Pagi berikutnya, semua staf di kantor sudah sibuk dengan rutinitas pekerjaan. Lisa pun berjalan tergesa menuju ruangan direktur utama sambil membawa beberapa map.
Di dalam ruangan itu, ada Laura yang merupakan sekretaris direktur utama, sedang sibuk mencetak dokumen untuk rapat dan file kebutuhan perusahaan.
“Lisa tolong semua dokumen ini di copy enam kali ya! Yang lima untuk rapat, yang satu untuk arsip!” perintah Laura begitu Lisa masuk ruangan dan menyerahkan seluruh map padanya.
Di saat yang sama, pintu ruangan dibuka dari luar. Muncul sosok pria matang kharismatik yang tersenyum cerah dan lebar pada Lisa dan Laura.
Sungguh, hal itu bukanlah kebiasaan Pak David yang biasanya pelit senyum, pikir Lisa dan Laura dalam batin masing-masing.
“Pagi Laura! Pagi Lisa!”
Baik Laura maupun Lisa langsung mengangguk sejenak untuk membalas salam si bos. Keduanya memasang wajah tak percaya, tapi tetap tersenyum manis sebagai bentuk formalitas. “Pagi, Pak!”
David balas mengangguk, lalu duduk di belakang meja kerjanya, langsung memeriksa laporan yang menumpuk di atas meja.
“Laura!”
“Ya, Pak?” Laura mengangkat wajah, dan berjalan menghampiri meja atasannya.
“Mana yang urgent untuk ditandatangani? Yang nggak urgent sisihkan aja dulu! Aku nggak bisa periksa semua sekarang!”
Laura ikut memeriksa dengan kecepatan tangan dan kejelian penglihatannya, kemudian memberikan satu demi satu berkas dan menunjuk dimana bosnya harus membubuhkan tanda tangan. “Hanya ini yang butuh tanda tangan segera!”
“Trus apa saja jadwalku hari ini?” tanya David dengan wajah datar. Namun demikian, sambil membubuhkan tanda tangan, ekor matanya sesekali melirik ke arah Lisa yang sedang merapikan dokumen yang keluar dari mesin pencetak.
“Jam sembilan ada meeting dengan divisi pemasaran, lanjut monitoring tim marketing dan IT, lanjut istirahat makan siang, terakhir meeting eksternal dengan PT. Jaya Makmur di Lounge Grand Sky,” jawab Laura lancar, tanpa membaca layar ipadnya.
“Oke. Soal meeting eksternal dengan Jaya Makmur nanti siang, kamu nggak perlu ikut ya, Laura!” ujar David masih dengan wajah datarnya. Suaranya yang seolah memberikan perintah mutlak pada pegawainya tak bisa digoyahkan.
Laura agak terkejut mendengar kalimat bosnya, “Maaf, Pak? Untuk meeting nanti, bapak tidak perlu notulen?”
“Hari ini kamu banyak kerjaan kan di kantor?”
“Iya, Pak!” jawab Laura singkat dan patuh.
David menukas dengan nada lebih rendah, “Ya udah kamu fokus aja di kantor bereskan semua pekerjaan hari ini!”
Laura berusaha profesional meskipun hal seperti itu sama sekali bukanlah kebiasaan bosnya. David tipe atasan yang kemana-mana membawa sekretaris karena tak mau ribet dengan hal-hal kecil seputar pekerjaan. Dan selama menjadi sekretaris direktur utama, Laura tidak pernah disuruh untuk mengutamakan pekerjaan di kantor daripada meeting eksternal.
“Kalau begitu siapa yang akan mendampingi bapak meeting nanti siang?”
David diam sejenak, fokus membubuhkan tanda tangan pada berkas terakhir. Ia baru mengangkat wajah setelah menutup dokumen, “Lisa yang akan ikut meeting eksternal, biar dia belajar jadi notulen meeting hari ini. Lagi pula nanti itu cuma meeting kecil-kecilan! Nggak harus kamu yang tangani.”
“Baik, Pak!” sahut Laura dengan wajah ketularan datar. Entah apa pula yang sedang sedang direncanakan bosnya pada Lisa, ia akan mencari tahu segera. Karena, sedikit banyak hal ini berhubungan dengan kinerjanya sebagai sekretaris direktur utama. Ia jelas keberatan kalau posisinya sampai terancam.
Lisa yang mendengar obrolan itu langsung menoleh ke arah direktur utama, “Saya yang jadi notulen meeting nanti, Pak?”
“Ya!” jawab David tegas berwibawa.
“Baik, Pak!” Lisa menimpali dengan suara tercekik. Batinnya langsung berandai-andai, kalau saja ia bisa menolak keputusan sepihak itu! Tapi ... impossible banget, kan?
Lisa kemudian mengalihkan perhatian pada Laura, bertanya apakah masih ada yang harus dikerjakannya di tempat itu?
