yang membatasi ruang salat wanita, Yu Kastun hanya menunduk. Bibirnya diam, tapi pikirannya bergejolak.
“Percuma, Gus...” gerutunya dalam hati. “Sampean ceramah soal sedekah di hadapan janda miskin seperti saya. Apanya yang mau disedekahkan? Lha wong saya ndak gableg apa-apa, selain utang dan si Untung, anak lanang saya satu-satunya.”
“Kan jadinya hadist itu malah salah sasaran. Sebelum ceramah soal agama, mbok ya mikir, siapa yang ada di hadapannya!”
Arifin masih melanjutkan tausiyahnya, suaranya penuh semangat.
“Maka dari itu, rajin-rajinlah bersedekah. Teruslah menjadi orang yang baik. Karena orang baik akan mendapatkan balasan yang baik.”
Ia mengutip ayat:
Famayya'mal mitsqala dzaratin khairan yarah, wa mayya'mal mitsqala dzaratin syarran yarah.
"Barangsiapa berbuat kebaikan seberat dzarrah, niscaya ia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa berbuat keburukan seberat dzarrah, ia pun akan melihat balasannya.”
Ceramah itu mengalir tenang seperti sungai kecil—tapi tak semua yang mendengarnya merasa sejuk. Di dalam ruang langgar yang tak seberapa besar itu, jamaah pagi hanya diisi oleh mereka yang hampir selalu hadir: Kaji Mispan dan istrinya Ruqayah, Halimah dan Arifin, serta tiga tetangga setia: Pak Wijayanto, istrinya Bu Hartini, dan Yu Kastun.
Langgar itu memang tak ramai, tapi terlihat mewah. Berdiri berdampingan dengan rumah megah milik Kaji Mispan yang menjulang tiga lantai. Bangunan langgar bercat putih bersih, kubahnya hijau terang, lantainya dari marmer mengilap, dan kusen-kusennya dari stainless steel antikarat yang mengilau saat terkena cahaya fajar.
Dari balik sekat, Yu Kastun kembali membatin:
“Ceramah soal sedekah... Tapi apakah hari ini ada yang berniat bersedekah padaku? Untuk belanja pagi saja aku belum tahu cukup apa tidak. Nasi belum dimasak, kompor gas Elpiji sudah habis isinya...”
Langit perlahan membiru, ayam-ayam mulai berkokok. Sementara di dalam langgar, suara Gus Arifin masih terdengar. Terus berceramah meski hanya beberapa orang yang menyimak. Sebagian menyimak dengan iman. Sebagian lain—seperti Yu Kastun—dengan kenyataan.
Tepat di belakang langgar yang berdiri megah dengan lantai marmer dan kubah hijau mengilap itu, berdiri sebuah rumah reyot nyaris roboh. Hanya berdinding anyaman bambu yang sudah bolong di sana-sini. Atapnya bocor, tiangnya miring. Di sanalah Embah Wagimun tinggal—seorang pria sepuh, delapan puluh tahun umurnya, hidup sebatang kara tanpa sanak saudara.
Pekerjaan Embah Wagimun tak muluk-muluk. Sehari-hari ia membuat sapu lidi, tumbu, tampah, besek, dan aneka alat rumah tangga dari anyaman bambu apus. Tangannya keriput dan mulai bergetar, tapi masih lincah menyusuri bilah-bilah bambu, menganyamnya dengan sabar dalam sunyi malam. Kadang, ia juga menerima pesanan dari para pelaku seni Reog Ponorogo untuk membuatkan jaranan—kuda lumping yang biasa digunakan dalam tarian jathilan.
Setiap malam, di bawah temaram lampu minyak, Embah Wagimun duduk bersila di lantai tanah, menganyam satu per satu lembaran bambu menjadi tumbu. Seminggu sekali, saat pagi masih gelap, ia akan memikul hasil kerajinannya—tumbu, sapu lidi, tampah—dan melangkah pelan menuju Pasar Legi. Jika dagangannya belum habis, ia lanjut berkeliling desa, dari kampung ke kampung, memanggul beban di pundaknya yang makin renta.
Dengan sisa-sisa kekuatan, tulang kaki yang mengeropos di balik kulit yang mengisut,
ia menyusuri jalan-jalan pedesaan.
Tak ada yang menunggunya di rumah. Tak ada yang bertanya kapan ia pulang.
Ia tetap mandiri. Atau lebih tepatnya—memang tidak ada yang peduli. Orang-orang di sekitarnya terlalu sibuk menyelamatkan akhiratnya sendiri. Terlalu khusyuk menghafal pahala dan dosa, hingga lupa melihat sesama.
Dari rumah reotnya, yang hanya selemparan batu dari langgar mewah milik Kaji Mispan, suara toa pagi itu terdengar lantang. Suara Gus Arifin menggelegar membelah fajar:
"Hidup di dunia ini cuma sebentar. Yang penting adalah akhiratnya!"
Mbah Wagimun menyahutnya dalam hati. "Akhirat memang penting. Tapi bukan berarti kesejahteraan di dunia harus dilupakan. Orang tak akan sempat berpikir tentang akhirat, kalau untuk makan saja masih susah. Perut yang keroncongan tak bisa diajak mengaji. Sujud pun terasa berat, kalau tulang tak kuat menopang tubuh lapar."
Ia terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Dingin pagi menyusup lewat lubang-lubang dinding rumahnya. Ia bangkit pelan, memikul tumbu-tumbu anyamannya. Langkahnya gontai, tapi matanya tetap menyala.
Sambil berjalan menuju Pasar Legi, Embah Wagimun menembang sekar pocung.
"Ngelmu iku kalakone kanthi laku.
lekase lawan kas
tegese kas nyantosani
setya budya pangekese dur angakara."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments