🌸
🌸
“Bapak nggak bilang kalau dia punya bayi.” Suara dari area belakang tentu dapat Asyla dengar dengan jelas saat dia memasuki rumah tersebut.
“Saya butuhnya art, Pak. Yang bisa kerja.” Dan tampak Aleandra yang mondar mandir di dekat kolam renang, terus berbicara dengan pak Pardi, sopir keluarga yang sudah kembali ke Jakarta sana.
“Memangnya Asyla nggak bisa kerja ya, Mas?” Terdengar tanggapan dari seberang.
“Ya … Bisa sih, tapi —”
“Apa kerjaannya nggak baik?”
“Baik juga. Sepertinya dia pintar beres-beres, tekun juga cekatan. Dan satu lagi, masakannya enak. Dari nasi goreng yang tadi pagi saya makan, ya tapi nggak tau masakan yang lainnya.”
“Nah, terus apa lagi kurangnya? Sebagai art dia punya spek yang sempurna, kan?”
“Spek apanya? Memangnya saya cari istri?”
“Itu yang Mas bilang tadi. Pintar beres-beres, tekun juga cekatan. Semua art seharusnya begitu, kan? Belum lagi dia cepat tanggap. Contohnya semua yang saya bilang harus dikerjakan dia kerjakan. Lalu apanya yang kurang?”
“Saya pikir dia nggak punya anak.”
“Mas mau yang gadis?”
“Nggak gadis juga, Pak.”
“Terus maunya ibu-ibu?”
“Syla juga ibu-ibu.”
“Terus?”
“Minimal nggak punya anak kecil lah. Saya sudah menyetujui kalau dia tidak bisa menginap, tapi ini?”
“Apa anaknya Syla mengganggu Mas Ale?”
“Tidak juga. Malah saya nggak tau anaknya yang mana.”
“Lho, terus?”
“Asyla tadi izin pulang untuk menyusui anaknya.”
“Mas kasih izin? Saya yang suruh tadi kalau mau pulang.”
“Iyalah, kasihan anaknya kalau nggak saya kasih izin.”
“Mas nggak mau art yang gadis, nggak mau juga ibu-ibu. Tapinpas Asyla minta izin pulang untuk menyusui anaknya malah kasih izin. Terus masalahnya di mana?”
Aleandra tampak menyugar rambutnya dengan kasar.
“Dia sangat butuh pekerjaan, Mas. Kasihan anaknya baru satu tahun. Dia janji soal anak tidak akan mengganggu pekerjaannya di villa. Cuma minta izin saja pulang tengah hari untuk menyusui. Cuma satu jam katanya.”
Pria itu melihat jam di pergelangan tangannya.
“Keluarga suaminya ‘kan tetangga istri saya, dia benar-benar harus kerja di villa soalnya kalau di tempat lain nggak bisa. Lagian dia itu ja—”
“Ah, sudah-sudah! Kebiasaan pak Pardi ini mengeksploitasi penderitaan tetangga. Setelah empat art yang dibawa kerja di rumah mama dan mas Juna, sekarang ditambah ini lagi.”
“Masalahnya, di antara tetangga-tetangga yang lain Asyla ini yang paling kasihan, Mas. Suaminya ‘kan meni—”
“Hah, alasan klise. Jarang ketemu suaminya karena menikah lagi ya? Jadinya jarang dikasih nafkah. Seperti mbak Siti ‘kan?”
“Bukan, Mas.”
“Alah, rata2 di kampung ini sepertinya begitu. Nggak heran di umur semuda itu dia sudah punya anak. Para laki-laki tidak bertanggung jawab, mau enaknya saja.”
“Eh, Mas Ale dengerin dulu ….”
“Nggak! Pokoknya pak Pardi yang harus dengar saya.” Aleandra memutar tubuh, dan di saat yang bersamaan Asyla yang semula terdiam di teras samping hampir saja melanjutkan langkah. Seketika pandangan mereka bertemu dan keduanya sama-sama terdiam.
“Umm ….”
“Jadi art nya mau diganti, Mas?” Lalu suara pak Pardi kembali terdengar.
“Soal itu ….”
