Hari berganti hari, waktu terus berjalan berlalu dengan cepatnya. Aleena dan Axel tidak pernah bertemu lagi setelah pertemuan mereka di mall hari itu. Namun, kenangan tentang pertemuan singkat mereka tetap terukir dalam ingatan masing-masing.
Aleena seringkali teringat pada tatapan Axel yang tajam. Namun, penuh makna didalamnya. Dia bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan Axel sekarang, dan apakah mereka akan pernah bertemu lagi. Sementara itu, Axel juga teringat pada Aleena. Tapi, berusaha dia tepis. Namun, ada kenyataannya dia berharap bisa bertemu lagi dengan Aleena dan mengetahui lebih banyak tentang dirinya.
Waktu terus berjalan, dan kehidupan masing-masing membawa mereka ke arah yang berbeda. Namun, kenangan tentang pertemuan mereka tetap menjadi bagian dari cerita hidup masing-masing, menjadi pengingat tentang kemungkinan cinta yang bisa tumbuh dari pertemuan singkat.
Seperti saat ini, Aleena sedang berada di bar dan melamun sambil memegangi gelas yang berisi wine di tangannya. Pikirannya menerawang jauh, entah apa yang sedang dia pikirkan. Tiba-tiba wajah Axel-lah yang terbayang di pikirannya. Membuatnya berusaha menepis semuanya dengan geleng-geleng kepala. Alhasil, Chika menatap aneh kepada dirinya.
"Kamu, aneh banget, si. Kepalamu sakit, ya?"
"Apa si, Chik."
"Halo, Nona. Boleh gabung ngak?" seseorang menghampiri mereka.
Sedangkan Aleena dan Chika hanya saling melirik, tanpa menjawab. Sebenarnya mereka malas meladeni orang asing, apalagi mabuk seperti itu. Tidak penting banget menurut mereka.
Laki-laki itu tanpa di persilahkan ataupun di izinkan, dia lansung duduk di samping Aleena lalu menuang wine di gelas bekas Chika.
"Nona, apakah kamu mau berkencan denganku malam ini?" tawarnya dengan senyum menyeringai. Sedangkan Aleena masih diam dan mengabaikannya.
Aleena tidak menghiraukan laki-laki itu, dia terus melamun dan menatap ke dalam gelas wine-nya. Chika yang melihat situasi itu hanya menggelengkan kepala dan memberikan isyarat kepada Aleena untuk tidak peduli.
Meskipun Aleena tidak menghiraukan laki-laki itu, tapi dia terus mengganggu dan mencoba mendapatkan perhatian Aleena. Chika yang melihat situasi itu semakin tidak nyaman dan berusaha untuk menengahi, tapi laki-laki itu terus memaksa.
Aleena yang merasa kesal dan tidak sabar akhirnya berdiri dan menghadapi laki-laki itu. "Aku sudah bilang aku tidak tertarik denganmu, apa yang tidak kamu mengerti?" marah Aleena dengan nada tegas.
Suara Aleena yang cukup keras membuat seluruh pengunjung bar menoleh kepada mereka termasuk Axel dan teman-temannya, dia melihat kejadian itu. Karna memang musiknya berhenti saat itu. Meskipun, Axel belum bisa melihat wajah Aleena yang membelakangi mereka. Namun, suaranya terdengar familiar.
"Waw, galak juga. Saya suka," bukannya takut. Dia malah tertantang untuk mendekati Aleena.
Laki-laki itu tersenyum menyeringai dan mencoba untuk menyentuh Aleena, tapi Aleena dengan cepat menangkis tangannya. "Jangan sentuh aku," katanya dengan nada dingin.
Chika yang melihat Aleena bisa melawan dengan baik hanya tersenyum, terlihat lebih semangat dari Aleena.
Kini Axel dan teman-temannya bisa melihat jelas wajah Chika yang berbinar melihat sahabatnya bersitegang dengan orang lain. Tapi, dia bagaikan mendapatkan mainan baru. Sungguh aneh si.
"Dia kan temanya si kelinci kecil," gumam Axel.
"Dia kan," seru Marcel.
"Siapa?" tanya Daniel yang ikut penasaran.
"Dia temannya gadis yang pernah masuk kesini." jawab Marcel. "Dan kemungkinan besar gadis yang di ganggu itu adalah gadis yang pernah masuk kesini," pengakuan Marcel membuat Axel gelisah. Dia pun berdiri ingin memastikan. Ketiga rekannya melihat Axel berdiri. Mereka pun ikut berdiri, meskipun tidak tau dimana Axel akan melangkah.
Sedangkan Laki-laki itu tidak mau menyerah, dia terus berusaha mendekati Aleena meskipun harus dengan paksaan. Dia tidak gentar sedikitpun di beri peringatan. Dia kembali mendekat dan mencoba merangkul bokong Aleena, membuat Aleena tidak bisa menahan lagi emosinya.
Bught! Dengan satu kali tangkisan tubuh laki-laki itu terpental ke lantai. Membuat seluruh pengunjung bar melongo atas apa yang dia lihat. Sedangkan Axel dan temannya sudah bisa melihat wajah Aleena dengan jelas.
Laki-laki yang jatuh tadi, tidak terimah di perlakukan seperti itu oleh Aleena. Sudah sakit di tambah malu. Siapa yang akan menerima itu semua dengan percuma. Walaupun, kegaduhannya memang di awali oleh diri sendiri. "Dasar jalang! Beraninya menyerang'ku," marah laki-laki itu ingin menampar Aleena. Namun, berhasil Aleena tepis.
"Jangan pernah berani menggangguku lagi," Aleena memberi peringatan dengan nada tegas dan dingin. Tidak lagi seperti Aleena yang centil seperti yang Axel kenal. Dia pun berbalik hendak menarik lengan Chika untuk ikut dengannya meninggalkan bar itu. Moodnya kini udah benar-benar buruk. Namun, dia tidak sengaja melihat Axel yang berdiri tidak jauh darinya.
Mereka saling menatap seakan dunia milik berdua. Dari pandangan mereka, tersirat berbagai makna yang tidak bisa di ungkapkan dengan kata. Ada rindu terpendam, cinta yang tidak tergapai, dan harapan yang masih membara. Pandangan mereka berbicara lebih dari apa yang bisa diucapkan, membawa mereka kembali ke kenangan pertemuan singkat di mall itu.
Dalam sekejap, waktu seakan berhenti. Aleena dan Axel merasa seperti berada di dalam gelembung waktu yang hanya milik mereka berdua. Mereka tidak perlu berbicara, karena pandangan mereka sudah cukup untuk mengerti apa yang sedang terjadi di dalam hati masing-masing. Keheningan yang penuh makna antara Aleena dan Axel, seakan-akan mereka sedang menikmati keindahan cinta yang tidak terucapkan.
Chika, yang berdiri di samping Aleena, merasa seperti sedang menyaksikan sesuatu yang sangat intim dan pribadi. Dia tidak ingin mengganggu momen mereka, jadi dia hanya tersenyum dan membiarkan mereka menikmati kehangatan pandangan masing-masing. Sedangkan sahabat Axel hanya melongo tidak percaya, bisa menyaksikan Axel menatap gadis itu dengan penuh makna. Semua bisa melihat dari tatapan mata Axel yang dingin dan tajam, tapi ada cinta yang membara di dalamnya.
Laki-laki yang mengganggu Aleena tadi, tidak mau menyerah. Dia ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk melawan ada Aleena. Dia tidak terimah di permalukan oleh gadis itu. Tanpa pertimbangan, dia ingin memukul Aleena dari belakang. Axel yang melihat itu dengan sigap menendang orang itu, alhasil dia pun terjatuh. Dengan emosi membara, Axel menghajar orang itu tanpa ampun.
Sedangkan Aleena masih kaget akan kejadiannya yang tidak terduga itu. Lain halnya dengan Chika yang terlihat semangat. Membuat Marcel dan sahabat Axel yang lain geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.
Setelah kejadian itu, Aleena dan Chika memutuskan untuk pulang. Karna memang sudah larut malam. Mereka menyempatkan diri berterima kasih sekaligus berpamitan pada Axel sebelum pulang. Sebenarnya Axel sudah menawarkan untuk mengantar mereka untuk pulang. Namun, mereka menolak.
Aleena kini sudah tiba dirumah. Seperti biasa, saat pulang di larut malam seperti ini. Dia akan masuk mengendap-endap bagai maling. Dengan langkah pelan, dia menaiki anak tangga.
Ceklek! Lampu utama di nyalakan. Membuat langkah Aleena terhenti. "Waduh, gawat. Aku ketahuan Ayah," sesal Aleena yang ketahuan.
"Aleena!" teriak Rudi yang melihat Aleena masih membelakanginya.
Aleena menarik nafas sebelum menjawab. "Iya, Yah." jawabnya tanpa menoleh.
"Aleena!" bentak Rudi dengan suara yang lebih keras.
"Iya, Yah," jawab Aleena terpaksa berbalik dan menghampiri Rudi yang berdiri di dekat tangga.
"Aleena, bukannya kamu sudah Ayah peringatkan. Kenapa kamu mengulang kesalahan yang sama? Apa kamu memang sudah tidak mau mendengarkan Ayah? Kamu ini anak gadis, tidak baik keluyuran tidak jelas begitu." marah Rudi.
"Ayah, aku sudah dewasa dan bisa menjaga diri sendiri," kata Aleena dengan nada tegas, mencoba untuk menenangkan situasi.
"Tapi, Ayah tidak melihatnya seperti itu, Aleena. Ayah melihat kamu seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa tentang kehidupan," balas Rudi dengan nada yang semakin meninggi.
"Ayah, Aleena sudah bukan anak kecil lagi. Aleena bisa membuat keputusan sendiri dan tidak perlu diawasi terus-menerus," kata Aleena dengan nada yang sedikit lebih keras.
"Apa kamu ingin menjadi gadis liar di luar sana? Tidak punya tujuan, tidak punya arah? Apa itu yang kamu inginkan, Aleena?" Rudi memotong dengan nada yang penuh kekhawatiran.
"Aleena tidak ingin menjadi gadis liar, Ayah. Aleena hanya ingin memiliki kebebasan untuk membuat pilihan sendiri dan menjalani hidupku sesuai dengan keinginan ku," kata Aleena dengan nada yang tetap tegas.
Rudi menghela napas dalam-dalam, merasa tidak bisa mengerti apa yang sedang terjadi di dalam pikiran Aleena. "Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu, Aleena. Ayah tidak ingin kamu terluka atau mengalami kesulitan," katanya dengan nada yang sedikit lebih lembut.
"Jika Ayah ingin yang terbaik untukku. Kenapa Ayah menikah dia di saat Ibu menghembuskan nafas terakhirnya? Kenapa, Yah? Apa karna kepergian Ibu memang rencana kalian?" teriak Aleena yang penuh emosi.
"Aleena tidak peduli siapa yang bersalah atau tidak! Yang Aleena tahu adalah Ayah menikahinya di saat Ibu masih hangat di rumah sakit! Apa Ayah tidak punya hati? Apa Ayah tidak tahu bahwa Aleena masih berduka atas kepergian Ibu?" Aleena teriak lagi, air matanya mengalir deras.
Rudi menghela napas dalam-dalam, merasa seperti sedang dihantam kembali oleh kenangan pahit itu. "Aleena, semua itu tidak seperti apa yang ada dalam pikiranmu."
"Tapi, dia bukan Ibu! Ibu kandungku tidak akan pernah digantikan oleh siapa pun! Dan Ayah tidak punya hak untuk menggantikan Ibu dengan dia!" Aleena teriak lagi, rasa sakit dan kecewa masih terasa sangat kuat. Sedangkan Hani ibu sambung Aleena mendengarkan semuanya. Namun, dia tidak ingin ikut campur, takut Aleena akan lebih membencinya lagi.
"Cukup!" bentak Rudi. "Setalah melakukan kesalahan kamu kembali memojokkan Ibumu?"
"Ayah, dia sudah mencuci otakmu, hingga anakmu sendiri di abaikan." teriak Aleena yang tidak mau kalah.
"Cukup! Aleena. Keluar dari rumah ini! Sekarang juga! Ayah kecewa sama kamu." Rudi berteriak, amarahnya memuncak.
Aleena terkejut, tapi dia tidak takut. Dia berdiri tegak, menatap Rudi dengan mata yang penuh dengan air mata. "Baiklah, Aleena akan pergi, jika itu keinginan Ayah. Tapi, Aleena tidak akan pernah kembali lagi ke rumah ini!" katanya dengan nada yang tegas.
Rudi tidak menjawab, dia hanya menunjuk ke arah pintu, menunjukkan bahwa Aleena harus pergi sekarang juga. Aleena mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu, tanpa menoleh ke belakang. "Aleena tidak butuh Ayah lagi!" katanya sebelum keluar dari rumah.
Rudi berdiri di sana, mendengar suara pintu yang tertutup dengan keras. Dia merasa lega, tapi juga merasa sedih karena kehilangan anaknya. Tapi, dia tidak bisa mengubah keputusannya, dia merasa bahwa Aleena harus belajar untuk hidup mandiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments