"Cit, ini Bu Rumi. Beliau asisten rumah tangga di sini."
"Oohh..."
Wanita yang membuka pintu itu tersenyum kecil. Aura wibawa yang menyelimuti wanita itu sempat membuat Citra berpikir bahwa dia adalah istri Rama.
Citra langsung merasa wajahnya panas. Ia buru-buru menunduk. "Maaf, tadi.... saya… saya kira…"
Bu Rumi hanya terkekeh ringan, sopan. "Dikira apa Mbak Citra?"
"Saya kira, Ibu istrinya Pak Rama."
"Hihihi, Mbak Citra bisa aja. Pak Rama mana mau sama saya. Hihihi, saya memang udah lama mengabdi di sini, jadi mungkin auranya menular," katanya sembari melirik Rama.
Rama tersenyum tipis. "Bu Rumi, ini Citra. Istriku. Tolong bantu ia beradaptasi di rumah ini. Perlihatkan kamarnya. Aku ada urusan pekerjaan sebentar."
"Siap Pak Rama. Silakan."
"Bapak mau kemana?"
Rama menoleh pada Citra. "Ada kerjaan di luar. Cuma bentar kok. Nanti balik lagi."
Citra mengangguk pelan lalu mencium tangan suaminya. Ada yang bergetar, tapi bukan gitar. Ia tersenyum memandangi tangannya bekas disalim dan dicium Citra tadi.
"Hati-hati, Pak," kata gadis itu.
Rama mengangguk, tanpa berkata apa-apa Rama sudah berlalu, langkahnya ringan dan cepat. Lelaki itu bahkan tak menoleh lagi saat pintu tertutup.
"Ayo Mbak Citra, saya tunjukkan kamarnya," kata Bu Rumi mempersilakan Citra naik ke lantai dua.
"Saya bisa sendiri kok, Bu Rum," tolak Citra halus saat Bu Rumi hendak membawakan tas Citra.
Mereka menaiki tangga melingkar dengan karpet merah marun yang tebal. Rumah itu sangat besar, terasa lebih seperti villa daripada rumah biasa. Di dinding tergantung lukisan-lukisan klasik, dan aroma bunga melati samar-samar menyelimuti udara.
Saat pintu kamar dibuka, Citra terdiam. Matanya membulat. Kamar itu begitu megah. Langit-langitnya tinggi, tempat tidurnya besar dengan seprai putih bersih dan bantal-bantal yang tertata rapi. Ada jendela kaca lebar yang menghadap taman belakang, dengan tirai renda yang tampak mahal. Sebuah meja rias, lemari besar, dan sofa berwarna krem menghiasi ruangan itu.
"Silakan beristirahat dulu, Mbak Citra," kata Bu Rumi sopan. "Kalau butuh apa-apa, tinggal panggil saja."
Citra mengangguk lagi, masih terpukau. Setelah Bu Rumi menutup pintu, ia berjalan pelan ke jendela dan membuka tirai. Taman di belakang rumah terlihat sangat hijau dan rapi. Ia menghela napas panjang, lalu duduk di tempat tidur. Lembut. Wangi.
"Waah, ini sih, definisi dibuang emas dapat permata."
"Aku enggak tau papanya Rava sekaya ini."
Citra masih terpukau.
"Dia enggak pernah cerita apa-apa tentang papanya."
Citra terdiam, jadi ingat Rava yang meninggalkan tanpa perasaan.
"Dimana dia? Kenapa dia tega sekali?" bisiknya lirih.
Citra tak ingin berlarut, ia menggeleng pelan.
"Enggak boleh begini, Cit. Ingat, kamu ingin membalas perbuatan Rava kan? Karena itu kamu nekad nikahi papanya."
Ia membuka koper, mengganti bajunya dengan terusan santai warna biru. Rambutnya diikat seadanya. Setelah merasa cukup segar, ia turun ke bawah dengan langkah pelan. Ia tak ingin tidur. Rasa penasaran masih menggelitik hatinya.
Saat menuruni tangga, Citra bertemu dengan Bu Rumi lagi di ruang makan.
"Mbak Citra mau melihat-lihat rumah?" tanya Bu Rumi ramah.
"Boleh, Bu. Kalau tidak merepotkan."
"Tidak sama sekali. Mari, saya antar."
Bu Rumi mengajak Citra ke ruang tamu, ruang keluarga, hingga taman belakang. Tapi saat memasuki dapur, Citra langsung menjerit kecil.
"Masya Allah… ini dapurnya?" matanya berbinar. Kompor modern lima tungku, oven besar, kulkas dua pintu, rak bumbu yang rapi, dan meja marmer putih membentang di tengah.
"Mbak Citra suka masak?" tanya Bu Rumi tersenyum.
"Iya, Bu Rum, suka banget," ujar Citra dengan mata berbinar.
"Bu. Boleh… saya masak sesuatu?"
"Tentu. Silakan. Nanti Mbak Novi bantu."
"Oh, baik, terima kasih," ucap Citra sambil menekuk lengan bajunya. Wajahnya tampak berseri. Ia membuka kulkas, melihat sayur dan bahan yang tersedia. Dengan cekatan, ia mulai menyiapkan bahan untuk membuat sayur sop dan bakwan jagung. Sementara Bu Rumi sudah pergi entah ke mana.
Mbak Novi, salah satu ART di rumah itu, menemaninya sebentar lalu pamit ke kamar mandi. "Sebentar ya, Mbak Citra. Saya ke belakang dulu."
"Iya, silakan," kata Citra, sambil tetap sibuk mengiris wortel.
Tak lama kemudian, suara pintu depan terdengar terbuka. Seorang wanita muda dengan tas belanjaan masuk ke dapur, wajahnya sedikit terkejut melihat Citra yang sedang sibuk memasak.
"Eh… Mbak, maaf, ini… siapa ya?" tanyanya sopan tapi curiga.
Citra tersenyum kikuk. "Saya Citra…"
"Citra?" alis wanita muda itu berkerut, "Apa dia art baru? Kok enggak ada yang bilang?" gumamnya pelan.
"Aku Retno, Mbak Citra."
Citra menyalami dengan sopan.
"Kamu masak apa?"
Tiba-tiba, suara ketukan tongkat terdengar dari arah lorong.
Retno menoleh cepat. "Astaga… itu Bu Lilis!"
"Siapa?" tanya Citra, pelan.
"Ibunya Pak Rama!"
Tak lama, muncullah sosok wanita tua. Rambutnya memutih, disanggul rapi. Bajunya bersih dan berkelas, meski sederhana. Wajahnya tenang, tapi pandangannya tajam dan penuh penilaian.
Bu Lilis berdiri di ambang pintu dapur, menatap Citra lama.
"Siapa gadis muda ini?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
partini
wow update lagi sekilan lama
very good 👍👍👍
2025-10-02
1