Bab 5

Hari itu ruang 108 terasa seperti biasa dimana dering telepon tiada henti, suara-suara tanya jawab berganti tanpa jeda.

Tapi di antara puluhan panggilan, ada satu yang membuat Grilyanto menghentikan sejenak gerak tangannya.

“Halo, selamat siang. Layanan informasi 108. Ada yang bisa saya bantu?”

Sejenak terdengar sunyi di seberang. Lalu, suara perempuan yang lembut namun tegas terdengar.

“Selamat siang, Mas. Boleh minta nomor kantor Dinas Kesehatan kota?”

Grilyanto langsung mencari di direktori. Tapi yang membuatnya terpaku bukan permintaannya, melainkan nada suara perempuan itu.

Ada kehangatan yang aneh tenang, rapi, dan enak didengar.

“Baik, ini nomornya ya, Mbak... 423-765.”

Perempuan itu mengucapkan terima kasih, tapi sebelum menutup telepon, sempat berkata,

“Suaranya sopan dan jelas, Mas. Senang dilayani oleh petugas seperti ini.”

Grilyanto hanya sempat mengucapkan, “Terima kasih, Mbak,” sebelum suara itu menghilang.

Ia meletakkan gagang telepon perlahan. Entah kenapa, pikirannya belum bisa lepas dari suara tadi. Ia bahkan lupa menandai panggilan di kertas laporan seperti biasa.

Hari-hari berikutnya, Grilyanto kembali bekerja seperti biasa.

Tapi jauh di dalam hatinya, ia menunggu panggilan itu lagi, suara itu lagi.

Dan benar saja. Beberapa hari kemudian, suara itu kembali terdengar.

“Halo, Mas 108. Masih ingat saya?”

Grilyanto tersenyum tanpa sadar.

“Kalau suara selembut ini, susah untuk dilupakan, Mbak.”

Beberapa hari setelah panggilan pertama itu, Grilyanto kembali sibuk seperti biasa.

Namun, di sela rutinitasnya, ia sering terbayang suara lembut yang sempat memuji caranya melayani. Ada sesuatu yang membekas bukan karena pujiannya, tapi karena hangatnya tutur kata yang berbeda dari penelepon lain.

Lalu, sore hari itu, dering telepon kembali membawanya pada suara yang ia tunggu.

“Halo, 108. Mas Grilyanto, masih ingat saya?”

Ia langsung mengenal suara itu. Hangat, tenang, dan sopan. Tanpa ragu, ia menjawab:

“Tentu, Mbak. Suara yang sopan dan santun seperti ini susah dilupakan.”

Perempuan itu terkekeh kecil. “Wah, Mas-nya ingat nama saya juga ya?”

Grilyanto terdiam sesaat. Ia belum tahu namanya.

“Jujur, saya belum tahu namanya. Tapi kalau Mbak berkenan, saya ingin tahu.”

Suara di seberang tertawa lembut, lalu menjawab,

“Nama saya Sri Wiwik Budi.”

Grilyanto mencatat diam-diam, tapi bukan di kertas panggilan melainkan di pikirannya.

Percakapan mereka berlanjut. Meski singkat dan tetap dalam konteks permintaan informasi, ada sesuatu yang berubah.

Nada suara mereka menjadi lebih ringan, lebih akrab. Tak lagi sebatas petugas dan penelepon.

Hari-hari berikutnya, Sri Wiwik kerap menelepon. Kadang menanyakan nomor kantor, kadang sekadar memastikan data. Tapi Grilyanto tahu itu hanyalah alasan.

Ia mulai menunggu-nunggu dering yang membawa suara itu. Bahkan, teman kerjanya mulai menggoda.

“Mas Gril, tuh... yang suara lembut nelpon lagi?”

Grilyanto tersenyum tanpa menjawab. Di hatinya, perlahan tumbuh rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Rasa yang sederhana tapi tulus, senang menunggu suara seseorang.

Hari itu, ruang kerja Grilyanto tak terlalu sibuk. Telepon tetap berdering, tapi tidak sepadat biasanya. Saat ia baru saja meletakkan gagang setelah membantu seorang ibu mencari alamat rumah sakit, dering berikutnya menyambung dengan suara yang langsung membuatnya tersenyum.

“Halo, Mas Grilyanto...”

Ia langsung mengenali.

“Mbak Sri Wiwik, panggilan yang selalu saya tunggu.”

Sri tertawa kecil, terdengar lebih santai kali ini. Tidak ada permintaan nomor, tidak ada data yang harus dicari. Hening sejenak di antara mereka, sebelum Sri berkata dengan jujur:

“Hari ini saya menelepon... bukan untuk minta nomor, Mas.”

