Perlu jawaban

Rumah besar bergaya klasik Eropa itu berdiri megah di puncak bukit yang sunyi. Pilar-pilar tinggi menjulang menopang balkon yang menghadap langsung ke lembah. Jendela-jendela besar dihiasi tirai beludru merah marun, menjuntai berat seolah menahan beban kenangan. Nuansa gelap dan dingin menyelimuti rumah itu, menebar aura kelam yang seakan menolak cahaya menembus terlalu dalam—seperti menyimpan rahasia yang enggan terbuka.

Lorong-lorong panjang berlapis karpet merah tua menggaung pelan setiap kali langkah kaki melewatinya. Potret-potret keluarga tergantung rapi di dinding, sebagian mulai pudar dimakan usia, namun tak satu pun pernah diturunkan. Aroma samar parfum bunga lawas bercampur kayu tua menguar dari setiap penjuru rumah, membangkitkan rasa nostalgia sekaligus kegelisahan.

Leo melangkah masuk ke ruang tamu dengan pelan. Gerakannya tampak ragu, seperti seseorang yang sudah lama tidak menyentuh tempat ini. Pandangannya menyapu ruangan yang sepi, seperti sedang mencari jejak masa lalu. Lilin aromaterapi di atas meja tengah masih menyala, nyalanya bergoyang pelan dihembus angin dari jendela yang sedikit terbuka, nyaris kalah terang oleh cahaya senja yang menyusup malu-malu.

Sofa kulit gelap masih berdiri di tempat yang sama, diam dan dingin seperti penjaga bisu dari sebuah cerita lama. Di situlah dulu ia sering duduk bersama wanita paruh baya yang masih menyimpan kecantikan meski usia telah menggerus muda di wajahnya.

“Mam?” panggil Leo, suaranya nyaris berbisik, menyelip di antara detak jam antik di sudut ruangan.

Tak ada jawaban. Hanya suara samar denting cangkir dari ruang dalam yang membuat Leo melangkah maju. Tangannya menyentuh daun pintu yang sedikit terbuka, mendorongnya perlahan.

Di baliknya, ia melihat sosok Mamanya duduk sendiri di kursi dekat jendela besar. Wajahnya tertuju ke luar, menatap taman belakang yang perlahan ditelan bayangan malam. Tubuhnya tegak namun tampak rapuh, seperti porselen yang bisa retak oleh satu sentuhan.

“Mama,” panggil Leo lagi, lebih jelas.

Wanita itu menoleh perlahan. Rambut ikalnya yang mulai memutih disanggul rapi. Mata yang dulu tajam kini redup, nyaris kosong, seolah menatap masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Bibirnya bergerak pelan, seakan suara pun harus dipaksa keluar.

“Leo... Sudah pulang?” katanya lirih. Nada suaranya seperti embusan angin yang melewati celah pintu tua.

Leo mengangguk, menelan ludah sebelum duduk di sampingnya. Matanya menelusuri wajah Mamanya dengan seksama, memperhatikan tiap kerutan, tiap bayangan yang bersembunyi di balik sorot mata itu.

“Mama belum makan sejak pagi?” tanyanya, suaranya lembut tapi penuh khawatir.

“Mama tidak lapar,” jawab wanita itu tanpa menoleh, jemarinya menggenggam cangkir teh yang sejak tadi tak disentuh. Ada sedikit gemetar di sana.

Leo menghela napas panjang, menggigit bibir bawahnya. Ia mengulurkan tangan, menyentuh lengan Mamanya dengan lembut. “Mam... Apa Mama mau cerita? Tentang mimpi-mimpi buruk itu?”

Mamanya terdiam sejenak, lalu menggigit bibirnya. Pandangannya masih tertuju ke luar jendela.

“Bukan mimpi, Leo,” bisiknya akhirnya. “Semua itu nyata.”

Leo mematung. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia ingin bertanya lebih jauh, ingin memaksa, tapi raut wajah Mamanya menunjukkan ketakutan yang terlalu dalam. Mata wanita itu berkaca, namun tak satu pun air mata jatuh. Seolah sudah kering karena terlalu sering menangis di masa lalu.

“Apa ini ada hubungannya dengan Papa?” tanya Leo hati-hati, suaranya bergetar.

Mamanya perlahan menoleh, menatap Leo dengan sorot mata yang berat dan dalam—seperti menyimpan ribuan kata yang tak sanggup diucap.

“Kamu tidak perlu tahu semuanya sekarang, Leo,” katanya pelan.

Leo mengepalkan tangannya di atas pahanya sendiri. Rahangnya mengeras. “Mam... aku udah cukup dewasa untuk tahu. Aku punya hak untuk tahu kenapa Papa meninggal seperti itu... Kenapa Mama masih dihantui hal-hal yang bahkan nggak bisa Mama ceritakan padaku.”

“Tidak sekarang,” ujar Mamanya, lebih lirih. “Belum saatnya, Leo.”

Leo mendongak, rahangnya menegang. Matanya menyala—bukan karena marah, tapi karena keputusasaan yang mulai menyusup ke dalam dirinya. Ia berdiri, menatap keluar jendela, ke arah pohon cemara yang berdiri tegak di ujung taman—saksi bisu dari masa kecilnya.

“Aku akan cari tahu sendiri, kalau Mama nggak mau cerita.”

“Leo—” suara Mamanya meninggi sedikit, cemas.

Leo menoleh setengah, tidak sepenuhnya menghadap. “Aku janji nggak akan nyakitin siapa pun, Mam. Tapi aku harus tahu kebenarannya. Aku nggak bisa terus hidup dengan setengah kepastian.”

Mamanya terdiam. Wajahnya pucat, dan matanya berkaca-kaca. Tangannya yang menggenggam cangkir akhirnya meletakkannya dengan perlahan di atas meja kecil di sebelah kursi. Ia menatap punggung Leo, dan bibirnya bergetar, ingin mengatakan sesuatu... tapi tertahan oleh rasa takut yang tak juga pergi.

Beberapa menit kemudian, suasana rumah kembali hening. Hanya detak jam dan suara dedaunan di luar yang terdengar.

Leo melangkah meninggalkan ruangan itu dengan langkah berat. Bahunya menegang, pikirannya berkecamuk. Ia butuh waktu untuk mencerna semuanya. Butuh keberanian untuk menggali kebenaran yang mungkin menyakitkan.

Namun satu hal yang tak pernah ia sangka...

Salah satu jawaban itu ternyata tersembunyi di tubuhnya sendiri.

Dan ia sama sekali belum menyadarinya.

---

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!