Bab 3

Desi menggeleng, "Riko, kamu mau jadi anak durhaka? Antarkan Ila pulang!" ucap Desi dengan nada tidak terbantahkan.

Riko menghela napas berat. Ia memberikan jas dan tasnya kepada Desi, lalu berjalan keluar mendahului Ila dan Desi.

Ila merasa tidak enak hati melihat raut wajah Riko yang tampak lelah, "Bu, Ila bisa pulang sendiri kok. Rumah Ila juga tidak jauh," ucapnya, berusaha meyakinkan Desi.

"Tidak, Ila. Kamu harus pulang diantar Riko," kata Desi dengan tegas, dan Ila hanya bisa pasrah.

Riko menggulung lengan kemejanya hingga siku dan menyalami Desi. Kemudian, ia berjalan menuju mobilnya dan masuk terlebih dahulu.

Ila menyalami Desi, yang tidak luput dari pandangan Riko. Ila membuka pintu mobil di sebelah pengemudi dan duduk diam di sana.

Riko dan Ila tidak berniat berbicara, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Akhirnya, Riko yang memulai percakapan.

Itu pun hanya untuk menanyakan arah rumah Ila.

Setelah mengantar Ila pulang, Riko memarkirkan mobilnya di garasi dan berjalan menuju ruang keluarga. "Ila sudah diantar sampai rumah, kan, Nak?" tanya Desi.

Riko duduk di sofa di depan Desi, "Sudah. Sebenarnya, gadis itu siapa, Mi? Mengapa Umi begitu peduli padanya?"

"Dia sudah menyelamatkan Umi tadi," jawab Desi.

Mata Riko membelalak karena terkejut, "Maksud Umi?"

"Tadi, Umi pergi ke minimarket. Saat Umi mau menyeberang, ada mobil melaju sangat kencang, hampir menabrak Umi. Untungnya, ada Ila yang menolong Umi, makanya tangan Ila terluka," jelas Desi.

Riko menghampiri Desi, "Umi tidak apa-apa, kan? Ada yang sakit? Lain kali, jika Umi butuh sesuatu, bilang saja padaku. Aku tidak mau hal buruk ini terjadi lagi," ucapnya sambil memeluk Desi.

Desi tersenyum dan mengelus kepala putranya, "Ko, kalau Umi lihat-lihat, kamu dan Ila cocok, loh."

Riko melepaskan pelukannya dan menatap Desi dengan tidak suka, "Umi, kita sudah pernah membahas ini, kan? Aku hanya ingin menikah dengan Ara, bukan gadis lain," ucap Riko, menekankan nama Ara.

Desi berdiri dari duduknya, "Umi hanya menyampaikan apa yang Umi lihat barusan kok. Kalau pun Ila tidak jadi menantu Umi, setidaknya Umi bahagia mengenal gadis sebaik dia. Umi juga berencana..."

"Berencana untuk apa, Umi?" tanya Riko penasaran karena Desi menggantungkan ucapannya.

Desi berlalu begitu saja, meninggalkan Riko dengan tanda tanya besar.

Drrtt drrtt

Riko mengambil ponsel dari saku celananya. Ia menekan tombol hijau yang menampilkan wajah cantik di layar ponselnya.

Ia terus memegang ponselnya sambil berjalan menaiki tangga, "Kamu baru sampai?" tanya Ara.

Riko membuka pintu kamarnya dengan satu tangan yang memegang tas dan masuk ke dalam kamar, "Sudah dari tadi kok," jawabnya.

Riko menegakkan ponselnya di atas nakas. Ia menggantungkan jas dokternya di dalam lemari, lalu kembali duduk di depan ponsel yang menampilkan wajah cantik kekasihnya.

"Kenapa belum mandi?" tanya Ara.

"Tadi Umi minta tolong, jadi belum sempat mandi. Ngomong-ngomong, skripsimu bagaimana? Lancar?" tanya Riko.

Ara memanyunkan bibirnya. Di saat seperti ini, Riko selalu membahas skripsinya. Ara sudah lelah menghadapi kertas-kertas itu, dan tujuannya menghubungi Riko adalah untuk melepas lelah. Sayangnya, Riko malah menghancurkan 'mood' Ara.

"Sayang, kamu harus fokus pada skripsimu. Jangan terlalu lalai dengan tanggung jawabmu. Kamu harus bisa mengakhiri jika dulu kamu mampu memulainya," ucap Riko.

"Ayolah, Sayang. Aku menghubungi kamu bukan untuk membahas ini. Aku hanya ingin ketenangan dengan berbicara denganmu, tapi kamu malah membuat 'mood'-ku hancur," kesal Ara.

"Aku mengatakan ini demi kebaikanmu dan kebaikan kita," jawab Riko.

"Kebaikan kita? Maksudmu apa?" tanya Ara.

Riko menyandarkan badannya di punggung kursi, "Umi sudah mulai menjodoh-jodohkan aku lagi. Kamu tahu sendiri, kan, kalau aku hanya mau menikah denganmu. Jadi, percepatlah wisudamu, biar aku bisa menikahimu."

Ara mendekatkan wajahnya ke depan kamera, "Jika kita berjodoh, maka kita akan bersama. Tapi, jika kita tidak berjodoh, sekuat apa pun kamu mempertahankan aku, jika Allah tidak menakdirkan kita untuk bersama, kamu mau apa?"

Riko juga mendekatkan wajahnya ke kamera, "Aku akan berusaha untuk hubungan kita, Sayang. Bukankah usaha tidak pernah mengkhianati hasil?"

Ara mengangguk, "Terserah kamu. Sekarang, kamu istirahatlah. Aku juga mau lanjut mengerjakan skripsi."

"Jangan begadang, itu tidak baik untuk kesehatanmu," pesan Riko.

Panggilan video itu pun berakhir. Riko memijat pangkal hidungnya. Setiap kali berkomunikasi dengan Ara, pasti akan menimbulkan perdebatan kecil.

Riko hanya ingin Ara mengerti betapa besar rasa takutnya kehilangan Ara. Ia tidak bisa menikah jika bukan Ara yang menjadi pasangannya.

Hubungan mereka terjalin saat mereka duduk di bangku sekolah menengah atas. Hal itu terjadi karena dulu Ara adalah junior Riko ketika di SMP. Saat SMA, Riko kembali bertemu dengan Ara yang saat itu menghadiri pertandingan basket sekolahnya yang kebetulan lawannya adalah SMA Riko. Saat itulah awal mula cinta mereka bersemi.

Riko dan Ara terpaut usia dua tahun. Jika umur Ara saat ini 22 tahun, maka umur Riko saat ini 24 tahun. Riko bekerja sebagai dokter di rumah sakit milik keluarga Dewantara.

Rumah sakit yang didirikan puluhan tahun yang lalu oleh almarhum Abi Riko. Abi Riko adalah seorang dokter sekaligus dosen di kampus tempat Ara berkuliah.

Riko sendiri memiliki seorang abang yang memilih menjadi pengacara dan sudah mendirikan perusahaan di bidang itu.

******

Ila merebahkan badannya di atas ranjang saat lelah menghampirinya. Ia memejamkan mata ketika perih kembali menyapa lukanya.

"Sst, kenapa sakitnya datang lagi, sih?" gumam Ila.

Ila tidak terlalu menghiraukan lukanya. Ia lebih memilih tidur dan berharap ada kebaikan ketika pagi datang.

Baru saja ingin memasuki dunia mimpi, suara ribut sayup-sayup terdengar di telinganya. Ila berdecak sebal saat mendapati sumber dari semuanya.

Ia berjalan menghampiri ibu dan ayahnya yang sedang bertengkar hebat hingga rumah menjadi berantakan.

Ila memejamkan mata dan memijat pangkal hidungnya. Kepalanya terasa berat, ditambah luka yang kembali menimbulkan perih.

Ila menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan keras, "Ini pada kenapa, sih? Ibu dan Ayah ribut masalah apa lagi?" tanyanya lelah.

"Ayahmu ini, bisanya mencuri saja, giliran disuruh mengganti tidak bisa! Malah dia minta Ibu untuk meminjam uang dari Pak Danu lagi," adu Eli, ibu Ila.

"Ayah, untuk apa uang sebanyak itu? Ayah tidak pernah memberikan uang untuk keperluan rumah ini, tapi Ayah terbukti mengambil uang bos Ayah. Ke mana uangnya, Yah?" tanya Ila.

Prang!

Hendra melempar gelas kaca ketika mendengar ucapan Ila, "Itu bukan urusanmu! Sekarang, pikirkan bagaimana cara untuk mengganti uang itu!" teriak Hendra.

Ila memejamkan mata, "Ila tidak tahu, Yah, tapi Ila akan berusaha semampu Ila," jawabnya.

"Harus. Kamu harus mencari uang itu. Itu kewajibanmu sebagai anak," ucap Hendra.

"Hei, itu salahmu. Ila itu punya tanggungan lain, dia harus membayar listrik, kontrakan, uang sekolah Audi, dan uang untuk makan kita sehari-hari," sahut Eli.

"Berhentilah, aku akan berusaha," ucap Ila, lalu berjalan meninggalkan kedua orang tuanya.

Kepalanya terasa sangat pusing. Sesampai di kamar, Ila merebahkan badannya, berharap masalah ini akan segera hilang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!