"Dit, sudah ada komunikasi sama Elham?" mama mengirimkan pesan yang belum sempat aku baca saat rapat.
Elham? Lagi-lagi ada sesuatu yang mengusik pikiranku atas nama Elham yang akhir-akhir sering kudengar. Bahkan yang kak Alan sebutkan tadi, nama pimpinannya bernama Elham.
Mengapa tiba-tiba di hidupku dipenuhi dengan orang bernama Elham? Seumur hidup, baru kali ini dan pertama kalinya aku mendengar satu nama Elham dari bu Galih, mama, lalu disebutkan berulang kali di sini sejak pertemuan tadi bahkan setelah aku jauh berada di luar kota. Baru tahu jika nama Elham sefamiliar itu di dunia ini.
"Halo, Dit, gimana? Sudah beres urusannya?"
"Iya, sudah, Ma. Alhamdulillah, kelar barusan."
"Ya sudah, cepatlah pulang. Ada hal penting yang mau mama bicarakan," ujar mama di seberang panggilan.
"Hal penting apa, Ma?"
"Di rumah saja, cepatlah pulang."
Karena permintaan mama yang memintaku cepat-cepat kembali, maka siang di hari itu juga aku segera menuju terminal dan memesan tiket bus di tempat. Pertanyaan dari Vika yang tidak bisa aku jawab, ia hanya mengikutiku.
"Kenapa sih, Bu, mau buru-buru pulang? Semuanya aman, kan, Bu?" tanya dia dengan kaki yang berkejaran denganku.
Aku mengangguk, Vika belum tahu jika aku dijodohkan dengan segala persoalan asmaraku.
Sampai rumah, hari sudah sore. Papa menjemputku di terminal menggunakan mobil kesayangannya, sedangkan Vika dijemput oleh pacarnya.
"Mama mau bicarain hal penting apa, Pa?" tanyaku seraya mencium punggung tangan papa, lalu papa membukakan pintu mobil untukku.
Papa tidak menjawab sampai beliau selesai memasang sabuk kemudinya.
"Biasa," jawab papa.
"Tentang perjodohan itu, ya, Pa?" tanyaku pada papa.
Papa tak segera menjawab, beliau sibuk memutar setir supaya bisa keluar dari area parkir dengan mulus tanpa menyenggol mobil lain.
"Memangnya kamu sudah sreg sama calon pilihan mama?" tanya papa saat mobil sudah melaju tenang di jalan raya.
Aku tidak tahu, kenal saja belum. "Menurut papa, cocok gak kalau Dita sama dia? Jodoh, gak?"
Papa menoleh padaku, menatapku, lalu tersenyum.
"Papa gak tahu, yang bisa menentukan sehati atau enggaknya ya kamu. Kalau kamu punya pilihan sendiri dan cocok, coba tunjukan dia pada papa mama. Itu lebih baik kalau pernikahan didasarkan pada saling kenal dan suka," ujar papa.
"Menurut pandangan papa?"
"Ya, papa setuju saja. Bu Galih orangnya baik, selama bertetangga dengan mereka tidak pernah terdengar ada masalah. Tetapi urusan anak-anaknya, papa gak tahu. Papa kurang kenal karena sejak kecil mereka sekolah di luar negeri."
Aku mengangguk-angguk. Papa benar, bisa dihitung dengan jari selama seumur hidupku bergaul dengan keluarga itu bahkan tidak pernah lengkap dan tidak tahu siapa saja anggota keluarga itu, termasuk pak Galih.
Papa terkekeh melihatku yang menunduk lemas, tidak lagi bersemangat seperti sedia kali.
"Sebagai gambaran saja, anak-anak bu Galih tidak pernah berinteraksi dengan ramah di lingkungan kita. Pendidikan, pertemanan, pekerjaan, mungkin background mereka berbeda dengan kita. Bukannya papa menyuruhmu insecure, tidak. Tapi kita perlu berorientasi pada masa depan. Seandainya .... Seandainya, ya."
"Seandainya bagaimana, Pa?"
"Seandainya, kesenjangan di dalam rumah tangga kalian itu benar-benar ada, lalu apa yang akan kamu lakukan, Nak?" Itu pertanyaan berat bagiku. Aku bahkan tidak pernah memikirkan hal secamam itu.
"Ini ilmu pranikah, tidak hanya berlaku untuk saat ini saja. Tapi dengan siapapun nanti calon pasanganmu. Bahwa kesetaraan itu besar kecilnya berpengaruh pada kehidupan rumah tangga."
Aku semakin menunduk. Ya, papa mengingatkanku pada diriku sendiri. Jika keseimbangan itu diperlukan dalam sebuah hubungan. Aku paham maksud papa bahwa kita harus sadar diri dan sebelum pernikahan itu benar-benar terjadi. Aku perlu memikirkan sekali lagi sebelum semua terlambat.
Papa mengusap kepalaku. "Hahaha. Jangan dibawa sedih, hei. Ini papa hanya sedang mengajakmu becanda, Nak."
Namun, yang aku tangkap dari perbincangan ini bukan sekadar becandaan. Papa sedang mengajakku berpikir serius.
Aku menatap papa dengan menyiratkan pertanyaan di dalam hati, "Jadi, bagaimana, Pa?"
"Keputusan ada di tangan kamu. Kalau sekarang papa tanya, kamu akan tetap melanjutkan semua ini atau tidak?" ujar papa dengan tersenyum.
Sayangnya, aku tidak punya jawaban untuk itu. Hanya berupa gelengan kepala. Sedangkan mama sudah menyiapkan ini dan itu. Dan juga, cincin di jariku ini? Apa bisa dikembalikan? Benar tidak akan terjadi apa-apa pada hubungan keluarga kami dengan bu Galih?
Di tengah perjalanan, papa menepikan mobil.
"Kenapa, Pa?"
"Beli jagung rebus dulu, langganan Papa. Jagungnya manis." Papa yang turun dari mobil, sedangkan aku mengamati dari dalam mobil.
Papa berinteraksi dengan penjual jagung di depan sana, aku hanya melihatnya dari kejauhan. Pedagang jagung rebus dengan dua anak kecil dan istrinya yang sedang menyusui si bayi yang duduk berlesehan.
Aku melihat si wanitanya belum terlalu tua, mungkin usianya tidak jauh berbeda dariku, tetapi dia sudah mempunyai sepasang anak yang lucu.
Papa kembali membawa sekeresek jagung rebus yang masih terkepul asap. Papa memberikannya padaku.
"Makanlah, kesukaan kamu kan jagung rebus manis?"
Aku pun mengangguk. Benar, makanan yang paling aku suka sejak kecil adalah jagung rebus karena manis dan mengenyangkan.
"Pa, tadi itu mang-nya yang jual? Masih muda, ya, istrinya?" tanyaku.
"Itu bukan istrinya, itu anaknya. Dia janda," ujar papa.
"Janda? Suaminya meninggal atau? Anaknya masih menyusu begitu, kasihan," komentarku berempati.
"Bukan meninggal, tapi bercerai. Prianya menikah lagi dengan wanita lain. Itulah kalau menikah tanpa rasa tanggung jawab."
Aku berkomentar lirih. "Hah? Kasihan banget, anaknya mana masih kecil begitu."
Kenapa bisa begitu, sih? Prianya gak mikir, ya, kalau jadi perempuan tuh susah. Dia gak mikirin istrinya yang menyusui begitu sampai kurus kering, bisa jadi dia jarang makan cuma buat ngurus anaknya yang kecil-kecil itu.
"Yang jualan jagung itu dulu temen SD papa. Itu dulu anaknya dijodohkan, tapi gak cocok. Prianya punya wanita idaman sendiri," ujar papa membuatku yang sedang menatap jendela menoleh pada beliau.
"Dijodohkan?"
"Iya, anak-anak itu menikah tanpa saling mengenal lebih dulu. Setelah dijalani, ternyata tidak cocok. Suaminya akhirnya menikah lagi sama kekasihnya yang lain."
Ini semakin membawaku pada keraguan dengan adanya perjodohan yang sama dialami olehku. Aku menunduk memikirkan nasibku yang entah bagaimana jika sama dijodohkannya.
Sepanjang perjalanan itu, aku banyak terdiam. Menatapi jalanan yang sudah cukup lenggang di sore itu.
"Kalau Dita, bagaimana?" tanya papa. Papa seakan sengaja menceritakan kisah anak penjual jagung itu yang nasibnya tidak beruntung karena perjodohan.
Aku menggeleng. "Menurut papa, aku bakal cocok nggak sama dia? Dita gak tahu, Pa," jawabku.
Papa menoleh kepadaku. "Soalnya mama mau bahas tanggal pernikahan kalian." Tangannku yang kepanasan mengupas kulit jagung itu, tiba-tiba terasa kebas dan mati rasa, terkejut, dan memaku di tempatku.
.
.
"Bulan depan, ya, Dit. Sebelum Elham pergi ke Jepang," ujar mama padaku.
"Apa, Ma?" tanyaku terkejut.
"Mama udah diskusi sama bu Galih. Kami menyepakati sebelum Elham ke Jepang bulan depan kalian sudah harus menikah, sekarang mulai urus berkas pernikahan buat di KUA," ujar mama.
"Apa, Ma?" tanyaku sekali lagi dengan lebih lirih.
"Ya, berkas itu! Akte lahir, KTP, ijazah, dan lain-lainnya. Masa gak paham?"
Aku masih membeku di tempatku. "Maksud mama, apa?" bibirku lirih bergerak.
"Nikah bulan depan! Sudah jangan banyak tanya, besok ke KUA minta formulir kawin!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Wanita Aries
Keegoisan org tua tnp memikirkan khidupan kedepan anknya. Kbykan krna malu tkt anknya jd perawan tua akhirnya dsuruh buru2 nikah
2025-06-10
0
Alif 33
kasian klo sampe bener gak cocok 😌
2025-04-26
0