"Apa jadwalku selanjutnya, Stella?" Briela membuka kaca mata anti radiasi yang menjadi andalannya saat harus terus-menerus menatap layar komputer.
Meregangkan sedikit otot tubuhnya agar kembali rileks, wanita itu menatap tak sabar pada sekertas wanita yang sudah delapan tahun membersamai karirnya di dunia fashion.
"Jadwal pekerjaan Anda sudah selesai. Namun, Anda masih punya satu jadwal penting lainnya nanti pukul delapan malam?" Stella menutup notebook yang ia jadikan panduan jadwal Briela.
"Jadwal penting?" Briela menaikkan satu sudut alisnya. Pasalnya tidak ada jadwal penting lain selain urusan pekerjaan baginya. Namun, mengapa sekertarisnya mengatakan jika hal itu termasuk jadwal penting.
"Ya, bertemu dengan calon suami Anda di Sky Lounge di Royal Hotel tepat pukul delapan malam. Setelah itu jadwal Anda benar-benar selesai." Stella membetulkan letak kacamatanya yang melorot. Wajahnya masih sama seriusnya seperti sejak mulai bekerja.
"Anda harus datang dan berdandan sebaik mungkin. Itu pesan Tuan Turner, Nona," lanjut Stella.
Briela memijit pelipisnya, kepalanya tiba-tiba terasa berdenyut.
Aku bisa gila.
"Pekerjaanmu sudah selesai. Pulang dan beristirahatlah!"
"Kalau begitu saya permisi." Stella membungkuk, lalu meninggalkan ruangan yang kini hening.
Briela mengacak rambutnya, pikirannya yang kacau menuntunnya melakukan tindakan impulsif. Briela belum mendapatkan solusi atas masalahnya dan kini ayahnya kembali mendesak perihal pernikahan bahkan mengatur jadwal pertemuan dengan pria yang ayahnya jodohkan.
Meski Briela tahu, pernikahan yang ayahnya atur demi perusahaan peninggalan ibunya— Perusahaan yang Briela sendiri sangat mencintainya.
Briela belum mendapatkan solusi apapun mengenai perusahaan dan akhirnya mau tidak mau ia harus mengikuti solusi yang diberikan oleh ayahnya.
"Selamat malam Nona Briela. Ternyata Anda jauh lebih cantik dari yang diceritakan Tuan Turner."
Arthur mengulurkan tangan, Briela menyambut uluran tangan Arthur dan menjabatnya. Arthur menatap Briela lekat-lekat, bahkan memperhatikan setiap detail dari ujung rambut sampai batas yang dapat terjangkau matanya. Tatapan yang membuat Briela tidak nyaman. Briela segera menarik tangannya.
"Jadi, sesuai kesepakatan yang sebelumnya dibahas— Anda akan mendapatkan semuanya langsung setelah kita menikah," ucap Arthur begitu keduanya duduk.
Briela menaikkan sudut alisnya. "Bukankah tidak perlu terburu-buru Tuan Davis." Briela menekan intonasinya begitu mengucap nama belakang Arthur.
"Hmm. Bagus, aku memang suka pendekatan yang alami. Tapi, bukankah perusahaanmu yang tampaknya sedang terburu-buru." Arthur mengelus dagunya, tampak angkuh. Bahkan pira itu tidak lagi merasa perlu untuk berbicara formal.
Pertemuan keduanya berakhir dengan berbagai macam alasan Briela. Tentu saja Briela hanya ingin untuk bisa segera menjauh dari sumber yang membuatnya tidak nyaman.
Ini baru permulaan dan Briela sudah sangat tidak tahan. Bagaimana nanti jika keduanya jadi menikah? Briela tidak sanggup untuk membayangkannya.
Briela menggelengkan kepalanya, ia menghalau segala bayangannya tentang masa depan bersama Arthur. Meraih ponsel dan menghubungi sahabatnya untuk bertemu di bar langganan mereka. Briela butuh menenangkan pikirannya.
"Sudah menunggu lama?" Seorang wanita dengan pakaian modis dengan corak warna-warni menyapa Briela yang sedang duduk di meja counter.
Briela mengulas senyum, lalu memainkan gelas koktailnya.
"Tumben sekali kamu memakai gaun? Dan— riasan." Wanita dengan rambut keriting itu mengomentari penampilan Briela yang tidak seperti biasanya.
"Berhenti mengomentariku! Pesan minumanmu sendiri!"
Briela mengangkat gelas koktail yang isinya tinggal setengah, lalu meneguk isinya hingga tandas. Briela memanggil bartender untuk meminta minuman yang sama dengan tiga gelas yang sudah ia habiskan sebelumnya.
"Kau tahu, Jen?" Briela kembali berbicara pada wanita bernama Jennifer yang merupakan seorang model dan sekaligus sahabat Briela. "Ayahku mengatur perjodohan dengan Arthur Davis, Pria dari Davis Group itu." Briela menatap wajah sahabatnya.
"Siapa yang dijodohkan?" Jennifer melempar pertanyaan yang membuat Briela tertawa.
"Tentu saja aku, Jen. Kau pikir ayahku akan menikah dengan Arthur Davis? Jangan konyol!" Briela kembali meneguk koktailnya hingga tandas.
"Hei, ceritakan dulu detailnya! Jangan terlalu banyak minum!"
Jennifer menarik tangan Briela yang kembali meminta gelas koktail pada bartender. Briela menatap wajah sahabatnya lalu kembali tertawa.
"Perusahaan kami sedang krisis, Jen," ucap Briela lirih.
"Bagaimana mungkin? Bukankah selama ini baik-baik saja?" Jennifer nampak keheranan.
"Hanya luarnya saja, Jen. Tapi di dalamnya, perusahaan kami sudah membusuk sejak sepuluh tahun lalu. Dan parahnya lagi aku baru mengetahuinya." Briela meneguk koktail milik Jennifer tanpa meminta izin, bahkan pemiliknya sendiri belum menyentuh minumannya sejak bartender memberikannya beberapa saat lalu.
"Aku baru saja bertemu dengan Arthur Davis dan kau tahu apa yang dia ucapkan pada pertemuan pertama kami, Jen?" lanjut Briela, ia juga kembali tertawa bahkan kali ini sudut matanya berair.
"Apa yang dia ucapkan?"
"Dia langsung membahas perihal keuntungan yang akan kami terima jika aku menikahinya. Itu membuatku kesal, tapi— parahnya aku bahkan tidak bisa melakukan apa-apa." Briela menitikkan air mata.
"Satu hal lagi, dia menatapku dengan tatapan angkuh. Bahkan berani menilai penampilanku dengan mata keranjangnya itu," lanjutnya.
"Benarkah Arthur Davis, pria yang seperti itu?" Jennifer mengernyit.
"Dan kau pikir aku akan berbohong padamu?" Briela menatap Jennifer dengan matanya yang masih memerah. "Aku merasa sedang menjual diriku demi uang, Jen. Aku benar-benar merasa buruk hari ini."
Jennifer menatap Briela dengan iba. "Baiklah, mari minum sepuasnya malam ini dan mari lupakan semuanya."
Jennifer mengangkat tangan pada bartender yang saat itu sedang menyerahkan satu gelas koktail pada pelanggan pria yang duduk di samping mereka.
Jennifer meminta dua gelas koktail namun Briela meralatnya, ia butuh yang lebih kuat dari sekedar koktail. Dia benar-benar harus melupakan kejadian hari ini, setidaknya meski hanya sesaat. Briela memesan sebotol tequila.
Briela meneguk minumannya ditemani Jennifer yang akhirnya ikut meminum tequila, sama seperti Briela. Pada gelas kelima Jennifer tumbang di atas meja, kepalanya terasa berat.
Briela menggoyang-goyangkan tubuh Jennifer yang tertidur, sambil meracau tidak jelas. Briela sudah tidak peduli lagi pada sekitarnya. Bahkan saat sepasang mata menatapnya.
Briela merasakan panggilan alam, ia berjalan gontai menuju toilet. Gaun panjang juga high heels yang ia pakai terlihat sangat mengganggu.
Beberapa saat setelah menuntaskan hajatnya, Briela keluar dari toilet. Kepalanya terasa berat dan berputar, pandangannya mulai kabur. Sepertinya toleransinya pada alkohol sudah sampai pada batasnya.
Briela berjalan sempoyongan, tangannya meraba-raba dinding, mencari pegangan agar tidak terjatuh. Namun sayang, gaun panjang Briela tidak bisa diajak bekerja sama.
Briela menginjak ujung gaunnya, tubuhnya semakin tidak seimbang. Ia hampir saja mencium lantai jika tidak ditangkap oleh tangan kokoh seseorang.
Briela menatap tangan itu lalu beralih pada wajah sang pemilik tangan. Namun sayang, matanya terlalu kabur untuk sekedar memeriksa wajah pemilik tangan yang menangkapnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Anyah aatma
menatap ak sabar pada 'SEKERTAS'
sekertaris keknya beb. ada typo.
2025-04-26
0
🔵❤️⃟Wᵃf⧗⃟ᷢʷঔৣ⃝𝐊ꪶꪖ𝘳ꪖ❦꧂
eh ketangkep jodoh 🤭🤣
2025-04-29
0