•
“Felix, aku bisa terlambat datang ke pertemuan penting kalau begini,” Karina mengatur napas di antara tawa yang terengah-engah, kepala menoleh ke arah Felix yang sedang memeluknya dari belakang. Felix mempererat tangannya yang melingkar di pinggang Karina. "Lepaskan dulu... hei hentikan! Geli tau!"
Felix hanya menanggapi dengan tertawa jahil, membenamkan wajahnya ke dalam lekuk leher Karina, tangannya masih tetap memeluk pinggang gadis itu dengan lebih erat.
Karina menghela napas putus asa, kemudian kembali tertawa geli karena Felix yang dengan sengaja menggelitik leher Karina dengan ujung hidungnya, jelas Felix tidak menggubris ucapan Karina.
Karina menggeleng pelan sambil melirik ke arah jam antik yang tergantung di dinding. Tiga menit lagi dan dirinya sudah benar-benar harus pergi untuk menghadiri pertemuan dengan klien penting perusahaan mereka. Karina bisa memaafkan dirinya sendiri untuk hal apa pun kecuali keterlambatan.
Karina kembali berbicara, kali ini dengan suara yang sedikit lebih serius, “Tuan muda Felix,” ujar Karina, jari-jarinya mengusap-usap rambut pirang yang terselip di bawah dagunya. “Aku benar-benar akan terlambat kalau kamu tidak melepaskanku sekarang.”
Ucapan Karina kali ini cukup efektif. Felix melepaskan pelukannya dan mundur dengan ekspresi sedih bercampur kesal. Sambil mendengus kecil, dia menatap Karina yang kini sudah berbalik menatapnya. "Kenapa kamu harus pergi? Kita baru menghabiskan waktu sebentar saja. Bukankah biasanya ayahmu yang akan menghadiri pertemuan penting seperti ini?"
Raut sedih di wajah kekasihnya itu hampir membuat Karina berpikir untuk menelepon sekretarisnya dan meminta jadwalnya untuk diatur ulang. Karina sudah terlalu sering meninggalkan Felix demi sebuah rapat atau pertemuan penting seperti ini, dan dengan setiap bujukan yang gagal, kini Felix semakin mahir dalam menunjukkan ekspresi yang membuat Karina merasa ingin mengabaikan pekerjaannya.
Namun Karina menepis pikirannya itu dan menyunggingkan senyuman hangat. Ia melangkah maju dan mendaratkan satu ciuman di pipi Felix. Tentu saja, pacarnya yang merupakan putra dari orang terkaya di Australia ini tahu bagaimana cara meluluhkan hatinya, tapi Karina tidak semudah itu untuk terbujuk. Tugas kantornya juga sama pentingnya dengan pria yang ada di hadapannya ini.
“Karena sekarang usiaku hampir 25 tahun, jadi aku harus mulai terbiasa menangani hal-hal yang lebih penting.” Karina meraih tas tangannya, berjalan melewati Felix menuju kaca besar yang ada di samping pintu kamar. Alisnya sedikit mengernyit ketika melihat kerutan di blazer dan kerah bajunya. Inilah mengapa seharusnya ia tidak bermesraan dengan kekasihnya hanya beberapa menit sebelum berangkat untuk bertemu dengan klien penting. Karina merapikan pakaiannya sambil menatap Felix dari kaca. “Aku akan menebusnya nanti, aku janji.”
Felix menghembuskan napas pelan, merapatkan bibirnya dan berjalan menghampiri Karina. Dia meraih pundak wanita itu dan memutar tubuhnya untuk menghadapnya, kemudian menempelkan keningnya pada kening Karina. Ini adalah upaya terakhirnya untuk membujuk, menatap mata Karina seolah-olah berkata 'apakah kamu benar-benar harus pergi?'.
Dan Karina meletakkan telapak tangannya di dada Felix, menggesekkan hidungnya pada hidung kekasihnya itu, dan menarik diri setelah memberikan kecupan kecil. Itu adalah caranya untuk mengatakan 'ya, aku harus pergi'.
Felix terdiam sesaat atas penolakannya yang halus dari kekasihnya itu. Dia sudah sangat mengenal Karina. Ia mengenal Karina yang selalu menatapnya seolah-olah dirinya adalah orang yang paling berharga di dunia ini, dan juga Karina yang tidak akan mengalihkan pandangan dari berkas kantornya mau sebanyak apa namanya keluar dari bibir Felix.
Dan Felix tidak bisa menyalahkan Karina akan itu. Tidak bisa dipungkiri bahwa Karina sudah terlebih dahulu mencintai pekerjaannya sebelum ia mencintai Felix.
Pada akhirnya Felix hanya bisa mengangguk pelan sambil menyunggingkan senyum, meletakkan satu tangannya pada punggung Karina dan mengikuti kekasihnya yang sudah berjalan keluar dari kamar. Felix sama sekali tidak keberatan dengan keadaan hubungan mereka saat ini, selama dirinya masih bisa mendapatkan waktu untuk berdua saja dengan Karina, walaupun itu hanya sebatas berada di dalam ruangan yang tertutup, menghabiskan waktu bersama diiringi musik yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua.
Setidaknya semua ini bisa membuat mereka merasa seperti tidak ada orang lain di dunia ini selain mereka berdua, dimana keduanya bisa menjadi versi diri mereka sendiri. Ketika Karina bukan pewaris perusahaan pembuat wine terbesar di negara ini. Ketika Felix bukan putra dari pengusaha terkaya di Australia. Ketika mereka tidak perlu menyembunyikan perasaan mereka karena satu tindakan ceroboh dapat mengakhiri semua yang telah mereka perjuangkan.
‘Putra dari pengusaha tambang terkaya di Australia yang sudah bertunagan, secara diam-diam menjalin hubungan dengan pewaris perusahaan wine terkenal', tentu saja bukan judul berita utama yang bagus untuk disiarkan.
Ya, Felix telah bertunangan, dengan seorang wanita yang bagaikan cerminan dari dirinya sendiri, putri dari pengusaha tambang. Mereka tidak saling mencintai, namun tidak bisa menolak perjodohan yang sudah menjadi sebuah perjanjian dari kakek buyut mereka. Jadi secara terpaksa mereka harus menerima takdir itu. Roseane, tunangannya, bahkan mengetahui hubungan diam-diam antar Felix dengan Karina. Terkadang Felix bertanya-tanya, apa yang Rose rasakan. Tapi sepertinya wanita itu tidak peduli karena dia tidak pernah mengeluh bahkan sepertinya tidak peduli. Mungkin karena dia tahu bahwa Felix sudah bersama Karina bahkan sebelum dirinya masuk ke dalam kehidupan pria itu.
“Semoga pertemuanmu berjalan dengan lancar,” bisiknya pelan saat menarik Karina kembali ke pelukannya, memberikan kecupan ringan pada puncak kepala wanita itu.
Karina membiarkan dirinya menyandarkan kepalanya di dada Felix, tersenyum manis sambil menarik napasnya pelan, menghirup aroma parfum yang begitu menenangkan dari tubuh Felix. Beberapa detik berlalu hingga Karina menarik dirinya dari pelukan Felix.
Tepat ketika jam di dinding berdentang pelan menunjukkan pukul 11 siang, Karina menyadari bahwa ia harus pergi sekarang jika ingin tiba di pertemuan tepat lima belas menit sebelum kliennya datang. Baru saja ia ingin meraih ponsel yang ada di dalam tas tangannya, pintu yang berada tepat di sebelah kamar terbuka.
Karina mendengar suara obrolan sebelum ia melihat dua sosok keluar dari balik pintu tersebut, saling merangkul satu sama lain. Bukannya Karina belum terbiasa dengan pemandangan yang ada di hadapannnya saat ini, tetapi dirinya tetap saja meringis setiap kali melihat kemesraan dua orang tersebut. Benar-benar pasangan yang menjengkelkan.
Suara Kate bergema di lorong kosong dan diiringi oleh tawa Steve. "Apakah semua CEO di dunia ini bersikap sama seperti kamu dan Karina. Padahal tidak ada salahnya untuk datang terlambat ke pertemuan sesekali."
Kate terus mengoceh, tangannya melingkari lengan Steve saat mereka berjalan menyusuri koridor, menuju tempat di mana Karina berdiri bersama Felix. Tatapan Steve beralih dan bertemu dengan mata Karina, dan Karina hanya melempar senyum tipis. Tidak ada yang belum pernah dilihatnya pada titik ini, tapi ia tahu Steve masih merasa malu setiap kali mereka melihat dirinya yang sedang bermesraan dengan Kate.
"Kate, terlambat sedikit saja dan aku akan pergi tanpa dia. Aku serius." Karina berkata sambil tersenyum tipis. Kate mendengus pelan, kemudian menyandarkan kepalanya pada bahu Steve. Karina menggeleng pelan, dan keempatnya pun berjalan beriringan menuju tangga yang berada di ujung koridor.
Karina melirik ke arah Steve. Pria yang merupakan suaminya itu kini sedang melingkarkan tangannya pada pinggang wanita lain. Begitu juga dengan dirinya yang membiarkan pria lain yang bukan suaminya merangkul bahunya dengan mesra. Karina sangat sadar bahwa situasi ini sungguh tidak bermoral.
Mereka sedang berada di rumah pribadi Felix saat ini. Selama enam bulan terakhir, mereka sering bertemu di sini dan diam-diam menghabiskan waktu dengan pasangan asli masing-masing. Semua pelayan dan penjaga hanya tahu bahwa keempatnya menghabiskan waktu bersama di ruang kerja Felix sebagai teman baik.
Tepat saat mencapai tangga dan akan turun menuju ruang tamu, Kate melepaskan lengan Steve.
“Felix!” seru Kate, seolah-olah ia baru menyadari bahwa Felix ada di sana. Karina melakukan hal yang sama, meninggalkan sisi Felix dan berjalan mendekati Steve.
Kate yang kini berdiri di samping Felix melingkarkan lengannya di bahu pria tersebut. Posisinya terlihat aneh karena Felix jelas jauh lebih tinggi darinya.
"Aww, Kate. Hentikan." Ujar Felix, sambil memutar bola matanya. Karina memperhatikan interaksi itu sambil tersenyum geli. Felix adalah orang dengan kepribadian yang cukup tertutup, dan ia bisa melihat bahwa Kate mulai bisa menarik perhatian Felix dengan usahanya yang konsisten dalam mengajak pria itu mengobrol. Menurut Karina ini adalah sesuatu yang sangat menyenangkan untuk dilihat.
“Jangan bilang kamu melepas cincin pernikahan kita?” Sebuah suara bergema dari sebelahnya, dan Karina menoleh ke arah Steve yang menatap tangan kirinya dengan tajam.
Karina hanya mencibir, merasa sedikit tersinggung dengan pertanyaan itu sebelum ia menarik tangan kirinya keluar dari saku blazer, menunjukkan cincin itu dengan jelas tepat di depan wajah Steve.
Steve sedikit memundurkan kepalanya sambil merapatkan bibirnya.
“Aku mungkin ceroboh, tapi aku bukan istri yang pelupa.” Ujar Karina sambil menatap Steve sinis.
“Ya, ya,” jawab Steve sambil terkekeh pelan, matanya mendelik mendengar ucapan Karina. "Betapa beruntungnya aku memiliki istri yang tidak pelupa sepertimu."
Karina hanya medengus pelan mendengar ucapan Steve. Ia kemudian mengulurkan tangan dan mengaitkannya pada lengan Steve. Setelah berada di formasi yang benar, keempatnya kini berjalan menuruni tangga, dengan Steve dan Karina yang saling bergandengan, dan Kate yang kini terlihat mengobrol dengan Felix berjalan di belakang mereka.
Felix dan Kate memutuskan untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengobrol di ruang tamu, tentu saja dengan Felix yang lebih banyak mendengarkan sementara Kate yang lebih banyak berbicara. Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada keduanya, Steve dan Karina berjalan keluar dari rumah.
Keduanya masuk ke kursi belakang limusin yang sudah terbuka. Begitu mobil mulai bergerak meninggalkan kediaman itu, Karina menatap keluar jendela sambil memikirkan bagaimana kehidupannya berubah dalam beberapa bulan terakhir.
Tanpa disangka-sangka, ternyata semua ini berjalan lebih menyenangkan daripada yang Karina bayangkan. Pertama-tama, mereka bisa keluar dari rumah orang tua dan melakukan apa pun yang mereka inginkan di rumah mereka sendiri.
Dan itu berarti mereka bisa mengundang pasangan masing-masing kapan saja sesuai keinginan mereka. Walaupun kadang itu terasa tidak cukup, tapi keempatnya cukup senang dengan keadaan ini.
Jadwal Kate adalah yang paling padat dari mereka semua, karena dia adalah seorang artis papan atas dengan jutaan mata yang mengikuti setiap gerak-geriknya. Namun, seseorang dapat melakukan apa saja demi cinta, bukan? Seperti Kate yang tidak pernah gagal mengunjungi Steve setidaknya seminggu sekali diantara jadwalnya yang sangat padat.
Dan karina tidak akan mengeluh soal itu. Sangat sedikit hal buruk yang bisa ia katakan tentang Kate. Ia mungkin lebih menyukai wanita itu daripada sang kekasih, sangat ironis mengingat Steve adalah orang yang berdiri di altar bersamanya. Jika Kate adalah seorang pria dan ia bisa memilih di antara mereka berdua, sungguh, Steve sama sekali tidak akan punya kesempatan.
Karina suka ketika Kate ada di sekitarnya, karena pertama, wanita itu sangat menyenangkan. Dia tahu persis apa yang harus dikatakan dan bagaimana bersikap agar seseorang menyukainya. Mungkin itu efek sebagai figur publik yang sangat disukai semua orang. Jika dia bisa membuat Felix menoleransi kehadirannya, Kate mungkin bisa melakukan apa saja.
Dan kedua, Steve menjadi orang yang sangat berbeda saat Kate ada di dekatnya. Yang berarti tidak ada wajah dingin dan ekspesi datar seperti biasanya, diganti dengan Steve yang selalu tersenyum.
Semua rencananya ini benar-benar berjalan dengan sangat baik, dan Karina cukup terkejut. Bahkan ketika ia bertemu dengan Chloe beberapa hari lalu untuk menceritakan kesehariannya, sahabatnya itu dengan gembira setuju dan mengatakan, "Aku tahu kamu orang yang sangat cerdas dalam menyusun rencana, tetapi sejujurnya aku sempat ragu tentang yang satu ini. Aku pikir mungkin ini saatnya dimana kamu akhirnya menyusun sebuh rencana yang gagal. Aku senang sekali melihat bahwa aku terbukti salah," ujar Chloe penuh semangat sambil menyeruput secangkir cokelat panasnya. Karina merasa senang sekaligus tersinggung mendengar ucapannya.
Namun, hal paling mengejutkan yang ia dapati sejauh ini berkaitan dengan pria yang duduk di sebelahnya, sedang menatap ponselnya dengan serius, mungkin mengirim pesan kepada Kate atau melihat detail terakhir dari berkas yang dikirim sekretarisnya untuk pertemuan hari ini.
Steve ternyata tidak seburuk yang ia kira. Karina masih ingat betapa kaget dirinya ketika menyadari bahwa pria ini tidak sesombong yang ia kira. Sikap Steve setelah mereka tinggal bersama ternyata cukup baik, dan Karina hanya bisa berharap dia akan tetap seperti itu.
Selama bisnis yang kini mereka kelola bersama terus berkembang dan Felix masih bisa datang kepadanya kapan pun ia membutuhkan, Karina dengan senang hati menoleransi apa pun tentang semua ini.
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah restoran mewah, dan Steve mengulurkan tangannya melewati Karina untuk membuka pintu sebelum Karina sempat melakukannya. "Tidak ada lagi ucapan-ucapan sayang di depan klien kali ini. Kemarin kamu sudah cukup membuatku malu."
Karina tertawa pelan mendengar ucapan Steve dan segera keluar dari mobil. Ia menatap Steve yang sedang berjalan memutari mobil ke arahnya. "Benarkah begitu, Sayang? Sejauh yang kuingat, kamu tampak sangat menikmatinya."
Steve menatap Karina dengan pandangan malas, menyodorkan lengannya agar Karina bisa menautkan tangannya disana. Mereka sudah terbiasa setelah melakukan ini berkali-kali.
Setelah itu, tanpa mengatakan apa-apa, keduanya berjalan menyusuri karpet merah menuju bagian depan Michellin Star. "Siapa yang memilih restoran ini? Aku lebih suka Cheateau Marmont." Komentar Karina pelan, yang hanya ditanggapi Steve dengan senyum tipis.
"Jika pertemuan ini berjalan dengan baik, bisakah kamu menjadi orang yang hadir di pertemuan selanjutnya?" Ujar Karina pelan setelah mengangguk kecil kepada seorang pelayan yang sedang bertugas. Steve melakukan hal yang sama kepada pelayan di sebelah kanan mereka, menanggapi ucapan Karina sambil mendengus pelan. "Kenapa? Apakah karena kamu tidak bisa berbahasa Prancis lebih baik daripada aku? Apakah aku perlu menyewa guru privat untukmu?"
“Mengapa kamu malah meremehkanku? Klien dari Prancis selalu lebih menyukaiku daripada kamu. Mereka selalu memuji pengucapanku.” Balas Karina. Mereka terus berjalan mengikuti seorang manajer yang mengarahkan keduanya ke ruang VIP.
“Ngomong-ngomong, steak di sini cukup enak. Aku tidak peduli tentang menjaga sopan santun dan makan dengan anggun. Aku akan fokus makan dengan lahap dan tidak banyak bicara.”
Terlihat jelas bagi Steve bahwa Karina tidak peduli jika pertemuan ini akan sukses atau tidak, Karina lebih peduli tentang rasa makanan di restoran ini. Tiba-tiba, Steve teringat sosok dan reputasi Karina yang ia dengar sebelum wanita ini menikah dengannya. Apa yang terjadi pada wakil direktur Vineyard Valor yang terkenal tegas, keras, dan sangat rajin serta pekerja keras?
Steve selalu merasa lucu mengingat bagaimana Karina selalu terlihat penuh wibawa saat berada di kantor dan langsung berubah menjadi wanita yang suka bermalas-malasan, suka mengeluh dan mengoceh tentang hal-hal tidak penting ketika berada di rumah. Apakah ini efek yang ditimbulkan setelah menikah? Membuat orang berubah dan kehilangan kewarasan? Karena Karina terlihat seperti itu di mata Steve.
Steve dan Karina sudah duduk di kursih mereka di dalam ruang VIP, dan Karina masih terus berbicara tentang rasa steak di restoran ini. Ocehan wanita ini cukup menghibur bagi Steve
"Lagipula, kamu tidak pernah makan dengan anggun." Ujar Steve sambil meraih segelas air yang ada di hadapannya. Dan ia mendapatkan lemparan satu buah anggur di wajahnya sebagai balasan.
Steve tertawa lepas. Sementara Karina hanya bisa menatap kesal pada suaminya itu.
•
•
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Maeve Lyra
Workaholic bgt dong Karina ini😫
2025-04-16
0
Skylar
Lucu bgt mereka
2025-04-16
0
Jacky
waduh kacau bgt😱
2025-04-16
0