Malam hari di Desa Warasari.
Cahaya temaram lampu desa sesekali berkedip lemah, beberapa rumah hanya mengandalkan lampu minyak atau senter kecil. Desa Warasari memang belum sepenuhnya teraliri listrik. Suara jangkrik mengisi keheningan malam, udara sejuk menyapa dari sela-sela dinding kayu asrama putri tempat para relawan menginap.
Di dalam asrama, suasana sedikit ramai tapi hangat.
Feli sedang ribet sendiri di depan cermin kecil, mengeluarkan serangkaian peralatan perawatan tubuh dari tasnya.
“Skincare, check. Haircare, check. Body lotion, check... Yah, sheet mask aku ketinggalan dong!” keluhnya dramatis sambil rebahan setengah berguling di kasur.
Yara duduk tenang di sisi tempat tidurnya, melipat rapi baju-bajunya, satu per satu. Sesekali dia melempar senyum kecil melihat kelakuan Feli yang heboh sendiri.
Sementara itu, Fionna baru keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah terikat asal, kaos longgar dan celana training sudah melekat di tubuhnya.
“Mandinya cepet banget, Fi,” komentar Feli sambil ngintip dari balik masker wajah.
Fionna hanya terkekeh, “Biasalah, keburu rebutan air sama kalian nanti.”
Tak lama kemudian, muncul sosok Zamora Athala, seorang perawat tangguh namun kalem, membawa kotak P3K kecil. “Nih, aku taruh di rak ya, buat besok kita pakai bareng,” katanya pelan, senyum tipisnya menyiratkan keramahan.
Yara diam-diam bangkit dari tempat tidurnya, mengenakan jaket tipis, lalu keluar asrama. Ia berjalan menyusuri jalan kecil desa yang sunyi. Langit sudah gelap, tapi taburan bintang terlihat jelas tanpa terhalang polusi kota. Tak ada suara klakson, tak ada gedung menjulang. Hanya udara segar dan aroma tanah yang menenangkan.
Tak lama, langkah kaki menyusul dari belakang.
Adrian muncul, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana training-nya.
Adrian:
“Kok belum tidur, Yar? Emang gak capek?”
Yara:
(tersenyum tipis, masih memandangi langit)
“Nggak ngantuk, Kak. Tadi di pesawat sama di mobil aku tidur terus.”
Adrian:
“Haha iya sih, aku liat kamu sama Feli udah kayak anak kecil kekenyangan... tidur pulas banget.”
Yara:
“Iya, soalnya semalam tidur larut gara-gara Feli nginep... maksa nonton drama sampe pagi. Aku takut ketinggalan pesawat, jadi paginya bangun cepet.”
Mereka berjalan berdampingan, melewati pos ronda kecil. Di situ ada bangku kayu panjang yang kosong. Mereka duduk. Suara malam tetap setia menemani.
Yara memeluk tubuhnya sendiri, menahan dingin.
Adrian:
“Kamu kedinginan ya? Masuk aja yuk, nanti sakit.”
Yara:
“Gapapa, Kak. Aku mau nikmatin udara desa dulu. Tenang banget di sini... besok pasti lebih segar.”
Adrian:
(tertawa kecil, mengangguk)
“Iya, bener. Udara desa tuh beda, ya. Ya udah, sebentar lagi masuk terus tidur, ya. Biar besok semangat.”
Yara hanya mengangguk dan tersenyum.
Hening beberapa saat sebelum Adrian kembali membuka suara.
Adrian:
“Kamu udah punya pacar, Yar?”
Yara menoleh cepat, sedikit terkejut, tapi tetap tenang.
“Belum, Kak. Belum kepikiran. Lagi fokus sama diri sendiri, sama karir.”
Adrian:
(tertawa pelan)
“Padahal kamu udah lumayan tua, loh... masa mau terus sendiri. Nanti bosen loh di ruang operasi terus.”
Yara:
(berdecak pelan sambil menyikut bahunya)
“Yeeh! Kakak bilang aku tua? Aku masih 26! Kakak sendiri 28, belum nikah juga tuh. Kalo aku tua, kakak apa?”
Adrian:
“Haha iya... masih nunggu waktunya pas. Masih berusaha ngambil hatinya juga.”
Yara:
“Loh, udah ada kandidatnya? Siapa Kak? Kok gak pernah cerita?”
Adrian:
“Ada deh. Nanti kamu tau sendiri.”
Yara hanya memanyunkan bibirnya sedikit, lalu tertawa pelan bersama Adrian. Malam desa Warasari terasa hangat, meskipun udara dingin perlahan mulai menggigit. Mereka bercanda ringan sampai larut, sebelum akhirnya kembali ke asrama masing-masing.
-----
Pagi hari dan para tim relawan mulai beraktivitas
Matahari baru nongol malu-malu di balik pepohonan. Udara sejuk dan suara ayam berkokok terdengar samar dari kejauhan. Di asrama, Feli udah heboh duluan karena hair dryer-nya gak nyala.
“Yaampun kenapa harus di tempat kayak gini sih dryer aku mogok, bisa gagal glowing dong aku!”
Yara yang lagi ngaca sambil iket rambut cuma geleng-geleng.
“Udah lah Fel, warga di sini gak peduli glowing apa enggak. Yang penting kamu bisa bedain stetoskop sama sendok nasi.”
Fionna keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah, “Kalian berdua ribut aja dari subuh. Aku sampe lupa aku dokter loh, kirain masuk sinetron.”
Tak lama kemudian, suara ketukan terdengar di pintu asrama.
Adrian muncul, santai dengan kaos abu-abu dan celana lapangan. Rambutnya sedikit berantakan, seperti baru bangun.
“Pagi, tim heboh. Sarapan udah siap, kita briefing jam tujuh bareng koordinator desa.”
Feli langsung loncat dari kasur, “Aku belum skincare-an!”
“Skincare jalan, penyakit jalan juga, Fel,” goda Adrian sambil jalan pergi.
Yara geleng-geleng, senyum tipis muncul di wajahnya. Hari pertama sudah dimulai.
---
Di Balai Desa Warasari, Pukul 07:15
Mereka berkumpul bersama kepala desa dan tim lokal. Ruangan kayu sederhana itu penuh dengan papan data, alat medis seadanya, dan suara obrolan ringan.
Kepala desa menjelaskan dengan serius:
“Akhir-akhir ini banyak warga yang kena penyakit kulit dan flu. Ada juga beberapa anak-anak yang demam tinggi. Kami butuh bantuan untuk periksa warga, edukasi soal kebersihan, dan bantu pembagian obat. Kalian akan jadi tim penyuluh selama seminggu ke depan.”
“Kami siap, Pak,” jawab Deva, si dokter paru-paru yang selama ini dikenal kalem tapi jago di lapangan.
Fionna langsung mencatat di notes-nya, sementara mora sibuk memastikan kotak obat lengkap. Feli menguap kecil. Yara duduk paling ujung, memperhatikan dengan saksama.
Adrian menatap Nayara sebentar. Bukan karena dia tidak fokus, tapi karena dari tadi dia diam-diam memperhatikan wajah tenangnya, caranya memegang pulpen dengan serius, dan bagaimana dia fokus pada semua arahan tanpa terdistraksi apapun.
------
Hari itu matahari cukup terik, tapi semangat tim relawan justru makin panas. Balai desa disulap jadi posko medis dadakan. Warga dari berbagai dusun berdatangan. Ada yang datang bawa anak kecil dengan demam, ada yang mengeluhkan gatal-gatal, dan beberapa orang tua hanya ingin “dipijetin punggung karena sering masuk angin”—padahal itu bukan tugas mereka.
Feli sibuk menghibur anak kecil sambil kasih vitamin.
> “Ayo, dek... ini bukan obat pahit kok, ini kayak permen rasa jeruk! Nih, kakak juga minum!”
Anak kecil itu menatap curiga, tapi akhirnya tertawa saat Feli pura-pura keselek setelah minum.
Fionna dan Deva fokus banget di meja pemeriksaan. Yara bagian mendata dan nyatet keluhan warga, kadang juga bantu edukasi tentang cuci tangan, makanan sehat, dan pentingnya menjaga kebersihan air.
Beberapa warga laki-laki muda malah kelihatan terlalu semangat saat ditangani Yara.
> “Eh, mbak relawan ini udah punya pacar belum?”
“Mbak Yara... abis ini istirahat di rumah saya aja ya, airnya deras.”
Yara hanya tersenyum kaku. “Saya relawan medis, bukan relawan jodoh, Pak.”
Adrian bantu ngangkut galon dan membagi masker. Sesekali dia curi pandang ke arah Yara, terutama waktu Yara kepanasan dan ngelap keringat pakai tisu seadanya.
“Minum yang banyak, Yar,” katanya sambil nyodorin air mineral.
“Thanks, Dok." jawab Yara sambil cengengesan, padahal udah lemas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments