Bukankah Allah telah berfirman dalam Al-Qur'an bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan? Lantas, apa yang kita takutkan? Semua akan selesai seiring berjalannya waktu, dengan izin-Nya.
"Audi, kakak mau keluar sebentar. Kamu di rumah saja, ya," ucap Ila sambil bangkit dari duduknya.
"Kakak mau ke mana? Kakak baru saja sampai," tanya Audi.
"Kakak mau mencari jalan keluar untuk masalah ini. Doakan kakak, ya," jawab Ila, lalu pergi.
Audi mengangguk, "Kabari kakak jika terjadi sesuatu," pesan Ila sebelum melangkah keluar rumah.
Gadis itu pergi dengan pikiran kacau. Hatinya sesak. Masalah keluarganya seolah tak pernah berakhir, selalu bertambah. Rasanya, Ila ingin mengakhiri semuanya. Pikiran-pikiran buruk terus menghantuinya. Setiap kali masalah besar menimpa keluarganya, Ila selalu merasa tertekan.
Hendra, ayahnya, selalu memaksa Ila menikah dengan rentenir di kampung mereka. Tentu saja, Ila menolak. Bukan hanya itu, ayahnya juga pernah menyarankan Ila menjadi wanita malam. Entah apa yang ada di pikiran pria tua itu.
Kata orang, tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya. Apa pun yang orang tua katakan, itu demi kebaikan anak. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Ila. Ucapan dan tindakan kedua orang tuanya justru menjerumuskannya ke dalam kesesatan.
Di tengah gelapnya malam, Ila berjalan lesu dengan mata basah. Ia memikirkan apa yang akan dilakukan Hendra selanjutnya.
Tit! Tit!
"Awas!" teriak seseorang.
"Ibu tidak apa-apa? Ada yang terluka?" tanya Ila, lalu berdiri setelah terjatuh di tepi jalan karena menyelamatkan seorang ibu yang hampir tertabrak mobil.
Ibu itu tersenyum, "Terima kasih, Nak. Kamu sudah menyelamatkan nyawa saya. Jika kamu tidak ada, mungkin saya sudah tiada," ucap wanita paruh baya yang tampak elegan dengan hijab segi empat yang tertata rapi.
Ila tersenyum dan membantu ibu itu berdiri, "Tidak apa-apa, Bu. Kalau boleh tahu, rumah Ibu di mana? Mengapa Ibu sendirian?"
"Rumah saya dekat sini. Saya keluar hanya untuk membeli sesuatu," jawab Ibu itu.
Ila mengangguk, "Kalau begitu, biar Ila antarkan Ibu sampai depan rumah. Ila takut terjadi sesuatu lagi."
Wanita paruh baya itu tersenyum, "Jadi, namamu Ila?"
Ila mengangguk, "Iya, Bu."
"Kamu bisa panggil saya Ibu Desi," ucapnya lembut, yang dibalas anggukan oleh Ila.
****
"Ini rumah saya, Ila. Silakan masuk!" ajak Desi.
Ila masih terpukau menatap rumah mewah itu, sementara Desi sudah masuk lebih dulu. Desi kembali keluar dan tersenyum melihat Ila yang masih terpana. Desi menarik tangan Ila, membuat gadis itu meringis, "Aw..."
Desi terkejut dan langsung melihat apa yang dipegangnya. Matanya membelalak melihat luka dengan darah yang cukup banyak di dekat siku Ila.
"Nak, tanganmu terluka," ucapnya panik.
Ila tersenyum, "Tidak apa-apa, Bu. Nanti juga sembuh. Ini hanya luka kecil."
Desi menggeleng, "Tidak, ini bukan luka kecil. Ini cukup parah karena darahnya banyak."
Desi menuntun Ila masuk ke rumah dan mendudukkan gadis itu di sofa ruang keluarga. Desi, yang takut darah, mulai merasa pusing dan mondar-mandir sambil menelepon.
"Assalamualaikum, Umi," sapa seorang pria yang masuk ke rumah dengan jas putih di tangan kirinya dan tas di tangan kanannya.
Desi menghampiri putranya yang baru pulang. Pria itu mencium tangan dan kening Desi dengan takzim.
"Kamu ke mana saja? Mengapa ponselmu mati?" tanya Desi.
