Keesokan paginya, sinar matahari yang lembut menembus celah-celah dinding gubuk sederhana Chen Huang. Suasana desa masih sunyi, hanya terdengar suara angin yang berhembus pelan. Di dalam gubuk, Chen Huang menyiapkan sarapan sederhana berupa bubur jagung dan sayuran liar yang ia kumpulkan dari hutan sekitar.
Ning Xue duduk di salah satu sudut gubuk, matanya sedikit bengkak karena menangis semalam. Meskipun begitu, ia terlihat lebih tenang pagi ini.
“Ini, makanlah. Aku tahu ini tidak seberapa, tapi setidaknya bisa memberi tenaga,” kata Chen Huang sambil menyodorkan semangkuk bubur ke arah Ning Xue.
“Terima kasih,” Ning Xue menerima mangkuk itu dengan sopan. Mereka makan dalam keheningan untuk beberapa saat sebelum Chen Huang memutuskan untuk memulai percakapan.
“Jadi, Ning Xue,” katanya perlahan, “bolehkah aku tahu lebih banyak tentangmu? Dari mana asalmu, dan bagaimana kau bisa sampai ke sini?”
Ning Xue terdiam sejenak, tampak berpikir. Kemudian ia mulai bercerita, suaranya terdengar lembut namun penuh emosi.
“Aku sebenarnya lahir di desa ini,” jawab Ning Xue. “Aku tinggal di sini sampai usiaku tujuh tahun. Kakek Jin adalah keluargaku satu-satunya setelah kedua orang tuaku meninggal karena wabah. Tapi saat aku berumur tujuh tahun, pamanku datang dan membawaku ke Kota Guilin. Di sana, aku tinggal bersamanya sampai aku berumur empat belas tahun. Namun… paman meninggal karena penyakit, meninggalkanku sendirian lagi.”
Chen Huang mendengarkan dengan saksama, mencoba memahami perjalanan hidup gadis itu yang penuh kesulitan.
“Aku mencoba bertahan hidup di Guilin dengan sisa uang yang ditinggalkan paman,” lanjut Ning Xue, “tapi hidup di kota besar tidak mudah. Ketika aku mendengar kabar tentang desa ini yang porak-poranda karena perebutan harta karun, aku merasa harus kembali. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi dengan desa ini… dan dengan Kakek Jin…”
Ning Xue menundukkan kepalanya, suaranya melemah di akhir kalimatnya. Chen Huang menatapnya dengan penuh simpati.
“Jadi kau kembali untuk mencari Kakek Jin,” kata Chen Huang pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya.
“Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya padamu,” lanjut Chen Huang, “tapi aku tidak yakin Kakek Jin masih hidup setelah semua yang terjadi di desa ini. Namun, aku akan membantumu mencari tahu.”
Mata Ning Xue melebar, sedikit harapan terlihat di wajahnya. “Benarkah? Kau benar-benar akan membantuku?”
“Tentu saja,” kata Chen Huang dengan tegas. “Tapi untuk saat ini, kita harus mencari informasi terlebih dahulu. Mungkin ada orang di sekitar wilayah ini yang tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi selama perebutan harta karun.”
Ning Xue mengangguk pelan, matanya sedikit berkaca-kaca. “Terima kasih, Chen Huang. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana tanpamu.”
Chen Huang hanya tersenyum kecil. “Kita harus bertahan bersama. Dunia ini memang kejam, tapi kita masih punya satu sama lain untuk saat ini.”
Pagi itu, di tengah reruntuhan Desa Bunga Matahari, mereka merancang langkah berikutnya. Meskipun mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi, tekad untuk menemukan jawaban dan bertahan hidup menjadi kekuatan baru bagi mereka berdua.
...
Setelah sarapan, Chen Huang dan Ning Xue segera bersiap. Mereka membawa barang-barang seadanya—Chen Huang membawa tongkat kayu yang biasa ia gunakan untuk berjaga, sementara Ning Xue hanya membawa tas kecil berisi beberapa pakaian dan barang pribadinya.
Chen Huang memutuskan untuk pergi ke desa tetangga terlebih dahulu. Desa itu terletak tidak terlalu jauh dari Desa Bunga Matahari, hanya membutuhkan perjalanan sekitar satu jam dengan berjalan kaki. Saat mereka tiba di desa itu, suasana terlihat tenang, dan aktivitas penduduk berjalan seperti biasa.
Namun, ketika Chen Huang dan Ning Xue mencoba bertanya tentang penduduk Desa Bunga Matahari yang mengevakuasi diri, mereka tidak menemukan satu pun jawaban yang memuaskan.
“Maaf, Nak. Kami tidak mendengar kabar tentang para penduduk dari Desa Bunga Matahari,” jawab seorang pria tua yang mereka temui di pasar desa. “Kami hanya tahu tentang pertempuran besar yang terjadi di sana.”
Keduanya merasa kecewa, tetapi tidak menyerah. Setelah berbincang beberapa saat, Ning Xue mengusulkan ide baru.
“Kita tidak akan mendapatkan banyak informasi di desa kecil seperti ini,” kata Ning Xue dengan nada serius. “Kita harus pergi ke Kota Jinan. Itu adalah kota terdekat dari Desa Bunga Matahari, dan di sana pasti lebih banyak orang yang tahu sesuatu.”
Chen Huang berpikir sejenak sebelum mengangguk. “Baiklah. Tapi kita harus memastikan untuk kembali sebelum malam tiba. Kita tidak punya uang untuk menyewa penginapan.”
Ning Xue setuju, dan mereka segera melanjutkan perjalanan menuju Kota Jinan.
Ketika mereka tiba di Kota Jinan, pemandangan yang sangat berbeda menyambut mereka. Kota itu penuh dengan keramaian—orang-orang berlalu-lalang, pedagang menawarkan barang dagangan mereka, dan para praktisi bela diri dengan berbagai tingkat kekuatan tampak berjalan di sepanjang jalan utama. Kota itu terasa hidup, namun di balik keramaiannya, juga terlihat keras dan penuh persaingan.
Chen Huang dan Ning Xue mulai bertanya kepada beberapa orang di pasar utama. Namun, setiap kali mereka mencoba mendapatkan informasi tentang penduduk Desa Bunga Matahari, mereka selalu mendapatkan jawaban yang sama.
“Informasi? Itu tidak gratis, Nak,” ujar seorang pria berwajah licik, sambil memainkan koin emas di tangannya.
Chen Huang menggertakkan gigi. Ia tahu benar bahwa dunia ini menganggap uang sebagai segalanya. Tanpa uang, bahkan informasi kecil pun tidak bisa didapatkan. Ning Xue mencoba membantu, tetapi hasilnya tetap sama.
“Kalian pikir informasi semudah itu didapatkan? Jika kalian tidak punya uang, jangan buang waktuku,” jawab seorang pedagang dengan nada dingin sebelum mengusir mereka pergi.
Mereka mencoba mencari di beberapa tempat lain, tetapi hasilnya tetap nihil. Tidak ada yang mau berbicara tanpa imbalan. Setelah menghabiskan sepanjang hari di Kota Jinan tanpa mendapatkan apa-apa, mereka akhirnya memutuskan untuk kembali ke Desa Bunga Matahari.
Ketika malam mulai menjelang, Chen Huang dan Ning Xue berjalan pulang dengan langkah berat. Wajah mereka menunjukkan rasa lelah dan kekecewaan.
“Dunia ini benar-benar kejam,” kata Ning Xue pelan, menatap jalan di depannya. “Bahkan untuk sesuatu yang sederhana seperti informasi, kita harus membayar.”
Chen Huang mengangguk pelan, tapi matanya menunjukkan kilatan tekad. “Mungkin kita tidak mendapatkan apa-apa hari ini, tapi aku tidak akan menyerah. Aku akan mencari cara lain. Cepat atau lambat, kita akan menemukan jawaban.”
Ning Xue menatap Chen Huang, dan untuk pertama kalinya sejak pertemuan mereka, ia merasa ada harapan kecil yang tumbuh di tengah kesulitan yang mereka hadapi.
Malam itu, di bawah sinar bulan, mereka kembali ke gubuk kecil di Desa Bunga Matahari. Meskipun tangan mereka kosong, tekad untuk melanjutkan perjuangan tetap ada dalam hati mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments