Obat Penghilang Rasa Sakit Hati

Sudah hampir pukul 2 dini hari ketika Dion memutuskan untuk masuk ke kamarnya. Pasalnya ia merasa sudah hampir mabuk. Benar saja, tak lama setelah merebahkan tubuh, ia sudah tertidur lelap melupakan beban pikiran dan sakit di hati.

Namun, tidurnya tak berlangsung lama. Ia terbangun oleh haus yang menggerogoti tenggorokan, disertai sensasi panas yang menjalar di dada.

“Pasti kena panas dalam,” batinnya seraya bangkit menuju dapur.

Usai meneguk segelas air, matanya tertumbuk pada pintu depan rumah yang terbuka lebar. Dahinya berkerut. Ia berkeliling mencari Marini, tapi sang kakak tak ada di rumah.

“Ah, pasti Kak Marini lupa menutup pintu waktu antar Yenni ke sekolah,” pikirnya.

Saat hendak menutup pintu, ia terkejut. Di bangku panjang depan rumah, sosok Melati duduk sendirian.

“Kok ada di sini, Kak?” tanyanya heran.

Melati menoleh sekilas. “Kakiku lelah, jadi duduk sebentar di sini. Kulihat pintu rumah terbuka, tapi tak ada orang. Pasti kau lagi tidur, kan?”

Dion mengangguk. “Sakit kepalanya bagaimana, Kak?” tanyanya, mengingat Melati sempat mengeluhkan pusing beberapa hari lalu.

“Sudah sembuh. Tapi sepertinya sekarang giliranmu yang sakit kepala karena alkohol,” balas Melati dengan nada datar.

“Aku minum sedikit tadi malam. Supaya bisa tertidur,” jelas Dion.

“Hmm!” gumam Melati. Ia menatap ke arah lain seolah tak menyukai keterangan Dion.

“Biarlah Kak. Aku anggap itu obat penahan rasa sakit hati.”

“Dion suka mabuk?”

“Sebenarnya aku nggak suka kehilangan kesadaran, kehilangan kendali. Semakin aku mencoba untuk tetap sadar dan berusaha tetap kontrol, rasa pusing dan sakit di kepala muncul. Nah rasa sakit itu yang aku inginkan.”

“Hmm!” Melati kembali bergumam tidak suka. 

“Aku pergi dulu, ya. Kakiku sudah tidak lelah,” kata Melati lalu berjalan meninggalkan Dion tanpa menoleh lagi. 

Dion pun kembali ke kamar karena merasa kantuk kembali menyerang.

Dion belum lama terlelap, suara azan subuh membangunkannya. Dion membuka mata dan melihat jam dinding menunjukkan hampir jam 5. Dion hampir tak percaya ketika melihat di luar masih gelap.

“Aku pasti bermimpi lagi,” pikirnya lalu kembali merebahkan diri di kasur. Dia berharap bisa tertidur beberapa jam lagi sebelum pergi kuliah pagi itu.

Selama beberapa hari, Dion terbantu sekali oleh alkohol. Tapi setelah seminggu—mungkin karena mulai terbiasa, sensasi pusing akibat minuman mulai berkurang.

“Mungkin harus tambah dosis atau beli minuman berkadar alkohol lebih tinggi,” pikir Dion yang sudah menghabiskan botol terakhir malam itu. Rasa pusing yang ia harapkan tak kunjung ia dapatkan. Akhirnya ia hanya merebahkan diri di kasurnya.

Seperti pada malam-malam sebelumnya, ia kembali bermimpi dan bertemu dengan Melati. Selalu pada tempat yang sama, yakni di kursi panjang depan rumahnya. Tapi tak seperti malam-malam sebelumnya, kali itu Melati berbincang panjang dengan Dion.

“Dion, hari ini kau tidak mabuk?” tanya Melati sinis.

“Kategori mabuk itu bagaimana sih, Kak?” Dion balik bertanya karena merasa tidak pernah mabuk.

“Nggak tau. Menurut kamu bagaimana?”

“Harusnya kan orang mabuk itu mengalami penurunan kemampuan mental dan fisik. Berperilaku aneh dan bertindak di luar kendali. Apa aku begitu?”

“Tidak sih. Tapi Dion niatnya mabuk kan?”

“Nggak. Aku cuma ingin bisa tidur nyenyak dan suka rasa pusing akibat alkohol itu. Terutama waktu pagi.”

“Apa enaknya pusing di pagi hari?”

“Setidaknya ada sesuatu untuk dihadapi, bukannya rasa kecewa, cemburu, sakit hati.”

“Melo sekali kau Dion. Tampangmu saja yang seperti si Rambo.”

“Rambo juga punya hati, Kak! Sama seperti si Rinto.”

Kata-kata Dion membuat Melati tertawa. “Ada tuh alternatif selain alkohol. Dion coba aja lari pagi. Lari sampai benar-benar lelah dan kaki mu sakit. Kan malah bikin sehat.”

“Benar juga, ya. Aku akan coba deh.”

...***...

Pagi itu, Dion menuruti nasihat Melati di mimpinya. 

Setelah terbangun, ia berlari menyusuri jalan di depan rumah yang sepi karena hari masih gelap.

Namun baru berlari lima menit, napasnya sudah berat. Paru-parunya seakan ditarik keluar dari mulut setiap ia bernapas. 

Dion menundukkan badan memegangi kedua paha dan coba menarik napas panjang. Tapi akibatnya, ia malah terbatuk-batuk hingga mata berair.

“Wina, apa yang telah kau lakukan padaku?” 

Dion bergumam pada diri sendiri tanpa sadar. Tapi mendengar keluhannya sendiri, ia kembali merasakan sakit di hati.

Segera ia berdiri tegak dan kembali berlari. Ia ingin menyingkirkan sakit hatinya dengan memberinya rasa sakit yang lain.

Entah berapa jauh Dion berlari. Ia berhenti ketika dadanya serasa akan meledak dan kepalanya pusing.

Dion kembali menunduk untuk menarik napas panjang. Tapi ketika mencoba berdiri tegak, Dion mendadak kehilangan keseimbangan lalu tersungkur jatuh.

Ia membiarkan dirinya terbaring di trotoar itu untuk beberapa saat. Untung saja ketika itu hari masih sangat gelap, kebanyakan orang belum beraktivitas di luar rumah.

Dion tersenyum. Membiarkan setengah wajahnya rebah diatas trotoar seolah tempat itu adalah kasur empuk. Rasa sakit hatinya berkurang jauh, diganti oleh sakit di sekujur tubuh. 

Setelah beberapa saat, ia pun bangkit perlahan dan berjalan untuk pulang. Tapi baru beberapa langkah, ia sudah kembali berlari menuju rumah.

Marini kaget melihat Dion yang tiba di rumah dengan cucuran keringat. “Habis olahraga, Dion?” tanyanya.

“Iya kak. Tapi aku jadi puyeng begini, ya?” sahut Dion yang berdiri limbung.

“Ya iyalah. Dion tidurnya sudah tengah malam. Bangun sebelum subuh langsung lari-lari. Untung saja nggak pingsan tadi,” sahut Marini.

“Duduklah! Kakak akan buatkan teh manis, mungkin bisa membantu,” tambahnya yang segera dituruti Dion dan duduk di kursi meja makan.

“Dion sudah dengar belum? Kampung ini sedang diteror arwah penasaran,” Marini memulai obrolan sambil membuatkan teh.

Dion menoleh, mengernyit. “Ha? Arwah penasaran gimana, Kak?”

Marini mendekat sambil menuangkan teh ke dalam gelas dan menyodorkannya ke hadapan Dion. “Beberapa orang mengaku didatangi hantu wanita. Di gang sebelah, sudah ada dua orang yang mengaku melihat sosok yang sama.”

Dion masih menatapnya tanpa minat, tapi Marini tetap melanjutkan. “Katanya, hantu itu tinggi, pakai kemeja putih dan rok hitam.”

Dion tersentak. Pakaian itu, seperti yang dikenakan Melati dalam mimpinya.

“Mukanya pucat mengerikan, separuh wajah tertutup darah yang mengalir dari ubun-ubun, dan mulutnya juga meneteskan darah tanpa henti,” tutur Marini sambil menggidikkan kepala.

Dion mencoba menenangkan pikiran. “Ah, Melati kan nggak punya wajah kayak gitu,” batinnya.

“Banyak yang didatangi, Kak?” tanya Dion sekadar berbasa-basi sambil menyeruput teh manis di hadapannya.

Marini mengangguk. “Iya. Dari ibu-ibu, anak-anak, sampai pemuda. Anehnya lagi, setiap kali muncul, arwah itu meninggalkan aroma bunga yang sangat kuat.”

“Ah, mungkin itu kerjaan pemuda-pemuda pengangguran yang iseng nakut-nakutin warga. Di Gang Mangga kan mereka sering bikin ritual minta nomor togel di kebun,” Dion coba bercanda.

“Serius, Dion. Ini bukan main-main,” delik Marini.

Dion hanya menganggukkan kepala, lalu kembali menyeruput teh sambil mendengarkan cerita Marini.

Setelah beberapa saat, teh di hadapan Dion pun mulai dingin. “Aku mau mandi, Kak,” Dion undur diri sebelum menghabiskan tehnya.

Namun begitu masuk ke kamar, tubuhnya malah terasa semakin berat. Mulanya ia hanya berniat rebahan sejenak, malah tertidur pulas.

...***...

Keesokan harinya, Dion kembali mengulangi kegiatan lari pagi. Lebih tepatnya, kegiatan menyiksa diri.

Ia sangat menikmati ketika dadanya serasa akan meledak dan menjerit meminta tambahan oksigen. Ia menikmati saat tubuh terasa sakit dan pegal.

Dion menikmati rasa sakit itu karena kelelahan fisik membantunya meringankan kekecewaan hati.

Setelah dua minggu, tubuhnya mulai memiliki toleransi yang lebih baik terhadap rasa lelah. Akibatnya, Dion harus berlari lebih lama untuk mencapai sensasi yang ia inginkan.

Episodes
1 Prolog
2 “Hariku Sudah Cukup Berat”
3 “Seperti Anjing Menjilati Luka Sendiri”
4 Tak mungkin bisa lebih Rendah lagi
5 Obat Penghilang Rasa Sakit Hati
6 Antara Mimpi dan Realitas
7 Cahaya di Ujung Lorong Gelap
8 Menembus Tembok Putih
9 Sehari di Selatan Jakarta
10 Petinju itu Petarung dan Kesatria
11 Yuna Serenauli
12 Wisuda
13 Bukan Kacamata Kuda
14 Meyleen
15 Bukan Upah pun
16 ‘My Hot Roommate’
17 Gosip Konspirasi
18 Terpaksa dengan Sukarela
19 Tenung Kepala Anjing
20 Dua Sisi Mata Uang
21 Berbagi Kisah
22 Keliling-keliling
23 Menemui Wanita-wanita Cantik
24 Gelimang Wanita Cantik
25 Seperempat Maraton
26 Harinya Dion
27 Kongko-kongko
28 Rock n’ Roll
29 Guna-guna Yuna
30 Cinta Ditolak, Dukun Gagal Bertindak
31 Terlalu Tua jadi Seorang Nenek
32 Properti Impian
33 Bubur Manado
34 Menemukan Kamar Baru
35 Andi Tinggalkan Medan
36 Hampir jadi Cucu Menantu
37 Sepupu yang Tidak Bisa Diatur
38 Oppung Jatuh Sakit
39 Like Mother, Like Daughter!
40 Selamat Jalan, Oppung!
41 Antara Cinta dan Bakti
42 Harga Harta
43 Misi Sehari di Medan
44 Video Kenangan
45 Harta Bawaan
46 Doppelgänger
47 Vania
48 Melati Aisyah Nayra
49 Memberi lebih Baik daripada Menerima
50 Anak Desa Jalan-Jalan ke Kota
51 Saling Merahasiakan
52 Start Awal Kampanye
53 Pembicaraan Dua Pria
54 Maaf yang Belum Terucap
55 “Pemuda Bodoh!”
56 Sejam di Dunia Lain
57 Benang Merah
58 “Lu Wu Ca Bo Peng You Boh?”
59 Mimpi Buruk
60 ‘Boru ni Raja’
61 ‘Aku yang akan Menunggu’
62 ‘Immoral Pragmatism’
63 Posisi Tawar
64 ‘Safe House’
65 Semua Urusan Mesti Uang Tunai
Episodes

Updated 65 Episodes

1
Prolog
2
“Hariku Sudah Cukup Berat”
3
“Seperti Anjing Menjilati Luka Sendiri”
4
Tak mungkin bisa lebih Rendah lagi
5
Obat Penghilang Rasa Sakit Hati
6
Antara Mimpi dan Realitas
7
Cahaya di Ujung Lorong Gelap
8
Menembus Tembok Putih
9
Sehari di Selatan Jakarta
10
Petinju itu Petarung dan Kesatria
11
Yuna Serenauli
12
Wisuda
13
Bukan Kacamata Kuda
14
Meyleen
15
Bukan Upah pun
16
‘My Hot Roommate’
17
Gosip Konspirasi
18
Terpaksa dengan Sukarela
19
Tenung Kepala Anjing
20
Dua Sisi Mata Uang
21
Berbagi Kisah
22
Keliling-keliling
23
Menemui Wanita-wanita Cantik
24
Gelimang Wanita Cantik
25
Seperempat Maraton
26
Harinya Dion
27
Kongko-kongko
28
Rock n’ Roll
29
Guna-guna Yuna
30
Cinta Ditolak, Dukun Gagal Bertindak
31
Terlalu Tua jadi Seorang Nenek
32
Properti Impian
33
Bubur Manado
34
Menemukan Kamar Baru
35
Andi Tinggalkan Medan
36
Hampir jadi Cucu Menantu
37
Sepupu yang Tidak Bisa Diatur
38
Oppung Jatuh Sakit
39
Like Mother, Like Daughter!
40
Selamat Jalan, Oppung!
41
Antara Cinta dan Bakti
42
Harga Harta
43
Misi Sehari di Medan
44
Video Kenangan
45
Harta Bawaan
46
Doppelgänger
47
Vania
48
Melati Aisyah Nayra
49
Memberi lebih Baik daripada Menerima
50
Anak Desa Jalan-Jalan ke Kota
51
Saling Merahasiakan
52
Start Awal Kampanye
53
Pembicaraan Dua Pria
54
Maaf yang Belum Terucap
55
“Pemuda Bodoh!”
56
Sejam di Dunia Lain
57
Benang Merah
58
“Lu Wu Ca Bo Peng You Boh?”
59
Mimpi Buruk
60
‘Boru ni Raja’
61
‘Aku yang akan Menunggu’
62
‘Immoral Pragmatism’
63
Posisi Tawar
64
‘Safe House’
65
Semua Urusan Mesti Uang Tunai

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!