Semua hanyalah kenangan bersamanya. Perasaan ikhlas melepaskan tidak ada atau mungkin belum ada. Karena 2 bulan menurutku waktu yang masih sebentar menerima kenyataan hubunganku dan Reino telah berakhir.
Berharap ada sedikit celah di hubungan pernikahan Reino sekarang, sehingga aku bisa masuk kedalamnya. Berdosa mungkin “iya”, tapi rasa cintaku masih dalam padanya.
BAB 4 ( Air Mata Kerinduan )
Aku memikirkan uang 100 juta itu di dalam otakku. Tabunganku tersisa 10 juta saja, mobil yang aku pakai jika terjual mungkin hanya laku 40 sampai 50 juta saja. Meminjam ibuku bukanlah solusi, karena Ibuku pasti tidak akan meminjamkan. Mobil yang dibawa kabur Gery saja masih aku cicil. Tanganku, masih scroll beberapa aplikasi pinjaman online. Maju dan mundur untuk melangkah lebih jauh mencari uang pinjaman.
Pinjaman di kantor pun belum semua ku lunasi, saat itu aku meminjamnya untuk beli mobil bekas yang aku pakai saat ini.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Memikirkan kembali jika aku akan menemui keluarga Reino untuk meminta maaf dan berharap permintaan nominal damai mereka bisa dikurangi.
Akhirnya aku menelpon Ibuku untuk datang ke Rumah Sakit, meminta bantuan kepadanya sebagai orang tua yang menemani anaknya dalam menyelesaikan masalah. Aku pun menceritakan pada Ibuku, jika Reino adalah suami wanita yang aku tabrak.
“Astaga, Ra. Ibu nggak mau! Apalagi harus melihat wajah kedua orang tua Reino. Pasti mereka berfikir yang tidak-tidak jika kamu ketahuan yang mencelakai menantunya,” ucap Ibuku.
“Tapi, aku uang segitu nggak ada. Coba deh sekali-kali Ibu bantu aku. Siapa tahu, bisa berkurang nominalnya,”
“Nggak, nggak. Lebih baik kamu coba temui Reino. Mungkin jika kamu langsung temui dia sendiri dia akan iba denganmu, kalian kan pernah berpacaran. Udah ibu tutup dulu, lagi ada urusan!” kata terakhir ibuku, sebelum menutup teleponnya. Aku menggerutu kesal, dengan sikap ibuku yang tidak peduli.
“Aku menemui Reino, ah yang benar saja. Nyaliku terlalu ciut,”
“Ya Tuhan, aku harus bagaimana?”
Aku berbaring kembali, sambil terus otakku tak berhenti berpikir. Mataku melirik ke arah ponsel. Memikirkan lagi saran dari ibuku. Aku beranjak bangun, mengutak atik ponselku lagi. Mencari nama Reino di kontak. Jari telunjukku maju mundur untuk menekan nomor ponsel yang masih tersimpan dengan nama sayangku.
“Ha…hallo,” ucapku lirih.
“Iya, Ra. Ada apa?” Reino menjawab teleponku.
“Rei, bisa nggak kita bertemu sebentar?”
“Hah, bertemu. Em..”
Reino terdengar ragu menerima ajakanku.
“Kamu di Rumah Sakit Pelita kan? Aku saat ini disini juga. Aku ingin berbicara di lobby besok pagi,” aku langsung menekan pembicaraan.
“Hah, kamu di Rumah Sakit? Kenapa? Sakit apa?” Reino terdengar cemas.
“Besok aku ingin bertemu di lobby, aku tutup dulu teleponnya,” jawabku, tergesa-gesa langsung bergegas menutup telepon.
Jantungku berdetak kencang. Mendengar suara Reino, membuatku sangat senang. Beberapa menit kemudian, Reino mencoba meneleponku lagi, mungkin dia sangat penasaran dengan apa yang aku lakukan di Rumah Sakit malam-malam seperti ini. Namun, aku enggan menjawabnya. Aku bingung memikirkan kalimat, jika menjawab teleponnya saat ini. Aku dan dia terasa asing, aku merasa pernikahannya menjadi dinding tinggi untukku sekedar bisa menatap matanya.
Perasaanku kacau malam ini, aku tidak bisa tidur. Aku menyusun kalimat untuk esok. Jari-jari ku masih scroll foto-fotoku dan Reino di galeri. Masa-masa indah, senyum tawa kita yang lepas. Tempat-tempat indah yang kita kunjungi bersama. Beberapa pesan romantis yang pernah Reino kirim untukku, aku baca-baca ulang hingga pagi datang.
Seorang Perawat masuk, menanyai kondisiku. Aku pun mengutarakan jika ingin melepas infus dan pulang kerumah pagi ini. Perawat itu memintaku menunggu persetujuan dokter dan berkas-berkas lainnya.
Infus sudah terlepas, aku mencuci muka dan menyikat gigi sebelum sembari menunggu berkas-berkas yang harus aku bawa pulang dari pihak Rumah Sakit. Ponselku terus berdering, Reino seperti tak sabar ingin menemuiku. Jantungku semakin berdebar.
Setelah melakukan pembayaran dan berkas-berkas sudah ku terima, aku segera menghubungi Reino dan memintanya untuk bertemu di lobby. Tanganku berkeringat, karena gugup.
Reino duduk diantara bangku lobby, lalu beranjak bangun ketika melihatku mendekat.
“Kamu sakit apa?” tanya Reino. Sepertinya dia belum tahu akulah yang menabrak istrinya. Aku menggelengkan kepala tanpa menjawab.
Melihat lobby yang ramai, aku mengajak Reino ke cafe depan Rumah Sakit untuk membicarakan 100 juta tersebut. Reino mengikuti langkah kakiku dari belakang.
Saat tiba di cafe, aku langsung meminta Reino untuk mendengarkan ucapanku dengan baik. Aku menyentuh tangannya, sambil berlutut minta maaf. Suasana cafe yang sepi, membuatku tidak canggung untuk melakukannya.
“Hei, kamu kenapa?” Reino kebingungan dengan situasi ini.
“Aku yang menabrak istrimu, maafkan aku Rei.” ucapku tertunduk. Reino mencoba melepaskan tangannya dari genggaman tanganku.
“Apa?” suaranya terdengar syok, lalu langkahnya mulai mundur perlahan.
“Aku minta maaf, aku ingin membicarakan ini sebenarnya. Dan juga…”
“Kamu sengaja menabraknya?” tanya Reino yang memotong penjelasanku.
Aku langsung menggelengkan kepala dan bangkit.
“Aku nggak tahu, kalau dia istrimu. Sumpah!”
“Lalu apa maumu, menemuiku?”
“Aku ingin membicarakan uang damai yang diminta istrimu pada keluargaku,”
“Uang apa?” Reino tampak kebingungan.
“Istrimu meminta uang 100 juta, agar berdamai. Aku… aku minta tolong pengertiannya. Tabunganku tidak ada segitu banyak Rei, mungkin aku hanya bisa 50 juta,”
Reino diam tidak menyahut, dia mengambil ponsel di sakunya. Mengetik beberapa pesan, entah untuk siapa. Dia seakan tak mau dengar ucapanku.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Reino lembut, mengangkat daguku yang sedari tadi tertunduk. Matanya menatapku dengan sedih, begitupun aku yang tiba-tiba meneteskan air mata ketika di tatapnya. Aku menjawab pertanyaannya dengan menggelengkan kepala, memberi isyarat aku tak baik-baik saja ketika ditinggalnya.
Jari-jari jenjangnya menyentuh pipiku, menghapus air mataku. Tangan kanannya meraih tanganku, sisi lainnya menarik tubuhku hingga mendekat ke dadanya.
“Jangan pikirkan itu, yang penting kamu baik-baik saja,” ucap Reino “aku akan membicarakannya dengan Abel untuk tidak mengungkit uang damai itu.” imbuh Reino. Aku semakin bingung dengan situasi ini. Namun, air mataku tak bisa berhenti menangis membasahi dadanya. Entah ini air mata lega atau kerinduan yang tersampaikan.
Pelukannya yang hangat, membuat jantungku berdetak kencang. Aku ketakutan jika semakin tak bisa melupakannya.
“Reino!” suara seseorang yang aku kenal. Dia memanggil nama Reino dari luar jendela cafe yang terlihat transparan.
Aku terkejut melihat kehadiran ibunya Reino yang tiba-tiba. Aku melihat raut muka yang penuh amarah menatapku. Seketika tubuhku langsung menjauh dari pelukan Reino.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
🌞Oma Yeni💝💞
sedih y, ditinggal nikah sang pacar
2025-06-04
0
C.C. Cassano-Bardot
sangat manis sehingga aku menyukainya
2025-05-24
0
iqbal nasution
ceritanya cukup menarik
2025-06-04
0