Laura mengucapkan terima kasih dan meminta Lisa kembali ke ruangan administrasi.
“Permisi, Pak! Bu!” pamit Lisa saat keluar ruangan direktur utama. Ia mengumpat pelan begitu langkahnya sudah menjauh dari pintu yang memerangkapnya untuk beberapa waktu tersebut.
“Hai, dari mana? Pagi-pagi udah ngomel aja,” sapa Nina yang berpapasan di lantai yang sama.
Lisa cepat-cepat menyeret Nina, “Ayo ikut aku ke pantry sebentar!”
“Ngapain? Bikin kopi buat Reza? Atau buat Pak Bos?”
“Heh, aku bukan OB tauk!”
Secara singkat, Lisa menjelaskan apa yang baru saja terjadi di ruang bos.
Nina histeris, “Apa? Serius, Lis? Hebat banget kamu!”
“Hebat? Sumpah ini udah mulai nggak bener, Nin! Bayangin, masa aku yang nemenin bos meeting? Apa kata orang kantor? Hellooo … emangnya aku siapa? Cuma anak administrasi kok tiba-tiba bisa jadi notulennya dirut. Sekretarisnya kemana?”
Nina yang mulanya menyimak dengan wajah antusias, berubah menjadi sangat antusias. “Wah, kayaknya itu bentuk promosi terselubung, Lis! Kamu bisa masuk dalam daftar notulen istimewa tahun ini loh. Sumpah kamu keren, Lisa!”
“Nggak lucu!” Lisa melempar tatapan membunuh ke arah Nina yang sedang cengar-cengir bahagia.
“Bakal cepet naik jabatan kamu kalau begitu ceritanya. Menurutku ini efek positif dari pelet Nyi Sekar, kenapa kamu malah nggak seneng sih? Kamu nggak pengen masuk jajaran sekretaris direksi? Apalagi kalau langsung jadi sekretaris dirut, wah mantep banget itu. Aku dukung kamu, Lis!”
“Kamu pengen aku disantet Laura?! Kamu nggak lihat gimana wajahnya pas Pak David minta aku yang jadi notulennya? Dia udah kek singa betina yang anaknya mau dimakan predator!”
Nita berkomentar dengan cueknya, “Ya nggak liat lah, kan aku nggak ada di ruangan itu. Gimana sih kamu?”
“Nina please?!” Lisa nyaris berteriak melihat ekspresi Nina yang sepenuhnya senang dengan kabar buruk itu. “Nanti sore pulang kerja kita berangkat ke Banyuwangi. Aku nggak mau hal gila ini berlangsung lebih lama lagi. Bisa-bisa aku diajak honeymoon ke Bali dengan alasan dinas luar kota nanti.”
“Kalau itu sampai terjadi dan kamu nggak mau pergi, bisa aku wakilin, Lis! Sumpah aku nggak keberatan kalau harus nenenin Pak David tiga hari tiga malam di Bali.”
“Nenenin?” Nina bertanya dengan nada sewot dan mata melotot.
“Eh salah, maksudnya nemenin! Timbang salah satu huruf aja, Lis!” Nina menjawab sambil terkekeh messum.
“Sarap kamu! Salah satu huruf tapi maknanya jadi jauh bener, Oneng!”
Nina bersedekap, sok mikir beberapa saat sebelum kembali bicara, “By the way, Pak David kan duda … kalau kepingin eweew gimana ya, Lis? Masa iya main solo di kamar mandi? Tapi beliau kan duitnya banyak, apa mungkin beli putus? Atau jangan-jangan pak bos kita itu punya simpenan. Aani-aani gitu. Anak kampusan? Wah kudu diselidiki ini, Lis!”
“Astaga, Nina?! Ngapain kamu ngurusin pribadi Pak David? Emang penting buat kita tahu dia punya aani-aani atau ana-ana?” Lisa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir dengan rasa ingin tahu sahabatnya yang sudah melewati batas itu.
“Penting, Lis! Pan Bapak Dapid calon suami ente,” jawab Nina sambil cengengesan. Ia segera kabur dari pantry sebelum Lisa memaki dan menyiramnya dengan air panas.
Bersambung,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Bunda ammar🥰🥰
kayanya ka al abis datang ke nyi sekar ya..ko aku jd kena pelet juga nih bulak balik buka nt takut ka al udh up...
😁😁😁
tp lucu ya si nina dr kata nemenin bisa jd nenenin pdhal maknanya beda rasanya juga beda wkwkwkk
2025-05-05
8
𝐋α 𝐒єησяιтα🇵🇸🇮🇩
Gesrekk juga nih Nina wkwkwkwk
klo Liss tak ada reza atw tak kena misi
mungkin happyy kali diuber-uber boss nya, lahh ini kan si kenongo salah sasaran, lieur sendiri dia.
2025-05-05
3
Sri_sena
heheh yang semangat dong lis .. kayak nina tuh🤣
2025-05-05
6