Rahul tak tahu harus berkata apa. Kedua gadis itu begitu bersemangat berlari menghampiri, padahal tadi ia sudah mewanti-wanti agar tetap di dalam mobil. Ia takut keberadaan mereka terlalu mencolok, dua “permata” yang begitu berharga, namun apalah daya Rahul hanya bisa menahan hatinya yang berdebar.
“Bapak, Ibu apa kami diizinkan?” tanya Anjela penuh semangat begitu tiba di depan Rahul dan Ibu Asih.
Rahul buru-buru menunduk, tak ingin Ibu Asih menangkap gelagat aneh di matanya. Ia memilih menyembunyikan pandangan, padahal dalam hati, ia hanya ingin menatap dua gadis itu lebih lama.
Ibu Asih tersenyum hangat. “Iya, Nak. Kalian diizinkan.”
“Yeayyy!” Kedua gadis itu berpelukan riang, lalu bergantian merangkul Ibu Asih. Setelah itu, sasaran mereka berikutnya tentu saja Rahul.
“Bapaaaak!” seru mereka serempak sambil memeluk Rahul erat. Rahul refleks menahan tubuhnya agar tidak terjatuh oleh derasnya semangat mereka.
Setelah puas, keduanya saling berpelukan lagi dengan wajah berseri-seri.
“Anjela senang!” seru Anjela sambil berloncat-loncat.
“Anjeli senang juga!” timpal kembarannya tak kalah riang.
“Sudah, sudah jangan berlebihan,” ujar Ibu Asih menenangkan.
“Iya, Ibu,” jawab mereka kompak, meski senyum tak pernah lepas dari bibir.
Ibu Asih lalu menoleh pada Rahul. “Pak, sebaiknya kita makan dulu. Anda dan orang-orang Anda pasti lapar.”
Rahul mengangguk setuju.
“Ayo kita masak!” Anjela dan Anjeli berseru bersamaan.
“Bapak, mau ikut kami ke dapur?” tanya Anjela sambil melempar senyum menawan.
Rahul terdiam. Aku? Masak? Ia sama sekali tak pernah menyentuh dapur seumur hidupnya.
“Pak, ayolah! Anjeli mohon,” rengek Anjeli sambil memasang wajah imut yang membuat jantung Rahul semakin tak karuan.
“Ba baiklah,” jawab Rahul dengan suara tergagap.
“Yeay!” Anjela langsung menarik tangan Rahul, diikuti Anjeli yang sama bersemangat. Mereka pun menuju dapur.
Rumah kayu itu ternyata cukup luas. Dapurnya sederhana, dengan lantai tanah yang padat. Rahul celingukan mencari kamar mandi, tapi tak menemukannya.
“Di mana kamar mandi?” tanyanya akhirnya.
Anjela menunjuk pintu kayu di sisi belakang. “Di luar sana.”
Rahul melangkah, namun tangannya masih ditarik Anjeli. Saat pintu dibuka, pemandangan sungai deras terbentang. Rahul mencari-cari bangunan kecil, tapi yang ia temukan hanya jamban reyot di tepi sungai.
“Silakan, Pak,” ujar Anjeli polos.
“Ya, silakan,” tambah Anjela sambil tersenyum.
Rahul menelan ludah. Bagaimana mungkin ini disebut kamar mandi? Kalau aku pijak jamban itu, bisa-bisa aku tenggelam dibawa arus.
Ia mencoba mengalihkan. “Anjela, tolong ambilkan air putih secangkir.”
“Baik, Pak!” Anjela berlari ke dapur.
“Bapak mau minum?” tanya Anjeli polos.
Rahul tersenyum tipis. “Sebenarnya saya mau buang air.”
“Loh? Kalau mau buang air, kenapa minta air minum?” tanya Anjeli bingung.
Rahul hanya terkekeh. Mana mungkin aku buang air tanpa berbasuh?
Tak lama, Anjela kembali membawa segelas air. Rahul menerimanya dengan ucapan terima kasih yang membuat pipi Anjela merona.
“Kalian masuk dulu. Saya mau buang air. Ingat, jangan mengintip!” ujar Rahul setengah bercanda, setengah mengancam.
Mereka mengangguk patuh, meski setelah berbalik tubuh, tawa cekikikan tak bisa mereka tahan. Dari balik celah pintu, mereka masih sempat mengintip diam-diam, wajah memerah menahan geli.
“Bapak itu ganteng dan wangi,” bisik Anjeli.
“Iya, Anjela juga suka sama Bapak,” balas kembarannya.
“Anjeli juga suka…”
Rahul, yang sudah selesai, menghela napas panjang. Saat kembali ke dapur, ia melihat pintu bergoyang pelan jelas ada dua gadis nakal yang pura-pura tak tahu apa-apa.
“Kalian masak apa?” tanyanya pura-pura polos.
“Tidak tahu,” jawab mereka bersamaan sambil menggeleng, wajah polos tak berdosa.
Rahul terkekeh. “Kalau begitu, kita masak mi instan saja. Lebih mudah.”
“Mi?” tanya Anjela dan Anjeli heran.
Rahul berhenti sejenak, menoleh dengan dahi berkerut. “Kalian bahkan tidak tahu mi?”
Keduanya hanya saling pandang, lalu tersenyum malu.
“Itu makanan enak. Ayo, ikut ambil kardusnya.”
Mereka mengangguk riang.
Sesampainya di ruang utama, suasana sudah riuh oleh anak-anak panti yang gembira melihat isi kiriman barang. Bulat sibuk membagikan permen. Saat dipanggil Rahul, ia segera menghampiri.
“Bulat, masak mi untuk kita semua. Kalau kau malas, suruh anak-anak buahku. Dan bagikan pizza juga, biar perut anak-anak ini terisi dulu.”
“Baik, Bang,” jawab Bulat sigap.
Rahul melirik ke belakang. Seperti bayangan, Anjela dan Anjeli tetap menempel tak jauh darinya, sibuk mengunyah permen dengan wajah bahagia.
Rahul menarik napas panjang. Dalam hatinya ia bertanya, “Kenapa mereka begitu cantik? Kenapa dua gadis malang ini bisa dibuang oleh orang tuanya?”
Pertanyaan itu menggantung, tanpa jawaban.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments