Bab 4

Puri yang hari itu memang tidak membawa motor, memutuskan untuk berjalan kaki pulang. Udara siang cukup terik, dan tubuhnya mulai terasa lemas.

Tapi ia pikir itu hanya kelelahan biasa. Langkah kakinya perlahan, sesekali menahan pusing yang datang tiba-tiba.

Saat hendak menyeberang gerbang kampus, suara familiar membuatnya berhenti.

“Kamu nggak bawa motor?” tanya Karan sambil berjalan mendekat.

Ternyata ia masih ada di area parkir, berdiri bersandar di motornya.

Puri menoleh pelan, terkejut melihat Karan masih di sana.

“Iya, hari ini naik angkot…”

Karan tersenyum, lalu bertanya dengan nada ringan,

“Mau aku antar pulang atau tetap naik angkot?"

Namun sebelum Puri sempat menjawab, pandangannya mendadak kabur.

Suara di sekeliling mulai terasa jauh. Tubuhnya terasa ringan, lalu berat seketika.

Dalam hitungan detik, ia jatuh ke depan.

“Puri!”

Karan yang melihatnya langsung panik. Ia berlari cepat dan menangkap tubuh Puri sebelum benar-benar jatuh ke tanah.

Wajah Puri pucat. Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan tubuhnya panas saat disentuh.

Karan memeriksa napasnya—masih ada, tapi lemah.

Tanpa pikir panjang, Karan segera membopong tubuh Puri dengan hati-hati.

Beberapa mahasiswa yang lewat sempat menoleh, tapi Karan tetap tenang meski khawatir.

Ia membawa Puri ke motornya, lalu meletakkannya perlahan, memastikan posisi nyaman.

“Tenang, Pur. Aku bawa kamu ke klinik sekarang,” gumamnya pelan, tapi tegas.

Ia mengenakan helm di kepala Puri, memeganginya erat, lalu memacu motor menuju klinik terdekat dengan hati penuh kecemasan.

Di dalam hatinya, Karan tahu—apa pun yang sedang terjadi, ia tak akan membiarkan Puri menghadapi ini ada sendirian.

Sesampainya di klinik, Karan segera menghentikan motornya di depan ruang UGD kecil yang masih buka siang itu.

Dengan sigap, ia kembali membopong tubuh Puri dan masuk ke dalam ruangan.

“Dok! Tolong! Teman saya pingsan!” teriak Karan pada perawat yang langsung menghampiri.

Beberapa tenaga medis segera bergerak. Puri dibaringkan di ranjang pemeriksaan, dan Karan berdiri di sampingnya, menggenggam tangan gadis itu dengan gugup.

Perawat memeriksa suhu tubuh Puri dan tekanan darahnya.

“Demamnya tinggi, kemungkinan karena kelelahan dan dehidrasi,” ucap salah satu dari mereka.

“Dia sempat bilang mau jalan kaki pulang…” gumam Karan, lebih kepada dirinya sendiri.

Matanya tak lepas dari wajah Puri yang masih terpejam, terlihat lelah dan pucat.

Setelah diberi infus dan kompres, dokter datang dan memeriksa lebih lanjut.

“Kami akan observasi satu-dua jam. Kalau kondisinya membaik, bisa pulang. Tapi sebaiknya tetap banyak istirahat.”

Karan mengangguk. “Saya tunggu di sini, Dok.”

Waktu berjalan lambat. Karan duduk di kursi plastik di samping ranjang, sesekali memandangi wajah Puri yang kini tampak lebih tenang.

Ia tak menyangka pertemuan singkat mereka bisa membuatnya merasa sekuat ini… ingin menjaga.

Sekitar satu jam kemudian, Puri mulai menggeliat pelan. Matanya terbuka samar, menatap sekeliling dengan bingung.

“Puri?” Karan langsung mendekat, suaranya lembut.

"M-mas Karan ...." ucap Puri dengan suara lirih.

“Iya, aku di sini. Kamu pingsan tadi di gerbang kampus. Kamu demam tinggi,” jelas Karan pelan.

Puri terdiam. Wajahnya masih lemah, tapi matanya mulai berkaca-kaca.

“Maaf… aku nyusahin,"

“Jangan ngomong gitu. Kamu nggak nyusahin,” potong Karan cepat. Ia menggenggam tangan Puri lebih erat.

“Yang penting sekarang kamu istirahat, ya?”

Puri hanya bisa mengangguk pelan, dan untuk pertama kalinya, ia merasa… benar-benar dijaga.

Setelah beberapa jam beristirahat dan kondisi tubuhnya membaik, dokter akhirnya memperbolehkan Puri untuk pulang.

Karan mengurus administrasi dengan cepat, lalu dengan hati-hati membantu Puri bangun dari ranjang.

“Kamu kuat jalan?” tanya Karan pelan.

Puri mengangguk lemah. “Bisa, Mas… tapi pelan-pelan, ya.”

Karan tersenyum, lalu memapahnya dengan sabar hingga ke motor.

Ia memastikan Puri duduk dengan nyaman, lalu kembali memacu motornya menuju rumah Puri.

Sesampainya di rumah, Karan turun lebih dulu dan membantu Puri turun dari motor.

Namun tubuh Puri masih lemah, membuatnya harus membopongnya lagi melewati pagar depan.

Baru saja sampai di teras, pintu rumah terbuka cepat.

“Puri?! Kenapa ini?!”

Suara cemas mama menggema begitu melihat putrinya dibopong oleh seorang lelaki asing.

Matanya membelalak antara panik dan bingung.

“Puri kenapa? Dan kamu siapa?”

Karan langsung menunduk sopan.

“Perkenalkan, Bu. Nama saya Karan.”

Ia menatap mama dengan penuh hormat.

“Puri pingsan tadi di kampus. Saya kebetulan ada di sana dan langsung membawanya ke klinik. Sekarang kondisinya sudah lebih baik, Bu.”

Mama Puri mendekat cepat, menyentuh dahi anaknya dan memegang tangannya yang masih dingin.

“Astaga, kenapa kamu bisa pingsan, Nak…”

Puri membuka mata pelan, mencoba bicara.

“Maaf, Ma… Puri nggak enak badan dari tadi pagi, tapi tetap maksa kuliah…”

Mama menatap putrinya dengan sedih, lalu menoleh ke Karan.

“Terima kasih, ya, Mas Karan. Kalau bukan kamu, entah bagaimana jadinya anak saya…”

“Sama-sama, Bu. Saya senang bisa bantu,” ucap Karan tulus.

Dengan sigap, mama mempersilakan Karan masuk dan membantu membawa Puri ke kamar.

Setelah memastikan Puri berbaring dengan nyaman, Karan pamit dengan sopan.

“Saya pamit dulu, Bu. Nanti saya kabari kalau perlu bantuan lagi.”

Mama mengangguk penuh syukur. “Hati-hati di jalan, Nak. Terima kasih sekali lagi.”

Karan tersenyum, menatap Puri sekali lagi yang kini sudah mulai tertidur lalu melangkah pergi, meninggalkan kesan dalam di hati seorang ibu… dan seseorang yang mungkin mulai tumbuh perasaan padanya.

Sore harinya, ketika matahari mulai turun perlahan dan angin semilir masuk lewat jendela kamar, mama masuk sambil membawa semangkuk bubur hangat.

“Puri, ayo makan dulu, biar cepat pulih,” katanya lembut, lalu duduk di sisi ranjang.

Puri yang masih lemah hanya tersenyum dan mengangguk pelan.

Mama mengambil sendok, meniupkan bubur di ujungnya, lalu menyuapi Puri perlahan.

Sambil menyuapi bubur berikutnya, mama melirik anak gadisnya.

“Karan itu tampan ya, Pur. Kenal di mana kamu?”

Puri terdiam sesaat, lalu menjawab sambil menunduk,

Waktu itu mobilnya mogok… Puri yang menolongnya .” jawab Puri.

Mama menyipitkan mata, senyum menggoda muncul di bibirnya.

“Waduh… mobil mogok apa modus tuh? Mau kenalan sama anak mama, ya?” ledek Mama

“Mamaaa …” Puri meringis pelan, malu bukan main.

Pipi pucat nya kini berubah merah muda, membuat mama terkekeh pelan.

Mama menyuapi lagi sambil mengelus rambut putrinya dengan penuh kasih.

“Kalau emang niatnya baik, mama nggak keberatan, kok. Yang penting Puri bahagia, laki-lakinya bertanggung jawab dan harus seiman." Ucap Mama.

Puri tak menjawab. Tapi senyum di wajahnya—meski kecil—sudah cukup jadi jawaban.

Ia sendiri belum tahu apa yang sedang tumbuh di hatinya.

Tapi satu hal yang pasti, pertemuan itu bukan kebetulan biasa.

Dan sore itu, di tengah demam yang masih tersisa, hati Puri justru terasa hangat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!