3.Sampah

Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan hanya kepada-NYA lah kita semua akan kembali..

Suasana pemakaman siang itu terasa begitu menyesakkan hati bagi keluarga almarhum Revan, bahkan seolah alam pun ikut berduka dengan menyelimuti udara siang itu dengan awan mendung yang menggumpal hitam, seakan langit ikut mengiringi kepergian Revan pergi dari dunia yang fana ini untuk selama-lamanya.

"Ternyata dia masih punya keluarga besar Je," bisik Ryu sambil mencondongkan kepalanya dibelakang tubuh Jeje saat dia melihat banyak orang yang ternyata menangis kehilangan diacara pemakaman tersebut.

"Almarhum memang sosok yang introvert, dia tidak pernah mau bercerita apapun soal keluarganya, aku fikir dia tidak punya, ternyata dia hanya tidak mau mengatakannya."

Jeje pun berulang kali termenung dalam diam, dia sebenarnya tidak ingin terlalu perduli, namun saat melihat jenazah Revan dimasukkan kedalam liang lahat, entah mengapa hatinya ikut terasa sesak sekali, seolah ada yang melempar batu besar didadanya, yang biasanya cuek dan mati rasa itu.

"Apa dia juga tidak pernah bercerita tentang pria yang mengaku sebagai adiknya itu?" tanya Ryu yang sebenarnya masih sangat penasaran akan hal ini.

"Jangankan adiknya, aku bahkan tidak tahu jika dia masih punya kedua orang tua," Jawab Jeje sambil mengusap wajahnya yang tiba-tiba menjadi sendu.

"Ck, lalu sebenarnya untuk apa dia ingin menikah secara kontrak denganmu?" Biasanya Ryu tidak pernah ingin tahu tentang kehidupan pribadi klien mereka, namun entah mengapa dia merasa ada yang janggal kali ini.

"Entahlah, aku pun tak tahu, mungkin dia hanya ingin merasakan punya status sebagai seorang suami saja," imbuhnya kembali.

"Jujur deh Je, apa selama dia menjadi suamimu dia pernah meminta anu, em--"

Hampir setiap malam Ryu menghubungi Jeje untuk mencari tahu apa yang perempuan kesayangannya itu lakukan dimalam menjelang tidur, bahkan terkadang dia sengaja video call sampai Jeje tertidur dikamar yang terpisah dengan klien mereka agar bisa melihat aktifitasnya.

"Diamlah, itu bukan keranah mu sebagai asistenku." Jeje langsung mendelik kesal, saat Ryu menanyakan hal tabu ditempat yang menurutnya tidak tepat untuk menceritakan hal semacam itu.

"Tapi Je?"

Hal ini juga sebenarnya yang setiap harinya membuat Ryu selalu gelisah, karena sejujurnya ia ingin memiliki Jeje sepenuhnya, untuk dirinya sendiri bukan untuk dibagi-bagi.

"Apa kalian berdua datang kemari hanya untuk bergosip?"

Tiba-tiba terdengar suara lantam dari arah belakang tubuh mereka, yang kini mulai sering terdengar dikedua telinga mereka.

"Oh tidak, kami berdua hanya sedang--" Jeje sontak menoleh dan merapikan bajunya yang sebenarnya masih rapi seperti biasa.

"Pintu keluar ada diujung sana, kalau kalian masih mau mengoceh silahkan selesaikan diluar sana, jangan sampai orang berpikir lain karena adanya gosip murahan dari kalian!" ucapnya dengan tatapan yang terlihat sekali memancarkan kobaran kebencian.

Dia ngusir gue?

"Buset dah ah, sepertinya dia Dajjal versi lain," Celetuk Jeje dengan senyum masamnya.

"Tunggu apa lagi, pergi sana!" usirnya kembali tanpa basa-basi.

"Maaf, kami berdua hanya ingin mengantarkan almarhum untuk yang terakhir kalinya, itu saja."

Andai ini bukan moment pemakaman, mungkin Jeje sudah melawannya dengan kata-kata yang lebih pedas dari yang ia dengar saat ini.

"Kalau begitu bisa kalian diam? suara kalian benar-benar menganggu," umpatnya kembali.

"Aish, kenapa udaranya tiba-tiba panas begini, gerah banget dah!"

Baru kali ini ada pria yang seolah tidak terusik akan kecantikan Jeje sedikitpun, padahal selama ini banyak pria selalu ingin berbalik kearahnya saat Jeje baru sedikit saja menebar pesona.

"Stt, kita pindah tempat saja Je." Ryu langsung meraih pinggang Jeje untuk membawanya menjauh dari pria itu.

"Tapi kita hanya--" Jeje merasa belum terima saat dirinya terlihat kalah dengan seseorang.

"Kalau begitu kami permisi, maaf sudah mengganggu, tadi kami hanya ingin ikut berbela sungkawa saja."

"Jangan munafik jadi orang, aku rasa kalian juga akan bersorak bahkan mungkin kalian akan berpesta setelah kepergian Abangku."

Suaranya semakin terdengar pedas, apalagi saat melihat lengan kokoh Ryu masih bertengger santai dipinggang ramping Jeje, entah mengapa dia merasa tidak suka saja.

"Hei, jaga bicaramu Bung!" Emosi Jeje mulai terpancing sampai disitu.

"Sudahlah Je, dia keluarga almarhum, jangan terpancing keributan olehnya, ayo kita pindah tempat saja."

Akhirnya Ryu menarik lengan Jeje karena kedua kakinya sudah maju dua langkah dan Ryu memilih membawanya untuk menjauh dari pria yang kini masih menatap keduanya dengan tatapan yang terlihat bengis, seolah memendam rasa kebencian yang tak terukur seberapa dalamnya.

♡♡♡

"Aaaaaaa... Revan, jangan tinggalin Mama nak, kenapa kamu pergi secepat ini?"

Suara tangisan seorang Ibu seolah pecah, saat jenazah Revan kini sudah tertutup rapat dengan tanah dan ditaburi dengan bunga-bunga terakhir dari keluarga besar mereka.

"Ma, jangan seperti ini, kasian Revan nanti."

Terlihat seorang pria paruh baya merengkuh bahu wanita yang terus bergetar sedari tadi tanpa henti.

"Tapi kemarin dia masih telpon Mama, dia bilang baik-baik saja disini, tapi kenapa dia ninggalin Mama duluan."

"Dinda, kamu bawa Mamamu ke mobil saja, antarkan dia pulang."

"Aku mau nemenin Revan saja Pa, cepat bangunin dia Pa!"

"Jangan begini Ma, ikhlaskan Revan, biar dia tenang disana, ayo kita pulang Ma."

Terlihat seorang gadis remaja merengkuh tubuh wanita itu kedalam pelukannya, walau sedari tadi terus saja memberontak.

"Tolong bantu gendong saja ke mobil."

"Aaaaaaa... Revan!"

Mamanya benar-benar terlihat syok sekali, dia masih saja berteriak histeris saat digendong paksa oleh keluarga mereka, seolah ia belum rela jika almarhum Revan pergi secepat itu.

"Apa kita juga pulang saja?" Ryu langsung mengusap lengan Jeje, saat tatapan perempuannya itu terlihat kosong.

"Tunggu sebentar lagi, kita doakan dulu Revan untuk yang terakhir kalinya." Hal itu membuat Jeje semakin miris, bahkan ia sebenarnya tidak tega berlama-lama melihat tangisan haru seperti ini.

"Aku rasa ini bukan tanggung jawab kita lagi sebagai klien."

"Tidak apa-apa, kita melakukannya sebagai wujud rasa bela sungkawa antar sesama umat manusia saja."

"Ck, tapi--"

Obrolan Jeje dan Ryu langsung terputus, saat lagi dan lagi pria yang mengaku sebagai adik dari almarhum itu datang mengusik.

"Setelah semua selesai, kamu harus datang kerumahku."

DUAR

"Hah, ngapain?" Jeje langsung menatapnya dengan raut wajah kesal, entah hal apa lagi yang harus dia buat hari ini pikirnya.

"Apa kamu sudah pikun, atau kamu sedang melakukan drama amnesia Nona?"

Senyumnya memang menawan, tapi ini sungguh menyebalkan!

"Maksud kamu apa?" Jujur Jeje kagum melihat pria itu, tapi rasa benci akan semua kata-kata dan sikapnya lebih mendominasi.

"Tolong bicara baik-baik ya, bahkan tanah almarhum Abangmu saja masih basah, tidak bisakah kamu untuk jangan memancing keributan disini?" Ryu benar-benar kesal sebenarnya, namun masih ia tahan sampai saat ini.

"Tunggu saja didalam mobil putih yang ada diujung, tak perlu banyak tanya," titahnya kembali.

"Tidak perlu, aku punya mobil sendiri."

"Cih, apa itu hasil dari memeras uang Abangku?" tuduh Pria itu dengan senyum narkasnya.

Bangke!

"Jaga mulutmu ya, kamu kira aku semiskin itu?" Ujar Jeje yang merasa tidak terima, dia mendapatkan uang sesuai dengan perjanjian, bukan pemerasan pikirnya.

"Sudahlah, jangan terpancing olehnya, kita lihat saja apa mau dia." Ryu berulang kali mengusap lengan Jeje agar perempuan kesayangannya itu bisa menjaga emosi walau sulit.

"Kamu tidak perlu ikut, urusanku hanya dengan wanita itu saja, bukan kamu!" Dan ternyata hal kecil yang dilakukan Ryu semakin membuatnya merasa muak dengan mereka berdua.

"Tidak bisa, apapun yang menyangkut tentang Jeje, harus melibatkan saya!" bantah Ryu dengan tegas.

"Apa kamu tidak melihat kondisi Mamaku tadi seperti apa? Atau kamu juga mau menambah kalut pikirannya saat tahu jika istri almarhum anaknya sudah berkepit dengan seorang pria, padahal baru saja selesai acara pemakamannya, hah?" Sangat tergambar jelas, bahwa emosinya kini memang sedang berada dipuncak, karena perasaan kaget, sedih, kecewa, terluka, semua tercampur aduk menjadi satu.

"Tapi ini--" Ryu terlihat keberatan dengan hal ini, apalagi saat dia melihat Jeje benar-benar tidak mood karenanya.

"It's oke, aku bisa mengatasinya sendiri, kamu pulang duluan aja." Jeje mulai lelah dan memilih mengalah saja.

"Je, dalam perjanjian kita dulu tidak begini."

"Sudahlah, aku bisa menyelesaikan semuanya sendiri nanti, kamu tidak perlu risau dengan hal ini." Jeje menggengam jemari Ryu yang seolah tidak ingin lepas darinya.

"Apa kalian masih mau bermesraan di pemakaman umum ini, hah?" Pria itu kembali meninggikan suaranya.

"Hei, jangan sembarangan bicara kamu!"

"Ryu, nggak ada gunanya kamu menjawab omongan sampahnya, kamu pulang saja, nanti aku kabarin semuanya."

Setelah memejamkan kedua matanya berulang kali, Jeje memilih untuk menjadikan pria itu sebagai tantangan hidupnya saja, ia berjanji didalam hati akan membalas semua kata-kata pedas pria itu dengan sambal ramuan asli dari cabai rawit setan pilihan dan menyumbatkannya kedalam mulut pria itu.

"Apa kamu bilang? aku sampah? Apa kamu tidak bisa berkaca?"

"Semua perkataanmu bahkan lebih bau daripada sampah, jadi lebih baik tutup saja mulutmu itu!"

"Kau--"

"Entah kenapa aku jadi ragu jika kamu memang adiknya, karena setahuku Almarhum Revan orangnya begitu baik dan sopan, tidak seperti kamu yang seperti manusia tidak ber-attitude sama sekali!"

"Haha, jangan sok suci kamu j@lang!"

Ia bahkan tak segan menghina dengan kata-kata yang kurang sedap didengar telinga.

"Aku memang bukan wanita suci, tapi setidaknya aku tahu jika orang yang benar-benar baik itu tidak akan pernah menghakimi orang yang belum baik, permisi!"

Kelas!

Ryu tersenyum puas saat mendengar kata-kata pamungkas dari Jeje, apalagi saat dia melirik kearah pria itu yang akhirnya diam tak lagi berkata.

Dan Jeje memilih langsung bergegas pergi meninggalkan pria itu tanpa perduli dengan umpatan yang ingin dia lontarkan nantinya, Jeje bahkan tidak menyangka jika keluarga almarhum Revan ada yang bermulut pedas gila melebihi dirinya, karena menurutnya almarhum Revan adalah sosok pria yang penyabar, bahkan dia tidak pernah sekalipun meninggikan suaranya saat berbicara dengan dirinya, walau ia melakukan kesalahan sekalipun dalam hal kesehariannya selama menjadi Joki istri untuknya.

Terpopuler

Comments

Zainab Ddi

Zainab Ddi

author ditungguin selalu update untuk kelanjutannya 💪🏻😍🙏🏻

2025-03-03

3

Susi Akbarini

Susi Akbarini

penasaran..
apa penyebab Rwvan meninggal..
❤❤❤❤❤❤

2025-03-06

1

Zainab Ddi

Zainab Ddi

lagian Jeje emang ada ya joki istri

2025-03-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!