4

Malam ini Maira sudah tidur di kamarnya. Aku baru saja selesai menonton drama favorit dan aku duduk di tepi tempat tidur. Aku mematikan Lampu kamarku, aku hanya menyisakan cahaya dari lampu luar.

Aku memeluk lutut, menatap kosong ke depan. Seperti biasa, tak ada suara selain detak jam dinding dan angin lembut dari jendela yang terbuka sedikit.

Di luar kamar, aku mendengar langkah kaki pelan. Suara pintu ruang kerja dibuka, lalu kembali ditutup dengan sepelan mungkin. Mungkin Arif baru selesai bekerja. Mungkin dia akan langsung masuk kamar dan akan langsung tidur, akupun berpura-pura tidur. Ketika dia masuk ke dalam kamar dan siap-siap untuk tidur kemungkinan dia menatap ku hanya sekilas saja, kemudian dia menaiki ranjang dan tidur, tidak berapa lama dia sudah tertidur dan Aku pun juga tertidur, sekitaran pukul 4 pagi aku terbangun karna tenggorokanku terasa kering dan aku terkejut ketika melihat di sampingmu sudah tidak ada mas Arif lagi. Kemudian aku melangkah ke dapur, Suara dari ruang dapur pelan terdengar—bunyi gelas disentuh, air mengalir. Aku mendekat dan melihat mas Arif sedang menuang air ke dalam dua gelas. Dia kaget saat melihatku.

“Mau minum juga?” tanyanya, singkat.

Aku mengangguk. Kami duduk di meja makan. Tidak saling menatap. Hanya memegang gelas masing-masing. Malam ini tidak dingin, tapi aku menggigil.

“Bagaimana kelas menjahitnya?” tanyanya tiba-tiba.

Aku menoleh cepat, tidak menyangka dia akan bertanya.

“Lumayan,” jawabku pelan. “Aku belajar bikin baju daster hari ini. Walaupun jahitan punyaku masih miring-miring.

“Kalau kamu suka, teruskan aja.”

Aku mengangguk lagi. Lalu hening. Tapi bukan hening yang menusuk seperti dulu.

Aku memberanikan diri bicara, “Mas Arif…”

Dia menatapku.

“Aku gak minta kamu mencintaiku. Aku tahu… semua ini terlalu cepat. Tapi aku hanya ingin tahu… apakah kamu… masih menyimpan dia di sini?” Aku menunjuk dadaku sendiri. “Setiap hari?”

Dia tidak langsung menjawab. Tangannya menggenggam gelas lebih erat.

“Setiap hari,” katanya akhirnya. “Tapi tidak seperti dulu.”

Aku mengangguk. Pahit. Tapi jujur.

“Kalau begitu,” kataku pelan, “aku akan tetap di sini. Meskipun hanya sebagai tempat duduk sunyi saat kamu lelah. Tapi semoga suatu hari nanti… kamu akan melihat aku sebagai sesuatu yang bisa juga kamu genggam. Bukan hanya untuk kamu lewati.”

Dia mencoba memejamkan mata , lalu membuka lagi. Dia Tidak ada berkata apa-apa. Akan teTapi ketika aku berdiri untuk kembali masuk ke kamar, dia berkata, “Terima kasih Amira karena tidak pergi.”

Dan malam itu, aku kembali ke kamar dengan sesak di dada. Tapi untuk pertama kalinya… sesak itu tidak membuatku merasa sendirian. Mas Arifpun ternyata tidak masuk ke dalam kamar lami melainkan dia masuk ke dalam ruang kerjanya aku tidak tau apa yang dilakukannya di dalam sana.

***************************

Pagi itu, langit tampak begitu lebih cerah dari hari - hari biasanya. Setelah kami sarapan bersama , aku duduk di teras, menikmati udara pagi yang sejuk dan minum segelas teh. Maira sudah mulai bermain di taman belakang, tampak sibuk dengan bonekanya. Aku hanya mengamati maira dari kejauhan sambil sesekali aku tersenyum ke arahnya ketika dia melihat ke arahku merasa masih canggung untuk mendekatinya lebih jauh. Namun, sesuatu di dalam diriku mendorongku untuk selalu mendekat ke arahnya.

Semalam, aku dan Maira sempat bermain sebentar dan berbicara sedikit, meskipun pembahasan kaki itu hanya tentang boneka-boneka yang dia mainkan, dan aku merasa ada sedikit harapan bahwa dia sudah mulai terbuka padaku, meskipun itu hanya sedikit.

Aku menarik napas dalam-dalam, berdiri dari kursi, dan perlahan berjalan menuju Maira yang sedang asyik sendiri.

"Maira, tante ingin membantu maira, bisa Tante bantu?" Tanyaku pelan.

Maira menoleh, wajahnya terlihat agak sedikit bingung, kemudian dia tersenyum kecil. "Bantu apa, Tante?"

Aku duduk di sampingnya, menatap boneka yang ada di genggamannya. "Apakah boneka ini sudah bisa berbicara, ya? Tante mau tahu cerita apa yang dia buat hari ini."

Maira memiringkan kepala, seolah berpikir sejenak. "Boneka ini mau pergi ke sekolah, Tante. Tapi dia takut kalau nanti nggak ada yang mau berteman dengan dia."

Aku tersenyum, mencoba mendekat lebih dalam dengan ceritanya. "Kalau begitu, boneka ini harus tahu kalau ada banyak teman yang siap menemani. Kalau dia merasa takut, harus berani bilang ke orang lain, supaya orang lain bisa bantu."

Maira terdiam sejenak, matanya menatap boneka di tangannya. Aku bisa melihat dia mulai mencerna kata-kataku, meskipun dia masih kecil.

"Aku nggak takut kok," kata Maira tiba-tiba, seolah mencoba meyakinkan diri sendiri. "Aku udah punya teman. Tante juga teman aku, kan?"

Aku terkejut mendengarnya, meski hanya kata-kata sederhana. "Iya, Tante teman kamu. Dan Tante akan selalu ada untuk kamu bagaimana keadaan kamu sayang."

Maira tersenyum lebar, kali ini senyuman yang lebih tulus. "Tante, apakah nanti aku boleh ajarin boneka ini cara makan es krim. Mau nggak?"

Aku tertawa kecil, merasa ada langkah kecil yang mulai terbuka di antara kami. "Tentu. Kalau boneka ini suka es krim, Tante juga mau ikut!"

Sejak itu, aku mulai merasa lebih dekat dengan Maira. Mungkin bukan dengan cara yang langsung, tapi melalui hal-hal kecil—seperti bermain boneka bersamanya, atau sekadar duduk bersama sambil berbicara tentang hal-hal sederhana. Aku tahu dia masih membutuhkan waktu untuk benar-benar menerima aku, tapi setidaknya, aku merasa langkah itu sudah dimulai.

Pada sore hari, aku kembali menemani Maira di taman. Kami duduk di bawah pohon sambil memandangi bunga yang sedang mekar. "Maira, apakah Maira mau bersekolah ? " tanyaku kepada maira, dia hanya mengangguk saja, " tapi tante aku takut nanti tidak ada yang mau bermain denganku."

Tidak maira, pasti banyak orang yang akan menyukaimu dan mau bermain denganmu, kata kU dengan bersungguh - sungguh"

" tante ketika maira besar nanti, maira ingin menjadi seseorang yang baik hati dan tidak suka memarahi siapapun.

Aku memandangnya dengan penuh perhatian. "Itu cita-cita yang baik, Maira. Tante yakin, kamu pasti bisa."

Maira tersenyum lebar, wajahnya cerah dengan harapan yang tulus. Aku merasa sedikit lega. Mungkin, aku bisa menjadi bagian dari hidupnya, pelan-pelan. Tidak perlu terburu-buru.

Hari itu, meskipun tak ada kata-kata besar yang terucap, aku merasa kami mulai membangun fondasi yang lebih kuat. Ada harapan di setiap langkah kecil yang kuambil untuk mendekatkan diri padanya.

Sebelum masuk kedalam rumah aku bilang bahwa aku akan sampai kan kepada papanya bahwa Maira akan dimasukkan ke sekolah, Dan Yap Maira sangat senang mendengarnya. " Terimaksih Tante" kata maira.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!