"Felix?" Cassie membuka mata perlahan, pandangannya kabur dan bingung saat wajah sang suami tiba-tiba memenuhi seluruh penglihatannya. Dia nyaris tidak percaya betapa dekatnya pria itu berada, seolah ingin menyelamatkannya dari kegelapan yang membayang.
"Iya, ini aku," kata Felix lembut, mengalir menenangkan.
Dengan sentuhan penuh kasih, dia mengangkat tubuh lemah Cassie yang terkulai dalam pelukannya, menempatkan sang istri di atas ranjang besar seakan menjaga agar dunia tak jatuh menimpanya lagi.
"Kamu harus istirahat dulu," bisik Felix, matanya tak lepas dari wajah Cassie yang masih buram. "Aku masih harus menemui klien."
Sebelum melepaskan pelukan hangat itu, Felix menyentuh keningnya dengan kecupan mesra—seperti janji bahwa dia akan kembali. Selimut tebal perlahan dia tutupkan, melindungi tubuh Cassie dari dingin yang menusuk.
"Klien?" Kerutan dalam-dalam menghiasi dahi Cassie, ketidakpastian merayapi benaknya.
"Iya, Sayang." Felix tersenyum kecil, lalu dengan gemas mencubit pipinya. "Apa seteguk alkohl membuatmu lupa kalau malam ini kamu menemaniku ke perjamuan untuk menemui klien?"
'Perjamuan?' gumam Cassie, rasa asing mengguncang hatinya seperti angin dingin di malam tanpa bintang. 'Bukankah aku … seharusnya di rumah sakit?'
Bayangan gelap dan ingatan samar menghantui pikirannya—terjatuh ke kolam renang—tenggelam tanpa kemampuan berenang.
Sesuatu di dalam dirinya berteriak, menuntut jawaban atas keanehan yang menjerat kenyataan malam ini.
Dia terombang-ambing antara kenyataan dan mimpi buruk yang menggigit, tak tahu mana yang benar dan mana yang hanya bayang-bayang luka.
Cassie pikir, dirinya bisa bangun karena berhasil diselamatkan dan seharusnya tengah menjalani perawatan di rumah sakit.
Namun, kenapa malah menemani Felix menemui klien?
Tunggu dulu! Tatapan Cassie seketika membeku, jantungnya berdegup keras saat ingatan dan sebuah pemikiran menampar wajahnya tanpa ampun.
‘Ini ... villa keluarga Murphy?’ Matanya membesar, penuh kecemasan yang mencoba disembunyikan dari Felix yang tetap tak menyadari perubahan wajah sang istri.
Namun, sebelum pikirannya melaju lebih jauh, suara Felix yang penuh kasih sayang menyeruak ke ruang hatinya. "Tidurlah dulu, nanti setelah aku selesai, aku akan kembali menemanimu."
Dengan lembut, tangannya menyentuh kepala Cassie bak memeluk seekor kucing jinak, sikapnya yang penuh perhatian sekaligus meremehkan membuat udara di ruangan itu terasa kaku.
Cassie memaksakan senyum tipis, tapi begitu punggung Felix berbalik, segala kelembutan itu sirna tergantikan oleh tatapan dingin yang menusuk. Bibirnya berkerut menjadi senyum sinis penuh kepahitan.
“Hah! Kalau aku tidak bangkit dari kematian, mungkin aku sudah larut dalam perangkap manismu itu ...,” desis Cassie dengan suara dingin, penuh kebencian terpendam dalam diam.
Di balik kelembutan itu, dia tahu ada duri yang siap menyakitinya.
Namun, dia takkan tertipu lagi!
Cassie mengingat dengan jelas kejadian malam itu di Villa Angin—ketika hidupnya dulu bersinggungan dengan Felix di perjamuan keluarga Murphy.
Malam itu, segalanya terulang seperti bayangan kelabu yang tak bisa dihindari.
Dia hanya menyesap sedikit alkohol dari gelas yang Aleena suguhkan, tetapi seketika tubuhnya melemah seolah seluruh tenaganya terkuras habis tanpa sisa.
Aleena dengan senyum manis yang menyembunyikan niat lain, membisikkan pada Felix agar mengantarnya beristirahat.
Tanpa perlawanan, Felix menuntun Cassie ke kamar mereka.
Yang terjadi selanjutnya ....
Aleena tiba-tiba mencengkeram tangan Felix dengan erat, mendorongnya ke dinding.
“Aleena, kenapa kamu di sini?” Suara Felix penuh keterkejutan dan ketegangan, matanya memancarkan kebingungan sekaligus amarah.
Aleena menatap dengan cemberut, bibirnya membentuk senyum licik. “Kenapa? Apa aku tidak berhak menemuimu?” katanya sambil tangannya menjelajah nakal di atas jas Felix, seolah mengklaim apa yang seharusnya menjadi miliknya.
Di antara dinginnya dinding kamar dan bisu yang memekakkan, Cassie hanya bisa merasakan jarum-jarum tajam pengkhianatan menusuk jantungnya—semua kekuatan dan kepercayaan yang pernah dia bangun runtuh dalam sekejap.
Malam itu, bukan hanya tubuhnya yang lelah, tapi jiwa dan hatinya hancur berkeping-keping.
"Boleh, kamu tentu saja boleh menemuiku kapan pun kamu mau. Namun, tidak di sini ...," bisik Felix sambil ke arah ranjang, dia menghela nafas lega begitu mendapati Cassie masih memejamkan mata dengan damai.
Aleena tersenyum penuh tantangan. "Kenapa? Kamu takut dia mengetahui skandal kita?" katanya, menggoda dengan mata yang berkilau nakal. Dia mengalungkan kedua tangannya di leher Felix, menariknya lebih dekat seakan ingin membius pria itu dengan parfum di tubuhnya. "Tenang saja, dia tidak akan bangun karena aku mencampurkan obat tidur ke dalam minumannya."
"Dia benar-benar tidak akan bangun, kan?" tanya Felix dengan cemas, tidak menyadari rencana licik Aleena yang memberikan obat untuk melemahkan sistem saraf Cassie, bukannya obat tidur.
Aleena hanya tersenyum sembari mengangguk, terlalu bangga dengan ovasi berbahayanya.
Mendengar kata 'tidur', Felix merasakan ketidakpastian mencengkeram jiwanya. Cassie—istrinya yang lembut dan penuh kasih—telah menjadi pusat hidupnya.
Bagaimana jika dia mengetahui apa yang terjadi?
Namun, saat melihat Cassie yang terlelap, ketegangan itu mulai menghilang.
“Karena kamu terus mengabaikanku untuk memanjakan Sisie hingga membuat bayi kita tidak senang, maka kamu harus memberikan kompensasi yang layak untukku,” goda Aleena dengan suara menggoda.
Seperti ikan yang disuguhkan umpan, Felix tampak bersemangat mengambil alih kendali. Dia berbalik mendorong tubuh Aleena ke dinding, lalu mulai menyerangnya dengan ganas. Dalam pikirannya, semua yang terjadi antara dia dan Aleena hanyalah kesenangan semata.
Namun, ada sesuatu yang lebih dalam dan kelam di balik senyum licik Aleena
‘Cassie, seharusnya kamu menyerah, kan?’ Aleena menikmati serangan demi serangan yang diluncurkan Felix, sementara tatapannya jatuh ke arah ranjang, tempat di mana Cassie berusaha untuk menyembunyikan luka. 'Hanya jika kamu menyerah, aku dan bayi dalam kandunganku akan menikmati kemewahan.'
Cassie yang teronggok di sudut ranjang, berpura-pura tidur. Air mata mengalir di pipinya, merasa setiap detik berlalu seperti jarum yang menenun benang kesakitan di hatinya.
Dia telah mengalami pengkhianatan ini sebelumnya, tetapi setiap rasa sakitnya seolah terulang kembali dengan lebih menyakitkan.
Dia tidak ingin bertindak gegabah, tidak ingin berakhir dalam pusaran kemarahan yang tidak dapat ditarik kembali.
Cassie ingat di kehidupan sebelumnya, dia turun dari ranjang dengan langkah berat seolah-olah ada beban tak terlihat terikat di kakinya dan menuntunnya menuju realitas yang pahit.
Aleena memandangnya dengan tantangan yang mencolok dan senyum penuh sindiran menghiasi wajahnya, seakan menantang Cassie untuk melakukan sesuatu.
Namun, Cassie memilih untuk mengabaikannya. Dia melangkah mendekat, menghentikan diri tepat di belakang Felix.
"Felix ...." Suara Cassie mengalun tenang, menentang semua gejolak yang berkecamuk di dalamnya.
Mendengar suara familier yang begitu tenang, Felix menghentikan aksinya dan menegang sejenak, sebelum akhirnya segera berbalik.
"Sisie ...." Felix menatap Cassie dengan gugup, lalu melirik Aleena dengan tatapan menyalahkan sambil mengeluarkan suara yang cukup pelan. "Bukankah kamu bilang dia tidak akan bangun?"
"Aku juga tidak tahu kenapa bisa begini," balas Aleena memasang ekspresi takut yang dibuat-buat.
Berbeda dengan Felix, Cassie sangat tenang seperti kapal yang berlayar di tengah badai dengan kesadaran penuh bahwa ini adalah pertempuran yang harus dihadapi.
Melihat ketenangan Cassie, rasa guncangan dalam diri Felix justru semakin besar seolah ombak besar menghempas dari segala arah. "Sayang, kenapa kamu bangun?"
Tanggapan Cassie langsung memicu perubahan dalam atmosfer ruangan. "Kalau aku tidak bangun, bagaimana aku bisa mengetahui perbuatan kalian yang sangat menjijikkan ini?" Sarkasme terukir dalam suaranya, sementara tatapan jijik yang dilayangkan kepada Felix dan Aleena seolah-olah dia menatap hama yang merusak kebun harapannya.
"Sayang, ini tidak seperti yang kamu lihat ...." Felix mencoba mendekat, berusaha meraih pergelangan tangan Cassie.
Namun, langkahnya ditahan oleh tembok ketidakpercayaan yang sekarang mengakar di antara mereka.
Cassie melangkah mundur, menjaga jarak yang semakin melebar.
Jika sebelumnya Cassie senang dipanggil 'sayang' oleh Felix seolah-olah dialah wanita yang paling dicintai di muka bumi ini, sekarang panggilan itu malah terasa sangat menjijikan.
“Jadi seperti apa? Apakah Aleena yang merayumu, atau kamu dalam keadaan tidak sadar saat ini?” Cassie melontarkan pertanyaan itu dengan nada sinis, pandangannya penuh kebekuan yang membuat samudera di dalam hati Felix semakin bergelora.
Dia berusaha mengumpulkan kata-kata, tetapi semuanya terhambat oleh rasa bersalah yang membelenggu mulutnya.
“Felix, sebelum kamu memberikan alasan, pastikan kamu sendiri mempercayai alasan yang kamu buat.” Suara Cassie menyayat, dengan tegas dia berdiri di sana hanya untuk menunggu jawaban yang tidak mungkin datang.
Dia kini melihat Felix bukan sebagai pria yang dicintainya, tetapi sebagai pengkhianat yang telah merusak segala sesuatu yang mereka bangun bersama.
Aleena di sudut ruangan mencoba berbicara dengan senyum yang dulu bisa membuat hari-hari gelap Felix menjadi cerah.
Namun, senyumnya saat ini hanya menambah kesedihan dalam suasana. “Sisie, jangan salahkan Felix ... salahkan saja aku.”
"Kau diam!" bentak Cassie, amarah mulai menyulut dirinya. "Tidak ada tempat untukmu berbicara di sini!"
"Felix ...." Aleena menatap Felix dengan mata berkaca-kaca, berharap pria itu mampu menegakkan benang-benang yang hampir putus di antara mereka.
Tetapi alih-alih membela, Felix justru mendelik tajam sambil memperingati, “Diamlah.”
Mana mungkin dia masih punya waktu membujuk Aleena, sementara Cassie saja belum ditangani dengan baik.
Aleena menunduk dengan hati yang terguncang, dia mengepalkan kedua tangan di samping tubuh, menyembunyikan kemarahan dan kecewa yang membara. “Cassie sialan!” gerutunya dalam hati, merasa dikhianati oleh pria yang seharusnya melindunginya.
"Sayang, dengar—"
"Felix, ayo, bercerai," sela Cassie masih dengan sikap tenang yang membuatnya tampak berkelas. "Besok aku akan meminta pengacaraku mengurus kontrak perceraian, mari kita menyelesaikan prosedurnya secepat mungkin."
Setelah mengatakan itu, Cassie langsung meninggalkan Villa Angin tanpa memperdulikan senyuman kemenangan yang menghiasi wajah Aleena.
Dia juga tidak menghiraukan panggilan dan kejaran sang suami di belakangnya, bahkan tatapan ingin tahu dari orang-orang sekitar pun tak diindahkannya.
Namun, Cassie malah bimbang bercerai dari Felix begitu sang suami mendatanginya bersama kedua anaknya dan mengatakan mereka membutuhkan keluarga yang utuh.
Keteguhan Felix saat berlutut di tengah hujan salju selama sehari semalam semakin membuat hati Cassie goyah, hingga akhirnya dia luluh dan bersedia memaafkan sang suami serta memberikan kesempatan keduaa padanya.
Di kehidupan ini ....
"Aku akan mengubah takdirku sendiri dan tidak akan membiarkan jalan9 itu mendapatkan apa yang diinginkannya!" Cassie diam-diam mengepalkan kedua tangannya dengan erat.
"Felix, aku juga tidak menginginkanmu lagi!" tambah Cassie sambil memejamkan matanya, membiarkan suara-suara menjijikkan Aleena menghiasi indera pendengarannya hingga menghujam jantung hatinya.
"Anggap saja pengabdianku sebagai seorang istri selama tujuh tahun ini seperti memberi makan pada anjin9!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
zylla
Tenang, nanti dapet ganti suami yang lebih baik dari Felix.
2025-07-04
1
X'tine
mantapppp... buang aja sampah pada tempatnya...
2025-08-22
1
zylla
Naaahh, ini baru sikap yang benar Cassie. 👏
2025-07-04
1