Bab 2

Masa remaja Grilyanto dimulai dengan langkah yang tegap dan keyakinan yang semakin kuat.

Saat ia diterima di Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota, semua keluarganya bersyukur dan bangga.

Bagi anak desa seperti dia, melanjutkan ke jenjang SMA adalah sebuah pencapaian luar biasa.

Setiap hari ia berjalan kaki atau naik sepeda tua ke sekolah, melewati jalan berbatu dan sawah-sawah luas.

Di tengah keterbatasan itu, semangat belajarnya tak pernah surut. Ia tetap menjadi siswa teladan selalu berada di peringkat atas, dikenal guru-guru sebagai anak yang cerdas, sopan, dan sangat bertanggung jawab.

Meski belajar dengan penerangan lampu minyak dan buku pinjaman, ia tak pernah mengeluh.

Justru, ia sering membantu teman-temannya memahami pelajaran, terutama matematika dan sejarah dua mata pelajaran yang paling ia kuasai.

Di masa inilah, pemikiran dan kepeduliannya terhadap sekitar mulai tumbuh.

Ia aktif dalam kegiatan sekolah, ikut organisasi, dan sering dipercaya menjadi pemimpin kelompok.

Banyak teman sekelasnya yang mengatakan bahwa Grilyanto “terlihat lebih dewasa dari usianya.”

Namun, di balik keseriusannya belajar, Grilyanto tetaplah remaja biasa.

Ia suka bermain kelereng saat istirahat, menonton wayang kulit saat malam Jumat, dan sesekali mencuri pandang ke gadis-gadis kelas sebelah—meski tidak pernah berani menyapa.

Masa SMA menjadi masa pembentukan karakter. Ia bukan hanya tumbuh menjadi anak pintar, tapi juga menjadi pribadi yang tegas, bijaksana, dan penuh rasa tanggung jawab sebuah cerminan dari ayah yang kelak sangat aku rindukan.

Di antara hari-hari yang dipenuhi pelajaran dan tugas sekolah, tak sedikit gadis yang diam-diam memperhatikan Grilyanto.

Wajahnya yang tenang, sikapnya yang sopan, dan kepandaiannya membuatnya terlihat berbeda di mata teman-teman perempuan.

Salah satu dari mereka bahkan pernah dengan berani menyapa lebih dulu, menawarkan buku, atau berpura-pura bertanya soal pelajaran yang sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Tapi Grilyanto hanya tersenyum tipis, menjawab singkat, lalu buru-buru pamit. Bukan karena tidak sopan dia hanya tak terbiasa dekat dengan hal-hal yang terlalu “lembut.”

Bagi Grilyanto, bermain sepak bola di lapangan belakang sekolah jauh lebih menarik daripada duduk di bawah pohon membicarakan perasaan.

Sepatu dilepas, celana digulung, dan tubuh penuh peluh itulah dunianya. Bola menjadi pelarian dari hal-hal yang membuatnya canggung.

Setiap kali gadis itu mencoba mendekat, Grilyanto selalu punya alasan untuk menjauh. Entah pura-pura sibuk, ikut kerja kelompok, atau tiba-tiba mengajak teman-temannya bermain bola.

“Grilyanto itu aneh,” keluh salah satu teman si gadis.

“Tampan iya, pintar iya… tapi dingin banget!”

Padahal bukan dingin. Grilyanto hanya belum tertarik dengan cinta.

Hatinya masih dipenuhi impian, beban tanggung jawab, dan cita-cita besar. Baginya, cinta bisa menunggu. Tapi masa depan? Itu harus dikejar sekarang.

Hari itu, matahari belum terlalu tinggi saat bel berbunyi menandakan jam pelajaran usai.

Suasana kelas mulai riuh, kursi bergeser, dan anak-anak berhamburan ke luar.

Tapi tidak dengan Grilyanto. Ia diminta tetap tinggal oleh salah satu guru yang paling ia hormati. Pak Harun, guru sejarah yang terkenal bijaksana.

“Grilyanto, duduk sebentar. Bapak ingin bicara.”

Grilyanto menurut. Ia duduk kembali di bangkunya dengan sopan, membetulkan letak dasinya yang agak miring.

Pak Harun menatapnya sejenak, lalu bertanya dengan nada tenang,

“Kamu sudah pikirkan, setelah lulus nanti mau ke mana?”

Pertanyaan itu sederhana, tapi seketika membuat dada Grilyanto terasa berat.

Ia tahu cepat atau lambat pertanyaan itu akan datang. Dan ia tahu, jawabannya tidak semudah menyebutkan sebuah nama kampus.

Grilyanto menunduk sebentar. “Kalau boleh jujur, Pak... saya ingin kuliah. Tapi saya juga tahu kondisi di rumah.”

Pak Harun mengangguk pelan. Ia sudah mengenal keluarga Grilyanto, tahu perjuangan dan keterbatasan yang menyertainya.

Tapi ia juga tahu bahwa di depan matanya sekarang duduk seorang anak yang istimewa, anak yang pantas mendapat kesempatan lebih dari sekadar ijazah SMA.

“Kamu punya potensi besar, Gril,” ujar Pak Harun lembut. “Dan kalau kamu mau, Bapak siap bantu carikan beasiswa. Tapi kamu harus yakin dulu dengan pilihanmu.”

Grilyanto terdiam lama. Dalam pikirannya, wajah ibu dan adik-adiknya perlahan muncul.

Ia ingin kuliah, iya. Tapi ia juga tidak ingin menjadi beban. Di usianya yang masih muda, ia sudah mengenal baik artinya tanggung jawab dan pengorbanan.

“Aku akan pikirkan baik-baik, Pak,” jawabnya pelan.

Dan itulah titik awal dilema dalam hidup Grilyanto, antara mimpi dan kenyataan, antara melanjutkan pendidikan atau segera bekerja demi keluarga.

Malam itu, Grilyanto duduk di beranda rumah. Langit Magelang bertabur bintang, dan angin malam berembus pelan, menyapu rambutnya yang mulai memanjang.

Di pangkuannya ada buku tulis kosong, namun pikirannya penuh.

Ia mengingat kembali pertanyaan Pak Harun tadi siang.

“Setelah lulus, mau ke mana?”

Dan dalam hati kecilnya, sebenarnya ia sudah tahu jawabannya sejak lama.

Grilyanto ingin kuliah. Ia ingin menjadi seorang apoteker.

Dunia kesehatan dan obat-obatan selalu membuatnya penasaran.

Ia sering bertanya-tanya bagaimana satu butir pil bisa menyembuhkan penyakit, atau bagaimana tanaman bisa diolah menjadi ramuan.

Sejak kecil, ia tertarik pada botol-botol kecil di lemari obat dan suka membaca labelnya.

“Farmasi…” bisiknya malam itu, seolah sedang membuat perjanjian dengan dirinya sendiri.

Namun ia tahu, jalan ke sana tidak akan mudah. Biaya kuliah, tempat tinggal, dan kebutuhan harian bukan hal kecil.

Apalagi di rumah, ibunya masih harus mengurus adik-adik. Tapi Grilyanto bukan tipe yang mudah menyerah.

Keesokan harinya, ia kembali menemui Pak Harun. Dengan nada tegas namun penuh hormat, ia berkata.

“Pak, saya ingin kuliah di jurusan farmasi.”

Pak Harun tersenyum, mata tuanya tampak berbinar.

“Kalau begitu, kita akan cari jalan. Tuhan selalu memberi jalan pada mereka yang sungguh-sungguh.”

Dan sejak hari itu, mulailah babak baru dalam hidup Grilyanto.

Ia mulai mencari informasi tentang kampus, beasiswa, dan cara agar impiannya tak hanya berhenti sebagai angan.

Ia belajar lebih giat, bertanya lebih banyak, dan menabung sedikit demi sedikit.

Di tengah kesederhanaan, lahirlah tekad yang besar. Dan semua itu dimulai dari satu kata yang ia ucapkan dengan mantap “Farmasi.”

Setelah pulang dari sekolah dan memberanikan diri menyampaikan pilihannya kepada Pak Harun, Grilyanto tahu satu hal lagi yang harus ia hadapi: izin dari ibu.

Malam itu, ia duduk bersama ibunya di dapur yang hangat oleh aroma kayu bakar dan suara jangkrik dari luar rumah.

Sang ibu, seorang perempuan tabah yang sudah melewati begitu banyak kehilangan dalam hidupnya, sedang mengaduk bubur jagung sambil sesekali melirik anak bungsunya yang tampak gelisah.

“Ibu…” panggil Grilyanto pelan.

Ibunya menoleh, masih dengan sendok di tangan.

“Iya, Le?”

“Saya… mau kuliah. Mau ambil jurusan farmasi.”

Hening sesaat. Suara kayu yang terbakar jadi satu-satunya bunyi di ruangan itu.

“Mau jadi apoteker?” tanya ibunya akhirnya, dengan suara yang dalam.

Grilyanto mengangguk. “Iya, Bu. Tapi saya tahu, kalau saya kuliah, saya belum bisa bantu di rumah. Belum bisa kerja.”

Ibunya tak langsung menjawab. Ia menatap wajah Grilyanto, anak yang sejak kecil tak pernah banyak meminta, tak pernah menyusahkan, dan selalu punya pandangan jauh ke depan. Hatinya bergetar.

Ia lalu menaruh sendok, menggenggam tangan anak lelakinya itu, dan berkata pelan tapi penuh keyakinan:

“Kalau itu jalan yang kamu pilih, Ibu restui. Grilyanto harus jadi orang yang bermanfaat. Jangan khawatirkan Ibu. Ibu kuat.”

Mata Grilyanto panas, tapi ia tahan agar tak menetes. Dalam hatinya, restu itu terasa seperti pelita di malam gelap. Ia tahu, dengan doa ibu dan tekadnya sendiri, tak ada yang tak mungkin.

Di sudut dapur sederhana itu, seorang ibu melepaskan anaknya untuk pergi mengejar mimpi—bukan karena tak ingin menahan, tapi karena cinta sejati adalah ketika kau rela melepaskan seseorang demi masa depannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!