Pria itu mengangkat alisnya heran, "Umi kenapa? Bukankah Umi tahu, ponselku memang sering mati jam segini?" tanyanya.
"Astaghfirullah, Umi lupa. Tapi, Umi butuh..."
"Ibu, Ibu di mana? Ila mau pamit pulang, sudah malam soalnya," ucap Ila sambil menghampiri Desi.
"Ila, jangan pulang dulu. Lukamu belum diobati. Ibu takut darah, jadi Ibu memanggil Riko untuk mengobati lukamu," jelas Desi.
Desi meminta Ila menunggu di ruang keluarga dan pergi ke dapur untuk menelepon putranya. Desi memiliki trauma terhadap darah.
Riko menatap Ila dengan tatapan bertanya, sementara Ila menunduk, "Dia siapa, Umi?" tanya Riko.
Riko Dewantara, seorang dokter muda sekaligus pemilik rumah sakit terkenal di kota itu. Pria yang sangat menyayangi keluarganya dan menghormati wanita. Di mata orang lain, ia tampak cuek. Namun, bagi Desi dan Ara, kekasihnya, Riko adalah pria romantis, bucin, dan manja.
Desi menatap putranya dengan jengkel, "Jangan banyak tanya, Ko. Lebih baik obati lukanya dulu. Nanti Umi jelaskan," ucap Desi.
Desi menuntun Ila ke ruang keluarga dan mendudukkannya di sofa empuk, diikuti Riko dengan wajah datar.
"Riko, obati Ila. Umi mau menyiapkan minuman dulu. Tadi Umi lupa," kata Desi.
"Mbok mana, Mi?" tanya Riko.
"Mbok sudah tidak bekerja di sini, Ko," jawab Desi.
Riko mulai mengeluarkan obat untuk membersihkan luka Ila sambil berbicara dengan Desi, "Kenapa, Mi?"
"Suami Mbok meninggal, Ko. Jadi, Mbok harus pulang kampung untuk menjaga anaknya. Tugas terbaru Umi, mencari pengganti Mbok," jelas Desi, yang didengar oleh Riko dan Ila.
"Aw," ringis Ila saat Riko tidak sengaja menekan lukanya dan darah kembali keluar. Ila memalingkan wajahnya saat melihat darah itu. Ia juga takut darah dan akan pusing jika melihatnya.
Riko mengangkat kapasnya, "Maaf, sepertinya lukamu cukup parah. Apa kamu tidak mau ke rumah sakit saja?" tanya Riko.
Desi, yang baru datang dengan minuman dan camilan, membelalak melihat darah yang kembali mengalir, "Kenapa? Mengapa darahnya makin banyak?" tanyanya sambil memalingkan wajah.
Riko mendecak sebal melihat kedua wanita di depannya. Mereka berdua takut darah.
"Lukanya cukup parah, Umi. Sepertinya harus dijahit," ujar Riko.
Ila menggeleng, "Tanpa dijahit, lukanya bisa sembuh, kan?"
"Bisa, tapi lama dan bisa menyebabkan demam atau infeksi," jelas Riko.
"Tidak apa-apa, diberi salep juga sembuh," balas Ila.
"Umi, lihat ke sini. Apa yang Umi cari di sana?" tanya Riko kesal.
"Da..."
"Sudah aku tutup, ke sinilah!" panggil Riko.
Desi menghampiri Ila dan Riko, "Sakit sekali, ya, Nak?" tanya Desi.
Ila tersenyum, "Sedikit, Bu. Nanti juga sembuh. Kalau begitu, Ila pulang dulu, ya. Sudah malam soalnya, takut dicari." Ila bangkit dari duduknya.
Desi dan Riko ikut bangkit. Namun, Riko berjalan ke arah tangga, "Hei, kamu mau ke mana?" tanya Desi.
"Mandi, lalu istirahat," jawab Riko.
"Enak saja. Kamu harus antar Ila pulang," perintah Desi.
Riko melotot tidak percaya, "Umi, mengapa aku? Suruh sopir saja," protes Riko.
"Sudah, Bu. Ila bisa pulang sendiri," kata Ila.
Desi menggeleng, "Riko, kamu mau jadi anak durhaka? Antarkan Ila pulang!" ucap Desi dengan nada tidak terbantahkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments