Disana setalah melewati beberapa menit berbincang dikerumunan orc, niren dan yang lainnya melanjutkan langkahnya menuju tempat tinggal keluarga fenrisa.
Sebab wanita itu menyuruhnya untuk tinggal bersama nya, bukan di tempat pengungsian.
Selama perjalanan Niren sedikit kesal dengan key, dan menggerutu karana key tidak kian menjawab pertanyaannya hingga tak lama samar terdengar membuat Niren tersentak dan sontak menatapnya.
"Anakku, Ayo! Kenapa kau masih berdiri di sana. Kita sudah sampai!"Titah Fenrisa membuyarkan lamunan niren sejenak.
Niren seketika tertegun saat matanya menatap rumah di depannya. Dengan wajah yang terpukau dan mengagumi keindahan bentuk dari desainnya, kakinya perlahan berjalan maju.
Disana....
Rumah Fenrisa, bangunan dua lantai yang kokoh, terbuat dari batu-batuan besar yang diukir dengan motif bulan sabit dan cakar serigala. Struktur rumah ini tampak elegan dan klasik, mencerminkan warisan panjang Klan Serigala Bulan.
Dinding-dinding batunya seperti bercahaya, tekstur nya tidak kasar seperti rumah batu pada umumnya, melainkan halus dengan ukiran yang menambah kesan artistik. Pintu utama terbuat dari kayu hitam yang kokoh, dengan pegangan berbentuk kepala serigala, seolah-olah menjaga setiap penghuni yang tinggal di dalamnya.
Begitu Niren masuk, hal pertama yang menarik perhatiannya adalah ruang tamu luas dengan perapian batu yang menyala hangat di tengah ruangan. Sebuah sofa panjang dari batu berada tepat di depan perapian, tetapi bukan sekadar batu keras biasa—lapisan bulu domba tebal membuatnya tampak lebih nyaman untuk diduduki.
Meja kayu bundar dengan ukiran sederhana berada di sampingnya, dengan beberapa cangkir kayu dan teko keramik yang sudah diisi air hangat.
Di sisi kiri ruangan, sebuah tangga kayu mengarah ke lantai dua, tempat di mana kamar-kamar berada. Ada enam kamar di rumah ini, termasuk kamar utama Fenrisa dan kamar untuk kedua putranya. Salah satu kamar tamu telah disiapkan khusus untuk Niren.
Fenrisa yang sejak tadi sibuk memberi arahan pada cucunya yang bermain di sofa akhirnya menatap Rune.
"Rune, antarkan dia ke kamarnya," titahnya singkat.
Pemuda itu hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Mata kuning keemasan itu sekilas melirik Niren sebelum berbalik, melangkah lebih dulu menaiki tangga.
Niren berdiri di tempatnya, merasa sedikit enggan untuk mengikuti. Namun, ketika ia menoleh ke arah Fenrisa, wanita itu hanya memberinya senyum samar—senyum yang entah kenapa terasa menenangkan.
Akhirnya, dengan sedikit ragu, Niren melangkah mengikuti Rune ke lantai atas.
Lorong menuju kamar ditemani cahaya obor yang berkelap-kelip di sepanjang dinding batu. Ukiran khas suku serigala menghiasi dinding, menciptakan bayangan panjang yang bergerak seiring cahaya api.
Suara langkah Rune terdengar mantap dan stabil, kontras dengan langkah Niren yang lebih pelan dan hati-hati.
Suasana di antara mereka hening.
Rune tetap diam, seakan tidak peduli dengan keberadaan Niren. Namun, dalam diamnya, ia menyadari sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Aroma gadis itu… *berbeda*.
Bukan seperti betina biasa yang biasanya memiliki bau tanah atau pepohonan. Aroma tubuh Niren terasa manis, seperti susu dan stroberi yang lembut, samar-samar tercium di udara.
Rune mengerutkan kening tanpa sadar.
"*Aroma ini… kenapa rasanya seperti menggoda*?"
Sebagai seorang serigala, penciumannya sangat tajam. Bau yang asing atau tidak biasa bisa langsung menarik perhatiannya—dan Niren memiliki aroma yang terlalu asing baginya.
Di sampingnya, Niren yang terus berjalan menunduk tidak menyadari tatapan sekilas Rune. Justru, ia sibuk mengomel dalam hati.
"*Key! Apa ini semua rencanamu, huh*?!"
Sistem Key, yang selalu ada di pikirannya, langsung tertawa kecil.
\[**Tentu saja tidak, Host! Rune itu kandidat sempurna untuk menjadi pasanganmu! Bukankah kau sangat beruntung? Lihat pria di sampingmu itu, sangat gagah**!\]
"*Beruntung kepalamu! Iya sih, dia tampan, tapi bukan tipeku*!"
\[**Aduh, dasar manusia! Tuan rumah ini dikasih kesempatan emas malah nggak mau! Rune adalah pilihan ideal untuk misi melahirkan, karena ia memiliki level A! Semakin tinggi level pejantan, semakin banyak poin yang kita terima! Kalau kau ingin cepat membuka fitur sistem, kau harus melahirkan dulu**!\]
Niren menghentikan langkahnya sebentar, menatap Key dalam pikirannya dengan ekspresi datar.
"*Serius? Jadi aku harus memilih pasangan berdasarkan sistem ini? Ini bukan MMORPG, tahu*?!"
\[**Ssttt! Key tidak menerima komplain! Selamat menjalani misi, Host! Bye-bye! 🎉**\]
*Haiss*!!
Niren buru-buru menunduk lebih dalam, takut Rune menyadari wajahnya yang memerah karena kesal.
Sementara itu, Rune yang tetap diam mencoba mengabaikan sensasi aneh dalam dirinya. Ia bukan tipe pria yang mudah terpengaruh oleh betina. Namun, aroma Niren…
Aroma itu sungguh mengganggunya.
Setelah berjalan melewati lorong, Rune akhirnya berhenti di depan sebuah pintu kayu.
"Ini kamarmu," ucapnya singkat.
Suara dalamnya terdengar datar, tetapi ada sesuatu yang aneh dalam nadanya.
Niren melangkah masuk dan langsung tertegun.
Kamar ini… jauh lebih baik dari yang ia bayangkan.
Dinding batu yang halus dihiasi pola angin berputar yang dipahat dengan indah. Jendela besar tertutup kain tebal berwarna krem, disulam dengan bulan sabit dan bintang-bintang dari benang emas.
Di tengah ruangan, terdapat ranjang besar yang dilapisi kulit bulu angsa putih, terlihat sangat lembut dan nyaman. Di sudut lain, ada rak kayu berisi beberapa pot tanah liat dengan bunga kering yang mengeluarkan aroma herbal yang menenangkan.
\> "*Tempat ini... hampir seperti kamar di dunia modern. Hanya saja tanpa listrik dan teknologi*.".
Niren menghela napas pelan.
Ia menoleh ke Rune yang masih berdiri di ambang pintu.
"Terima kasih… *um*… Rune."
Nada suaranya pelan, sedikit ragu-ragu.
Rune menatapnya sejenak. Mata kuningnya terlihat lebih gelap dalam cahaya obor.
"Tidurlah. Musim dingin akan segera datang. Aku harus berburu pagi-pagi besok."
Niren mengangguk, tetapi tiba-tiba teringat sesuatu.
"Rune… um, bolehkah aku bertanya?"
Rune terdiam sejenak, lalu mengangguk.
"Hm, katakan."
Niren menggigit bibirnya sebelum akhirnya membuka suara.
"Di sini ada kamar mandi?"
Rune menatapnya sebentar sebelum menjawab.
"Di lantai bawah, dekat dapur. Sebelah kiri ada pintu kayu. Tapi maaf, aku tidak bisa mengantarmu."
Niren membelalakkan mata. Hah?! Maksudnya bukan seperti tapi... *Haiss*!!
Tidak! Seharusnya ia bertanya pada Fenrisa saja! Kenapa malah bertanya pada Rune?!
Namun sebelum ia sempat menolak, Rune tiba-tiba berkata sesuatu yang membuatnya membeku.
"Aromamu manis."
"…Hah?"
Rune hanya menatapnya sebentar sebelum akhirnya berbalik dan berjalan keluar, meninggalkan Niren yang masih berdiri di tempatnya dengan wajah memerah.
Niren buru-buru menutup wajah dengan kedua tangannya.
\> "*Oh tidak! Itu pujian… atau ejekan*?!"
Kenapa kata-kata itu terus terngiang di kepalanya?!
Dan kenapa dadanya terasa berdebar seperti ini?!
**✧✧✧**
Pagi menyapa dengan lembut, tetapi bagi para jantan terkuat di kota ini, pagi bukanlah waktu untuk bersantai. Mereka telah berangkat berburu sejak fajar menyingsing, meninggalkan rumah-rumah dalam keheningan.
Di salah satu rumah yang cukup besar, hanya tersisa seorang wanita paruh baya yang sedang sibuk di dapur—Fenrisa, pemimpin suku Serigala Bulan. Jemarinya lincah menyiapkan daging kering, makanan khas para orc dan therion di kota ini.
Di lantai atas, Niren perlahan keluar dari kamarnya. Gaun kulit lembut yang diberikan Fenrisa pagi tadi membalut tubuhnya dengan pas, membuatnya terlihat anggun. Namun, langkahnya ragu saat melihat Fenrisa yang masih sibuk. Ia berhenti di sudut tembok, memerhatikan wanita itu dalam diam.
Seolah merasakan tatapan yang mengarah padanya, Fenrisa mengangkat wajah dan tersenyum.
"Kemarilah, anakku. Jangan berdiri di sana seperti pencuri."
Niren tersentak, tetapi kemudian tersenyum tipis dan melangkah mendekat. Fenrisa menyapu pandangan ke arah gadis itu, menelisik penampilannya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Cantik sekali. Gaun itu benar-benar cocok untukmu."
Niren menunduk malu. "Terima kasih, Nyonya Fenrisa. Terima kasih juga karena telah menyelamatkanku malam itu."
Fenrisa tersenyum tanpa menjawab. Ia mengangkat satu daging yang telah dikeringkan, meniupnya sedikit, lalu mencicipi potongan kecil sebelum kembali berbicara—kali ini dengan nada yang lebih serius.
"Kalau kau benar-benar ingin berterima kasih... maka ada sesuatu yang bisa kau lakukan untukku."
Niren mengangkat wajahnya, menatap wanita itu dengan bingung. "Apa itu?"
Fenrisa menatapnya tajam. "Jadilah pasangan Rune."
Dunia seakan berhenti sesaat.
Niren membelalakkan matanya, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Bibirnya sedikit terbuka, tetapi tak ada kata-kata yang keluar.
"A-Apa?" suaranya bergetar.
Niren menelan ludah, otaknya berpacu untuk memahami situasi ini. Mengapa wanita ini begitu terburu-buru memilih pasangan untuk putranya, apalagi kepada seseorang yang bahkan belum lama ia kenal?
Seakan bisa membaca pikirannya, Fenrisa mendesah kecil lalu berjalan kearah ruang tamu dan duduk di sofa panjang.
"Duduklah dengan nyaman disini, anakku." Fenrisa menepuk sandaran sofa. "Kita akan bicara panjang lebar soal sesuatu yang harus kau ketahui."
Mata Niren mulai bercahaya... Sesuatu yang harus ia ketahui? Apa? Tanpa sadar ia melangkah kakinya mendekat lalu duduk di samping wanita itu gugup.
Fenrisa tersenyum samar"Aku tahu ini mengejutkan. Aku tidak asal memilih. Aku memiliki alasan sendiri mengapa aku ingin Rune segera memiliki pasangan."
Niren tetap diam, mendengarkan dengan saksama.
"Apa kau tahu perang suci?"
Niren menggeleng pelan, jari-jarinya meremas ujung gaunnya."Aku tidak tahu.."
Fenrisa mengangkat alisnya—bingung. Bagaiman bisa ada orc yang tak tahu tentang simbol perang suci?
Perlahan wanita itu menyenderkan tubuhnya di sandaran sofa. Mangkuk daging kering yang ia bawa ia berikan pada niren, dan menyuruhnya untuk memakan nya sambil mendengarkan ia akan bercerita.
"Baiklah.. akan ku ceritakan padamu. Dengarkan baik-baik."
Fenrisa menarik napas dalam sebelum mulai berbicara dan niren dengan fokus mendengar kannya.
"Perang Suci terjadi setiap seratus tahun sekali. Itu bukan perang biasa, Niren. Itu adalah pembersihan... seleksi alam yang dipaksakan oleh kekuatan yang lebih besar dari kita."
Niren mengernyit. "Seleksi alam...?"
Fenrisa mengangguk. "Tidak semua ras dipaksa untuk berpartisipasi, hanya mereka yang dianggap 'terlalu kuat'—ras yang memiliki keunggulan dalam kekuatan, kecerdasan, dan dominasi. Apa kau bisa menebak siapa saja yang masuk dalam kategori itu?"
Niren memikirkan beberapa ras yang ia ketahui sejauh ini dari key."**Therion... Felidar... Avianthrope**?"
"Benar sekali! Kau pintar" Fenrisa menatap nyala api di perapian. "*Therion*— adalah ras kami, para manusia binatang, harus ikut serta dalam perang itu. Para pria dari setiap suku akan dikirim untuk bertempur tanpa ada jaminan mereka bisa kembali."
"Dan alasan mereka harus memiliki keturunan sebelum pergi apa...." Niren mulai menyadari sesuatu.
Fenrisa menyelesaikan kalimatnya. "Karena mereka mungkin tidak akan kembali."
*Deg*!..
Niren menahan napas. Ada kepedihan dalam suara Fenrisa, sesuatu yang berasal dari pengalaman pribadi yang menyakitkan.
"Aku kehilangan kedua suamiku dalam perang itu. Mereka bertempur sampai mati demi kehormatan suku ini. Tak ada tubuh yang kembali, hanya kabar bahwa mereka gugur sebagai prajurit."
Niren bisa merasakan kesunyian menyelimuti ruangan.
Fenrisa melanjutkan, suaranya lebih dingin sekarang.
"Perang itu bukan hanya tentang pertarungan fisik, Niren. Itu adalah ladang penyembelihan. Medan perang itu dipenuhi dengan makhluk-makhluk yang tidak bisa kau bayangkan. Beberapa dari mereka adalah iblis, entitas yang lebih tua dari dunia ini sendiri. Mereka tidak bertarung dengan pedang atau cakar—mereka bertarung dengan kekuatan yang bisa menghancurkan jiwa."
Mata Niren membesar. "Menghancurkan... jiwa?"
Fenrisa mengangguk pelan. "Banyak yang mati bukan karena luka fisik, tetapi karena kehilangan akal mereka. Mereka melihat hal-hal yang tidak bisa dijelaskan, mendengar suara-suara yang membuat mereka gila. Beberapa bahkan kembali dengan tubuh utuh tetapi pikiran mereka telah kosong, seperti boneka tanpa nyawa."
Niren merasa darahnya berdesir.
"Tidak ada tempat untuk belas kasihan di sana." lanjut Fenrisa. "Jika kau jatuh, kau ditinggalkan. Jika kau terluka, kau dimakan oleh yang lebih kuat. Tidak ada sekutu, tidak ada perlindungan. Hanya ada kematian."
Niren menggigit bibirnya, mencoba mencerna semua ini.
"Jadi, kau ingin Rune memiliki keturunan sebelum dia..."
"Aku ingin memastikan garis keturunan kami tidak terputus." Fenrisa menyelesaikan kalimatnya dengan suara tegas. "Rune dan saudaranya akan dipanggil untuk perang itu di masa depan. Aku tidak bisa menghentikannya, tetapi aku bisa memastikan mereka meninggalkan sesuatu sebelum mereka pergi."
Niren menunduk, pikirannya berkecamuk. Jadi ini alasan Fenrisa begitu terburu-buru? Ini bukan sekadar perjodohan biasa—ini adalah upaya bertahan hidup.
Apahkah ia juga akan ditinggalkan seperti itu di masa depan? Tapi kata key ia tidak boleh melibatkan perasaannya karna misinya. Tapi bagaimana jika perasaan itu muncul?.
Niren kembali menatap Fenrisa dalam."Tapi... Bagaimana kau bisa tahu aku subur atau tidak dan akan memiliki banyak anak dengan rune?"
Fenrisa yang mendengar itu tersenyum tipis, membuat niren tersentak saat wanita itu malah berdiri dan hendak beranjak dari sana tak mengatakan apapun, tapi sebelum itu tatapan nya seolah berbicara bahwa ia mengetahui sesuatu tentang.... Dirinya (*Niren*).
Suasana menjadi begitu sunyi hingga suara pintu yang terbuka dengan keras mengagetkan mereka berdua. Fenrisa berbalik, tatapannya menajam seraya berkacak pinggang seakan tahu siapa yang datang dengan membanting pintu.
Sungguh tidak ada anggun-anggunnya!
**BRUK**!
"Ibuuuuu! Aku dengar kau membawa bidadari di sini! Tolong beritahu aku di mana dia! Aku ingin melihatnya juga!"
Niren tersentak saat seorang gadis muda masuk dengan penuh semangat, rambutnya yang panjang sedikit berantakan karena berlari.
Fenrisa menghela napas panjang, menekan pelipisnya dengan jari.
"Huh... Anak ini! Dia persis seperti ayahnya. Selalu terburu-buru kalau ada gosip baru."
Gadis itu langsung menatap Niren dengan tatapan penuh kekaguman.
"Oh! Jadi ini dia bidadari yang dimaksud? Ya ampun, kau jauh lebih cantik daripada yang kudengar!"
Niren sedikit terkejut dengan pujian itu. "Eh, aku..."
Gadis itu tertawa, lalu tanpa ragu menarik tangan Niren untuk lebih dekat dengannya.
"Aku Fenja, putri Fenrisa!" katanya ceria. "Aku sudah mendengar semuanya dari para pria di luar. Katanya, ibu ingin menjadikanmu pasangan Rune?!"
Niren menegang, lalu melirik Fenrisa yang hanya tersenyum tipis.
"Apa yang kau lakukan, Fenja?" tanya Fenrisa dengan nada malas.
"Oh, aku hanya ingin tahu! Aku kan belum pernah melihat betina seanggun ini sebelumnya!"
Fenja tertawa kecil, lalu duduk di samping Niren tanpa ragu. "Kau tahu? Aku dengar ibu ingin menjadikanmu pasangan Rune! Jadi bagaimana? Kau akan menikahi saudaraku, kan?"tanyanya penuh minat.
Niren kembali tersentak tak tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba suara key terngiang di telinganya dan itu semakin membuatnya ingin memukul sistem itu segera.
**Key: \[Haduhhh, Tuan Rumah! Tinggal jawab saja 'iya'! Gitu saja kok repot?! Enggak usah malu-malu dan sok jual mahal begitu...\] 😏**
"Keyy!! Sungguh aku akan memberimu pelajaran nanti, huh!"
\>\>*To be continued*...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments