BAB 3 — Kerja Kelompok

Jam 04.30, bel sekolah berbunyi nyaring memecah keheningan sore. Suara riuh rendah sepatu menggeser lantai keramik dan gemerincing kunci motor memenuhi udara saat siswa-siswi berbondong-bondong meninggalkan sekolah, termasuk Grey yang sedang memeriksa tasnya untuk kesekian kalinya, Alka yang asyik memainkan helmnya, dan Kiera yang sibuk mengikat jaket di pinggang.

Saat Grey hendak menyalakan motornya yang hitam metalik, tiba-tiba—

"Greyy!"

Suara Fajar menggema dari belakang, membuat Grey hampir menjatuhkan kunci motornya. Ia menoleh dan melihat Fajar berlari kecil mendekat, napasnya sedikit tersengal dengan ransel yang terayun-ayun di punggungnya.

"Kenapa, Jar?" tanya Grey sambil menyipitkan matanya yang hitam pekat karena silau matahari sore yang menyorot tepat di antara bangunan sekolah.

Fajar berhenti tepat di depan Grey, tangannya menumpu di lutut sambil menarik napas dalam. "Boleh nebeng nggak?" pinta Fajar dengan suara memelas, matanya yang cokelat muda berkedip-kedip penuh harap.

Alka yang sedang memakai helm hitamnya mengangkat satu alis tebalnya, ekspresinya skeptis. "Motor lo?"

Fajar mengusap keringat di dahinya. "Tadi pas berangkat, bannya bocor. Sekarang lagi di bengkel," jelasnya sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana jeansnya yang sudah pudar warnanya. "Nih, liat aja fotonya."

Grey menghela napas panjang, lalu mengangguk sambil mengibaskan rambut hitam pendeknya yang terkena angin sore. "Yaudah, gue ayo-ayo aja, tapi lo yang bawa motor," katanya sambil melemparkan kunci motor ke arah Fajar.

Fajar langsung tersenyum lebar, giginya yang putih bersinar di bawah sinar matahari. Diam-diam, matanya melirik ke arah Erland yang sedang bersembunyi di balik pohon beringin dekat gerbang sekolah, lalu dalam hati bergumam, "Hahaha, gue bilang apa? Udah pasti dibolehin!"

Erland yang melihat dari balik batang pohon langsung memukul dahan di dekatnya, wajahnya merah padam. "Fajar kampret!" umpatnya dengan suara berbisik kasar.

Fajar dengan gesit menaiki motor Grey dan menyalakan mesinnya yang meraung halus. "Kalian mau ke mana?" tanyanya sambil menyesuaikan posisi kaca spion.

"Mau nyelesaiin makalah," jawab Grey singkat sambil memastikan tas ranselnya yang abu-abu itu aman di jok belakang.

Tak lama, mereka tiba di depan rumah Fajar yang dikelilingi pagar putih dengan tanaman merambat yang rapi.

"Mau mampir nggak?" tanya Fajar sambil menunjuk ke arah rumahnya dengan senyum manis.

Grey menggeleng, matanya melihat jam tangannya yang berwarna perak. "Ngga, kita dikejar waktu," tolaknya sambil melambaikan tangan.

"Oke, thanks ya!" Fajar melambai antusias sebelum Grey, Alka, dan Kiera melanjutkan perjalanan.

Begitu motor Grey menghilang di ujung jalan, Fajar langsung melompat-lompat kecil seperti anak SD yang dapat permen, tangannya meninju udara. "Yes, yes, yes!" teriaknya gembira sebelum berjalan santai ke dalam rumah sambil bersiul riang lagu pop yang sedang hits.

1 jam 30 menit kemudian...

Kafe "Sunset Brew" terlihat cozy dengan lampu-lampu gantung yang memancarkan cahaya hangat. Grey, Alka, dan Kiera duduk di dekat jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota.

Pemandangan dari kafe ini memang selalu memukau. Pegunungan hijau membentang sejauh mata memandang, puncaknya diselimuti kabut tipis seperti kapas. Langit senja berwarna jingga keemasan bercampur ungu muda, disapu cahaya matahari terbenam yang memantulkan kilau keemasan di kaca-kaca gedung perkantoran. Lampu-lampu kota di kejauhan sudah mulai berkerlap-kerlip seperti kunang-kunang raksasa, menciptakan siluet menakjubkan di antara bangunan-bangunan tinggi.

Grey menghela napas lega, menikmati udara sejuk yang berhembus dari AC. "Pesennya apa?" tanyanya sambil membuka menu yang terbuat dari kayu lapis.

Alka dan Kiera saling pandang sebentar sebelum Alka menjawab, "Cappuccino aja," sambil menyenderkan badan ke kursi kayu yang nyaman.

Grey kemudian menoleh ke Kiera yang sedang memainkan rambut panjangnya. "Kamu?"

"Creamy latte," jawab Kiera dengan senyum manis, matanya berbinar melihat foto latte art di menu.

Grey mengangguk dan berjalan ke kasir, melewati beberapa pengunjung lain yang asyik mengobrol atau bekerja di laptop mereka.

Malam itu terasa berbeda. Alka mengamati Grey yang tidak seperti biasanya - biasanya sebelum jam 9 malam Grey sudah gelisah ingin pulang. "Enggak pulang, Rey?" tanyanya penasaran, jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu secara ritmis.

Grey hanya menggeleng, matanya tetap tertuju ke speaker kecil di sudut kafe yang memutar alunan jazz lembut. Kiera memiringkan kepalanya, mencoba membaca ekspresi wajah Grey yang biasanya mudah ditebak.

"Mama Teresa enggak marah?" tanyanya lagi dengan nada menggoda. Sebenarnya yang lebih sering marah bukan Teresa, melainkan Sebastian - suami Grey yang terkenal tegas.

Grey kembali menggeleng, kali ini dengan sedikit erangan. Alka dan Kiera saling pandang, lalu berbisik pelan.

"Pasti dia lagi keluar kota, makanya santai gini," tebak Alka sambil menyipitkan matanya.

Kiera mengangguk setuju, "Iya, kayaknya."

Tiba-tiba, ponsel Grey bergetar di atas meja, membuat gelas air sedikit bergetar. Grey langsung menyambar ponselnya. "Halo."

"Hmm, lagi apa?" suara Tian yang dalam dan berat terdengar di seberang.

"Lagi ngerjain makalah," jawab Grey sambil mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya yang ramping.

"Di mana? Saya liat CCTV rumah sepi," tanya Tian, nada suaranya mulai terdengar curiga.

Grey menghela napas kecil. "Di kafe, bareng Alka sama Kiera."

"Kamu udah makan?" tanya Tian lagi, suaranya lebih lembut sekarang.

"Belum," jawab Grey singkat sambil melihat jam tangannya.

"Ka, Ra, gue ke toilet bentar," Grey pamit sebelum berdiri dan menjauh dari meja.

Begitu sampai di dekat toilet, Grey menekan tombol speakerphone. "Om, lagi apa?" tanyanya sambil bersandar di dinding.

"Lagi rebahan," jawab Tian santai, suaranya terdengar berat seperti baru bangun tidur.

Grey menyipitkan matanya yang tajam. "Sama cewe, ya?"

Tian tiba-tiba tertawa kecil, suaranya yang dalam bergema di speaker. "Iya, cewenya itu Xander Puas. Kamu?" Xander adalah sekretaris Tian.

Grey langsung mencibir. "Ihh, Om mencurigakan! Mana, ganti video call!"

Tian menghela napas dramatis sebelum panggilan beralih ke video. Layar ponsel Grey langsung menampilkan wajah Tian yang baru selesai mandi, rambut hitamnya yang biasanya rapi sekarang masih setengah basah menempel di dahinya. Ia sedang bersandar di kepala tempat tidur besar dengan bantal-bantal empuk di belakangnya.

"Habis mandi, Om?" tanya Grey, matanya memperhatikan latar belakang kamar Tian yang mewah.

"Iya, baru pulang. Kamu di mana itu?" balas Tian sambil mengusap rambutnya yang masih basah dengan tangan kosongnya.

"Di kafe," jawab Grey singkat.

"Jam 08.57 sudah, kenapa belum pulang?" tanya Tian, alis tebalnya yang rapi naik ke atas menandakan keheranan.

Grey melihat ke arah teman-temannya yang sedang asyik mengobrol. "Belum selesai, Om. Dikit lagi," jawabnya sambil menggigit bibir bawahnya.

"Awas, bohong! Pulang-pulang, saya kasih hadiah," ancam Tian dengan nada main-main tapi matanya yang tajam menatap lewat kamera.

Grey tersenyum tipis, giginya yang putih bersinar sebentar. "2 cowok China?"

Tian menggeleng, lalu tersenyum licik. "Saya mau bikin Tian Junior!"

Mata Grey langsung melotot, bulu kuduknya merinding dari leher sampai punggung. "Hah?!" suaranya naik beberapa oktaf.

"Iya, udah dulu, saya mau lanjut ngerjain tugas," ucap Grey buru-buru sebelum memutuskan panggilan dengan jari yang sedikit gemetar.

Tian masih sempat berteriak, "Eee, tunggu bentar! Jam 10, saya nggak liat kamu di rumah, awas aja!" sebelum layar menjadi hitam.

Grey menghela napas panjang, lalu kembali ke meja mereka. Tapi yang dia lihat membuatnya menghela napas lagi - Erland, Fajar, dan Gio sudah duduk santai di kursi tambahan yang didorong ke meja mereka.

"Ini tiga manusia ada di mana-mana, sempit banget dunia," keluh Grey sambil memijat pelipisnya yang mulai berdenyut-denyut.

Fajar langsung menyapa dengan semangat. "Hai Grey!" sambil melambai-lambaikan tangannya yang besar.

Grey hanya mengangkat alis, lalu menyesap kopi americano-nya yang mulai dingin, mencoba menenangkan diri setelah percakapan dengan Tian.

Matanya mencuri pandang ke jam tangan peraknya yang mewah. *"9 malam… Harus buru-buru nih,"* pikirnya sambil mengetuk-ngetuk gelas kopinya dengan kuku yang terawat rapi.

Tiba-tiba, Erland yang sedang asyik memainkan gelang kulitnya bertanya, "Em Grey, lo pulang jam berapa?"

"Selesai ini, gue pulang," jawab Grey singkat sambil merapikan beberapa kertas di atas meja.

Alka dan Kiera saling pandang lagi, sementara Erland hanya mengangguk dengan ekspresi datar.

Tiba-tiba—

"Fajar!!!"

Suara teriakan perempuan memecah keheningan kafe yang sebelumnya tenang. Semua pengunjung menoleh ke arah sumber suara. Andrea, seorang perempuan dengan rambut cokelat sebahu dan mata yang menyala-nyala, sedang berdiri di pintu masuk dengan napas terengah-engah seperti baru berlari.

"Serius, lo enggak pernah balas chat gue? Kenapa sih?!" Andrea berjalan cepat mendekati meja mereka, wajahnya merah padam, tangannya mengepal di samping tubuh.

Fajar langsung berdiri seperti tentara yang dapat perintah, wajahnya pucat. "Tenang, Andrea. Ini enggak kayak yang lo pikir."

Andrea melirik tajam ke arah Alka, Grey, dan Kiera. "Oh, jangan-jangan kalian selingkuhannya?!" suaranya semakin tinggi, membuat beberapa pengunjung lain mulai berbisik-bisik.

Erland dan Gio langsung menggaruk-garuk tengkuk mereka dengan wajah tidak bersalah, berusaha tidak ikut campur. Fajar menarik napas dalam. "Ayo, pergi!" katanya sambil mencoba menarik lengan Andrea.

Andrea malah semakin emosi, menarik tangannya dengan kasar. "Enggak! Lo ya cewe gatel, enggak tau malu!" teriaknya sambil menunjuk-nunjuk ke arah meja mereka.

Suasana kafe yang tadinya tenang langsung berubah tegang. Beberapa staf kafe mulai mendekat dengan wajah waspada.

Setelah kejadian itu, suasana perlahan kembali normal. Gio yang duduk di sebelah Erland melirik temannya. "Land, jadi balapan nggak malam ini?"

Erland menyeringai, menunjukkan giginya yang sedikit runcing. "Ayo-ayo aja, yang penting duitnya setimpal."

Gio mengangguk mantap. "Soal uang aman, tenang aja."

Alka dan Kiera yang mendengar langsung bersemangat. "Kita boleh ikut nonton nggak?" tanya Alka penuh harap, matanya berbinar-binar.

Gio menoleh ke mereka dengan ekspresi serius. "Kalo ada polisi, urusan masing-masing ya. Kita enggak tanggung jawab."

Alka menghela napas kecewa. "Yeahh, padahal pengen nonton."

Kiera memutar matanya yang besar. "Lo mau mulut bonyok lo berbusa gara-gara ngomel, hm?"

Alka cengengesan. "Enggak sih."

Jam dinding kafe sudah menunjukkan pukul 09.45. Grey buru-buru berdiri, tasnya sudah siap di pundak. "Eh, gue pulang dulu ya."

"Udah selesai juga kan makalahnya," tambahnya sambil merapikan kertas-kertas di meja.

Dalam hati, Grey bergidik. "Bisa mati gue kalo enggak pulang sekarang."

Gio menyeringai melihat Grey yang terburu-buru. "Buru-buru banget sih, Grey."

Grey mengangguk sambil memakai jaket kulit hitamnya yang mewah dengan cepat. "Iya, duluan ya."

"Iya, hati-hati, Rey!" seru teman-temannya sambil melambai.

Sebelum berangkat, Grey menelepon Tian lagi. "Halo, Om."

"Ya?" jawab Tian datar di seberang.

"Ini saya udah mau pulang, tapi paling nyampe jam 11 soalnya jaraknya jauh," jelas Grey sambil menyalakan motornya.

Tian menghela napas panjang di telepon. "Astagfirullah, kamu ngapain jauh-jauh amat?"

Grey tersenyum kecil meski tahu Tian tidak bisa melihat. "Ah, bodo amat. Pokoknya saya udah mau pulang. Udah dulu, ya, Om. Nanti kabarin lagi kalo udah sampai."

Tian mengingatkan dengan suara yang tiba-tiba lembut, "Hati-hati bawa motornya, jangan ngebut."

"Iya," jawab Grey sebelum menutup telepon dan memasang earphone nirkabelnya.

Dia menghidupkan mesin motornya yang langsung meraung kencang, lalu meluncur meninggalkan parkiran kafe. Jalanan di depan sudah gelap dan sepi, hanya diterangi lampu jalan yang jarang dan lampu motornya yang terang. Bulu kuduknya berdiri ketika angin malam yang dingin menerpa melalui jaketnya.

"Sial, tau gini tadi bawa mobil," gerutunya dalam hati sambil mempercepat laju motornya.

Udara malam semakin dingin menusuk tulang, dan Grey menggigil kecil. Matanya terus memantau jalanan yang sepi sambil sesekali melirik jam tangan. Dia harus cepat sampai rumah sebelum Tian benar-benar marah. Di kejauhan, suara sirene polisi terdengar samar, membuatnya semakin waspada.

BERSAMBUNG...

Wahai para pembacaku yang setia setia, komen kalian bikin aku makin semangat nulis, lho! Jangan lupa kasih saran ya~ 💕

Terpopuler

Comments

BULAN

BULAN

Ceritanya seru, lanjuttt

2025-02-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!