Grilyanto terkejut sejenak. Ia menggenggam gagang telepon lebih erat, mencoba menenangkan hatinya yang tiba-tiba berdebar lebih kencang.

“Oh ya? Kalau begitu, untuk apa, Mbak?”

“Entah kenapa saya merasa nyaman ngobrol dengan Mas. Suara Mas itu... menenangkan.”

Grilyanto diam. Tak tahu harus menjawab apa, tapi bibirnya tak bisa menahan senyum yang mengembang perlahan.

“Saya juga begitu, Mbak. Rasanya, hari saya selalu lebih cerah setelah mendengar suara Mbak Sri.”

Tak ada yang melampaui batas. Tak ada yang berlebihan. Hanya dua orang asing yang mulai saling mengenal lewat suara dan kata-kata.

Sejak hari itu, panggilan dari Sri menjadi rutinitas yang dinantikan.

Kadang hanya mengobrol singkat, kadang saling bertukar cerita ringan: tentang pekerjaan, tentang keluarga, bahkan tentang makanan favorit.

Grilyanto tahu, ia sedang jatuh hati. Tapi entah dengan siapa, sebab ia belum pernah melihat wajahnya.

Namun ia percaya, kadang suara lebih jujur daripada wajah. Dan Sri Wiwik, lewat suara di ujung telepon itu, telah membuka pintu kecil di hatinya.

Sejak hari itu, Sri Wiwik menjadi bagian dari hari-hari Grilyanto.

Setiap pagi atau sore, telepon dari suara lembut itu selalu datang.

Obrolan mereka bukan lagi soal nomor kantor atau layanan informasi, tapi tentang hidup—tentang harapan, tentang masa kecil, bahkan tentang mimpi-mimpi kecil yang dulu sempat mereka pendam.

Grilyanto tidak pernah merasa sendiri lagi. Suara Sri adalah teman yang selalu hadir di sela lelahnya bekerja.

Namun, seperti pagi yang berubah mendung, kebiasaan indah itu mendadak terhenti.

Hari Senin, Grilyanto menunggu. Tak ada suara Sri.

Selasa, ia lebih waspada, bahkan memastikan ia tidak melewatkan satu pun panggilan. Tapi tetap tak ada.

Rabu, ia mulai gelisah. Pikirannya dihantui berbagai pertanyaan. Apakah Sri baik-baik saja? Apakah terjadi sesuatu?

Hari-hari terasa sunyi. Telepon tetap berdering, tapi tak satu pun membawa suara yang ia rindukan. Ia tetap melayani seperti biasa, tetap tersenyum pada rekan kerja, tapi hatinya diam-diam kosong.

Grilyanto bahkan sempat bertanya pada bagian administrasi, apakah bisa mencari data penelepon dengan nama Sri Wiwik.

Tapi itu mustahil semua layanan bersifat anonim. Dan ia tidak pernah meminta nomor Sri.

“Aku terlalu menikmati percakapan, sampai lupa mengikatnya dengan kepastian,” pikirnya.

Malam keempat tanpa kehadiran Sri, Grilyanto duduk sendiri di kamar yang remang, hanya diterangi cahaya lembut dari sebuah lampu kecil di meja.

Suara radio yang mengalun pelan mengisi keheningan yang menggelayut, menemani kesunyian yang mulai terasa berat di hati.

Di tangannya, sebuah lembar kertas putih nyaris tak tersentuh, hanya berisi kata-kata yang belum sempat ia tulis.

Ia menunduk, mencoba merangkai kalimat yang tepat untuk menggambarkan perasaan yang mengganjal.

Namun, setiap kata seolah kehilangan makna di tengah hampa yang menyelimuti.

Sri, di mana kamu sekarang? Suaramu pernah menjadi warna yang menghidupkan hari-hariku. Kini, yang kuterima hanyalah keheningan yang sunyi, tanpa jawaban.

Apakah kamu baik-baik saja? Apakah rinduku sampai padamu?

Grilyanto menatap kertas itu dalam-dalam, merasakan tiap huruf yang tak terucap seolah melebur menjadi doa yang tak berkesudahan.

Perlahan, ia melipat lembar itu dan menyelipkannya di antara buku-buku yang tersusun rapi di rak.

Dengan kepala menunduk, ia menutup mata, berharap dan berdoa dalam diam:

“Semoga suaramu kembali mengisi ruang-ruang kosong dalam hatiku. Semoga kamu selalu dalam lindungan dan kesejahteraan di manapun kamu berada.”

Suara radio terus mengalun, seakan menjadi teman setia yang tak pernah meninggalkannya, sambil menunggu hari di mana mereka bisa bertemu kembali.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!