Retno langsung menyahut cepat, hampir tanpa pikir panjang.
“Bu, ini asisten baru, kayaknya. Saya juga baru tahu.”
Nada suaranya terdengar kecut. Ia menatap Citra dari ujung rambut sampai kaki, seperti sedang menakar sesuatu yang janggal.
Bu Lilis memicingkan mata. “Asisten baru?” gumamnya. “Rama ini... makin aneh aja. Rumah segini banyak orang, masih aja nambah pembantu muda.”
Citra tercekat. Kata pembantu muda itu terasa seperti anak panah kecil yang menancap di dadanya. Namun, ia tak menyela, tak pula mencoba menjelaskan.
Bu Lilis menghela napas panjang, menatap Citra. Bukan pembantu baru yang dia harapkan, tapi menantu. "Dia terlhat terlalu muda. Pasti baru lulus sekolah. Ya ampun..." batin mamanya Rama itu.
“Retno, tolong buatkan aku teh hangat. aku mau istirahat dulu di kamar. Badan ini rasanya capek sekali.”
“Baik, Bu,” jawab Retno cepat, melirik Citra sekilas sebelum pergi mengambil nampan.
Citra hanya menunduk sopan. Bu Lilis melewatinya perlahan, tongkatnya mengetuk lantai marmer dengan ritme teratur. Sebelum benar-benar meninggalkan dapur, wanita tua itu sempat menoleh sejenak.
“Kalau kamu memang pembantu baru, kerjalah baik-baik. Di rumah ini, kebersihan dan sopan santun nomor satu.”
Citra tersenyum kikuk. “Iya, Bu...”
Begitu Bu Lilis menghilang di balik lorong, Citra menarik napas panjang. “Ya Allah, ujian pertama datang juga,” bisiknya pelan, berusaha menenangkan diri. Ia menatap panci sop yang sudah mendidih perlahan, lalu tersenyum tipis. “Tenang, Cit. Masak aja. Makanan enak bisa luluhkan hati siapa pun.”
Ia kembali sibuk memotong bawang daun dan menggoreng bakwan jagung. Tak lama, Mbak Novi muncul dari arah belakang, mengeringkan tangan.
“Waduh, saya ditinggal masak, Mbak. Wangi banget nih. Saya bantu ya?”
Citra mengangguk, wajahnya mulai cerah lagi.
“Iya, Mbak. Saya bikin sayur sop sama bakwan aja, biar sederhana dulu.”
Mereka bekerja bersama, obrolan kecil mengalir di antara suara minyak yang berdesis. Udara dapur mulai dipenuhi aroma harum sayuran rebus dan jagung goreng yang renyah.
Ketika Retno kembali setelah mengantarkan teh, hidungnya langsung terangkat. “Ya ampun, wangi banget! Ini sih, chef profesional.”
Citra terkekeh. “Saya cuma suka masak aja, Mbak.”
“Wah, kalau gitu Ibu pasti suka. Beliau itu lidahnya peka banget sama masakan.”
Benar saja. Tak lama, suara langkah pelan terdengar lagi dari lorong. Kali ini tanpa tongkat. Bu Lilis muncul di ambang pintu dengan wajah penasaran.
“Aroma apa ini? Dari tadi Ibu mencium harum yang menggoda.”
Citra buru-buru mematikan kompor dan menunduk sopan. “Saya cuma bikin sayur sop, Bu. Sama bakwan jagung. Ibu mau coba?”
Bu Lilis menghampiri meja makan, menatap panci sop yang masih mengepul. Ia mengambil sendok kecil, mencicip sedikit, lalu matanya berbinar pelan.
“Hmm… enak sekali! Rasanya pas. Gurih tapi ringan.”
Citra tersipu. “Alhamdulillah kalau Ibu suka. Saya memang suka masak, Bu.”
Wanita tua itu mengangguk pelan, menatap Citra dengan lebih lembut. “Jarang ada anak muda yang senang ke dapur. Biasanya lebih suka pegang ponsel daripada pisau dapur.”
Tiba-tiba, Bu Lilis meraih ponsel di saku bajunya. “Rama pasti belum makan siang. Sekalian saja Ibu suruh dia pulang. Biar mencicip hasil masakan pembantu barunya ini.”
Citra refleks membuka mulut, hendak menjelaskan, tapi suaranya kalah cepat oleh dering sambungan telepon.
“Halo, Ram?”
Suara di seberang terdengar ringan. “Iya, Ma. Kenapa?”
“Kamu lagi di kantor, kan? Cepat pulang. Mama mau kamu coba masakan baru di rumah.”
“Masakan baru? Hehe… Ma, jangan-jangan Mama sudah ketemu Citra?” Nada suara Rama terdengar menggoda.
Bu Lilis spontan mengerutkan dahi. “Ketemu? Ya jelas ketemu! Jadi kamu sengaja ya?”
Rama tertawa kecil. “Enggaklah. Tiba-tiba aja dapet, hehe. mama suka?”
“Ah sudah! Enggak usah banyak omong! Pokoknya cepat pulang! Selain masakan mama juga mau ngomong masalah ini!” potong Bu Lilis, kesal. Ia menutup telepon dengan wajah sebal.
****
Di kantor, Rama menatap ponselnya bingung. “Kenapa Mama marah, ya?” gumamnya pelan. Ia bersandar di kursi, berpikir keras.
"Katanya udah ketemu. Harusnya, senang dong. Mungkinkah karena Citra terlalu muda? Atau… karena Mam tahu dia mantan calon menantu?"
Rama mengusap wajahnya lelah. “Ya ampun, semoga Ibu enggak salah paham terlalu jauh.”
Ia segera membereskan berkas, mengambil kunci mobil, lalu bergegas pulang.
Sore mulai turun ketika mobilnya berhenti di halaman rumah. Dari jendela dapur, ia melihat pemandangan yang membuatnya berhenti sejenak.
Citra dan Bu Lilis berdiri berdampingan, tangan mereka sibuk menggulung kulit risol. Di meja, ada sepiring putri mandi yang baru saja selesai ditata. Wajah Bu Lilis tampak cerah, dan sesekali mereka tertawa kecil bersama.
Rama tersenyum lega. Kekhawatirannya tadi lenyap begitu saja.
Begitu masuk dapur, ia bersandar di kusen pintu sambil melipat tangan. “Wah, cepat akrab ya. Baru sehari, sudah duet masak sama Mama.”
Citra menoleh, sedikit kikuk. “Oh, Pak Rama sudah pulang.”
Bu Lilis tersenyum lebar, menoleh ke putranya. “Rama, kamu memang pintar cari orang. Ini pembantu baru bukan cuma bisa masak, tapi juga sopan dan pandai bicara. Mama suka sekali!”
Rama berkedip cepat, nyaris tak percaya dengan ucapan itu.
“Pembantu…?” gumamnya pelan. Ia lalu tertawa pendek, menatap Citra yang mulai panik.
"Gini loh. Harusnya, kamu cari tipe istri begini."
“Ma,” katanya sambil menaruh map di meja, “kayaknya Mama salah paham deh.”
“Salah paham? Maksudmu?”
Rama menatap ibunya dengan senyum geli. “Citra bukan pembantu, Ma. Dia istriku.”
Suara jangkrik di taman tiba-tiba terasa jelas. Bu Lilis menatap putranya, lalu Citra, lalu kembali ke Rama. Wajahnya membeku, antara kaget dan tak percaya.
“Istri?” ulangnya. “Kamu bilang… istri?”
Rama mengangguk mantap. “Iya, Ma. Kami sudah menikah.”
Sendok di tangan Bu Lilis jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi kecil yang memecah keheningan. Citra menunduk, sementara Rama menatap ibunya dengan tatapan tenang — meski hatinya berdebar kencang.
"ISTRI KAMU BILANG!?"
Rama mengangguk pelan karena melihat mamanya yang kini malah histeris.
"ISTRI?"
Bu Lilis memegangi belakang kepalanya. "Aduh kepalaku!"
Bu Lilis limbung.
"Ma!"
Dengan wajah panik, Rama mendekat dan menahan tubuh ibunya. Citra juga.
"Mama!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
partini
😂😂😂pasti Shok dia
2025-10-07
1