“Kasih kesempatan lah, Mas. Kasihan dia kan ja—”
“Euhh … iya iya, baiklah!!” Pria itu buru-buru mengakhiri panggilan. “Umm … ehm!!” Dia berdeham untuk melegakkan tenggorokkan yang semula terasa tercekat. Jangan-jangan Asyla mendengar pembicaraannya dengan pak Pardi barusan, begitu pikirnya.
“Kamu … sudah kembali.” katanya, tiba-tiba saja merasa canggung.
“Iya, Pak. Saya bilang cuma sebentar.” Asyla menjawab.
“Umm ….”
Wanita itu terdiam sebentar. Dia ingat semua yang didengarnya barusan. Mungkin Aleandra tidak bisa menerimanya yang punya anak kecil untuk bekerja di sana. Bisa saja karena berbagai alasan, utamanya karena tidak mau pekerjaannya terganggu.
Tapi ini adalah satu-satunya hal yang masuk akal baginya dari pada harus menerima lamaran juragan Somad atau menghadapi kemes+man kakak iparnya.
Dan kabur bukanlah pilihan terbaik saat ini. Dirinya tak punya bekal apalagi keberanian untuk pergi.
Tidak! Dirinya harus melakukan sesuatu untuk bisa bertahan di sini. Tempatnya yang tidak jauh dari rumah, ditambah lagi dengan posisinya saat ini yang tidak memungkinkan untuk mendapatkan pekerjaan di tempat lain membuat villa milik majikan tetangganya itu tak ubahnya seperti tambang emas baginya.
“Saya … minta maaf, Pak.” Asyla dengan raut sendu, lalu dia berjalan mendekat. “Saya janji akan bekerja dengan baik. Melakukan apapun yang Bapak perintahkan dan urusan anak tidak akan mengganggu pekerjaan ini.”
Aleandra mengerutkan dahi.
“Saya mohon, Pak.” Wanita itu segera berlutut di lantai kemudian berjalan dengan lututnya menghampiri sang majikan. Tentu saja orang yang dimaksud malah mundur beberapa langkah karena terkejut.
“Asyla!!”
“Saya sangat membutuhkan pekerjaan ini, Pak!” Wanita itu hampir saja menyentuh lutut Aleandra jiga saja dia tak mundur lagi.
“Kasihan anak saya, Pak!!”
“Eee ….”
“Tolong la, Pak!!” Dan Asyla kini memelas, tetapi Aleandra malah terdiam.
“Saya janji akan bekerja dengan baik. Anak saya nggak akan mengganggu. Dia anteng apalagi kalau saya datang tepat waktu untuk menyusuinya. Saya janji ….” Asyla tampak memelas.
“Bapak nggak percaya? Bapak bisa datang ke rumah saya biar tau. Terus biar yakin juga dengan yang saya katakan. Serius, saya nggak bohong.”
Sedangkan Aleandra menghembuskan napas pelan.
“Pak ….” Asyla kembali bergerak dengan lututnya namun pria di depan mengangkat tangan untuk memberi isyarat agar sang art berhenti.
“Baiklah, baiklah! Jangan berlebihan seperti itu. Saya ‘kan hanya komplain saja sama pak Pardi. Baru kali ini dia bawa art yang nggak sesuai.”
“Tapi, Pak ….”
“Sudah, sana. Kembali lagi bekerja! Buatkan saya makanan!” ucap Aleandra yang segera meninggalkan area tersebut.
***
Satu bulan kemudian ….
“Kopi, roti panggang sama bekalnya sudah siap di meja makan, Pak.” Seperti biasa, setiap pagi suara Asyla menjadi hal yang paling pertama kali Aleandra dengar.
Nadanya yang riang dan wajahnya yang ceria membuat suasana villa terasa hangat dan menyenangkan. Setidaknya, begitulah yang dia rasakan sejak kepindahannya ke kawasan bukit di bagian barat kota Bandung tersebut. Perempuan itu selalu bersemangat seolah setiap hari baginya merupakan hal yang menyenangkan.
“Kamu bekali saya apa hari ini?” Aleandra duduk di kursinya, seperti biasa.
Secangkir kopi sus*, sebuah roti panggang dengan isian selai kacang menjadi sarapannya pagi ini. Lalu di sampingnya dua buah kotak makan berusun sudah rapi di dalam tas khusus nya.
Sudah satu bulan terhitung sejak dirinya pindah dan Asyla bekerja di sana, dia menerapkan aturan sarapan dan bekal untuk dibawanya bekerja. Bukan apa-apa, banyak hal yang berubah dari dirinya, dan memanh sengaja pula dia rubah sebagai permulaan hidup yang baru setelah menyandang status duda.
“Ada nasi, ayam suwir, perkedel kentang sama cah jamur, Pak.” jawab Asyla yang kini sudah tak secanggung saat pertama kali dirinya bertemu dengan sang majikan.
“Wow, pasti enak.”
“Mungkin.” Senyuman lembut terukir di bibir ibu muda itu.
“Terima kasih.” Lalu Aleandra memulai kegiatan sarapannya, sedangkan Asyla merapikan counter dapur yang semula digunakannya untuk memasak.
“Umm … anakmu … sehat?” Tiba-tiba saja Aleandra memulai percakapan. Dirinya memang sedikit bicara, tetapi jika ada orang di sekitarnya kadang tertarik juga untuk bercakap-cakap.
“Sehat, Pak.” Asyla yang telah menata peralatan masak itu kemudian beralih mengambil sapu.
“Dia tidak rewel?”
“Nggak. Malah ‘ngajurung’ kalau saya mau pergi.”
“Apa? Ngajurung?”
“Mendukung, Pak.” Perempuan itu tertawa. “Maaf, saya terbiasa pakai bahasa daerah kalau ngobrol. Jadi agak kagok kalau Bapak ajak saya ngobrol.”
“Oh ….” Aleandra menganggukkan kepala.
“Tapi selama kamu bekerja di sini dia tidak rewel, kan?”
“Nggak, Pak. Lihat sendiri ‘kan, kalau setiap hari saya datang tepat waktu? Malah, Tirta kadang masih tidur kalau saya pergi.”
“Tirta? Nama anakmu Tirta?”
“Ya. Tirta Galiandra.” Asyla tersenyum lagi.
“Galiandra? Kok mirip nama saya?”
“Sedikit, Pak. Heheh.”
“Tapi itu anak kamu dan suamimu, kan?”
Perempuan itu tertawa, “hahahah, Bapak ini ada-ada aja. Ya iyalah, masa anak Bapak? Ketemunya juga baru sekarang-sekarang.”
“Bukan begitu, masalahnya itu nama memang agak mirip.”
“Nggak tau, Pak. Kang Jaka yang kasih nama.”
“Jaka? Suamimu?”
Asyla menganggukkan kepala.
“Oh … tapi bagus juga.”
“Iya, memang.”
“Hmm ….”
“Oh iya, Pak. Takutnya nanti lupa bilang. Saya mau minta izin pulang lebih cepat hari ini, Pak.” Dan Asyla hampir saja keluar ketika dia teringat sesuatu.
“Izin? Memangnya ada apa?”
“Hari ini anak saya ulang tahun. Satu tahun pas, Pak.”
“Duh? Berarti kamu kerja di sini sudah satu bulan, ya?”
Asyla mengangguk lagi.
“Terus mau apa? Merayakan ulang tahun?” Aleandra menyuapkan potongan terakhir dari roti panggangnya.
“Nggak merayakam juga sih, karena saya memang nggak pernah merayakan ulang tahun.”
“Terus?”
“Mau ajak Tirta ke makam bapaknya saja.”
“Maksud kamu?”
“Suami saya ‘kan sudah meninggal, Pak. Makanya saya kerja di sini.”
“Duh?” Seperti ada yang berdenyut ngiku di ulu hati saat Aleandra mendengar penututran asusten rumah tangganya itu. Dan hal tersebut bahkan baru saja dia ketahui setelah sebulan lamanya perempuan itu bekerja padanya.
“Kamu serius?” Dia yang hampir meneguk minumannya mengerutkan dahi.
“Serius, Pak.”
“Kapan suamimu meninggal?” Dan pada akhirnya, Aleandra merasa penasaran sehingga dia kembali bertanya.
“Udah lama. Waktu Tirta masih empat bulan di kandungan.”
“Ya Tuhan!! Meninggalnya kenapa? Sakit?”
“Kecelakaan waktu antar batu pesanan ke desa tetangga, Pak.”
“Suami kamu sopir?”
“Iya, sopir truk batu.”
“Terus selama ini kamu tinggal di mana?”
“Sama mertua, Pak.”
“Dan anakmu diurus mertua selama kamu bekerja?”
“Iya, siapa lagi? Cuma mereka yang saya punya. Hehe.” Asyla sedikit tertawa, tetapi hal iti menimbulkan denyutan laim di hati Aleandra.
“Orang tuamu masih ada?” Dan percakapan ini menjadi semakin jauh saja, sehingga Aleandra yang semula berniat langsung pergi bekerja pun mengurungkan niatnya.
“Nggak ada. Bapak saya meninggal waktu saya juga masih di kandungan. Emak meninggal waktu saya kelas 6 sd.”
“Terus kamu hidup sama siapa?”
“Pindah-pindah. Kadang sama uwa, kadang sama bibi. Tapi pas lulus SMP merantau ke Bandung, kerja di rumah makan.”
“Terus menikah dengan suamimu kapan?”
“Pas umur 18.”
“Hah?” Pria itu dengan raut terkejut.
“Waktu itu kang Jaka pulang dari Purwakarta, mampir di tempat kerja saya. Bos nya ngajak makan. Setelah itu kang Jaka datang lagi, lama-lama sering makan di sana. Ysaudah ….” Asyla sedang mengenang awal pertemuannya dengan mendiang suami, sedangkan Aleandra mendengarkan dalam diam.
Ini adalah kisah biasa yang mungkin sering kali dialami oleh orang-orang kebanyakan. Hidup dalam keterbatasan, bekerja hanha demi seuap nasi, atau berjuang memenuhi kebutuhan. Laku dihiasi oleh romantisme sederhana yang membuat hidup mereka berwarna dengan mempertemukannya pada jodoh. Lalu berumah tangga, memiliki keturunan dan hidup bahagia. Setidaknya itu yang dia perkirakan.
“Tapi sayang umurnya nggak lama. Nikah baru empat tahun malah meninggal waktu saya lagi hamil.” Suara Asyla terdengar sendu, perempuan itu menunduk.
“Jadi berapa umurmu sekarang?” tanya Aleandra setelah keheningan sempat menjeda percakapan tersebut.
“23, Pak.”
“23 tahun?” Lagi-lagi pria itu dibuat terkejut. “Umurmu 23 tahun?” tanya nya lagi.
“Iya. Kenapa, Pak? Ketuaan, ya?”
“Bercanda ya? Saya di umur segitu baru lulus kuliah. Terus bekerja di perusahaan besar dan baru menikah di umur 30 an.”
“Tua amat?”
“Apa katamu?”
“Bapak kok nikahnya di umur segitu? Apa nggak ketuaan?” celetuk Asyla yang seketika membuat Aleandra kehilangan kata-kata.
“Eh, Maaf. Nggak ada maksud nyebut Bapak tua, tapi —”
“ah, sudah! Banyak bicara saja kamu!!” Namun pria itu bangkit lalu segera keluar dari ruangan tersebut.
“Lah, dari tadi yang ngajak ngobrol kan dia?” Asyla bergumam sambil meperhatikan sang majikan yang segera menghilang setelah menaiki HRV putih miliknya.
🌸
🌸
Hehe
Mampir juga dong sama novel baru puna otor Anggika15. disana nggak kalah serunya lho.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟҼɳσᵇᵃˢᵉ
wahh syla udah luwes ya klo bicara sama Ale..
iyalah kamu baru tahu tentang syla,kan waktu pak Pardi mo jelaskan siapa syla kamu potong terus,Le..
2025-05-04
2
Enisensi Klara
cocok ini duda ketemu janda ,si Ale ga tau aja kalo Syla itu ditinggal meninggal suami nya ,Ale ga mau dengar sih omongan pak Pardi main potong aja 🤔🤔😳😳
2025-04-28
1
AGENCY²ᵗʰ🍀👙⃝ʀsᴍ
wah wah kayaknya syla bakal jadi jodohmu le baru tau ya kalo syla janda makanya dengerin dulu tuh pak Pardi nya le...lanjut yuk lanjut 🤭
2025-04-28
1