Rohan kembali ke panti asuhan dengan menggunakan mobil yang kini terasa seperti beban sekaligus teka-teki baginya. Untungnya, saat berada di kampung halaman ayah angkatnya, dia sering membantu warga membawa hasil panen ke pasar menggunakan mobil, sehingga kemampuan menyetirnya cukup terampil. Saat mobil itu berhenti di depan panti, semua penghuni keluar, menatapnya penuh rasa ingin tahu.
"Rohan, apa kau sudah mengetahui tentang keluargamu di sana?" tanya Ibu Darmi, suaranya penuh harap dan penasaran, seolah mengira mobil itu adalah pemberian dari salah satu kerabat Rohan.
Rohan terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Sudah... tapi belum sepenuhnya, Bu," jawabnya dengan senyum kecil, meski dalam pikirannya masih bergejolak. "Rohan akan mencari tahu lebih banyak nanti. Kalau ada waktu, Rohan akan kembali ke sana."
Ibu Darmi mengangguk, lalu menatap mobil itu dengan penasaran. "Mobil siapa itu? Apa itu dari kerabatmu?" tanyanya lagi.
Rohan menarik napas, berusaha terlihat tenang meskipun hatinya sedikit gelisah. "Hmm, iya, Bu. Sewaktu mau pulang, mereka memberikannya. Katanya ini salah satu peninggalan ayah kandung Rohan," ucapnya, memilih untuk berbohong demi menenangkan hati Ibu Darmi.
Ibu Darmi tersenyum lega. "Syukurlah, Nak. Itu artinya mereka masih peduli. Semoga perjalananmu mencari jawaban nanti lancar, ya."
Rohan hanya mengangguk, namun di dalam hatinya, kebohongan kecil itu membuatnya merasa berat.
***
Rohan duduk sendirian di depan perpustakaan, suasana sepi tanpa ada siswa yang melintas karena masih jam pelajaran. Dia menunggu pembekalan materi untuk olimpiade fisika bersama Ratih. Meski sendirian, dia tampak santai, menikmati ketenangan pagi itu.
Ratih, sahabat Rohan sejak SMP, adalah gadis yang ceria dan cerdas. Sama seperti Rohan, dia tumbuh tanpa orang tua dan tinggal bersama kakek neneknya di rumah sederhana. Dari dalam perpustakaan, terdengar suara Ratih yang sedang menghafal rumus fisika dengan lantang.
"RHO KALI GRAVITASI KALI JARAK SAMA DENGAN RUMUS ENERGI POTENSIAL!" serunya dengan semangat berapi-api.
Rohan yang mendengarnya dari luar ruangan tak bisa menahan tawa kecil. Suara Ratih menggema, hingga guru pembimbing olimpiade pun datang menghampiri.
"Pelankan suara, Ratih. Suaramu sampai terdengar ke ujung Monas," ujar guru pembimbing dengan nada bercanda.
Ratih menunduk malu sambil tersenyum kaku. "Maaf, Pak. Saya cuma lebih cepat menghafal kalau sambil teriak-teriak."
Guru itu hanya menghela napas, lalu berkata, "Baiklah. Kalau begitu, ayo kita pindah ke taman belakang. Mungkin suasana di sana lebih santai."
Ratih buru-buru membereskan buku-bukunya, sementara Rohan mengikuti dari belakang dengan senyum geli.
Di taman belakang, mereka duduk di bawah pohon rindang. Guru pembimbing berkata, "Kalian belajar di sini saja. Saya akan ke kantin mencari makanan kecil untuk kalian. Kalau ada yang perlu, jangan sungkan bilang ke saya." Setelah itu, dia meninggalkan mereka.
Ratih mulai membaca bukunya dengan serius. Sementara itu, Rohan memilih tiduran di atas rumput sambil mengamati Ratih. Tak lama, dia terkikik pelan.
Ratih melirik, menyadari tawa kecil Rohan. "Apa yang lucu?!" tanyanya dengan nada kesal.
"Tadi kau hafal rumus dengan suara lantang, sekarang cuma diam baca saja. Apa sudah kehabisan energi?" goda Rohan.
"Suka-suka aku, mau keras atau pelan, itu urusan aku, bukan urusanmu!" balas Ratih ketus.
Dengan senyum nakal, Rohan menirukan gaya Ratih, "RUMUS KECEPATAN ADALAH JARAK TEMPUH DIBAGI SELISIH WAKTU!"
"Jangan keras-keras! Suaramu itu jelek!" Ratih menutup telinganya sambil mengerutkan dahi.
Rohan tertawa lepas. "Tapi dulu kau pernah bilang suaraku indah dan merdu."
"Beda waktu, beda pendapat!" balas Ratih galak.
Rohan menatapnya, kali ini dengan lebih serius. "Tapi bagiku, kau masih sama seperti dulu, cantik dan baik hati."
Ratih langsung memerah. Dengan panik, dia melempar buku ke wajah Rohan, lalu menendang kakinya. "Dasar gombal! Sok manis!"
"Aduh! Sakit, tahu!" Rohan berusaha menghindar sambil tertawa.
Namun, saat Ratih hendak berdiri, dia terpeleset di rumput basah dan terjatuh tepat di atas Rohan. Wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, saling bertatapan tanpa berkata apa-apa.
Tiba-tiba, suara batuk pura-pura terdengar. "Hmm, hmm. Tidak boleh pacaran di kawasan sekolah!" Guru pembimbing muncul sambil membawa makanan kecil.
Ratih dan Rohan langsung bergegas bangun dengan wajah merah padam, kembali berpura-pura fokus pada buku masing-masing. Guru itu hanya tersenyum tipis sambil berkata pelan, "Ah, anak muda…"
Momen itu, meski memalukan, menjadi sesuatu yang akan mereka kenang lama.
\~\~\~
Di panti asuhan, suasana penuh keceriaan. Anak-anak sibuk bermain dengan mainan baru mereka. Rohan, yang baru saja tiba, menyapa mereka satu per satu sebelum menuju ke kamarnya.
Begitu masuk kamar, dia langsung terduduk di tempat tidurnya, memegang beberapa buku yang dia rencanakan untuk dipelajari. Namun, pikirannya justru melayang ke kejadian pagi tadi, membuatnya senyum-senyum sendiri tanpa sadar.
Tak lama, Ibu panti masuk sambil membawa cucian. Dia melihat Rohan tersenyum sendiri dan ikut tersenyum. "Senyum-senyum begitu, pasti ada sesuatu yang indah di pikiranmu," ujarnya sambil menaruh pakaian di kursi.
Rohan tersentak. "Enggak kok, Bu," jawabnya, meski wajahnya sedikit memerah.
Ibu tertawa kecil. "Ceritakan saja. Kalau ibu tebak, ini pasti ada hubungannya dengan Ratih, kan?"
Mata Rohan melebar. "Darimana ibu tahu?" tanyanya gugup.
Ibu tersenyum lebar. "Ibu sudah mengurusmu sejak kecil, Nak. Semua yang kau suka ibu tahu, apalagi kalau kau senyum-senyum begini. Pasti ada sesuatu tentang Ratih," godanya sambil mencubit hidung Rohan.
Rohan hanya tersipu malu tanpa menjawab.
"Oh ya, ibu mau tanya. Akhir-akhir ini ibu tidak melihat Jack. Kemana dia? Bukannya kalian biasanya selalu bersama?" tanya Ibu, mengganti topik.
Rohan meletakkan bukunya di samping. "Dia lagi ada acara keluarga di luar kota, Bu. Jadi, dia tidak bisa mampir ke sini untuk sementara waktu."
"Begitu ya. Rasanya jadi agak sepi tanpa dia," ujar Ibu sambil mengangguk. "Ngomong-ngomong, ibu belum banyak tahu tentang keadaan di kampung halamanmu. Kemarin kau terlihat lelah, jadi ibu tidak enak bertanya. Apa kau bertemu Bu Dwi di sana?"
Pertanyaan itu membuat Rohan terdiam sejenak sebelum menjawab. "Tidak, Bu."
Ibu panti mengernyit. "Lho, bukannya Bu Dwi itu warga sana? Apa dia pindah?"
Rohan menggeleng. "Dia bukan warga sana, Bu. Tapi dia kerabatku, adik dari ibu kandungku."
Ibu panti tampak bingung. "Kerabat, tapi bukan warga sana? Hmm... ibu jadi bingung."
Rohan tersenyum kecil dan memegang tangan Ibu panti. "Sudahlah, Bu. Jangan dipikirkan. Yang penting, sekarang Rohan sudah tahu siapa orang tua Rohan."
"Tapi, Nak. Bagaimanapun juga, kalau ada masalah yang menyangkut dirimu, ibu ingin ikut membantumu," ujar Ibu dengan nada khawatir.
Rohan menatapnya dengan lembut. "Rohan akan menyelesaikan sendiri masalah Rohan. Rohan sudah besar sekarang, Bu. Bisa membedakan mana yang benar dan salah. Apa ibu tidak percaya pada Rohan?"
Ibu panti menghela napas dan tersenyum tipis. "Ibu tentu percaya penuh padamu. Hanya saja, ibu menyesal tidak memastikan lebih awal tentang keluargamu. Dulu, mereka tidak ingin ibu pergi ke tempat itu atau memberi banyak informasi tentangmu. Untungnya, seorang sopir memberikan alamat itu secara diam-diam kepada ibu."
Rohan terkejut mendengar penjelasan itu. "Sopir? Jadi, alamat itu dari seorang sopir?" tanyanya penuh tanya.
Ibu mengangguk. "Iya. Dia sempat membisikkan sesuatu, tapi ibu lupa apa. Yang jelas, dia meminta ibu untuk merawatmu sepenuhnya tanpa identitas tambahan dan hanya memberikan alamat itu jika suatu hari kau menanyakan soal keluargamu."
Rohan terdiam, pikirannya kembali pada Bu Dwi, salah satu kerabatnya. Informasi ini membuatnya semakin penasaran. Dalam hati, dia memutuskan untuk kembali ke Desa Talakrimbun minggu depan, mencari tahu lebih dalam tentang keluarganya dan misteri di balik semua ini.
Malam harinya, Rohan tiduran dikamarnya dan menatap ponsel serta laptopnya untuk mempersiapkan materi olimpiade fisika. Tidak lama kemudian ada sebuah pesan muncul dari layar ponselnya.
*Ratih message*
Melihat tulisan itu, membuat jantung Rohan berdebar kencang. Rohan membuka dan membaca pesan itu,
'*Rohan\, ayo kita jalan-jalan ke taman kota seperti dulu. Banyak orang datang loh\, kan malam ini malam minggu waktu luang dan refresing. Cepat ya aku tunggu dijalan biasanya kita bertemu*...'
Rohan langsung menuju almari pakaian dan merapikan diri. Setelah siap, dia langsung menuju mobil yang tidak terlalu jelas milik siapa dan pergi ke Jalan 3 Lotus.
10 menit perjalanan, Rohan melihat disisi jalan seorang gadis dengan jaket tebal, celana jeans, sepatu putih dan rambut tanpa terikat tali.
Rohan membuka kaca jendela, "Ayo masuk, Ratih."
"Kau meminjam mobil siapa?" tanya Ratih heran.
"Seseorang, cepat masuk keburu tengah malam."
Mereka langsung pergi. Tidak membutuhkan waktu lama mereka sampai ditempat tujuan. Banyak orang yang datang mulai dari anak-anak hingga kakek nenek.
"Kita mau ketempat biasa atau kemana?" tanya Rohan.
"Ke tempat biasa saja. Turunkan aku disini biar aku tidak terlalu jalan jauh."
"Baiklah, kau duluan saja. Nanti aku menyusul."
Ratih turun dari mobil dan berjalan menuju sebuah taman kecil. Dia berhenti di sebuah bangku kayu di tepi hamparan tanaman lavender, menghirup aroma bunga yang menenangkan. Sementara itu, Rohan memarkir mobilnya dan mampir membeli sesuatu di kedai kecil di dekat taman. Tak lama kemudian, dia menghampiri Ratih dengan membawa dua cone es krim di tangannya.
"Ini, makanlah. Kau suka es krim rasa stroberi, kan?" ujar Rohan sambil menyerahkan salah satu cone es krim kepada Ratih, lalu duduk di sampingnya.
"Hihi, makasih," jawab Ratih sambil menerima es krim itu dengan senyuman. Namun, matanya tertuju pada makanan lain yang dibawa Rohan. "Eh, makananmu banyak banget! Emang sanggup makan sebanyak itu? Nanti jadi gemuk, lho," candanya sambil tertawa.
Rohan menggaruk kepalanya, berusaha mencari jawaban. "Oh… anu… hmm, kan kalau makan sama kamu jadi sanggup dong," jawabnya dengan nada menggombal.
Ratih menatapnya dengan alis terangkat. "Kau ini, ya, mau dipukul pakai sepatu lagi, huh?" ancamnya sambil mengangkat sepatu.
"Ti…tidak! Aku hanya bercanda… walaupun itu memang dari hati yang terdalam," sahut Rohan sambil cepat-cepat memakan es krimnya, mengalihkan perhatian.
Melihat Rohan yang sibuk dengan es krimnya, Ratih tak kuasa menahan tawa. "Kau kenapa tertawa?" tanya Rohan curiga.
Ratih mengeluarkan sapu tangan dari sakunya, lalu dengan lembut mengusap pipi Rohan. "Kalau makan itu pelan-pelan. Lihat, wajahmu penuh dengan noda es krim," ujarnya sambil terkikik.
Rohan hanya tersenyum malu dan mengucapkan terima kasih. Mereka melanjutkan percakapan santai, sesekali membahas sekolah, namun kadang terselip momen-momen yang terasa lebih romantis.
Tiba-tiba, Ratih menyadari bahwa Rohan menatapnya tanpa berkedip. "K…kau kenapa menatapku terus begitu?" tanyanya gugup.
Rohan tersenyum kecil. "Kau terlihat sangat cantik malam ini."
Wajah Ratih langsung memerah, tapi sebelum sempat merespons, Rohan tiba-tiba memeluknya dari belakang.
"Apa yang kau lakukan?! Banyak orang bisa melihat!" protes Ratih sambil berusaha melepas tangan Rohan.
Rohan menenangkan dirinya. "Tenang saja, di sini sepi. Tidak ada siapa pun. Lagipula, ada sesuatu yang ingin aku katakan," ucapnya sambil menatap Ratih serius.
Ratih menelan ludah, jantungnya berdebar. "A…apa?" tanyanya gugup.
Rohan menarik napas dalam-dalam. "Menurutku, usia kita sudah cukup. Jadi, apa kau mau?" tanyanya dengan nada misterius.
Ratih terbelalak, pikirannya langsung mengarah ke hal yang tidak-tidak. "Apa kita akan melakukan… hubungan itu?" tanyanya dengan wajah memerah.
Rohan hampir tersedak. "Kenapa kau berpikir sejauh itu? Aku hanya ingin mengatakan sesuatu!" jawabnya dengan nada heran.
"Mengatakan apa?" tanya Ratih, kini benar-benar penasaran.
Rohan memandangnya dalam-dalam, lalu berkata dengan suara penuh harap, "Maukah kau jadi pacarku?"
Jantung Ratih berdegup kencang. Dia tidak pernah menyangka bahwa Rohan, sahabat SMP-nya, akan mengajukan pertanyaan seperti itu. Dia terdiam, mencoba mencerna situasi.
"Kenapa kau diam saja? Apa kau menolaknya?" tanya Rohan, sedikit gelisah sambil melepaskan pelukannya.
Ratih menatap Rohan dengan ragu. "Apa kau yakin dengan apa yang kau katakan?"
"Tentu saja yakin," jawab Rohan tegas. "Kita sudah berteman lama dan saling memahami. Lagipula, sudah saatnya aku mencari seseorang untuk didekati lebih jauh. Dan aku menemukan dirimu. Jadi, sekali lagi, maukah kau menjadi pacarku?"
Ratih terdiam sesaat, menimbang-nimbang keputusannya. Akhirnya, dengan suara pelan, dia berkata, "Ya."
Mendengar jawaban itu, Rohan langsung memeluk Ratih dengan penuh kebahagiaan. Malam itu menjadi malam yang tak terlupakan bagi mereka berdua. Sebuah awal baru untuk perjalanan yang lebih dari sekadar persahabatan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments